Kamis, 08 Desember 2016

ORGANISME RAKYAT DAN UMMAT ISLAM

Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-3 dari 10)

Dari Pulau Seribu hingga 411 dan 212 saya menemukan, menyaksikan dan merasakan dengan penuh sukacita dan rasa syukur, bahwa ternyata Allah tidak meninggalkan rakyat kecil dan Ummat Islam Indonesia. Allah tidak membiarkan mereka yang sejak lama pikirannya galau dan hatinya amat sengsara ini sendirian dalam kesepian.

Ini bukan “haqqulyaqin” dan ”ilmulyaqin”. Ini “’ainulyaqin” dan “ruhulyaqin”. Saya tidak kaget dan mungkin justru gembira kalau siapapun menganggap ini romantik, klenik, tahayul atau halusinasi. Allah sungguh mememperlihatkan bahwa Ia “fa’-‘alul-lima yurid”, Maha Mengerjakan apa yang Ia kehendaki. Tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan trigger atau momentum sangat sederhana beberapa detik di Pulau Seribu, sesudah sekian kali desing mercon kekurang-beradaban dan bom kebrutalan tidak menghasilkan letusan apapun.

Kalau Anda tuan rumah 212, sejauh-jauhnya Anda berani memperkirakan dan menyiapkan akomodasi untuk hanya 150 ribu orang. Tetapi jutaan Malaikat menyusupi kalbu sekian juta manusia untuk “yadkhuluna fi dinillahi afwaja” berduyun-duyun dari tempat yang sangat jauh berkumpul di suatu area. Murni, sejati, suci. Tanpa kesulitan dan kemacetan, dibanding tersiksanya lalu lintas mudik hari raya yang hanya seper-50 atau seper-100 massanya dibanding 212. Makanan dan minuman berlimpah ruah dinikmati oleh manusia yang jumlahnya lebih 3.000 kali lipat dibanding penumpang Kapal Nabi Nuh. Persis seperti hidangan (al-maidah) ajaib yang tiba-tiba tersuguhkan di bilik kecil Siti Maryam dalam kelipatan sekian juta.

Silakan meneliti ribuan macam lagi “fi’lullah”, kerja tangan Allah, asal dimaksudkan demi rasa syukur dan penyadaran bahwa kehidupan ini tidak sesederhana dan tidak se-teknis-materiil yang kita sangka. Dan ini semua saya tuturkan tidak untuk rasa bangga dan sesumbar. Justru yang terpenting dari paparan ini adalah satu prinsip bahwa “Nabi Musa jangan menyangka mampu membelah samudera”.

Tidak ada tongkat sakti. Tidak ada makhluk sakti, tidak pun Nabi, Rasul, Wali, Sayyid, Syarif, Habib, Jin, Asif bin Barkhiyah yang memindahkan Istana Balqis lebih cepat dari sekedipan mata, ataupun para Malaikat. Allah memerintahkan kepada Musa “belahlah laut dengan tongkatmu”, sekaligus memerintahkan kepada air laut “membelahlah begitu disentuh oleh tongkat Musa”.

Nabi Musa tidak bisa menjamin bahwa kalau besok sorenya ia pukulkan lagi tongkat itu maka air lautan akan terbelah. Sebagaimana mukjizat apapun yang terjadi pada semua Nabi Rasul, itu semua bukanlah kehebatan mereka, melainkan pinjaman dan perkenan dari Allah kepada siapapun saja yang dikehendaki oleh-Nya. Semoga presisi ilmu hikmah yang demikian, yang lahir di kesadaran dan nurani para pemimpin dan pekerja amal saleh 212.

Ada yang mengatakan “kalau ingin melihat buih, lihatlah Monas 212”. Saya takdhim kepada buih. Saya ngeri kepada buih tatkala ia ditiup oleh Tuhan dan menenggelamkan pulau-pulau. Saya berempati kepada buih yang menjadi buih karena dibuihkan oleh desain-desain besar cakar Iblis global dan Dajjal nasional. Jika Allah mencintai mereka karena dibuihkan oleh sesamanya, kemudian buih-buih itu dihamparkan dan menenggelamkan Nusantara -- maka biarlah saya kehilangan apapun saja, asal diperkenankan menjadi bagian dari buih itu. Karena tak ada yang lebih nikmat dari kemesraan cinta-Nya.

Buih-buih 212 itu hanyalah cipratan kecil dari suatu organisme besar rakyat Indonesia dan Ummat Islam. Tidak ada organisasi apapun dengan kemampuan mobilisasi secanggih apapun, yang bisa menciptakan keindahan karya 212. Itu organisme, ciptaan Allah, yang penuh rahasia, pada yang tampak mata maupun yang tersamar dan tersembunyi. Organisme makhluk adalah “tajalli” Allah itu sendiri, dengan memilih siapapun dan apapun untuk dijadikan medium atau sarana untuk memanifestasikan “innallaha ‘ala kulli syai-in qodir”-Nya.

Andaikan memang khusus di era sekarang ini ada Iblis global mempekerjakan Dajjal nasional untuk mengincar penaklukan atas tanah air Indonesia, rakyatnya dan Ummat Islam, insya Allah tidak rumit untuk mewujudkannya di ranah organisasional, di level tata kelola formal kenegaraan dan kepemerintahan, secara sistemis dan strategis. Tidak terlalu pelik untuk “berunding”, mengendalikan, mengintervensi, mengamandemen, memotong, menyunat, membuat legalitas baru untuk kepentingan dan keuntungan sesuai desain, program dan proyek.

Asalkan Tuhan dianggap bukan faktor, bisa mudah digambar mapping hajatan itu. Sepanjang diyakini bahwa organisme rakyat dan Ummat Islam adalah khayalan dan omong kosong, maka buldozer penaklukan tak ada kendala untuk dijalankan. Sepanjang Pancasila dipercaya sebagai hanya basa basi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa sekadar ungkapan sopan santun, maka jalanan mulus tanpa batu-batu pengganjal. Asalkan diteguhkan ilmu dan pengetahuan bahwa Allah tidak benar-benar ada, apalagi bekerja, berperan dan men-support para kekasih-Nya -- maka program the show of Iblis dan Dajjal must go on.

Tidak perlu terpengaruh halusinasi yang mengatakan bahwa Negara dan Pemerintah adalah organisasi, sedangkan rakyatnya, terutama yang menghampar luas di bawah, adalah organisme. Bahwa NU, terutama PBNU, misalnya, adalah organisasi. Tetapi Nahdliyin adalah organisme. Bahkan kaum elit, kelas menengah dan terpelajar tertata dalam skema organisasi, tetapi rakyat kecil adalah organisme.

Organisasi dilaksanakan oleh manusia, mengacu pada syariat organisme “alam” yang sempurna. Tetapi organisme rakyat dan Ummat Islam Indonesia, pelaku utamanya bukanlah mereka. Ada Maha Subjek yang memperjalankan mereka berpuluh-puluh abad lamanya dalam ketangguhan dan misteri. *

Rabu, 07 Desember 2016

YANG MENANG HARUS BANGSA INDONESIA

Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-1 dari 10)

Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.

Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar” mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.

Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.

Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).

Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.

411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton”( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).

Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.

Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”.

***

NGGEDEIN HATI RAKYAT

Muhammad Ainun Nadjib
_(Ke 2 dari 10 tulisan)_

Kenapa yang menang harus Bangsa Indonesia?

Beberapa abad yang lalu kita hidup berserak-serak di kepulauan Nusantara. Kita adalah gerombolan-gerombolan yang berjarak satu sama lain, secara teritorial maupun budaya. Kita bersuku-suku, berkubu-kubu, berkoloni-koloni. Nenek moyang kita hidup menjadi bagian dari Kraton-kraton, Perdikan-perdikan, komunitas-komunitas. Kemudian datang musuh dari Barat “mempersatukan” kita sampai menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

VOC dan Kerajaan Belanda “berjasa” mempersatukan kita. 3,5 abad tamu tak diundang dari Eropa itu “mendidik” kita untuk menyadari betapa pentingnya bersatu. Persatuan dan Kesatuan yang lahir ruhnya pada 1928 dan lahir jasadnya pada 1945 itu, kemudian menjalani kegembiraan dan ujian dari era ke era, dari pemerintahan ke pemerintahan. Dan tatkala hari ini kita melewati tahun ke-71, tiba-tiba muncul kecemasan tentang langgengnya persatuan dan kesatuan itu, serta ganjalan di pikiran tentang semakin luntur dan nadirnya kedaulatan bernegara dan berbangsa kita.

Sekian kali berkumpulnya rakyat di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya, dengan bendera dan bunyi teriakan apapun, pada hakekatnya mencerminkan bahwa kita semua masih belum berhasil ber-Negara dan mengalami sejumlah degradasi nilai yang mendasar dalam ber-Bangsa. Yang tampak di permukaan boleh kemarahan, permusuhan atau tuntutan-tuntutan, tetapi pasti itu semua mencerminkan bahwa rakyat Indonesia semakin merasa tidak aman. Tidak aman dengan harta tanah airnya, tidak aman eksistensinya, tidak aman tiang hak-haknya, tidak aman martabatnya, tidak aman masa kini dan masa depannya.

Saya yakin bahwa Pemerintah, wakil-wakil rakyat, pasukan-pasukan Pagar Negara, tokoh-tokoh Bangsa, pimpinan Parpol dan Ormas, kaum cerdik pandai, pemuka Agama-agama, serta semua yang berdiri di panggung nasional, hari ini sangat diperlukan untuk mengemukakan kepada rakyat Indonesia bahwa kedaulatan NKRI tidak terancam dan masa depan rakyat tidak buram.

Perlu menjelaskan dengan bahasa rakyat bahwa Tanah Air ini tidak sedang digerogoti oleh siapapun. Tidak sedang dijaring secara strategis untuk direbut dan dijadikan bukan milik Bangsa Indonesia lagi. Tidak sedang dijajah, terserah dengan penjajahan model yang tradisional atau yang supra-modern. Tidak dirongrong, direkayasa, ditaklukkan, bahkan mungkin dimusnahkan pada beberapa hal.

Yang lebih urgen lagi adalah beliau-beliau para pemuka Bangsa, juga institusi pemerintahan di lini yang manapun, termasuk lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, membuktikan kepada rakyat bahwa mereka bukan bagian dari perongrongan itu. Bukan petugas dari program penjajahan itu. Tidak dibeli untuk mengeksekusi penghancuran itu. Tidak sedang berbuat selingkuh terhadap nasionalisme. Tidak menyembah dan mematuhi pemilik dan penyedia modal.

Jika hal itu tidak segera dilakukan, maka akan sempurna proses yang mengembalikan Bangsa Indonesia menjadi bersuku-suku dan berkubu-kubu. Baik suku dan kubu berdasarkan kepentingan politik pragmatis. Atau berdasarkan persaingan akses terhadap pusat-pusat modal. Berdasarkan perbedaan identitas dan pendapat. Berdasarkan khilafiyah, tafsir dan jenis egosentrisme yang lain. Bahkan sudah semakin nyata di depan mata betapa kondisi pecah belah itu sampai mendetail hingga ke sub-suku sub-kubu bahkan sub-sub-sub.

Kita tidak bisa terus menerus menyebarkan pandangan bahwa perang suku hanya terjadi di sebuah pulau di sana, karena di Jakarta, Pulau Jawa dan wilayah-wilayah lain, setiap hari berlangsung perang suku dan perang kubu, yang variabelnya sangat kompleks, detail kepingan-kepingannya yang menyakitkan mata, hati dan pikiran. Dan kapasitas berpikir Bangsa Indonesia, termasuk kaum terpelajarnya, semakin tidak mencukupi untuk sanggup menampung, mewadahi, mengurai, mengidentifikasi, mempetakan dan menganalisisnya. Terlebih lagi untuk kemudian melahirkan formula-formula solusinya.

Presiden dengan seluruh perangkat kepemerintahannya harus mengagendakan upaya perampingan rumusan atas komplikasi permasalahan dahsyat yang sedang sangat diduka-deritai oleh rakyat. Bertahun-tahun saya berkeliling ke pelosok-pelosok, dalam seminggu rata-rata saya bertemu dengan sekitar 50.000 orang yang berkumpul di alun-alun, lapangan, jalanan atau sawah. Mereka sangat sedih dan kesepian. Hati mereka menanggung beban yang pikiran mereka tak sanggup mengurainya. Pikiran mereka tersandung-sandung, terbentur-bentur dan buntu. Saya tidak mampu membantu bangsa ini kecuali sebatas membesarkan hati mereka, mencarikan lubang-lubang dari dimensi kehidupan yang luas ini untuk bergembira. Kemudian entah bagaimana membuat mereka optimis ke masa depan.

Tulisan ini harus sangat panjang untuk mengakomodasi seluruh konteks yang dimaksudkannya. Tapi karena keterbatasan ruangan, saya shortcut saja ke satu tema yang tidak populer. Yakni prinsip “Manunggaling Kawula Gusti”. Manunggal itu bersatu, menyatu, menjadi seakan satu. Kawula itu rakyat. Gusti itu Tuhan. Di dalam jiwa Presiden dan Pemerintah, rakyat menyatu dengan Tuhan. Kalau Tuhan diingkari, rakyat menderita dan bisa marah. Kalau rakyat disakiti, Tuhan marah dan bertindak.

Rakyat Indonesia sangat _ndemenakke:_ patuh, tertib, ikhlas, sangat sabar dan amat sedikit menuntut. Itu membuat mereka menjadi kekasih-kekasih Allah. Siapapun jangan menyakiti kekasih Allah. Kita semua punya anak cucu dan tidak tahu bagaimana besok pagi.*****

YANG MENANG HARUS BANGSA INDONESIA

Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-1 dari 10)

Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.

Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar” mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.

Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.

Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).

Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.

411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton”( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).

Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.

Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”.

***

YANG MENANG HARUS BANGSA INDONESIA

Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-1 dari 10)

Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.

Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar” mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.

Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.

Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).

Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.

411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton”( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).

Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.

Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”.

***

Jumat, 18 November 2016

Kisah Imam Ali bin Abi Thalib dan Ashabul Kahfi

Dalam surat Al-Kahfi, Alloh Ta’ala, menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu, kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa as dan Nabi Khidzir as, serta kisah Dzulqornain.

Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam Al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja “Diqyanus” di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah patung dengan seorang raja yang dzolim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan melarikan diri, sehingga mereka sampai di sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Alloh Ta’ala, mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Alloh Ta’ala.

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang diketengahkan secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab Fadho’ilul Khomsah Minas Shikhohis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dinukil dari kitab Qishoshul Anbiya’. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi.

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya’ mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut :

Di kala Umar Ibnul Khottob ra, menjadi Kholifah, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Kholifah: “Hai Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan shohabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau memahami bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi”.

“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Kholifah Umar ra. “Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjuk-kan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin? Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluq yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluq-makhluq itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya? Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh di saat ia sedang berkicau? Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok? Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”

Kholifah Umar menunduk-kan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata : “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan…!”

Mendengar jawaban Kholifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata : “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil..!”

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu : “Kalian tunggu sebentar…! Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Setelah bertemu, Salman berkata : “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam…!” Imam Ali kw, bingung, lalu bertanya : “ada apa ?”

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Kholifah Umar Ibnul Khottab. Imam Ali kw, segera saja berangkat menuju ke rumah Kholifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rosululloh SAW. Ketika Kholifah Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata : “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil…!”

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Imam Ali bin Abi Thalib kw, herkata : “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rosululloh SAW,. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu…!”

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Imam Ali bin Abi Thalib kw, berkata : “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman…!” “Ya baik…!” jawab mereka.

“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Imam Ali bin Abi Thalib kw. Mereka mulai bertanya : “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit ?

“Induk kunci itu, jawab Imam Ali as, ialah syirik kepada Alloh. Sebab semua hamba Alloh, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Alloh, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Alloh..!”

Para pendeta Yahudi bertanya lagi : “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh..!”Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata : “Orang itu benar juga..!”. Mereka bertanya lagi : “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya?”

“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta” jawab Imam Ali kw. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera” Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi : “Jelaskan kepada kami tentang makhluq yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluq itu bukan manusia dan bukan jin ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Makhluq itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimassalam. Semut itu berkata kepada kaumnya : “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak di-injak injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya”

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya : “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluq yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluq-makhluq itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Lima makhluq itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)”.

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali kw, lalu mengatakan : “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh…!”

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Imam Ali bin Abi Tholib kw, : “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda”

“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan” sahut Imam Ali kw. “Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Alloh. Bagaimana cerita tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi. Ali bin Ali Thalib kw, menjawab : “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. cerita tentang mereka itu sudah dijelaskan oleh Alloh SWT, kepada Rosul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu”.

Pendeta Yahudi itu menyahut : “Aku sudah banyak mendengar tentang Al-Qur’an kalian itu…! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir….!”

Imam Ali bin Abi Thalib kw, kemudian merapikan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang di-ikatkan ke pinggang. Lalu Beliau as, berkata : “Hai saudara saudara Yahudi… Muhammad Rosululloh SAW, kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama “Aphesus” atau disebut juga dengan nama “Tharsus”. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama “Diqyanius”. Dia seorang raja kafir yang amat Sombong dan dzolim. dia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Akhirnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana”.

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya ?”

Imam Ali kw menerangkan : “Hai saudara saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para petinggi dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala”. Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat ?”

“Hai saudara saudara Yahudi”.. kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.

Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri”.

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata : “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Kekasihku Muhammad Rosululloh SAW, menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja. demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai sombong, durhaka dan dzolim. Dia mengaku-aku diri sebagai “Tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Alloh Ta’ala.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa menerima kemauan raja. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Alloh Ta’ala.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, yang ingin melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan, seorang yang pintar bernama Tamlikha, memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati : “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan”.

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya : “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum ?” “Teman-teman…” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur”.

Teman-temannya mengejar : “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha ?” “Sejek lama aku memikirkan soal langit” ujar Tamlikha menjelaskan. Aku lalu bertanya pada diriku sendiri : “siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah ? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?”Kemudian kupikirkan juga bumi ini : “Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala ? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring ?” Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri : “Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku ? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku ? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius…“

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata : “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua?” “Saudara-saudara…” kata Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzolim itu, menuju kepada Raja pencipta langit dan bumi..” “Kami setuju dengan pendapatmu…” sahut teman-temannya. Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya : “Saudara-saudara, kita sekarang sudah bebas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Alloh akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar”.

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya : “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?” “Aku mempunyai semua yang kalian inginkan” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana kalian itu ?” “Ah.., susahnya orang ini..” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?” “Ya..” jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata : “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian”.

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti menunggu. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, di-ikuti oleh seekor anjing miliknya.

Waktu cerita Imam Ali kw, sampai di situ, salah satu pendeta Yahudi bergegas berdiri dan bertanya lagi, sambil berkata :

“Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya ?”

“Hai saudara saudar Yahudi…” kata Imam Ali bin Abi Thalib kw, memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rosululloh SAW, menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya : kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita ? Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali : “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Alloh, tak ada yang menyekutukaNya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT..”

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata : “Apakah nama bukit itu dan apakah nama gua itu?” Imam Ali kw, menjelaskan : “bukit itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram”

Imam Ali kw, melanjutkan ceritanya… secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT, memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. masing-masing orang dari mereka Allah SWT, menugaskan dua Malaikat untuk membolak-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah SWT, lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata : “Kalau aku ingin menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggil-lah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari..” Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan serabuk (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya : “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu”.

Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah Ta’ala, mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya : “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Alloh, mari kita pergi ke mata air”.

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT, membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan ? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi”.

Tamlikha kemudian berkata, “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini…”

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah…”

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, “Kusangka aku ini masih tidur..” Setelah agak lama memandang dan mengamati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjual roti, “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini ?” “Aphesus” sahut penjual roti itu.

“Siapakah nama raja kalian ?”tanya Tamlikha, “Abdurrahman,” jawab penjual roti. “Kalau yang kau katakan itu benar…” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali.. Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku..” Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman dulu, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib kw, “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru…”

Imam Ali kw, menjelaskan, “Kekasihku Muhammad Rosululloh SWT, menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru..”

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya : Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, “Aduhai, alangkah beruntungnya aku..! Rupanya engkau baru menemukan harta karun..? Berikan sisa uang itu kepadaku..! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja..?” “Aku tidak menemukan harta karun…” jawab Tamlikha, “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham, Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius…!”

Penjual roti itu marah. Lalu berkata, “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku…? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam..! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku..?”

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, “Bagaimana cerita tentang orang ini…?”

“Dia menemukan harta karun..” jawab orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata, “Engkau tak perlu khawatir..! Nabi Isa as, memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu, Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat…” Tamlikha menjawab, “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun…! Aku adalah penduduk kota ini…!” Raja bertanya sambil keheran-heranan, “Engkau penduduk kota ini…?” “Ya.. Benar” sahut Tamlikha., “Adakah orang yang kau kenal ?” tanya raja lagi. “Ya.. ada,” jawab Tamlikha. “Coba sebutkan siapa namanya…?” tutur raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan saat itu. Mereka berkata, “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini ?” “Ya.. tuanku..” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”. Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, “Inilah rumahku..!”

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, “Kalian ada perlu apa ?”

Kami utusan raja yang menyertai Tamlikha, Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya…! Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamati dia bertanya, “Siapa namamu ?” “Aku Tamlikha anak Filistin…!” Orang tua itu lalu berkata, “Coba ulangi lagi…!” Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berkata, “Ini adalah datukku..! Demi Alloh, Dia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius raja durhaka” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, “Dia lari berlindung kepada yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali…!”

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua. Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali kw, melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka…”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, “Puji dan syukur bagi Alloh yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius…” Tamlikha mengelak, “Ada urusan apa dengan Diqyanius ? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini ?” “Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja” jawab mereka. “Tidak…!” sangkal Tamlikha, “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun..! Diqyanius sudah lama meninggal dunia..! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Alloh yang Maha Agung..! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian…!”

Teman-teman Tamlikha menyahut, “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad ?”. jawab Tamlikha, “Lantas apa yang kalian inginkan ?” Tamlikha balik bertanya, “Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga” jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, “Ya Alloh, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain…!”

Alloh Ta’ala, mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Alloh SWT, melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Alloh SWT, Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Alloh kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku..! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu”. Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku..! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu”. dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib kw, berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian ?”

Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun..! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi, …Bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah hamba Alloh serta Rosul-Nya.. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini…!”

Dinukilan dari kitab Qishosul Anbiya yang tercantum dalam kitab “Fadho’ilul Khomsah” Minas Shihohis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadho Al Faruz Aabaad. [KbrNet/Slm]

Senin, 24 Oktober 2016

Tirakatan !

Tirakat Keramat

“Tirakatmu menentukan masa depan suamimu”

::: Ny. Hj. Noor Khadijah Chasbullah :::

Ketika mendengar kata “tirakat”, ada sebagian orang, kelompok, jamaah, yang secara otomatis menyorotkan LCD otaknya pada kanvas “devinisi”. Lantas dari LCD itu terpotetlah gambar ritual-ritual tertentu seperti puasa sehari semalam dan rangkaian aktivitas yang terlihat melelahkan, menyiksa diri sendiri, terkesan tidak mensyukuri nikmat Allah. Pemahaman yang demikian bukanlah sebuah kesalahan. Dari satu sudut, memang demikianlah kesan yang bisa dijumput. Itu, ketika “tirakat” dipahami secara sempit.

Ma hiya attirakatu ?

Sepanjang pengetahuan saya, “tirakat” merupakan kosa kata Arab, “taraka”, yang berarti meninggalkan ! Entah bagaimana mulanya, sampai bermetamorfosis dan dibakukan sebagai bahasa Indonesia, Jawa. Hampir semua orang Indonesia tidak asing dengan kata “tirakat”. Kalau Anda penggemar lagunya Acha Septriasa, akan menemukan bait, “tirakatku hanya untuk cinta’.

Orang-orang tua zaman dulu (entah kalau zaman sekarang) sering menganjurkan kepada anak-anaknya, “tirakato ben uripmu mulyo, tirakatlah agar mendapatkan kemuliaan hidup”. Kalau ada jejawa (jejaka tua) atau gawa (gadis tuwa) yang tak laku-laku kemudian berpuasa sunah, misal senin dan kamis, ada saja teman, atau tetangga yang komentar, “puasa terus, tirakat ya ? biar dapat jodoh”. Ketika masih pelajar dan saya rajin puasa senin kamis, ada saja yang tanya, “Kok puasa terus, biar sukses ya ?”

Dalam skala macro sejatinya tirakat tidak terbatas pada lelaku “puasa”. Sepemahaman saya, tirakat adalah meninggalkan (mengabaikan) segala sesuatu yang mubah (diperbolehkan) untuk mendapatkan ridha Allah. Contoh, bukan sebuah dosa ketika pada hari senin dan kamis tidak melakukan puasa. Bukan sebuah dosa pula jika sepanjang malam tidur dan tidak melakukan shalat tahajud. Anda bisa mencari contoh lain !
Namun jika rutin melakukan puasa sunah atau shalat tahajud tentu akan mendapatkan “hadiah” yang berbeda dengan tidak melakukan.

Bukankah ( logika) tahajud akan mengantarkan pada kedudukan yang mulia, maqaman mahmuda. Niat tirakat yang lillahi ta’ala akan menjadi kunci pembuka pintu langit. Dalam pandangan saya, ketika nawaitunya lillahi ta’ala hasil dari tirakatnya pun akan mengagumkan !

Hadratus Syaikh K.H. Dimyathy bin Abdullah Tremas (adik dari Hadratus Syaikh K.H. Mahfudz Tremas) ketika mengemban amanat melanjutkan estafet perjalanan PIP TREMAS tak pernah lupa bermunajat memohon kekuatan dan kemanfaatan ilmu. Selain berdoa, Mbah Dim mengiringi dengan lelaku puasa tiga tahun. Tahun pertama Mbah Dim niatkan untuk nirakati santri-santrinya. Tahun kedua untuk anak dan cucunya. Sedangkan tahun ketiga untuk anak dan cucunya.

Berbuahkah tanaman tirakat Mbah Dim ?

Tentu saja. Sekali lagi, setiap niat yang tulus dan pengorbanan yang ihlas akan menghasilkan panen kebajikan dalam sinaran ridha Allah SWT.

Habib Luthfi bin Yahya mengatakan, “99,9 persen santri Mbah Dim menjadi kiai yang berpengaruh, ‘allamah, dan mewarnai zamannya”. Beberapa ‘ulama’ yang akan saya sebut ini bisa menjadi bukti kekuatan tirakat ! Sayyid Hasan bin Abdullah Ba’abud (santri yang kemudian menjadi menantu). K.H. Habib Dimyathy, K.H. Haris Dimyathi, K.H. Hasyim Ihsan (tiga serangkai pengasuh PIP Tremas), K.H. Hamid Dimyathi, Abuya Dimyathi (Banten), Mbah Abdullah Hadziq (Mayong), Mbah Arsyad (Benda, Cirebon), Mbah R.Muhammad (Betengan, Demak), Mbah Jazuli (Ploso), Mbah Ali Mahrus (Lirboyo), Mbah Ma'sum(Lasem), bersama putranya Mbah Ali Ma'sum (Krapyak), Mbah Munawwir (Krapyak), Mbah Muntaha (Kalibeber, Wonosobo), Mbah Umar Syahid(Donorojo, Pacitan).

Laku tirakat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan berdampak besar kepada yang ditirakati. Kekuatan yang dihasilkan dari membatasi diri terhadap dunia bagaikan anak panah yang menuju kepada sasarannya. Semisal, ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi shalih dan bermanfaat. Cara yang ditempuh adalah dengan cara membatasi diri dari hal-hal yang mengundang murka Allah. Setiap malam, sebisa mungkin, rasa kantuk dan lelah di lawan untuk bersujud, bersimpuh, menengadahkan tangan, memohon kepada Allah SWT untuk kebaikan sang anak. Tak cukup sampai disitu, anak yang masih tertidur pulas, dihampiri dan dibacakan ayat suci, misal Al Qadar diiringi shalawat nabi dan ditiupkan pada ubun-ubunnya. Terlebih, jika siang harinya diiringi dengan berpuasa. Usaha lahir batin yang utuh ini, pada ahirnya akan menarik partikel-partikel semesta untuk menyatu dan menjelma menjadi hembus dukungan, mestakung, semesta`mendukung.

Sekedar kisah : kakak bulek saya, adalah orang yang rajin berpuasa. Setahu saya, hari-harinya selalu diisi dengan puasa. Kebetulan namanya seperti nama saya, Imam. Kebiasaan puasa atau hidup prihatin telah dijalaninya sejak muda, nyantri. Pak Imam ini adalah pribadi yang cenderung pendiam. Berbeda dengan adik-adinya. Bicara ya sakmadyo. Saya menaruh keyakinan, Pak Imam mengamalkan suatu anjuran, “jika berbicara tanpa manfaat, maka diam adalah pilihan yang tepat”.

Tempaan tirakat yang dilakukan secara konsisten membawa dampak besar dalam kehidupannya. Ia menjadi sosok yang bermanfaat bagi lingkungannya. Rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Kedua anaknya menjadi generasi yang Islami, shalih dan shalihah. Saya teringat, ketika suatu ketika masuk waktu shalat dhuhur. Anak keduanya segera menemui sang ayah di ruang tamu dan berkata, “Yah, sudah masuk shalat dhuhur. Kita jamaah dulu yuk”. Bayangkan jika pembaca menjadi orang tua dari anak itu. Betapa bahagianya hati mendapati permata hati demikian taat menjalankan perintah Allah. Ketika di luar sering kita melihat demikian sulit orang tua mengajak anaknya untuk shalat. Anak yang berusia 7 tahunan mengajak orang tua untuk shalat.

Urusan prestasi ? Tak perlu dipertanyakan lagi. Anak pertamanya, ketika saya menulis catatan ini masih di Pondok Modern Gontor. Saya tidak tahu prestasi apa yang diukirnya di pesantren itu. Hanya saja, ketika masih SD ukiran prestasi telah diukirnya. Bahkan dia memperoleh prestasi tiga besar tingkat provinsi sebagai siswi dengan nilai ahir nasional tertinggi. Mungkin ada yang bertanya dan menyangka sang anak bersekolah di tempat bonavide. Zaman saya kuliah dulu, pada tahun 2006-an masih berlaku RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Sang anak sekolah di lembaga yang biasa-biasa saja.

Tapi, sekali lagi, prestasinya mengalahkan anak-anak yang mengenyam pembelajaran di sekolah favorit !

Saya menaruh keyakinan, bahwa rentetan prestasi itu bukan dimonopoli oleh usaha lahir saja. Dan bukan usaha anak saja. Tapi ada orang lain di belakangnya yang menjadi benteng batin dengan lesatan doa dalam ritus-ritus tirakat. Doa orang tua saja sudah luar biasa mustajabnya. Apalagi ditunjang dengan lelaku batin yang istiqamah.

Setiap kali mendapati hikayat tentang orang-orang yang berhasil meraih kesuksesan. Ada yang menggelitik dalam diri saya untuk mengulik dan mencari-cari rahasianya. Lelaku apa yang dijalankannya. Ketika melihat Ustadz Yusuf Mansur, misalnya, orang akan melihatnya sebagai sosok ustadz muda yang sukses dalam dakwah dan bisnisnya. Apakah kesuksesannya dalam bidang bisnis hanya ditunjang oleh kemapuan managerial belaka ? Saya hendak berkisah :

Pertama kali ke Jogja, saya diajak istri, Dik Citra Resmi makan ke WS (Waroeng Steak). Istri saya memang demen banget makan steak. Awalnya saya mengira tempat makannya seperti tempat-tempat makan yang lain. Anggapan saya terbalik. Ternyata tempat makan itu demikian bersih. Iseng, saya lihat-lihat ke toiletnya. Wah, bersih dan wangi. Ketika ke musholanya, kesan yang sama saya dapatkan. Tempat wudhunya pun cukup istimewa.

“Tempat makannya istimewa banget” kataku. Aku kisahkan kekagumanku kepada istri. Dik Citra lantas menyampaikan bahwa salah satu pemegang saham WS adalah Ustadz Yusuf Mansur. Saya pun manggut-manggut. Dan berfikir, “andaikata setiap pebisnis memiliki ruh spiritual seperti Ustadz Yusuf Mansur”.

Dalam buku Saptuari Sugiharto, “Catatan Indah Untuk Tuhan” juga dikisahkan betapa Ustadz Yusuf Mansur konsisten menjaga shalat diawal waktu. Shalatnya pun tidak terburu-buru dan terkesan sekedar menggugurkan kewajiban. Dia sangat menikmati setiap gerakan dan bacaan shalat. Bandingkan dengan kita !

Masih dibuku yang sama, kisah tak kalah indah tertulis. Bukan Ustadz Yusuf Mansur sumber inspirasinya. Tapi Pak Sandiaga Uno (jangan kaitkan tulisan ini dengan pilkada, please ). Bisnisman sukses itu demikian konsisten menjaga shalat dhuhanya. Bukan dua rakaat, tapi delapan rakaat ! Bahkan ketika menjelang rapat penting pun dia tidak lupa memohon petunjuk Allah dalam sujud dhuhanya.

Dari sini, ada hikmah yang bisa dijumput. Semua tirakat yang tidak bertentangan dengan syariat dan niat lillahi ta’ala akan menambah daya tekan untuk mencapai tujuan. Syarat dalam munajat dan tirakat adalah konsisten atau istiqamah tanpa mengenal kata putus asa. Istri bisa menirakati suami. Orang tua bisa menirakati anak. Kiai bisa menirakati santri. Dalam skala yang lebih besar, kita bisa menirakati bangsa ini. Percayalah, jika kita rajin tirakat, analoginya seperti menanam kebaikan. Dan tanaman kebaikan akan menghasilkan panen

Maria Ozawa lebih Endonesah !!

VIDEOTRON. Dari jendela coffee shop Hotel Narita Port, Tokyo, saya melihat matahari seolah malas menyala. Jarum pendek di arloji menunjuk ke angka 9. Saya baru saja menyelesaikan sarapan, roti khas Jepang yang mirip bakpao tapi isinya kacang merah itu, dan secangkir teh hangat. Ransel, tas berisi laptop dan kamera sudah diturunkan petugas hotel, di letakkan di kursi di sebelah saya duduk. “Ohayou gozaimasu Rusdi-san, apakah Anda akan pergi?”

Asuka, petugas hotel menyapa saya ketika mata saya asyik memandang ke luar jendela, menikmati matahari Tokyo di akhir-akhir musim gugur. Sudah dua malam saya menginap di hotel yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Bandara Narita, dan Asuka adalah orang pertama di hotel yang melayani saya.

“Tidak Asuka, saya sedang menunggu seorang teman,” kata saya.
“Apakah perempuan itu teman yang Anda tunggu Rusdi-san?”

Asuka mengarahkan telunjuknya ke arah seorang perempuan yang duduk menyilangkan kaki di dekat meja resepsionis. Saya menoleh mengikuti telunjuk Asuka.

“Bagaimana Anda tahu Asuka?”
“Sudah sejak jam delapan dia di sini. Dia menanyakan nama Anda.”
“Siapa namanya?”
“Miyabi. Maria Miyabi. Kami mengenalnya sebagai Nona Ozawa. Maria Ozawa."
“Ya saya memang menunggunya.”
“Boleh saya mengantarnya ke meja Anda Rusdi-san?”

Saya belum sempat menjawab pertanyaan Asuka. Dia langsung pergi menghampiri Ozawa sementara saya merasakan, mata tak sekejap pun hendak berkedip. Mengenakan cardigan warna poplar, kaus oblong, jins dongker dan sepatu tak bertumit berwarna hijau pupus, perempuan yang kini mulai berjalan ke arah tempat saya duduk seolah telah menjadi sake paling keras yang memaksa mata saya terus terbuka.

“Ini Rusdi-san,” suara Asuka saya dengar mengenalkan nama saya.
“Hi I’m Rusdi,” jawab saya.
“Ozawa. Boleh saya duduk?” tanya Ozawa.
“Oh tentu. Silakan,” kata saya.

Asuka membantu menggeser kursi, lalu Ozawa sudah duduk di depan saya. Hanya berjarak sekitar 30 sentimeter. Mungkin kurang. Mata, hidung, pipi, bibir itu benar-benar sempurna. “Arigatou gozaimasu Rusdi-san. Jauh-jauh Anda datang ke Tokyo hanya untuk menjumpai saya bintang porno yang banyak dihujat di negara Anda,” Ozawa membuka pembicaraan.

Sepagi itu, di udara berderajat 24 Celcius, wangi mulutnya terhirup oleh hidung saya seperti wangi es campur. Vanila bercampur sirup.

“Saya juga berterima kasih, Anda telah bersusah payah datang ke  hotel ini.”

Saya mencoba mendatarkan suara meskipun jakun di leher, sudah saya rasakan naik turun dengan lekas. “Bagaimana kabar banjir bandang di Garut dan penggusuran di Bukit Duri?” tanyanya.

Saya agak terkejut dengan pertanyaan Ozawa, sebelum menyampaikan terima kasih atas perhatiannya. Saya tahu, Ozawa memang menaruh perhatian pada korban bencana di seluruh dunia termasuk di Indonesia. “Are you Ok Indonesia?” kalimat itu saya baca di status Facebook Ozawa beberapa hari lalu sebelum saya berangkat ke Tokyo.

Dia kemudian bercerita tentang keluarganya yang pernah jadi korban penggusuran. Ozawa masih SD saat itu, dan satu-satunya tempat tinggal keluarganya digusur pemerintah Tokyo. Mereka dipindahkan ke tempat lain tanpa ganti rugi.

“Saya menceritakan kisah itu dalam sebuah video.”
“Video porno?”
“Tentu saja tidak.”

Saya melihat Ozawa mengambil serbet di meja dan hendak melemparkan ke arah saya. Dia tersenyum. Saya tersenyum.

“Saya buat video itu saat ikut audisi.”
“Ada di mana video itu sekarang?”
“Ada di Youtube.”
“Saya akan mencarinya nanti.”

Ozawa kembali tersenyum. Saya salah tingkah.

“Keluarga saya miskin saat itu. Tapi penggusuran rumah kami membekas di ingatan saya karena yang namanya tergusur itu sakit sekali. Sangat sakit. Padahal undang-undang kami menyatakan dengan jelas: Pemerintah dan negara harus melindungi rakyatnya.”
“Mirip dengan undang-undang di negara kami dan mirip janji seseorang.”
"Boleh saya meneruskan Rusdi-san?"
"Oh tentu. Maaf."

Saya melihat dia merapikan cardigan-nya. Angin pagi itu memang lumayan berembus kencang.

“Tapi yang terjadi, pemerintah malah melakukan penggusuran.”
“Mungkin untuk tujuan yang lebih baik.”
“Anda wartawan yang cerewet. Itu sebuah kekeliruan Rusdi-san.  Keliru. Sudah melanggar undang-undang.”
“Anda mau minum Nona Ozawa?”
“Teh saja,” kata dia.

Saya memberi kode kepada Asuka yang berdiri tak jauh dari meja kami.

“Jadi Anda akan datang ke Indonesia?”
“Belum. Saya masih menimbang. Indonesia mon amour.”
“Akan ada yang menolak kedatangan Anda.”
“Saya tahu tapi apa salah saya? Dan kalau saya keliru atau saya salah, apa lantas mereka benar?”

Ozawa tajam menatap saya. Matanya itu mengingatkan saya pada mata sepasang burung belibis hutan yang pernah saya lihat berenang di telaga Ranukumbolo di kaki Gunung Semeru. Cemerlang.

“Saya hanya mencari makan. Dan Anda tahu Rusdi-san, saya sudah sejak lama paham ucapan Voltaire.”
“Ucapan yang mana?”

“Bahwa dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama. Saya tidak pernah mengambil hak orang apalagi milik rakyat Indonesia. Saya bukan pencuri. Bukan orang munafik yang hari ini berjanji lalu esoknya mengingkari. Saya tidak pernah membohongi penggemar saya dengan berkhotbah, misalnya agar jangan terangsang melihat adegan saya. Tidak. Biarlah mereka menonton dan menikmati adegan saya jika itu bisa membuat mereka keluar dari kemunafikan.”

Saya melihat Ozawa tertunduk. Wangi sampo meruap diembus angin yang menyelinap dari jendela-jendela coffee shop dari rambutnya yang lurus sebahu. Saya terus memandanginya. Mata, pipi, bibir, dan alis itu. Sempurna betul perempuan di depan saya ini.

“Anda tahu Rusdi-san, saya memang bintang porno tapi saya tidak pernah merugikan siapa pun, tidak juga orang Indonesia. Kalau ada yang menyebut aksi saya bisa dan telah merusak moral, sebenarnya di mana moral itu? Di selangkangan saya, atau di pidato-pidato orang-orang berbatik atau di omongan orang yang dua hari lalu menebar senyum di televisi bersama presiden Anda, karena yakin akan terpilih sebagai gubernur?”

“Anda juga mengikuti isu Pilkada di Jakarta?”
“Semalam saya lihat di NHK.”

“Jangan-jangan Anda berlebihan?”
“Ya mungkin, tapi Anda tahu, para pelacur yang di Indonesia dicela, para penikmatnya terdiri dari berbagai rentang usia, 13 tahun sampai 70 tahun. Banyak pejabat di negara Anda, diam-diam menyimpan gundik. Disembunyikan agar anak dan istri mereka tidak tahu. Para aktivis meniduri istri orang atau memesan pelacur sebagai teman saat rapat. Lalu di koran-koran mereka semua menjanjikan kesetaraan hukum dan keadilan. Perempuan harus diberdayakan, katanya. Mereka akan melayani dan melindungi rakyat, lalu penggusuran terjadi. Apa seperti itu moral? Kenapa pula yang ditangkap untuk urusan reklamasi Jakarta hanya seorang direksi sebuah perusahaan?”

“Apa? Reklamasi?”
“Kenapa harus ada diskresi mengenai kompensasi yang tidak masuk anggaran?
“Anda tahu skandal reklamasi?”
“Tentu saja karena diberitakan di televisi. Kasus itu lucu.”
“Gubernur tidak menikmati keuntungan.”
“Tapi menguntungkan orang lain.”
“Bagaimana Anda tahu?”
“Ayolah Rusdi-san. Pendidikan saya akuntan. Sepanjang pengetahuan saya, off budget di luar anggaran resmi sangat dilarang. Di mana pun termasuk di negara saya.”

Saya terus memandang Ozawa sebelum terdengar suara perempuan menegur. “Mau pesan yang lain Pak?”

Hah? Pak? Asuka, pelayan hotel itu berbahasa Indonesia?

Tidak, itu suara perempuan, dan benar memang suara perempuan. Orang Indonesia.

Ya Allah, saya rupanya sedang duduk di coffee shop sebuah hotel di bilangan Blok M, Jakarta, melamum di pinggir jendela. Memandang jalan di depan Gedung Wali Kota Jakarta Selatan, yang Jumat lalu banyak disebut-sebut media karena videotron, papan iklan video di jalan itu, menampilkan video porno.

[Salah satu bahan ajar untuk kelas menulis Mojok di Yogyakarta, pekan depan]

Selasa, 11 Oktober 2016

"Karbala"

Menepi Sejenak ke Karbala

Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya Hasan. Nabi menyebutnya Husein yaitu Hasan kecil.

Masa kecil Husein diliputi kebahagiaan dan keceriaan masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi ketika menceritakan tentang Husein, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat Husein itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih, saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husein.

“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak seorang pun dari mereka yang pernah kucium.”

“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut rasa sayang dari hatimu.”

Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama Husein. Bahkan di waktu sedang memimpin jamaah shalat sekalipun. Husein dan abangnya berkejaran diantara kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud, keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya, Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya menyelesaikan keinginannya.”

Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik bermain dengan kedua cucunya.  Husein dan Hasan naik di punggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”

Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena baju yang dipakai al Husein kepanjangan, ia menginjaknya sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin Husein terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang disampaikannya.

Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat, begitu besar kecintaanmu pada Husein.” “Iya, Husein dari aku, dan aku dari al Husein. Mencintai aku siapa yang mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.” Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabi pun berlomba-lomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada Husein.

Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat kepada sahabat-sahabatnya, Husein dan  Hasan segera berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada ibunya, Fatimah. Begitu Ali datang dan hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah disampaikan Nabi tadi, Fatimah segera memotong, “Sudah saya tahu.”

Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”.  Sang Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya yang tertawa senang.

Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun caranya salah. Husein dan Hasan melihat kejadian itu. Husein segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”

Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang menjadi jurinya?”  Husein pun meminta kepada kakek yang hadir disitu. "Kek, siap jadi juri ya..” Sang kakek mengiyakan.

Keduanya pun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling benar. Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar. Saya yang salah.”

Husein sukses memberitahu cara wudhu yang benar kepada si kakek, tanpa merasa digurui.

Husein tidak lama bersama Nabi. Di usianya baru menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa sedihnya Husein kecil. Terus terbayang masa kecil yang indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek sudah sedemikian risaunya.

Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi Nabi itu?. Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari penunggang Nabi itu? Tahukah kau apa yang terjadi dengan leher dan bibir Husein yang sering dikecup oleh Nabi itu?

Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya ditusuk-tusuk pedang.

Smoga yg kita ingat tidak hanya seolah-olah Husein hanyalah cucu Nabi, yang sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam kegembiraan masa kanak-kanak.

Mana masa muda Husein, yang diminta ayahnya untuk melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa muda Husein yang ikut membela ayahnya dalam perang-perang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir Husein, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang disiarkan kakeknya?

Nabi bersabda tentangnya, “Husein adalah pemimpin pemuda di surga…”

Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu dikubur?

Secuil itukah yang kau tentangnya?

|

Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus shalat!!”

Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.

Pria itu kembali menghela nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini tinggal beberapa...

Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.

Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium, udara ditepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis darah.

Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang, yang terjadi antara Husein bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husein. Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah diramalkan Nabi Muhammad  di hari Husein lahir.

Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah  telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.

Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi lalu diberi nama Husein, semakna dengan nama sang kakak yaitu Hasan yang berarti kebajikan.

Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?.”

“Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga menunjukkan tanah di mana Husein terbunuh.”

Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamil-nya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husein akan terbunuh dalam sebuah pertempuran.

Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husein telah meninggal dunia karena dibunuh.”

Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husein. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan menggemparkannya.

Perang Karbala’ adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah, dan Perang Shiffin, antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Husein pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Husein, Ali Al-Akbar; dan kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.

Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal Husein, Ali Al-Akbar bin Husein, dan Abbas saja yang tersisa.

Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husein telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.

Dengan wajah iba Husein menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan beliau yang mulia.”

Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuang sang ayahanda.

Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan berlari menuju Imam Husein yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Husein. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala’.

Al-Husein, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”

Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong Husein. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan mungilnya.

Husein segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telingan kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”

Kini hanya tersisa Husein dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air dengan kedua telapak tangannya.

Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husein. Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami Syahbanu, putri kerajaan Persia, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu rasul-Mu.”

Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Husein yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.

Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain. Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”

Sementar Al-Husein, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Allah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”

Melihat Al-Husein sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru, “Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau melihat Husein dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.

Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada yang berani menyerang Husein, ia pun membentak, “Terkutuk kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan hadiah yang besar bagi kalian.”

Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun dari punggung kudanya dan memenggal kepala Husein bin Ali bin Abi Thalib. Husein wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.

Tak cukup puas, serdadu-serdadu yang sudah kesetanan itu lalu menjarah benda berharga yang melekat pada mayat-mayat pejuang pembela Husein dan merampok barang bawaan di tenda-tenda rombongan Ahlul Bait. Saat itulah Syimar menemukan Ali Asghar, putra Al-Husein, yang sedang terbaring sakit di dalam tenda dengan ditemani bibinya, Zainab. Lelaki biadab itu pun bermaksud menghabisi Ali Ashgar, kalau saja Zainab tidak mati-matian mempertahankannya.

Sambil memeluk keponakannya, wanita pemberani itu berteriak, “Apa akan kau bunuh juga anak yang sedang sakit ini?.”

Syimar ragu-ragu sejenak sebelum memilih untuk meninggalkannya. Mungkin ia berpikir, tanpa dibunuh pun anak yang sedang sakit itu akan mati sendiri, karena kehabisan bekalan makanan, minuman dan obat-obatan. Namun siapa yang tahu rahasia Allah? Justru dari anak yang nyaris terbunuh itulah keturunan Al-Husein kemudian dapat berlanjut hingga saat ini.

Sejatinya, setidaknya ada dua "kriteria" pembunuh Husein. Pertama, yg membunuh jasadnya, yakni pasukan Yazid. Kedua, yang membunuh kehormatan dan nama baiknya, yaitu kelompok yang menafikan perjuangannya dan menyebut beliau pemberontak yang memang layak dibunuh dan tidak usah diingat-ingat lagi. Juga kelompok yang meyakini beliau benar dan gugur sebagai syuhada tapi tetap membela yang membunuhnya dan menuntut ummat untuk melupakan saja peristiwa tersebut

Seharusnya umat Islam lah lebih lebih berhak mengetahui salah satu sejarah paling kelam dan memilukan ini. Hal ini menjadi keheranan bagi Antoine Bara, seorang cendikiawan Kristen Suriah, penulis buku “Al-Husain fi al-Fikri al-Masihi” (Husain Dalam Kristianitas), dalam sebuah wawancara.

Tanya :
"Dalam buku anda dikatakan, “Jika Husain bin Ali berasal dari kelompok kami (Kristian ) niscaya kami akan menebarkan panji ‘perang’ di setiap penjuru bumi untuknya. Kami akan dirikan mimbar-mimbar di setiap belahan bumi dan dengannya kami akan mengajak manusia kepada Kristen atas nama Husain bin Ali”. Bagaimana bisa demikian?"

Antoine Bara :
"Ini bukanlah kata-kata saya, melainkan ucapan pendeta Kristen yang sezaman dengan masa kesyahidan Husain bin Ali. Sesungguhnya ia hendak menyingkap bahwa kalian para kaum Muslimin tidak mengenal kualitas imam kalian ini, Husein bin Ali.

Sungguh, kami memiliki monument jejak telapak kaki kuda al-Masih dan kami akan berhaji untuknya. Sedangkan kalian memiliki pusara suci jejak, keberkahan dan juga warisan tak ternilai dari Husein bin Ali. Kami belum pernah melihat kalian mengambil manfaat dan keuntungan darinya secara positif.

Adapun jikalau Husein bin Ali dari golongan kami, niscaya kami akan mendirikan monumen-monumen peringatan di setiap penjuru bumi untuknya, karena dia bukanlah sebuah fase yang bersifat matematis, bahkan dia merupakan pengorbanan pembebasan manusia, dan dia merupakan tonggak awal keazalian.

Sungguh pantas kita berkabung untuk ketragisan Husein ini, dan menyingkap misteri perjalanan Revolusi Husein bin Ali ini. Sungguh pantas kita sadar bahwa peristiwa Karbala ini benar-benar dahsyat. Dan sangat miris apabila banyak yg tidak tau apa itu karbala.

Bagaimana mungkin dia tidak mendapatkan porsi perhatian yang lebih dihadapan para pemikir Muslim pada umumnya? Bagaimana bisa Karbala dibicarakan tak lebih dari peristiwa sejarah pada umumnya? Adapun muslim Syiah, mereka memandang peristiwa ini dengan pandangan penuh simpatik (meski agak ekstrem, red). Lalu saya lihat tulisan-tulisan kaum orientalis. Di sanapun tulisan-tulisan mereka hanya berkisar pada aspek-aspek material Karbala dan melupakan sisi-sisi revolusi spiritual dan kemasyarakatan. Bahkan di kalangan Muslim ada yg berpendapat bahwa kesalahan terbesar adalah kebangkitan dan perlawanan Husein itu sendiri (Tak lebih dari konsekuensi politik, red).

"Mereka tak akan pernah mau tahu", kata kiai Jarkoni. "Karena karbala tak mungkin membuat mereka bisa hidup senang2. Karbala itu hari kepedihan, hari kesunyian yg paling sepi dan puncak. Jadi mana mungkin spirit karbala membuat orang bisa ketawa-ketawa bahagia".

_________________________________

"Jika kau tidak menangis ketika mendengar kisah terbunuhnya Husein dibacakan, itu bukan karena kisah itu tdak layak ditangisi tapi karena hatimulah yg membatu dan layak ditangisi."

"Yang menangisi peristiwa Karbala tidak pasti Syiah. Namun yg bergembira atas peristiwa itu sudah pasti bukan sunni".