Rabu, 13 Februari 2019

Kisah Ashabul Kahfi 309tn Sayidinna Ali bin Abi Thalib As

Kisah Imam Ali bin Abi Thalib dan Ashabul Kahfi

Dalam surat Al-Kahfi, Alloh Ta’ala, menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu, kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa as dan Nabi Khidzir as, serta kisah Dzulqornain.

Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam Al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja “Diqyanus” di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah patung dengan seorang raja yang dzolim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan melarikan diri, sehingga mereka sampai di sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Alloh Ta’ala, mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Alloh Ta’ala.

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang diketengahkan secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab Fadho’ilul Khomsah Minas Shikhohis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dinukil dari kitab Qishoshul Anbiya’. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi.

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya’ mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut :

Di kala Umar Ibnul Khottob ra, menjadi Kholifah, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Kholifah: “Hai Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan shohabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau memahami bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi”.

“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Kholifah Umar ra. “Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjuk-kan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin? Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluq yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluq-makhluq itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya? Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh di saat ia sedang berkicau? Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok? Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”

Kholifah Umar menunduk-kan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata : “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan…!”

Mendengar jawaban Kholifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata : “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil..!”

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu : “Kalian tunggu sebentar…! Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib kw. Setelah bertemu, Salman berkata : “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam…!” Imam Ali kw, bingung, lalu bertanya : “ada apa ?”

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Kholifah Umar Ibnul Khottab. Imam Ali kw, segera saja berangkat menuju ke rumah Kholifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rosululloh SAW. Ketika Kholifah Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata : “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil…!”

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Imam Ali bin Abi Thalib kw, herkata : “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rosululloh SAW,. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu…!”

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Imam Ali bin Abi Thalib kw, berkata : “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman…!” “Ya baik…!” jawab mereka.

“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Imam Ali bin Abi Thalib kw. Mereka mulai bertanya : “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit ?

“Induk kunci itu, jawab Imam Ali as, ialah syirik kepada Alloh. Sebab semua hamba Alloh, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Alloh, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Alloh..!”

Para pendeta Yahudi bertanya lagi : “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh..!”Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata : “Orang itu benar juga..!”. Mereka bertanya lagi : “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya?”

“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta” jawab Imam Ali kw. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera” Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi : “Jelaskan kepada kami tentang makhluq yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluq itu bukan manusia dan bukan jin ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Makhluq itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimassalam. Semut itu berkata kepada kaumnya : “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak di-injak injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya”

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya : “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluq yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluq-makhluq itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Lima makhluq itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)”.

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali kw, lalu mengatakan : “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosululloh…!”

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Imam Ali bin Abi Tholib kw, : “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda”

“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan” sahut Imam Ali kw. “Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Alloh. Bagaimana cerita tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi. Ali bin Ali Thalib kw, menjawab : “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. cerita tentang mereka itu sudah dijelaskan oleh Alloh SWT, kepada Rosul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu”.

Pendeta Yahudi itu menyahut : “Aku sudah banyak mendengar tentang Al-Qur’an kalian itu…! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir….!”

Imam Ali bin Abi Thalib kw, kemudian merapikan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang di-ikatkan ke pinggang. Lalu Beliau as, berkata : “Hai saudara saudara Yahudi… Muhammad Rosululloh SAW, kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama “Aphesus” atau disebut juga dengan nama “Tharsus”. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama “Diqyanius”. Dia seorang raja kafir yang amat Sombong dan dzolim. dia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Akhirnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana”.

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya ?”

Imam Ali kw menerangkan : “Hai saudara saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para petinggi dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala”. Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata : “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat ?”

“Hai saudara saudara Yahudi”.. kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.

Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri”.

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata : “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu ?”

Imam Ali kw, menjawab : “Kekasihku Muhammad Rosululloh SAW, menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja. demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai sombong, durhaka dan dzolim. Dia mengaku-aku diri sebagai “Tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Alloh Ta’ala.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa menerima kemauan raja. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Alloh Ta’ala.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, yang ingin melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan, seorang yang pintar bernama Tamlikha, memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati : “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan”.

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya : “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum ?” “Teman-teman…” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur”.

Teman-temannya mengejar : “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha ?” “Sejek lama aku memikirkan soal langit” ujar Tamlikha menjelaskan. Aku lalu bertanya pada diriku sendiri : “siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah ? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?”Kemudian kupikirkan juga bumi ini : “Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala ? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring ?” Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri : “Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku ? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku ? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius…“

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata : “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua?” “Saudara-saudara…” kata Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzolim itu, menuju kepada Raja pencipta langit dan bumi..” “Kami setuju dengan pendapatmu…” sahut teman-temannya. Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya : “Saudara-saudara, kita sekarang sudah bebas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Alloh akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar”.

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya : “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?” “Aku mempunyai semua yang kalian inginkan” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana kalian itu ?” “Ah.., susahnya orang ini..” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?” “Ya..” jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata : “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian”.

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti menunggu. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, di-ikuti oleh seekor anjing miliknya.

Waktu cerita Imam Ali kw, sampai di situ, salah satu pendeta Yahudi bergegas berdiri dan bertanya lagi, sambil berkata :

“Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya ?”

“Hai saudara saudar Yahudi…” kata Imam Ali bin Abi Thalib kw, memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rosululloh SAW, menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya : kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita ? Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali : “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Alloh, tak ada yang menyekutukaNya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT..”

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata : “Apakah nama bukit itu dan apakah nama gua itu?” Imam Ali kw, menjelaskan : “bukit itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram”

Imam Ali kw, melanjutkan ceritanya… secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT, memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. masing-masing orang dari mereka Allah SWT, menugaskan dua Malaikat untuk membolak-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah SWT, lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata : “Kalau aku ingin menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggil-lah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari..” Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan serabuk (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya : “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu”.

Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah Ta’ala, mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya : “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Alloh, mari kita pergi ke mata air”.

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT, membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan ? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi”.

Tamlikha kemudian berkata, “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini…”

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah…”

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, “Kusangka aku ini masih tidur..” Setelah agak lama memandang dan mengamati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjual roti, “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini ?” “Aphesus” sahut penjual roti itu.

“Siapakah nama raja kalian ?”tanya Tamlikha, “Abdurrahman,” jawab penjual roti. “Kalau yang kau katakan itu benar…” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali.. Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku..” Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman dulu, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib kw, “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru…”

Imam Ali kw, menjelaskan, “Kekasihku Muhammad Rosululloh SWT, menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru..”

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya : Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, “Aduhai, alangkah beruntungnya aku..! Rupanya engkau baru menemukan harta karun..? Berikan sisa uang itu kepadaku..! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja..?” “Aku tidak menemukan harta karun…” jawab Tamlikha, “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham, Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius…!”

Penjual roti itu marah. Lalu berkata, “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku…? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam..! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku..?”

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, “Bagaimana cerita tentang orang ini…?”

“Dia menemukan harta karun..” jawab orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata, “Engkau tak perlu khawatir..! Nabi Isa as, memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu, Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat…” Tamlikha menjawab, “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun…! Aku adalah penduduk kota ini…!” Raja bertanya sambil keheran-heranan, “Engkau penduduk kota ini…?” “Ya.. Benar” sahut Tamlikha., “Adakah orang yang kau kenal ?” tanya raja lagi. “Ya.. ada,” jawab Tamlikha. “Coba sebutkan siapa namanya…?” tutur raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan saat itu. Mereka berkata, “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini ?” “Ya.. tuanku..” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”. Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, “Inilah rumahku..!”

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, “Kalian ada perlu apa ?”

Kami utusan raja yang menyertai Tamlikha, Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya…! Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamati dia bertanya, “Siapa namamu ?” “Aku Tamlikha anak Filistin…!” Orang tua itu lalu berkata, “Coba ulangi lagi…!” Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berkata, “Ini adalah datukku..! Demi Alloh, Dia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius raja durhaka” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, “Dia lari berlindung kepada yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali…!”

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua. Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali kw, melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka…”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, “Puji dan syukur bagi Alloh yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius…” Tamlikha mengelak, “Ada urusan apa dengan Diqyanius ? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini ?” “Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja” jawab mereka. “Tidak…!” sangkal Tamlikha, “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun..! Diqyanius sudah lama meninggal dunia..! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Alloh yang Maha Agung..! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian…!”

Teman-teman Tamlikha menyahut, “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad ?”. jawab Tamlikha, “Lantas apa yang kalian inginkan ?” Tamlikha balik bertanya, “Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga” jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, “Ya Alloh, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain…!”

Alloh Ta’ala, mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Alloh SWT, melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Alloh SWT, Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Alloh kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku..! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu”. Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku..! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu”. dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib kw, berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian ?”

Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun..! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi, …Bahwa tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah hamba Alloh serta Rosul-Nya.. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini…!”

Dinukilan dari kitab Qishosul Anbiya yang tercantum dalam kitab “Fadho’ilul Khomsah” Minas Shihohis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadho Al Faruz Aabaad. [KbrNet/Slm]

Jumat, 08 Februari 2019

INOVASI

INOVASI. Mengamati perubahan desain, kemasan, gramasi dan sensitif harga dalam dunia usaha itu asyik dan menarik.

Shampo dan deterjen yg kemasan saset dan refil sudah buanyak sekali inovasi dan kreasi tetapi jarang konsumen sadari.

Hal kecil dan sepele biasanya emang jrang sadari dan cermati, baru ketika kesandung "tibo dabruk", baru ngerti.

Kemasan detergen kiloan, tengahan dan saset sudah berkembang karana gramasi yg terus diinovasi. Kiloan jd 900-800g, tengahan jd 400-350g, kemudian muncul inovasi baru 650-700g, hingga angka psikologis 10-5ribu beegeser 5-10-15ribuan.

Utak-atik kreatif kreatifitas itu tak terbatas untuk terus melakukan inovasi perubahan, dan konsumen yg cm mengkonsumtif seperti di cocok hidungnya nurut ajah.

Shampo sasetpun begitu juga gak mau ketinggalan baca peluang. Setelah berendeng dempet sukses tembus harga seribu dari 500 serta 250 jd 500 selain bonus kini muncul lagi baru kemasan sewu telu (1000-3).

Angka 500,1000,5000 dan 1000 ini emang menarik untuk inovasi penjualan paket produk satuan dan rata2 konsumen mudah kegiring untuk terus menerus mengkonsumsi.

Bagaimana untuk produc lain, yg volume dan nominal rupiahnya lebih besar?

Gampang, tinggal volume plus nolnya, diinovasi, ditambahi menyesuaikan saja.

Simple.

#Wongbakulan \M/