Menuju Malam Selikuran
Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari. Di tengah-tengah perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid. Kumayl berkata, “Ya Amiral Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.” Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl, itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”
"Ketika beliau sampai di halaman rumah, sekelompok angsa berteriak-teriak ke arah Imam Ali. Saat orang-orang mau menghalau angsa-angsa itu, Imam Ali berkata: "biarkan saja! Karena angsa-angsa itu tengah meratapi kematianku."
***
Malam itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit. Di mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Dia pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fasik dan munkar. Yang disapa dan dinasehati membatu, tak kunjung beranjak. Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yg sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”
Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam tersimpan pedang beracun. Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia. Di mihrab, Imam Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam, seperti orang-orang di zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari sujud partamanya. Darah lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan. “Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah".…
Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah… Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.”
***
Wasiat Imam Ali kepada putranya. Wahai putraku… Berlemah lembutlah kepada tawananmu (maksudnya Abdurrahman bin Muljam, sang pembunuh). Berbelas kasihlah kepadanya, dan perlakukan ia dengan baik. Beri ia makan dari makanan yang kamu makan, dan beri ia minum dari minumanmu. Jangan kau ikat kedua tangan dan kakinya. Jika nanti aku mati, tegakkan hukuman Allah atasnya. Bunuhlah dia dengan sekali pukulan (jangan disiksa). Jangan kamu bakar ia, dan jangan kamu cincang ia, karena aku mendengar kakek kalian (Rasulullah SAW) bersabda: “Jangan kamu mencincang siapa pun, sekali pun ia anjing galak.”
Dan jika aku nanti sembuh dan hidup (selamat dari pembunuhan ini), maka akulah yang paling berhak mengurusnya, dengan (cara) memaafkannya, dan aku lebih mengerti apa yang harus aku lakukan. Aku wasiatkan kepada kalian berdua (maksudnya kepada Al-Hasan dan adiknya, Al-Husain) dengan ketaqwaan kepada Allah, dan jangan rakus pada dunia walaupun dunia merayumu. Jangan bersedih atas bagian dari dunia yang tidak kalian dapat. Bertutur-katalah dengan jujur dan berbuatlah untuk pahala. Jadilah kalian ‘lawan si zalim’ dan ‘pembela yang teraniaya’.”
By : muhtasib tasib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar