Senin, 24 Oktober 2016

Tirakatan !

Tirakat Keramat

“Tirakatmu menentukan masa depan suamimu”

::: Ny. Hj. Noor Khadijah Chasbullah :::

Ketika mendengar kata “tirakat”, ada sebagian orang, kelompok, jamaah, yang secara otomatis menyorotkan LCD otaknya pada kanvas “devinisi”. Lantas dari LCD itu terpotetlah gambar ritual-ritual tertentu seperti puasa sehari semalam dan rangkaian aktivitas yang terlihat melelahkan, menyiksa diri sendiri, terkesan tidak mensyukuri nikmat Allah. Pemahaman yang demikian bukanlah sebuah kesalahan. Dari satu sudut, memang demikianlah kesan yang bisa dijumput. Itu, ketika “tirakat” dipahami secara sempit.

Ma hiya attirakatu ?

Sepanjang pengetahuan saya, “tirakat” merupakan kosa kata Arab, “taraka”, yang berarti meninggalkan ! Entah bagaimana mulanya, sampai bermetamorfosis dan dibakukan sebagai bahasa Indonesia, Jawa. Hampir semua orang Indonesia tidak asing dengan kata “tirakat”. Kalau Anda penggemar lagunya Acha Septriasa, akan menemukan bait, “tirakatku hanya untuk cinta’.

Orang-orang tua zaman dulu (entah kalau zaman sekarang) sering menganjurkan kepada anak-anaknya, “tirakato ben uripmu mulyo, tirakatlah agar mendapatkan kemuliaan hidup”. Kalau ada jejawa (jejaka tua) atau gawa (gadis tuwa) yang tak laku-laku kemudian berpuasa sunah, misal senin dan kamis, ada saja teman, atau tetangga yang komentar, “puasa terus, tirakat ya ? biar dapat jodoh”. Ketika masih pelajar dan saya rajin puasa senin kamis, ada saja yang tanya, “Kok puasa terus, biar sukses ya ?”

Dalam skala macro sejatinya tirakat tidak terbatas pada lelaku “puasa”. Sepemahaman saya, tirakat adalah meninggalkan (mengabaikan) segala sesuatu yang mubah (diperbolehkan) untuk mendapatkan ridha Allah. Contoh, bukan sebuah dosa ketika pada hari senin dan kamis tidak melakukan puasa. Bukan sebuah dosa pula jika sepanjang malam tidur dan tidak melakukan shalat tahajud. Anda bisa mencari contoh lain !
Namun jika rutin melakukan puasa sunah atau shalat tahajud tentu akan mendapatkan “hadiah” yang berbeda dengan tidak melakukan.

Bukankah ( logika) tahajud akan mengantarkan pada kedudukan yang mulia, maqaman mahmuda. Niat tirakat yang lillahi ta’ala akan menjadi kunci pembuka pintu langit. Dalam pandangan saya, ketika nawaitunya lillahi ta’ala hasil dari tirakatnya pun akan mengagumkan !

Hadratus Syaikh K.H. Dimyathy bin Abdullah Tremas (adik dari Hadratus Syaikh K.H. Mahfudz Tremas) ketika mengemban amanat melanjutkan estafet perjalanan PIP TREMAS tak pernah lupa bermunajat memohon kekuatan dan kemanfaatan ilmu. Selain berdoa, Mbah Dim mengiringi dengan lelaku puasa tiga tahun. Tahun pertama Mbah Dim niatkan untuk nirakati santri-santrinya. Tahun kedua untuk anak dan cucunya. Sedangkan tahun ketiga untuk anak dan cucunya.

Berbuahkah tanaman tirakat Mbah Dim ?

Tentu saja. Sekali lagi, setiap niat yang tulus dan pengorbanan yang ihlas akan menghasilkan panen kebajikan dalam sinaran ridha Allah SWT.

Habib Luthfi bin Yahya mengatakan, “99,9 persen santri Mbah Dim menjadi kiai yang berpengaruh, ‘allamah, dan mewarnai zamannya”. Beberapa ‘ulama’ yang akan saya sebut ini bisa menjadi bukti kekuatan tirakat ! Sayyid Hasan bin Abdullah Ba’abud (santri yang kemudian menjadi menantu). K.H. Habib Dimyathy, K.H. Haris Dimyathi, K.H. Hasyim Ihsan (tiga serangkai pengasuh PIP Tremas), K.H. Hamid Dimyathi, Abuya Dimyathi (Banten), Mbah Abdullah Hadziq (Mayong), Mbah Arsyad (Benda, Cirebon), Mbah R.Muhammad (Betengan, Demak), Mbah Jazuli (Ploso), Mbah Ali Mahrus (Lirboyo), Mbah Ma'sum(Lasem), bersama putranya Mbah Ali Ma'sum (Krapyak), Mbah Munawwir (Krapyak), Mbah Muntaha (Kalibeber, Wonosobo), Mbah Umar Syahid(Donorojo, Pacitan).

Laku tirakat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan berdampak besar kepada yang ditirakati. Kekuatan yang dihasilkan dari membatasi diri terhadap dunia bagaikan anak panah yang menuju kepada sasarannya. Semisal, ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi shalih dan bermanfaat. Cara yang ditempuh adalah dengan cara membatasi diri dari hal-hal yang mengundang murka Allah. Setiap malam, sebisa mungkin, rasa kantuk dan lelah di lawan untuk bersujud, bersimpuh, menengadahkan tangan, memohon kepada Allah SWT untuk kebaikan sang anak. Tak cukup sampai disitu, anak yang masih tertidur pulas, dihampiri dan dibacakan ayat suci, misal Al Qadar diiringi shalawat nabi dan ditiupkan pada ubun-ubunnya. Terlebih, jika siang harinya diiringi dengan berpuasa. Usaha lahir batin yang utuh ini, pada ahirnya akan menarik partikel-partikel semesta untuk menyatu dan menjelma menjadi hembus dukungan, mestakung, semesta`mendukung.

Sekedar kisah : kakak bulek saya, adalah orang yang rajin berpuasa. Setahu saya, hari-harinya selalu diisi dengan puasa. Kebetulan namanya seperti nama saya, Imam. Kebiasaan puasa atau hidup prihatin telah dijalaninya sejak muda, nyantri. Pak Imam ini adalah pribadi yang cenderung pendiam. Berbeda dengan adik-adinya. Bicara ya sakmadyo. Saya menaruh keyakinan, Pak Imam mengamalkan suatu anjuran, “jika berbicara tanpa manfaat, maka diam adalah pilihan yang tepat”.

Tempaan tirakat yang dilakukan secara konsisten membawa dampak besar dalam kehidupannya. Ia menjadi sosok yang bermanfaat bagi lingkungannya. Rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Kedua anaknya menjadi generasi yang Islami, shalih dan shalihah. Saya teringat, ketika suatu ketika masuk waktu shalat dhuhur. Anak keduanya segera menemui sang ayah di ruang tamu dan berkata, “Yah, sudah masuk shalat dhuhur. Kita jamaah dulu yuk”. Bayangkan jika pembaca menjadi orang tua dari anak itu. Betapa bahagianya hati mendapati permata hati demikian taat menjalankan perintah Allah. Ketika di luar sering kita melihat demikian sulit orang tua mengajak anaknya untuk shalat. Anak yang berusia 7 tahunan mengajak orang tua untuk shalat.

Urusan prestasi ? Tak perlu dipertanyakan lagi. Anak pertamanya, ketika saya menulis catatan ini masih di Pondok Modern Gontor. Saya tidak tahu prestasi apa yang diukirnya di pesantren itu. Hanya saja, ketika masih SD ukiran prestasi telah diukirnya. Bahkan dia memperoleh prestasi tiga besar tingkat provinsi sebagai siswi dengan nilai ahir nasional tertinggi. Mungkin ada yang bertanya dan menyangka sang anak bersekolah di tempat bonavide. Zaman saya kuliah dulu, pada tahun 2006-an masih berlaku RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Sang anak sekolah di lembaga yang biasa-biasa saja.

Tapi, sekali lagi, prestasinya mengalahkan anak-anak yang mengenyam pembelajaran di sekolah favorit !

Saya menaruh keyakinan, bahwa rentetan prestasi itu bukan dimonopoli oleh usaha lahir saja. Dan bukan usaha anak saja. Tapi ada orang lain di belakangnya yang menjadi benteng batin dengan lesatan doa dalam ritus-ritus tirakat. Doa orang tua saja sudah luar biasa mustajabnya. Apalagi ditunjang dengan lelaku batin yang istiqamah.

Setiap kali mendapati hikayat tentang orang-orang yang berhasil meraih kesuksesan. Ada yang menggelitik dalam diri saya untuk mengulik dan mencari-cari rahasianya. Lelaku apa yang dijalankannya. Ketika melihat Ustadz Yusuf Mansur, misalnya, orang akan melihatnya sebagai sosok ustadz muda yang sukses dalam dakwah dan bisnisnya. Apakah kesuksesannya dalam bidang bisnis hanya ditunjang oleh kemapuan managerial belaka ? Saya hendak berkisah :

Pertama kali ke Jogja, saya diajak istri, Dik Citra Resmi makan ke WS (Waroeng Steak). Istri saya memang demen banget makan steak. Awalnya saya mengira tempat makannya seperti tempat-tempat makan yang lain. Anggapan saya terbalik. Ternyata tempat makan itu demikian bersih. Iseng, saya lihat-lihat ke toiletnya. Wah, bersih dan wangi. Ketika ke musholanya, kesan yang sama saya dapatkan. Tempat wudhunya pun cukup istimewa.

“Tempat makannya istimewa banget” kataku. Aku kisahkan kekagumanku kepada istri. Dik Citra lantas menyampaikan bahwa salah satu pemegang saham WS adalah Ustadz Yusuf Mansur. Saya pun manggut-manggut. Dan berfikir, “andaikata setiap pebisnis memiliki ruh spiritual seperti Ustadz Yusuf Mansur”.

Dalam buku Saptuari Sugiharto, “Catatan Indah Untuk Tuhan” juga dikisahkan betapa Ustadz Yusuf Mansur konsisten menjaga shalat diawal waktu. Shalatnya pun tidak terburu-buru dan terkesan sekedar menggugurkan kewajiban. Dia sangat menikmati setiap gerakan dan bacaan shalat. Bandingkan dengan kita !

Masih dibuku yang sama, kisah tak kalah indah tertulis. Bukan Ustadz Yusuf Mansur sumber inspirasinya. Tapi Pak Sandiaga Uno (jangan kaitkan tulisan ini dengan pilkada, please ). Bisnisman sukses itu demikian konsisten menjaga shalat dhuhanya. Bukan dua rakaat, tapi delapan rakaat ! Bahkan ketika menjelang rapat penting pun dia tidak lupa memohon petunjuk Allah dalam sujud dhuhanya.

Dari sini, ada hikmah yang bisa dijumput. Semua tirakat yang tidak bertentangan dengan syariat dan niat lillahi ta’ala akan menambah daya tekan untuk mencapai tujuan. Syarat dalam munajat dan tirakat adalah konsisten atau istiqamah tanpa mengenal kata putus asa. Istri bisa menirakati suami. Orang tua bisa menirakati anak. Kiai bisa menirakati santri. Dalam skala yang lebih besar, kita bisa menirakati bangsa ini. Percayalah, jika kita rajin tirakat, analoginya seperti menanam kebaikan. Dan tanaman kebaikan akan menghasilkan panen

Maria Ozawa lebih Endonesah !!

VIDEOTRON. Dari jendela coffee shop Hotel Narita Port, Tokyo, saya melihat matahari seolah malas menyala. Jarum pendek di arloji menunjuk ke angka 9. Saya baru saja menyelesaikan sarapan, roti khas Jepang yang mirip bakpao tapi isinya kacang merah itu, dan secangkir teh hangat. Ransel, tas berisi laptop dan kamera sudah diturunkan petugas hotel, di letakkan di kursi di sebelah saya duduk. “Ohayou gozaimasu Rusdi-san, apakah Anda akan pergi?”

Asuka, petugas hotel menyapa saya ketika mata saya asyik memandang ke luar jendela, menikmati matahari Tokyo di akhir-akhir musim gugur. Sudah dua malam saya menginap di hotel yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Bandara Narita, dan Asuka adalah orang pertama di hotel yang melayani saya.

“Tidak Asuka, saya sedang menunggu seorang teman,” kata saya.
“Apakah perempuan itu teman yang Anda tunggu Rusdi-san?”

Asuka mengarahkan telunjuknya ke arah seorang perempuan yang duduk menyilangkan kaki di dekat meja resepsionis. Saya menoleh mengikuti telunjuk Asuka.

“Bagaimana Anda tahu Asuka?”
“Sudah sejak jam delapan dia di sini. Dia menanyakan nama Anda.”
“Siapa namanya?”
“Miyabi. Maria Miyabi. Kami mengenalnya sebagai Nona Ozawa. Maria Ozawa."
“Ya saya memang menunggunya.”
“Boleh saya mengantarnya ke meja Anda Rusdi-san?”

Saya belum sempat menjawab pertanyaan Asuka. Dia langsung pergi menghampiri Ozawa sementara saya merasakan, mata tak sekejap pun hendak berkedip. Mengenakan cardigan warna poplar, kaus oblong, jins dongker dan sepatu tak bertumit berwarna hijau pupus, perempuan yang kini mulai berjalan ke arah tempat saya duduk seolah telah menjadi sake paling keras yang memaksa mata saya terus terbuka.

“Ini Rusdi-san,” suara Asuka saya dengar mengenalkan nama saya.
“Hi I’m Rusdi,” jawab saya.
“Ozawa. Boleh saya duduk?” tanya Ozawa.
“Oh tentu. Silakan,” kata saya.

Asuka membantu menggeser kursi, lalu Ozawa sudah duduk di depan saya. Hanya berjarak sekitar 30 sentimeter. Mungkin kurang. Mata, hidung, pipi, bibir itu benar-benar sempurna. “Arigatou gozaimasu Rusdi-san. Jauh-jauh Anda datang ke Tokyo hanya untuk menjumpai saya bintang porno yang banyak dihujat di negara Anda,” Ozawa membuka pembicaraan.

Sepagi itu, di udara berderajat 24 Celcius, wangi mulutnya terhirup oleh hidung saya seperti wangi es campur. Vanila bercampur sirup.

“Saya juga berterima kasih, Anda telah bersusah payah datang ke  hotel ini.”

Saya mencoba mendatarkan suara meskipun jakun di leher, sudah saya rasakan naik turun dengan lekas. “Bagaimana kabar banjir bandang di Garut dan penggusuran di Bukit Duri?” tanyanya.

Saya agak terkejut dengan pertanyaan Ozawa, sebelum menyampaikan terima kasih atas perhatiannya. Saya tahu, Ozawa memang menaruh perhatian pada korban bencana di seluruh dunia termasuk di Indonesia. “Are you Ok Indonesia?” kalimat itu saya baca di status Facebook Ozawa beberapa hari lalu sebelum saya berangkat ke Tokyo.

Dia kemudian bercerita tentang keluarganya yang pernah jadi korban penggusuran. Ozawa masih SD saat itu, dan satu-satunya tempat tinggal keluarganya digusur pemerintah Tokyo. Mereka dipindahkan ke tempat lain tanpa ganti rugi.

“Saya menceritakan kisah itu dalam sebuah video.”
“Video porno?”
“Tentu saja tidak.”

Saya melihat Ozawa mengambil serbet di meja dan hendak melemparkan ke arah saya. Dia tersenyum. Saya tersenyum.

“Saya buat video itu saat ikut audisi.”
“Ada di mana video itu sekarang?”
“Ada di Youtube.”
“Saya akan mencarinya nanti.”

Ozawa kembali tersenyum. Saya salah tingkah.

“Keluarga saya miskin saat itu. Tapi penggusuran rumah kami membekas di ingatan saya karena yang namanya tergusur itu sakit sekali. Sangat sakit. Padahal undang-undang kami menyatakan dengan jelas: Pemerintah dan negara harus melindungi rakyatnya.”
“Mirip dengan undang-undang di negara kami dan mirip janji seseorang.”
"Boleh saya meneruskan Rusdi-san?"
"Oh tentu. Maaf."

Saya melihat dia merapikan cardigan-nya. Angin pagi itu memang lumayan berembus kencang.

“Tapi yang terjadi, pemerintah malah melakukan penggusuran.”
“Mungkin untuk tujuan yang lebih baik.”
“Anda wartawan yang cerewet. Itu sebuah kekeliruan Rusdi-san.  Keliru. Sudah melanggar undang-undang.”
“Anda mau minum Nona Ozawa?”
“Teh saja,” kata dia.

Saya memberi kode kepada Asuka yang berdiri tak jauh dari meja kami.

“Jadi Anda akan datang ke Indonesia?”
“Belum. Saya masih menimbang. Indonesia mon amour.”
“Akan ada yang menolak kedatangan Anda.”
“Saya tahu tapi apa salah saya? Dan kalau saya keliru atau saya salah, apa lantas mereka benar?”

Ozawa tajam menatap saya. Matanya itu mengingatkan saya pada mata sepasang burung belibis hutan yang pernah saya lihat berenang di telaga Ranukumbolo di kaki Gunung Semeru. Cemerlang.

“Saya hanya mencari makan. Dan Anda tahu Rusdi-san, saya sudah sejak lama paham ucapan Voltaire.”
“Ucapan yang mana?”

“Bahwa dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama. Saya tidak pernah mengambil hak orang apalagi milik rakyat Indonesia. Saya bukan pencuri. Bukan orang munafik yang hari ini berjanji lalu esoknya mengingkari. Saya tidak pernah membohongi penggemar saya dengan berkhotbah, misalnya agar jangan terangsang melihat adegan saya. Tidak. Biarlah mereka menonton dan menikmati adegan saya jika itu bisa membuat mereka keluar dari kemunafikan.”

Saya melihat Ozawa tertunduk. Wangi sampo meruap diembus angin yang menyelinap dari jendela-jendela coffee shop dari rambutnya yang lurus sebahu. Saya terus memandanginya. Mata, pipi, bibir, dan alis itu. Sempurna betul perempuan di depan saya ini.

“Anda tahu Rusdi-san, saya memang bintang porno tapi saya tidak pernah merugikan siapa pun, tidak juga orang Indonesia. Kalau ada yang menyebut aksi saya bisa dan telah merusak moral, sebenarnya di mana moral itu? Di selangkangan saya, atau di pidato-pidato orang-orang berbatik atau di omongan orang yang dua hari lalu menebar senyum di televisi bersama presiden Anda, karena yakin akan terpilih sebagai gubernur?”

“Anda juga mengikuti isu Pilkada di Jakarta?”
“Semalam saya lihat di NHK.”

“Jangan-jangan Anda berlebihan?”
“Ya mungkin, tapi Anda tahu, para pelacur yang di Indonesia dicela, para penikmatnya terdiri dari berbagai rentang usia, 13 tahun sampai 70 tahun. Banyak pejabat di negara Anda, diam-diam menyimpan gundik. Disembunyikan agar anak dan istri mereka tidak tahu. Para aktivis meniduri istri orang atau memesan pelacur sebagai teman saat rapat. Lalu di koran-koran mereka semua menjanjikan kesetaraan hukum dan keadilan. Perempuan harus diberdayakan, katanya. Mereka akan melayani dan melindungi rakyat, lalu penggusuran terjadi. Apa seperti itu moral? Kenapa pula yang ditangkap untuk urusan reklamasi Jakarta hanya seorang direksi sebuah perusahaan?”

“Apa? Reklamasi?”
“Kenapa harus ada diskresi mengenai kompensasi yang tidak masuk anggaran?
“Anda tahu skandal reklamasi?”
“Tentu saja karena diberitakan di televisi. Kasus itu lucu.”
“Gubernur tidak menikmati keuntungan.”
“Tapi menguntungkan orang lain.”
“Bagaimana Anda tahu?”
“Ayolah Rusdi-san. Pendidikan saya akuntan. Sepanjang pengetahuan saya, off budget di luar anggaran resmi sangat dilarang. Di mana pun termasuk di negara saya.”

Saya terus memandang Ozawa sebelum terdengar suara perempuan menegur. “Mau pesan yang lain Pak?”

Hah? Pak? Asuka, pelayan hotel itu berbahasa Indonesia?

Tidak, itu suara perempuan, dan benar memang suara perempuan. Orang Indonesia.

Ya Allah, saya rupanya sedang duduk di coffee shop sebuah hotel di bilangan Blok M, Jakarta, melamum di pinggir jendela. Memandang jalan di depan Gedung Wali Kota Jakarta Selatan, yang Jumat lalu banyak disebut-sebut media karena videotron, papan iklan video di jalan itu, menampilkan video porno.

[Salah satu bahan ajar untuk kelas menulis Mojok di Yogyakarta, pekan depan]

Selasa, 11 Oktober 2016

"Karbala"

Menepi Sejenak ke Karbala

Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya Hasan. Nabi menyebutnya Husein yaitu Hasan kecil.

Masa kecil Husein diliputi kebahagiaan dan keceriaan masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi ketika menceritakan tentang Husein, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat Husein itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih, saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husein.

“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak seorang pun dari mereka yang pernah kucium.”

“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut rasa sayang dari hatimu.”

Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama Husein. Bahkan di waktu sedang memimpin jamaah shalat sekalipun. Husein dan abangnya berkejaran diantara kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud, keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya, Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya menyelesaikan keinginannya.”

Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik bermain dengan kedua cucunya.  Husein dan Hasan naik di punggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”

Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena baju yang dipakai al Husein kepanjangan, ia menginjaknya sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin Husein terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang disampaikannya.

Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat, begitu besar kecintaanmu pada Husein.” “Iya, Husein dari aku, dan aku dari al Husein. Mencintai aku siapa yang mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.” Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabi pun berlomba-lomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada Husein.

Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat kepada sahabat-sahabatnya, Husein dan  Hasan segera berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada ibunya, Fatimah. Begitu Ali datang dan hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah disampaikan Nabi tadi, Fatimah segera memotong, “Sudah saya tahu.”

Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”.  Sang Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya yang tertawa senang.

Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun caranya salah. Husein dan Hasan melihat kejadian itu. Husein segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”

Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang menjadi jurinya?”  Husein pun meminta kepada kakek yang hadir disitu. "Kek, siap jadi juri ya..” Sang kakek mengiyakan.

Keduanya pun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling benar. Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar. Saya yang salah.”

Husein sukses memberitahu cara wudhu yang benar kepada si kakek, tanpa merasa digurui.

Husein tidak lama bersama Nabi. Di usianya baru menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa sedihnya Husein kecil. Terus terbayang masa kecil yang indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek sudah sedemikian risaunya.

Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi Nabi itu?. Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari penunggang Nabi itu? Tahukah kau apa yang terjadi dengan leher dan bibir Husein yang sering dikecup oleh Nabi itu?

Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya ditusuk-tusuk pedang.

Smoga yg kita ingat tidak hanya seolah-olah Husein hanyalah cucu Nabi, yang sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam kegembiraan masa kanak-kanak.

Mana masa muda Husein, yang diminta ayahnya untuk melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa muda Husein yang ikut membela ayahnya dalam perang-perang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir Husein, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang disiarkan kakeknya?

Nabi bersabda tentangnya, “Husein adalah pemimpin pemuda di surga…”

Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu dikubur?

Secuil itukah yang kau tentangnya?

|

Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus shalat!!”

Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.

Pria itu kembali menghela nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini tinggal beberapa...

Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.

Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium, udara ditepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis darah.

Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang, yang terjadi antara Husein bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husein. Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah diramalkan Nabi Muhammad  di hari Husein lahir.

Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah  telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.

Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi lalu diberi nama Husein, semakna dengan nama sang kakak yaitu Hasan yang berarti kebajikan.

Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?.”

“Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga menunjukkan tanah di mana Husein terbunuh.”

Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamil-nya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husein akan terbunuh dalam sebuah pertempuran.

Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husein telah meninggal dunia karena dibunuh.”

Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husein. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan menggemparkannya.

Perang Karbala’ adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah, dan Perang Shiffin, antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Husein pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Husein, Ali Al-Akbar; dan kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.

Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal Husein, Ali Al-Akbar bin Husein, dan Abbas saja yang tersisa.

Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husein telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.

Dengan wajah iba Husein menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan beliau yang mulia.”

Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuang sang ayahanda.

Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan berlari menuju Imam Husein yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Husein. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala’.

Al-Husein, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”

Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong Husein. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan mungilnya.

Husein segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telingan kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”

Kini hanya tersisa Husein dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air dengan kedua telapak tangannya.

Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husein. Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami Syahbanu, putri kerajaan Persia, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu rasul-Mu.”

Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Husein yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.

Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain. Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”

Sementar Al-Husein, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Allah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”

Melihat Al-Husein sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru, “Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau melihat Husein dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.

Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada yang berani menyerang Husein, ia pun membentak, “Terkutuk kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan hadiah yang besar bagi kalian.”

Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun dari punggung kudanya dan memenggal kepala Husein bin Ali bin Abi Thalib. Husein wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.

Tak cukup puas, serdadu-serdadu yang sudah kesetanan itu lalu menjarah benda berharga yang melekat pada mayat-mayat pejuang pembela Husein dan merampok barang bawaan di tenda-tenda rombongan Ahlul Bait. Saat itulah Syimar menemukan Ali Asghar, putra Al-Husein, yang sedang terbaring sakit di dalam tenda dengan ditemani bibinya, Zainab. Lelaki biadab itu pun bermaksud menghabisi Ali Ashgar, kalau saja Zainab tidak mati-matian mempertahankannya.

Sambil memeluk keponakannya, wanita pemberani itu berteriak, “Apa akan kau bunuh juga anak yang sedang sakit ini?.”

Syimar ragu-ragu sejenak sebelum memilih untuk meninggalkannya. Mungkin ia berpikir, tanpa dibunuh pun anak yang sedang sakit itu akan mati sendiri, karena kehabisan bekalan makanan, minuman dan obat-obatan. Namun siapa yang tahu rahasia Allah? Justru dari anak yang nyaris terbunuh itulah keturunan Al-Husein kemudian dapat berlanjut hingga saat ini.

Sejatinya, setidaknya ada dua "kriteria" pembunuh Husein. Pertama, yg membunuh jasadnya, yakni pasukan Yazid. Kedua, yang membunuh kehormatan dan nama baiknya, yaitu kelompok yang menafikan perjuangannya dan menyebut beliau pemberontak yang memang layak dibunuh dan tidak usah diingat-ingat lagi. Juga kelompok yang meyakini beliau benar dan gugur sebagai syuhada tapi tetap membela yang membunuhnya dan menuntut ummat untuk melupakan saja peristiwa tersebut

Seharusnya umat Islam lah lebih lebih berhak mengetahui salah satu sejarah paling kelam dan memilukan ini. Hal ini menjadi keheranan bagi Antoine Bara, seorang cendikiawan Kristen Suriah, penulis buku “Al-Husain fi al-Fikri al-Masihi” (Husain Dalam Kristianitas), dalam sebuah wawancara.

Tanya :
"Dalam buku anda dikatakan, “Jika Husain bin Ali berasal dari kelompok kami (Kristian ) niscaya kami akan menebarkan panji ‘perang’ di setiap penjuru bumi untuknya. Kami akan dirikan mimbar-mimbar di setiap belahan bumi dan dengannya kami akan mengajak manusia kepada Kristen atas nama Husain bin Ali”. Bagaimana bisa demikian?"

Antoine Bara :
"Ini bukanlah kata-kata saya, melainkan ucapan pendeta Kristen yang sezaman dengan masa kesyahidan Husain bin Ali. Sesungguhnya ia hendak menyingkap bahwa kalian para kaum Muslimin tidak mengenal kualitas imam kalian ini, Husein bin Ali.

Sungguh, kami memiliki monument jejak telapak kaki kuda al-Masih dan kami akan berhaji untuknya. Sedangkan kalian memiliki pusara suci jejak, keberkahan dan juga warisan tak ternilai dari Husein bin Ali. Kami belum pernah melihat kalian mengambil manfaat dan keuntungan darinya secara positif.

Adapun jikalau Husein bin Ali dari golongan kami, niscaya kami akan mendirikan monumen-monumen peringatan di setiap penjuru bumi untuknya, karena dia bukanlah sebuah fase yang bersifat matematis, bahkan dia merupakan pengorbanan pembebasan manusia, dan dia merupakan tonggak awal keazalian.

Sungguh pantas kita berkabung untuk ketragisan Husein ini, dan menyingkap misteri perjalanan Revolusi Husein bin Ali ini. Sungguh pantas kita sadar bahwa peristiwa Karbala ini benar-benar dahsyat. Dan sangat miris apabila banyak yg tidak tau apa itu karbala.

Bagaimana mungkin dia tidak mendapatkan porsi perhatian yang lebih dihadapan para pemikir Muslim pada umumnya? Bagaimana bisa Karbala dibicarakan tak lebih dari peristiwa sejarah pada umumnya? Adapun muslim Syiah, mereka memandang peristiwa ini dengan pandangan penuh simpatik (meski agak ekstrem, red). Lalu saya lihat tulisan-tulisan kaum orientalis. Di sanapun tulisan-tulisan mereka hanya berkisar pada aspek-aspek material Karbala dan melupakan sisi-sisi revolusi spiritual dan kemasyarakatan. Bahkan di kalangan Muslim ada yg berpendapat bahwa kesalahan terbesar adalah kebangkitan dan perlawanan Husein itu sendiri (Tak lebih dari konsekuensi politik, red).

"Mereka tak akan pernah mau tahu", kata kiai Jarkoni. "Karena karbala tak mungkin membuat mereka bisa hidup senang2. Karbala itu hari kepedihan, hari kesunyian yg paling sepi dan puncak. Jadi mana mungkin spirit karbala membuat orang bisa ketawa-ketawa bahagia".

_________________________________

"Jika kau tidak menangis ketika mendengar kisah terbunuhnya Husein dibacakan, itu bukan karena kisah itu tdak layak ditangisi tapi karena hatimulah yg membatu dan layak ditangisi."

"Yang menangisi peristiwa Karbala tidak pasti Syiah. Namun yg bergembira atas peristiwa itu sudah pasti bukan sunni".

Jumat, 07 Oktober 2016

DESAIN MANUSIA ROBOT !!

Sistem management de industrialisasi modern itu mendesain manusia menjadi "ROBOT" !!

Sistem itu 'Saklak', tak punya hati apalagi nurani, 'nek ra ngene ra !!. Mesin ATM misalnya ketika keadaan darurat kita mau ambil uang tunai tapi lupa pin_nya ya gak dapat uang tunainya. Meskipun kamu loby en nego dengan di bawakan 'jeruk dan roti' sekalipun ya tetap gak bakalan bisa Bro !! Masio keluargamu arep modyarr, ngemes ngemes nganti nangis yo ra bakalan iso, Mblo !!

Akar kultur budaya nusantara asl adalahi 'ewuh perkewuh tenggang roso mring sak podho podho jalmo'. Banyak sekali petuah kearifan lokal yg suda tergredasi tanpa di sadari oleh 'siempunya' tradisi itu sendiri. 'Crah agawe bubrah, rukun agawe santoso', telah di selewengkan nilai orginalitasnya cuma untuk memenuhi kepentingan sebagian golongan. Titjie Tibeh, Jer basuki mowo bea, sudah sedemikian jauh keluar dari garis orbitnya, untuk proses perekrutan birokrasi dari hulu sampai hilir, dah terkontaminasi semua.

"Mesti harus dan mulai dari mana untuk menuju keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ??"

Kethoke kok mbok nganthi Modyarr thoo,ora bakal iso, njebol tembok ghoib iki !??

Setelah budaya adat istiadat kita di hancurkan dan di jauhkan dari akarnya, kemudian sistem pendidikan yg selalu mengikuti kurikulum yg gak jelas, karena terus berubah ubah setiap saat dan setiap waktu, dan ini hanya terjadi di negeri ini di negara manapun di dunia tak ada. Masak setiap ganti pimpinan ganti aturan dan kebijakan !? (Asline ulangan sekolah ki okeh seng ora kanggo ngo urip, Gayane waee..!!).

"Anak petani tak bangga lagi dengan pak tani !!"

Begitu lulus sekolah sibuk bikin lamaran, cari lowongan pekerjaan, dan peluang inipun di manfaatkan beberapa oknum yg sudah kena dehidrasi dunia industri. Percepatan pertumbuhan pasar modern berbanding terbalik dengan pasar tradisional, karena kepentingan mekanisme pasar global yg begitu cepat.

Mesin waktu telah di persiapkan jauh sebelum kita menyadari semuanya. Pembusukan akar akar akan tinggal menunggu waktu kapan akan tumbang. Dan anehnya kita semua enjoy enjoy saja seolah tidak pernah terjadi apa apa.!!

Dan lagi lagi negeri yg selalu di penuhi dan di selimuti misteri (mitos) yg sulit diprediksi dan di analisa 'keistinewaannya'. Bukan cuma penduduknya seolah "Bumi Jawa Dwipa Nusantara" punya sesuatu yang 'khusus' yg tak dimiliki negeri yg lain. Seolah bumi pertiwi ini negeri 'Jawata' negeri para Dewa, penggalan dari syurga..!!

"PULIH BALI WUTUH MARI PURNA WALUYA JATI"

#sanepan #11 #sastrajendra #asyuraa
Beranda WEKA 05 oktober 2016
Nardi Wijaya

Senin, 03 Oktober 2016

Maria Ozawa lebih Endonesah !!

VIDEOTRON. Dari jendela coffee shop Hotel Narita Port, Tokyo, saya melihat matahari seolah malas menyala. Jarum pendek di arloji menunjuk ke angka 9. Saya baru saja menyelesaikan sarapan, roti khas Jepang yang mirip bakpao tapi isinya kacang merah itu, dan secangkir teh hangat. Ransel, tas berisi laptop dan kamera sudah diturunkan petugas hotel, di letakkan di kursi di sebelah saya duduk. “Ohayou gozaimasu Rusdi-san, apakah Anda akan pergi?”

Asuka, petugas hotel menyapa saya ketika mata saya asyik memandang ke luar jendela, menikmati matahari Tokyo di akhir-akhir musim gugur. Sudah dua malam saya menginap di hotel yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Bandara Narita, dan Asuka adalah orang pertama di hotel yang melayani saya.

“Tidak Asuka, saya sedang menunggu seorang teman,” kata saya.
“Apakah perempuan itu teman yang Anda tunggu Rusdi-san?”

Asuka mengarahkan telunjuknya ke arah seorang perempuan yang duduk menyilangkan kaki di dekat meja resepsionis. Saya menoleh mengikuti telunjuk Asuka.

“Bagaimana Anda tahu Asuka?”
“Sudah sejak jam delapan dia di sini. Dia menanyakan nama Anda.”
“Siapa namanya?”
“Miyabi. Maria Miyabi. Kami mengenalnya sebagai Nona Ozawa. Maria Ozawa."
“Ya saya memang menunggunya.”
“Boleh saya mengantarnya ke meja Anda Rusdi-san?”

Saya belum sempat menjawab pertanyaan Asuka. Dia langsung pergi menghampiri Ozawa sementara saya merasakan, mata tak sekejap pun hendak berkedip. Mengenakan cardigan warna poplar, kaus oblong, jins dongker dan sepatu tak bertumit berwarna hijau pupus, perempuan yang kini mulai berjalan ke arah tempat saya duduk seolah telah menjadi sake paling keras yang memaksa mata saya terus terbuka.

“Ini Rusdi-san,” suara Asuka saya dengar mengenalkan nama saya.
“Hi I’m Rusdi,” jawab saya.
“Ozawa. Boleh saya duduk?” tanya Ozawa.
“Oh tentu. Silakan,” kata saya.

Asuka membantu menggeser kursi, lalu Ozawa sudah duduk di depan saya. Hanya berjarak sekitar 30 sentimeter. Mungkin kurang. Mata, hidung, pipi, bibir itu benar-benar sempurna. “Arigatou gozaimasu Rusdi-san. Jauh-jauh Anda datang ke Tokyo hanya untuk menjumpai saya bintang porno yang banyak dihujat di negara Anda,” Ozawa membuka pembicaraan.

Sepagi itu, di udara berderajat 24 Celcius, wangi mulutnya terhirup oleh hidung saya seperti wangi es campur. Vanila bercampur sirup.

“Saya juga berterima kasih, Anda telah bersusah payah datang ke  hotel ini.”

Saya mencoba mendatarkan suara meskipun jakun di leher, sudah saya rasakan naik turun dengan lekas. “Bagaimana kabar banjir bandang di Garut dan penggusuran di Bukit Duri?” tanyanya.

Saya agak terkejut dengan pertanyaan Ozawa, sebelum menyampaikan terima kasih atas perhatiannya. Saya tahu, Ozawa memang menaruh perhatian pada korban bencana di seluruh dunia termasuk di Indonesia. “Are you Ok Indonesia?” kalimat itu saya baca di status Facebook Ozawa beberapa hari lalu sebelum saya berangkat ke Tokyo.

Dia kemudian bercerita tentang keluarganya yang pernah jadi korban penggusuran. Ozawa masih SD saat itu, dan satu-satunya tempat tinggal keluarganya digusur pemerintah Tokyo. Mereka dipindahkan ke tempat lain tanpa ganti rugi.

“Saya menceritakan kisah itu dalam sebuah video.”
“Video porno?”
“Tentu saja tidak.”

Saya melihat Ozawa mengambil serbet di meja dan hendak melemparkan ke arah saya. Dia tersenyum. Saya tersenyum.

“Saya buat video itu saat ikut audisi.”
“Ada di mana video itu sekarang?”
“Ada di Youtube.”
“Saya akan mencarinya nanti.”

Ozawa kembali tersenyum. Saya salah tingkah.

“Keluarga saya miskin saat itu. Tapi penggusuran rumah kami membekas di ingatan saya karena yang namanya tergusur itu sakit sekali. Sangat sakit. Padahal undang-undang kami menyatakan dengan jelas: Pemerintah dan negara harus melindungi rakyatnya.”
“Mirip dengan undang-undang di negara kami dan mirip janji seseorang.”
"Boleh saya meneruskan Rusdi-san?"
"Oh tentu. Maaf."

Saya melihat dia merapikan cardigan-nya. Angin pagi itu memang lumayan berembus kencang.

“Tapi yang terjadi, pemerintah malah melakukan penggusuran.”
“Mungkin untuk tujuan yang lebih baik.”
“Anda wartawan yang cerewet. Itu sebuah kekeliruan Rusdi-san.  Keliru. Sudah melanggar undang-undang.”
“Anda mau minum Nona Ozawa?”
“Teh saja,” kata dia.

Saya memberi kode kepada Asuka yang berdiri tak jauh dari meja kami.

“Jadi Anda akan datang ke Indonesia?”
“Belum. Saya masih menimbang. Indonesia mon amour.”
“Akan ada yang menolak kedatangan Anda.”
“Saya tahu tapi apa salah saya? Dan kalau saya keliru atau saya salah, apa lantas mereka benar?”

Ozawa tajam menatap saya. Matanya itu mengingatkan saya pada mata sepasang burung belibis hutan yang pernah saya lihat berenang di telaga Ranukumbolo di kaki Gunung Semeru. Cemerlang.

“Saya hanya mencari makan. Dan Anda tahu Rusdi-san, saya sudah sejak lama paham ucapan Voltaire.”
“Ucapan yang mana?”

“Bahwa dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama. Saya tidak pernah mengambil hak orang apalagi milik rakyat Indonesia. Saya bukan pencuri. Bukan orang munafik yang hari ini berjanji lalu esoknya mengingkari. Saya tidak pernah membohongi penggemar saya dengan berkhotbah, misalnya agar jangan terangsang melihat adegan saya. Tidak. Biarlah mereka menonton dan menikmati adegan saya jika itu bisa membuat mereka keluar dari kemunafikan.”

Saya melihat Ozawa tertunduk. Wangi sampo meruap diembus angin yang menyelinap dari jendela-jendela coffee shop dari rambutnya yang lurus sebahu. Saya terus memandanginya. Mata, pipi, bibir, dan alis itu. Sempurna betul perempuan di depan saya ini.

“Anda tahu Rusdi-san, saya memang bintang porno tapi saya tidak pernah merugikan siapa pun, tidak juga orang Indonesia. Kalau ada yang menyebut aksi saya bisa dan telah merusak moral, sebenarnya di mana moral itu? Di selangkangan saya, atau di pidato-pidato orang-orang berbatik atau di omongan orang yang dua hari lalu menebar senyum di televisi bersama presiden Anda, karena yakin akan terpilih sebagai gubernur?”

“Anda juga mengikuti isu Pilkada di Jakarta?”
“Semalam saya lihat di NHK.”

“Jangan-jangan Anda berlebihan?”
“Ya mungkin, tapi Anda tahu, para pelacur yang di Indonesia dicela, para penikmatnya terdiri dari berbagai rentang usia, 13 tahun sampai 70 tahun. Banyak pejabat di negara Anda, diam-diam menyimpan gundik. Disembunyikan agar anak dan istri mereka tidak tahu. Para aktivis meniduri istri orang atau memesan pelacur sebagai teman saat rapat. Lalu di koran-koran mereka semua menjanjikan kesetaraan hukum dan keadilan. Perempuan harus diberdayakan, katanya. Mereka akan melayani dan melindungi rakyat, lalu penggusuran terjadi. Apa seperti itu moral? Kenapa pula yang ditangkap untuk urusan reklamasi Jakarta hanya seorang direksi sebuah perusahaan?”

“Apa? Reklamasi?”
“Kenapa harus ada diskresi mengenai kompensasi yang tidak masuk anggaran?
“Anda tahu skandal reklamasi?”
“Tentu saja karena diberitakan di televisi. Kasus itu lucu.”
“Gubernur tidak menikmati keuntungan.”
“Tapi menguntungkan orang lain.”
“Bagaimana Anda tahu?”
“Ayolah Rusdi-san. Pendidikan saya akuntan. Sepanjang pengetahuan saya, off budget di luar anggaran resmi sangat dilarang. Di mana pun termasuk di negara saya.”

Saya terus memandang Ozawa sebelum terdengar suara perempuan menegur. “Mau pesan yang lain Pak?”

Hah? Pak? Asuka, pelayan hotel itu berbahasa Indonesia?

Tidak, itu suara perempuan, dan benar memang suara perempuan. Orang Indonesia.

Ya Allah, saya rupanya sedang duduk di coffee shop sebuah hotel di bilangan Blok M, Jakarta, melamum di pinggir jendela. Memandang jalan di depan Gedung Wali Kota Jakarta Selatan, yang Jumat lalu banyak disebut-sebut media karena videotron, papan iklan video di jalan itu, menampilkan video porno.

[Salah satu bahan ajar untuk kelas menulis Mojok di Yogyakarta, pekan depan]