Selasa, 27 September 2016

"Kemana anak anak itu ?"

Selamatkan Bumi Nusantara !

Ke mana… berkah gemah ripah loh jinawi itu.…!
Ke mana… jati diri bangsa yang dilahirkan oleh budi pekerti luhur itu…!
Ke mana… sejarah Nusantara yang jujur tanpa kebohongan itu….?
Di manakah bangsa besar yang dibangun dengan harta, dengan tetes darah & kematian…?
Di manakah bumi pertiwi yang dilahirkan oleh sejarah duka & gelimang air mata… ?
Ke mana !!?

Siapa yang tega hati merusak budaya dan jatidiri bangsa ini...?
Siapa yang berani-berani khianati pengorbanan para pahlawan
dan leluhur perintis bangsa ini ?
Siapa yang nekad membuang, mencuri… merusak….
dan merampok kekayaan dan pusaka warisan bumi pertiwi ?
Nusanntaaraaa…..telah dihianati bangsanya sendiri..!
Nusannntaaraa…..yang sedang menderita duka dan lara !!

Kami, adalah anak-anak negeri yang telah ditinggal pergi !
Oleh sang ibu bumi pertiwi yang indah bagai taman surgawi !
Oleh bapa Nusantara yang penuh berkah & cinta kasih pada sesama !
Oleh bangsa yang penuh toleransi pada semua pendatang & agama !

Ke mana…..?

Yang bernama rasa bangga menjadi rakyat Indonesia...
Yang bernama jiwa-jiwa patriot pahlawan bangsa...
Yang bernama sifat memelihara pusaka warisan sejarah Nusantara...
Yang bernama rasa hormat dan menghargai para leluhur perintis bangsa…
Ke mana...?!!!

Aku melihat anak-anak negeri ini laariii tuunggang-langgang…
Anak-anak negeri ini dideraaa oleh rasa taakutt yang meenceekaam....
Anak-anak negeri ini menjadi budaaak di tanah-airnya sendiri…
Aku melihat para penguasa itu beeertiaraapp... di bawah kezaliman
Aku melihat negeri ini nguuummmpett di balik keserakahan zaman
Apakah hati nurani Negri ini, teelahhh mmmaaatii…. ??!!

Kematian adalah hukum alam…..
Kecuali jika dirampas hak untuk menentukannya..
Kematian tidak untuk diratapi…
Tetapi apa yang menyebabkan kematian itulah,… yang harus kita ketahui...
Nyawa hak untuk memahami jati diri bangsa,
Nnyawwa hak hidup tenteram di negerinya sendiri,
Nnyawwa hak menjadi tuan di negerinya sendiri
Nnyawa kewajiban saling berbagi kasih pada sesama,
Nyawa kesadaran untuk meraih cita-cita luhur para perintis bangsa,
Nyawa amanat untuk memelihara & menjaga pusaka warisan Nusantara

Nnyawwa…..nnyawwa….. nnyawwa…
Nnyawwa itu dipancarkan dari Sang Jagadnata,
dijaga dan dipelihara dalam hukum tata keseimbangan alam,
Nyawa setiap manusia,
Nyawa setiap tumbuhan,
Bahkan nyawa setiap binatang yang melata,
Dijaga oleh Ruh Jagad Agung dalam tata keseimbangan kosmos

Ruh jagad agung bersungguh-sungguh mengurusi setiap nafas makhluk hidupNya…
Ruh jagad agung menyayangii… dengan sepenuh hati setiap kehidupan yang menempati persemayamannya di setiap ruang ……
Taapii mereka menganiayaa pada sesama ………!
Mereka mme-ru-sak apa yang bukan miliknya…!
Mereka menginnnjaaak martabat manusia !
Bahhkan terhadap bangsanya sendiri, mereka memalingkan haaatii…!!

Duhhh Gustiiiiiii....sang Jagadnaata,
Apa sihh yang nancap di ubun-ubun kesadaran bangsa ini ?
Di akal pikiran bangsa ini ?
Di hati nurani bangsa ini ?
Hingga bangsa ini rrrajinn tanamkan kebencian & keserakahan,
Bukannya ketentraman & kasih sayang,,,,,

Maiyah Nusantara Ngawi
#tadabburan #maiyah #ngawi #warokaprawiran
Emha Ainnun Nadjib

"TABAYUN DI ERA MEDSOS !!"

Jika di kerumunan pasar tiba-tiba ada yang berteriak "Coppeetttt" sambil menunjuk ke anda, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, Kerumunan akan serentak menghakimi anda, tanpa sempat lagi melakukan verifikasi: benarkan anda copetnya? atau yang lebih krusial lagi, benarkah dompet ibu di sebelah anda itu hilang karena dicopet atau ibu tersebut ketinggalan dompetnya di rumah.

Sayangnya skenario di atas juga terjadi dunia medsos. Meski sudah menggunakan smartphone tapi kita hakikatnya tidak lebih dari kerumunan di medsos: yang bersikap reaktif tanpa sempat melakukan verifikasi. Dalam bahasa agama, kita gagal melakukan tabayun terlebih dahulu sebelum bereaksi yang konsekuensinya bisa merugikan pihak lain.

Dalam sekali pencet di layar smartphone sejumlah ajaran akhlak yang diajarkan Nabi dilanggar seketika: harus tabayun, jangan ghibah, jangan mencari-cari kesalahan saudaramu, jangan memberi label atau panggilan yang buruk, jangan mudah mengkafirkan orang lain, jangan menuduh saudaramu, jangan merusak kehormatannya dengan mempermalukan di depan umum, jangan debat kusir, jangan bersikap kasar, jangan bersikap sombong, jangan menganggap dirimu suci, dan seterusnya.

Pada dasarnya berteriak "coppeettt" di pasar atau melabeli orang dengan berbagai panggilan yang buruk serta menuduh orang lain atau mencaci makinya adalah mekanisme pertahanan diri kita. Kita panik karena dompet kita tidak ada, dan serta merta menuduh orang di dekat kita. Kita kalah argumentasi dan tidak mampu membantah argumen orang lain, maka mekanisme pertahanan diri kita segera muncul: serang saja pribadi lawan diskusi kita. Diskusi di medsos menjadi sama riuh dan berisiknya seperti diskusi di pasar. Gayanya saja kita pakai smartphone saat diskusi padahal cara kita berkomunikasi masih berupa kerumunan yang saling berteriak dan memunculkan mekanisme pertahanan diri.

Kita juga cenderung mempercayai sesuatu yang memang kita ingin percayai. Kalau ada berita jelek atau berita baik tentang seorang tokoh, tanpa berpikir dua kali, kita langsung forward atau share berita tersebut, sesuai isi hati kita yang senang atau benci dengan tokoh tersebut. Jadi, yang menentukan itu bukan benar atau tidaknya isi berita tapi apakah kita senang atau benci dengan tokoh yang dibicarakan itu. Ini yang namanya bias.

Dalam bahasa ayat ilahi, kita diingatkan untuk bersikap adil meski terhadap kelompok atau orang yang tidak kita sukai. Dalam bahasa Pram novelis keren itu, kita diminta untuk adil sejak dalam pikiran, karena pikiran itu yang akan menentukan tindakan kita selanjutnya.

Anehnya lagi, kalau ada Kiai atau Guru Besar yang posting di medsos, banyak sekali yang tanya: mana dalilnya? ada referensinya gak? itu ceritanya ada di kitab apa? itu hadisnya sahih enggak? Ada yang memang genuine bertanya untuk bisa membaca lebih lanjut, namun ada yang memang hendak mempersoalkan postingan tersebut. Tetapi kalau ada berita 'menarik' di medsos, mereka langsung forward atau share, gak peduli itu berita hoax atau sungguhan. Mereka tidak lagi bertanya: ini bener gak sih?

Kalau soal agama, sibuk nanya dalil, tapi kalau menyebar berita hoax, gak nanya lagi langsung share. Maka postingan agama yang mengajarkan kebaikan menjadi kalah cepat dengan postingan yang menghembuskan kebencian.

Intinya bukan soal dalil, tapi soal perasaan anda saja: senang atau benci. Meskipun didatangkan bukti 10 kitab tafsir lengkap dengan screenshot teks arab langsung, anda gak akan percaya. Tapi hanya dengan satu gambar meme yang mengolok-olok dan cocok dengan isi hati anda, maka anda langsung klik share, gak peduli apakah itu gambar editan atau asli. Mantranya di medsos: gak cocok, tanyakan dalilnya; kalau cocok gak usah pakai klarifikasi dan verifikasi, langsung sebar saja.

Dalam kerumunan, seringkali kita terpaksa harus membela diri menggunakan logika kerumunan yang sama. Kita harus lebih smart ketimbang smartphone kita. Tidak bisa polos dan lugu.

Di dalam cafe yang terlihat hampir penuh, seorang bapak mendekati meja dimana duduk seorang perempuan muda. Kursi sebelahnya kosong, maka dengan sopan bapak tersebut bertanya:

"Maaf, kursi ini kosong? boleh saya duduk di sini?"

Tiba-tiba perempuan muda itu berteriak keras sehingga semua pengunjung mendengarnya dan segera melihat ke arah mereka berdua:

"Apa???? Bapak mencoba menawar saya? Dasar lelaki tua gak tahu diri! Kamu pikir saya perempuan murahan?!"

Merah padamlah muka si bapak itu. Di bawah tatapan pengunjung cafe, bapak itu kemudian berdiri di pojok menanti kursi kosong.

Setelah beberapa saat, perempuan muda itu bangkit dan mendekati bapak tua itu:

"Maaf Pak. Saya sedang bekajar akting, Saya tidak bermaksud membuat bapak malu"

Tiba-tiba Bapak itu berteriak kencang yang terdengar oleh semua pengunjung cafe:

"Apa?? cuma seratus ribu per jam? murrraah sekali harga anda! Dasar perempuan murahan? Saya gak mau!!!!"

Tabik,

#lawangNgelmu
Sumber dari :
Nadirsyah Hosen
Monash Law School

Jumat, 16 September 2016

Filsafat

PENGANTAR FILSAFAT ISLAM (I)
Oleh : Binarga Guchany

Banyak yang mengatakan apa ada Filsafat Islam? Apakah Rasulullah Muhammad SAAW pernah mengajarkan filsafat dalam dakwahnya selama 23 tahun di tanah arab? lalu kenapa bisa Filsafat digabung dengan Islam di dalam satu term. Bukankah itu terlihat oxymoron (term atau frase yg absurd seperti meja terbang, kuda bersayap, anjing bersirip dan sebagainya). Kita akan bahas istilah itu satu persatu yaitu apa itu Filsafat dan apa itu Islam sehingga kita bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan Filsafat Islam itu disini.
Kata Filsafat adalah terjemahan dari Philosophy yang terdiri dari kata Philos dan Sophia. Philos berarti cinta, dalam ilmu kimia ada istilah hydrophil dan hydophob, hydrophil adalah zat-zat yang cinta dengan air atau mudah bercampur dengan air sedang hydrophob adalah zat-zat yang sukar bercampur dengan air. Di dalam ilmu Psikologi ada istilah Acrophobia atau orang-orang yang takut akan ketinggian. Sedang Sophia itu berarti hikmah atau kebijaksanaan. Pada zaman Yunani Kuno dahulu, banyak orang-orang bijak/yang berilmu tinggi dan luas disebut Sophist. Ringkasnya Filsafat adalah Ilmu tentang cinta hikmah/kebijaksanaan dan orang yang menguasai ilmu ini disebut Filosof atau Orang-orang yang cinta hikmah/kebijaksanaan.
Lalu Filsafat itu termasuk dalam Sains atau bukan?Seperti skema pengetahuan Barat Modern dimana Filsafat masuk ke dalam Department Arts? Kalau Sains maka dia akan terikat dengan metode-metode baku sains yang ilmiah (saintifik) yang mulai dari Karakterisasi (Pengamatan dan Pengukuran), Hipotesis (penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil pengamatan dan pengukuran), Prediksi (deduksi logis dari hipotesis) dan semuanya tidak akan lengkap tanpa Eksperimen, Semua itu harus dibuktian secara eksperimen baik di laboratorium atau diluar baik menggunakan data statistik atau bukan. Dan diluar dari metode itu maka pengetahuan/ilmu adalah tidak ilmiah. Dan kalau sudah tidak ilmiah maka menurut pandangan pengetahuan Barat Modern maka pengetahuan itu tidak benar/tidak objektif/prasangka/mitos/takhyul/ khayalan. Apakah itu benar? Mari kita tela’ah lebih jauh.
Nah, lalu Islam adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAAW, Nabi terakhir yang dianggap penutup dan penyempurna dari Agama Samawi yang diturunkan oleh Allah SWT sejak awal abad ke 7 Masehi. Ada banyak ilmu-ilmu yang membahas masalah ajaran ini diantaranya Kalam (Teologi), Fikih (Syari’ah), Ilmu Rijal (Hadiist),Akhlak Aqidah dan lain-lain. Dalam Ilmu Kalam ini ada yang dikenal Aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah (Sunni), Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij dll. Dalam Fikih ada 5 Mazhab di dunia yaitu: Ja’fari (Imam Mazhab yang paling tua/guru dari semua Imam Mazhab lainnya), Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i. Dari kesemua aliran itu, semua para tokoh Ulama/pemimpin Islam sepakat bahwa orang Islam itu adalah orang yang percaya Allah SWT itu Tuhannya, Nabi Muhammad SAAW nabi terakhir dan penutup ajaran Nya dan kepercayaan kepada Hari Akhir/ Hari Kebangkitan (Ma’ad).
Oliver Leaman, Ahli Filsafat Islam dari Barat dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy mengatakan bahwa Filsafat Islam dapat didefinisikan dalam banyak cara,’ Islamic philosophy may be defined in a number of different ways, but the perspective taken here is that it represents the style of philosophy produced within the framework of Islamic Culture. This description does not suggest that it is necessarily concerned with religious issues, nor even it is exclusively produced by Muslims”. Jadi , jauh sebelum Barat menguasai Peradaban Dunia sejak dimulainya Revolusi Industri atau sejak Filsuf Rene Descartes dia akhir abad ke 16 mengajukan teori filsafatnya “Cogito Ergo Sum”, Muslim sudah menguasai Peradaban yang tinggi di dunia ketika Barat justru dalam keadaan jahiliah/kegelapan/kebodohan.
Peradaban Islam ini dibangun dengan tradisi ilmiah berfilsafat yang diadopsi dari kebudayaan Yunani Kuno sejak Socrates, Plato, Archimedes, Aristoteles dan lain-lain. Routledge’s Encyclopedia mendaftar ada 34 Major Islamic Philosphers mulai dari Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kinidi (wafat antara 866-873 M) hingga Filosof Muslim kontemporer Muhammad Iqbal dari Pakistan (hidup 1877-1938M). Diantara itu bisa kita sebutkan nama-nama besar Filosof Muslim yakni: Ibn Sina (hidup 980-1023 M), Ibn Rushd (hidup 1126-1198 M), Al-Ghazali (hidup 1058-1111), Suhrawardi (1154-1191) dan tokoh paling monumental di dunia filsafat Islam yakni Mulla Sadra (hidup 1571-1640 M). Masih banyak lagi filosof yang telah berkonstribusi terhadap perkembangan Filsafat Islam baik itu dari Musim, Nasrani maupun Yahudi, Penulis buku “Sejarah Filosof Muslim” yaitu MM. Syarif adalah seorang Nasrani berkebangsaan Mesir. Jadi Filsafat Islam bukan melulu membahas ajaran Islam yang diilhami dari topic-topik yang digali dari Alqur’an dan Hadist, bukan melalu mengadopsi topic-topik yang diajukan oleh filosof Yunani Kuno tentang substansi, bentuk (form), materi, aksiden, bahkan Filosof Muslim memperluas lingkup pembahasan Filsafat secara umum dan ternyata Filsafat ini telah membangun peradaban dunia selama 11 abad.

Wallahu ‘alam bi shawab.

Jumat, 09 September 2016

Maiyah (syech Kamba)

Maiyah Dalam Perspektif Sufisme

Kosakata ‘maiyah’ dalam bahasa Arab berarti: dalam keadaan bersama atau kebersamaan yang tak terlepaskan, the endless togetherness (kalau boleh menggunakan kosakata seperti ini). Dalam tradisi sufisme maiyah berarti maiyatullah, bersama Allah yakni makna yang bersumber dari keadaan yang dialami rasulullah Muhammad SAW dan sahabatnya, Abu Bakar ra tatkala berada di dalam gua tsaur ketika sedang dikejar musuh dimana Muhammad SAW menyatakan kepada sahabatnya “Allah bersama kita”; sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surah at-Taubah : 40.

Literatur tasawuf cukup kaya akan bahasan mengenai ayat 40 surat at-Taubah ini karena pertanyaan yang menggelitik adalah bahwa sosok Abu Bakar bukanlah pengikut biasa melainkan orang yang oleh Nabi sendiri diakui keimanannya yang prima sehingga tidak layak berasumsi bahwa Abu Bakar dirundung ketakutan dan kekhawatiran apalagi kesedihan menghadapi situasi yang ada. Lagi pula tidak ada informasi yang akurat baik al-Quran maupun Hadist yang menggambarkan bahwa Abu Bakar saat itu mengeluh kepada sahabatnya apalagi secara fisik menyatakan rasa sedih. Tetapi mengapa kemudian Muhammad SAW berkata kepada sahabatnya: “jangan bersedih, Allah bersama kita”?.

Boleh jadi ungkapan ini tidak mesti dipahami dengan pola hubungan sebab akibat sehingga tidak dengan cara empiric dimaknai jangan bersedih karena Allah bersama kita. Pemaknaan sufisme terhadap kesedihan yang mungkin ada dalam diri Abu Bakar tidak terkait dengan pribadinya tapi tertuju pada apa-apa yang akan menimpa mereka yang memerangi dan mengejar Muhammad, seakan-akan Abu Bakar berkata: ‘saya bersedih jika kemudian orang-orang itu mencederaimu wahai Rasulullah, maka tertimpa azab yang tak berkesudahan’. Ini tentu disebabkan oleh pengetahuan Abu Bakar yang sudah mencapai taraf ainulyaqien siapa sesungguhnya Muhammad. Dari pihaknya Nabipun hanya mengingatkan “Allah bersama kita” dalam pembebasan mereka yang menjadikan dirinya musuh Muhammad dari malapetaka apapun; seperti halnya sikap beliau menghadapi penyiksaan penduduk Makkah ketika telah mencapai titik kulminasi sampai-sampai malaikat Jibril as menawarkan apa perlu mengangkat Jabal Qubais untuk ditimpakan kepada mereka dan tamat riwayatnya? Lalu dijawab oleh beliau Nabi “Oh jangan, karena aku berharap mereka melahirkan anak-cucu keturunan yang mampu memahami misi ini dan menjadi pejuang melanjutkannya”; Subhanallah, shallallahu alaika ya sayyidi ya Rasulullah.. Pengertian maiyah sebagaimana yang dipahami kaum sufi dari ayat 40 surat at-Taubah bukan untuk membangun sifat defensive melainkan gagasan ‘pembebasan’ yang didasarkan kepada cinta kasih sesame sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kepercayaan yang mendalam terhadap misi perjuangan. Bukanlah kebetulan bahwa ‘maiyah’ muncul dalam konteks proses hijrah karena pada dasarnya momentum hijrah menjadi tonggak transisional dalam metodologi dan pendekatan dakwah yang digunakan Muhammad dalam misinya.

Selama kurang lebih satu dasawarsa beliau mendebat penduduk Makkah tentang tauhid, namun hasilnya tidak signifikan. Sejak dahulu bahkan hingga sekarang penduduk Makkah adalah manusia-manusia materialistic sehingga sulit memahami dimensi-dimensi ideologis, seperti sikap mereka yang tak habis pikir mempertanyakan misalnya buat apa Muhammad mengajarkan persaudaraan sesama manusia diluar hubungan darah dan suku bangsa? Oleh karena itu, di Madinah Muhammad tidak lagi melakukan perdebatan tauhid tetapi memberikan contoh kongkrit bagaimana konstruksi dan struktur masyarakat yang diinginkan Islam sesungguhnya; bagaimana manusia hidup saling mengasihi dan saling mengerti, bersatu membangun dan mempertahankan kedaulatan Madinah, ibarat pepatah Indonesia: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Hasilnya, dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa tidak saja berbondong-bondongnya penduduk Makkah bergabung ke Madinah tetapi Muhammad telah membangun basis kekuatan politik, ekonomi dan militer yang tak tertandingi di semenanjung Arabia.

Kelompok sufi – kalau tidak disebut sebagai aliran – yang lebih dikenal amat ketat mempraktekkan konsep maiyah seperti ini adalah aliran al-Malamatiyah di Khurasan pada abad ke-3 dan ke-4 H. berdasar prinsip ietsaar yang mengacu pada ayat 9 surah al-Hasyr, persaudaraan al-Malamatiyah dibangun diatas sikap pengorbanan diri sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealism alfutuwwah yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul kahfi. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyah dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Junaeid hingga Ibn Arabi.

Muhammad Ainun Nadjib dan Maiyah

Tidak ada kaitan formal yang dapat dijadikan alasan akademis maupun intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang Muhammad Ainun Nadjib yang lebih akrab disapa Cak Nun, dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideologi yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh dan ajaibnya, pemikiran apapun yang terkandung dalam literatur tasawuf bisa dengan gampang dan gamblang Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topik yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di hadapan profesor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.

Maiyah yang secara kreatif atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ihklas dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsaur dan momentum hijrah Nabi, merupakan kreasi sufistik Cak Nun yang jika disandingkan dengan gerakan-gerakan sufi dalam sejarah, menempati posisi setara dengan kaum malamatiyah. Jamaah Maiyah sebagaimana pengikut malamatiyah menjadi tempat berteduh masyarakat umum dalam menghadapi kezaliman ataupun kesewenang-wenangan pemerintah ataupun publik. Bahkan jamaah Maiyah sebagaimana jamaah Malamatiyah cenderung mempraktekkan ‘rasa bahagia’ dan sikap ‘menikmati’ ketidak-adilan dan penderitaan yang dialaminya.

Dengan demikian maka Cak Nun dengan jamaah Maiyahnya sesungguhnya merupakan nikmat bagi pemerintah dan Negara Indonesia. Forum-forum Maiyah Cak Nun telah menjadi danau serapan bagi banjir kebencian masyarakat. Maiyah menjadi ‘GEGANA’ penjinak bom yang setiap saat dapat meledak gara-gara ketidak-adilan dalam masyarakat. Maiyah menjadi jembatan perdamaian bilamana terjadi konflik antara kelompok masyarakat. Lebih dari itu, Maiyah menjdai ‘sekolah’ kehidupan yang memberikan pendidikan kearifan hidup.

Meski peran sosial dan kultural yang dimainkan jamaah Maiyah begitu besar artinya bagi stabilitas politik dan keamanan nasional Indonesia, namun Cak Nun tidak mendapat penghargaan, apresiasi maupun terima kasih dari pemerintah. Dan tentu Cak Nun tidak pernah mengharapkan apapun dari siapapun kecuali kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena beliau mempraktekkan ayat 9 surah al-Insan. Namun tentunya tetap tergantung kepada kehendak dan keinginan Allah terhadap bangsa Indonesia ini. Jika Allah kemudian menutup ‘danau’ Maiyah, membubarkan ‘gegana’ Maiyah, merontokkan ‘jembatan’ Maiyah dan menutup ‘sekolah’ Maiyah, maka revolusi takkan terhindarkan. Dan jika saatnya tiba Allah pun takkan segan-segan memerintahkan Cak Nun mendeklarasikan ‘perang badr’ dan menggerakkan balatentara yang tak terlihat dan yang sudah cukup lama stand by. Wallahu a’lam.

Jakarta, 23 Desember 2009