Kamis, 30 Juni 2016

GUS MUS : MENUJU CAHAYA ILAHI

fiqhmenjawab.net ~ Cahaya Ilahi ibarat ceruk di dinding yang di dalamnya ada pelita besar yang benderang; pelita itu berada dalam kaca yang cemerlangnya bagaikan bintang gemerlap. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, pohon zaitun yang senantiasa mendapat sinar matahari sejak terbit dari timur hingga tenggelam di barat. Minyaknya saja nyaris menyinari sekalipun tak tersentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa saja yang Ia kehendaki. (Baca QS. 24: 35)

Tamsil yang dibuat oleh Sang Pemilik Cahaya itu sungguh luar biasa. Bayangkan. Pelita benderang di dalam kaca cemerlang dengan minyak yang berkilauan berada di ceruk dinding. Dalam ceruk, pastilah cahaya benderang pelita dalam kaca cemerlang dengan minyak berkilauan itu terfokus. Hamba yang dikehendakiNya, pastilah sangat mudah mendapatkan cahaya di atas cahaya itu.

Baca juga: GUS MUS; AKHLAK MULIA

Pertanyaannya: siapakah kira-kira hamba Allah yang Ia kehendaki mendapat bimbingan ke arah cahayaNya itu? Tentu kita tidak tahu persis. Namun setidaknya kita dapat menduga dengan mencermati firman-firmanNya. Kita pun bisa membatasi wilayah pencarian kita terhadap hamba yang Ia kehendaki itu, misalnya, dalam kalangan hamba-hambaNya yang ia senangi.

Menilik firmanNya di surah Baqarah (QS.2: 257), orang-orang mukminlah yang Ia keluarkan dari kegelapan-kegelapan menuju ke cahayaNya. Lawannya adalah Thaghut, setan, yang menarik dari kebenderangan cahaya menuju ke pekat gelap.

Sementara orang mukmin yang dicintai Allah ialah orang mukmin sejati. Hamba mukmin yang sabar, yang adil, yang pemaaf, yang suka mensucikan diri, yang tawakkal, yang berbuat baik, yang tahu berterimakasih, yang tidak berlebih-lebihan, yang tidak sombong, yang tidak zalim, yang tidak membuat kerusakan di muka bumi, yang tidak khianat, yang tidak suka membanggakan diri, dan seterusnya. Pendek kata hamba yang takwa kepadaNya. Dan takwa itulah yang diharapkan dari puasa kita. (Baca QS.2: 183).

Baca juga: GUS MUS: JADI MANUSIA ITU HARUS PENGERTEN

Apabila dalam puasa ini, kita melaksanakannya dengan ikhlas, hanya mengharapkan dengan keyakinan penuh mendapatkan ridha Allah; menjaga hati pikiran dan indera kita agar tidak melanggar angger-angger-Nya; insya Allah kita akan dimudahkanNya menjadi hamba yang bertakwa. Apalagi bila kita dapat menghayati pendidikan puasa ini dan dapat memperoleh darinya kekuatan menahan diri, menutup jalan setan –yang berupa syahwat dan amarah– menuju diri kita, dengan izin Allah kita akan terjaga oleh MahacahayaNya dari tarikan setan yang ingin menjerumuskan kita ke dalam kegelapan yang berlapis-lapis.

Quran, sebagai firman Allah yang turun di malam Qadar di bulan Ramadan, tak pelak merupakan Mahacahaya yang benderangnya melebihi seribu purnama. Wahai siapakah yang berbahagia tercerahi olehnya. (Gus Mus)

Al Qur’an surat An-Nuur ayat 35:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Al-Baqarah ayat 257

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Baca juga: GUS MUS: KEISTIMEWAAN PUASA RAMADAN

Al-Baqarah ayat 183

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Editor: Nasyit Manaf

Senin, 27 Juni 2016

LAILATUL QADR PARA SUFI


Oleh: K Ng H Agus Sunyoto

Di tengah keheningan malam yang melingkupi Pesantren Sufi yang dipenuhi jama’ah pemburu Lailatul Qodr, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat para jama’ah menoleh berbarengan ke arah halaman melihat  Mas Wardi Bashari, santri lawas,  melonjak-lonjak kegirangan di samping Sufi Sudrun. Rupanya, di bawah petunjuk dan arahan Sufi Sudrun, Mas Wardi Bashari menyaksikan dengan pandangan bashirah bagaimana gemuruh para malaikat dan ruh turun dari langit tinggi  ke langit dunia.
“Aku sudah menyaksikan. Aku sudah menyaksikan,” seru Mas Wardi Bashari dengan nafas terengah-engah,”Sungguh penyaksian yang luar biasa menakjubkan.”
Hanya dalam hitungan menit, mushola yang semula penuh menjadi kosong karena semua lari ke halaman, ingin menyaksikan malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh ke dunia. Sambil bertanya ini dan itu kepada Mas Wardi Bashari dan Sufi Sudrun, mereka ingin ikut menikmati anugerah ruhani menyaksikan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Sebagian di antara jama’ah yang diberitahu Mas Wardi Bashari tentang kegaiban luar biasa  yang disaksikannya yang berlangsung sampai saat itu, bersujud syukur memanjatkan puja-puji kemuliaan kepada Tuhan meski mereka tidak menyaksikan sendiri malam mulia itu. Hingar kegembiraan menyemarakkan malam ke-21 Ramadhan dengan celoteh para pemburu Lailatul Qodr.
Setelah lebih setengah jam terlibat hiruk di halaman, Ndemo dan Aditya masuk ke dalam mushola, di mana mereka mendapati Guru Sufi, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Senewen sedang  tenggelam dalam kekhusyukan iktikaf. Mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian apa pun yang berlangsung di sekitarnya. Mereka melanjutkan iktikaf sampai fajar.
Usai sholat Subuh dengan benak dikitari tanda tanya Aditya bertanya kepada Guru Sufi tentang peristiwa aneh tidak masuk akal yang dialami Mas Wardi Bashari, yaitu menyaksikan bagaimana pada malam kemuliaan itu  para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Mohon maaf Mbah Kyai, apakah malam  kemuliaan itu memang bisa kita saksikan?” tanya Aditya.
“Yang bersih hati dan jiwanya, bisa menyaksikan secara bashirah,” sahut Guru Sufi datar.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya belum puas,”Kalau Mas Wardi Bashari saja bisa menyaksikan Lailatul Qodr, maka logikanya  Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir pasti lebih bisa menyaksikannya.”
Guru Sufi diam tak menjawab.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya melanjutkan pertanyaan,”Kalau Mbah Kyai punya kemampuan untuk menyaksikan Lailatul Qodr, kenapa Mbah Kyai tidak keluar untuk menyongsong Lailatul Qodr? Bukankah dengan kemampuan menyaksikan yang gaib itu, Mbah Kyai akan sangat muda menjemput malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh itu ke dunia?”
“Kami tidak pernah berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr,” sahut Guru Sufi dingin.
“Apa, godaan?” sergah Aditya kaget,”Mbah Kyai tidak berhasrat kepada Lailatul Qodr? Bagaimana ini? Bukankah orang sedunia beramai-ramai mencari Lailatul Qodr tapi  Mbah Kyai malah menganggapnya sebagai godaan,bagaimana penjelasannya?”
“Memangnya ada perintah yang mewajibkan kita untuk mencari dan menjemput Lailatul Qodr?” sahut Guru Sufi datar,”Apakah hukum menjemput Lailatul Qodr itu wajib atau sunnah? Apakah Rasulullah Saw pernah mencontohkan iktikaf di masjid dengan tujuan utama  mendapatkan Lailatul Qodr?”
Aditya diam tidak menjawab.
“Kalau berdzikir mengingat  Allah, Dzat Yang Memiliki dan Mengaruniakan Lailatul Qodr kepada umat Islam,  apakah hukumnya?” tanya Guru Sufi.
“Kalau Dzikir itu hukumnya wajib, Mbah Kyai, karena perintah untuk dzikir mengingat Allah itu diungkapkan berkali-kali di dalam Qur’an,” sahut Aditya garuk-garuk kepala,”Tapi semua orang di dunia pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini pada berebut menjemput Lailatul Qodr. Apakah itu salah Mbah Kyai?”
“Tidak ada yang salah dari kebiasaan memperebutkan pahala seribu bulan yang sudah berurat akar itu, sebagaimana tidak salahnya orang-orang yang berjuang keras untuk bisa masuk ke dalam surga karena Lailatul Qodr sendiri adalah bagian dari ni’mah Ilahi yang bermuara ke ni’mah surgawi. Tetapi apa yang kami lakukan dengan istiqomah mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Allah sehingga mengabaikan dan bahkan menganggap Lailatul Qodr sebagai bagian dari godaan ni’mah surgawi yang bisa memalingkan hati dan pikiran kami dari Allah,  juga tidak boleh dianggap salah,” jawab Guru Sufi.
“Tapi Mbah Kyai, bagaimana orang beragama menjalankan perintah Allah dengan mengabaikan ni’mah kemuliaan Lailatul Qodr dan kenikmatan surgawi?” tanya Aditya belum faham.
“Orang beragama menjalankan perintah Allah itu ada dua golongan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Yang pertama, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap imbalan dari Allah berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi. Golongan inilah yang paling besar jumlahnya. Sementara golongan yang kedua, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan harapan menjadi hamba yang lebih dekat kepada Allah guna mendapat ridho-Nya  tanpa mengharap apa pun di antara aneka kenikmatan yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.”
“Maaf Mbah Kyai, bagaimana menjelaskan secara masuk akal perihal kedua golongan itu?” tanya Aditya belum memahami uraian Guru Sufi.
“Jika engkau menjadi orang yang kaya raya, lalu datang orang mendekatimu dan mengatakan wahai Mas Aditya biarlah aku bekerja sebagai karyawanmu asal engkau beri aku gaji yang banyak, engkau beri aku mobil dinas, engkau beri aku jatah  makanan yang sangat lezat, engkau beri aku rumah,  ijinkan aku sekali waktu masuk ke dalam tamanmu untuk ikut pesta kebun. Inilah analogi dari gambaran golongan pertama yang menjalankan perintah Allah karena berharap mendapat imbalan Ni’mah Allah. Sementara untuk golongan kedua ibaratnya engkau orang yang kaya raya memiliki segala, lalu datang seseorang yang mendekatimu dengan mengungkapkan hasratnya untuk menjadi pegawaimu  tanpa sedikit pun ia menginginkan imbalan harta kekayaanmu. Ia menginginkanmu menjadi tuannya. Ia memasrahkan semua dirinya utuh atas keputusanmu, apakah dia akan  engkau jadikan pekerjamu sebagai jongos, kacung, sopir, tukang masak, asisten dengan sedikit pun tidak memikirkan imbalan upah dan pemberianmu. Nah, bagaimana kira-kira sikapmu terhadap dua orang yang yang berbeda ini?” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Saya faham Mbah Kyai,” sahut Aditya menyimpulkan,”Berarti Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir masuk golongan yang kedua sehingga mengabaikan Lailatul Qodr dan aneka Ni’mah Surgawi, sebaliknya hanya menghadapkan kiblat hati dan pikiran kepada Pemilik sekaligus Pemberi anugerah kemuliaan Lailatul Qodr.”
Guru Sufi diam.
“Kenapa Mbah Kyai memilih menjadi hamba dari golongan kedua?” tanya Aditya ingin penjelasan, “Mohon penjelasan untuk bisa kami jadikan pedoman dalam meniti jalan menuju-Nya.”
“Allah sudah bersabda: Waladziina jahadu fiina lanahdiyanahum subulana (barang siapa berjihad dengan sungguh-sungguh menuju Kami, maka akan Kami beri jalan-jalan Kami). Itu berarti, menuju Allah itu wajib didasari semangat jihad yang menyala-nyala pantang redup dan padam. Tetapi hendaknya kalian ingat, bahwa Allah bukan Sesuatu yang bersifat statis yang membiarkan seseorang mendekati-Nya. Allah akan menguji semua yang mendekati-Nya untuk membuktikan kebenaran dari jihad yang dijalankannya dalam  menuju Allah. Begitulah, berbagai hal yang berkaitan dengan ni’mah kemuliaan –  maunah, karamah, himmah, tahakkum, termasuk lailatul qodr -  yang dihamparkan di hadapan seorang salik pada dasarnya adalah ujian bagi kesungguhannya menuju Allah,” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Kami faham Mbah Kyai,” kata Aditya manggut-manggut dengan wajah berseri-seri,”Berarti laku ruhani yang dijalankan para sufi pada dasarnya adalah memaknai secara haqqi qi perjuangan kembali kepada-Nya dengan berpedoman kepada kalimah Innalillahi wa inna ilaihi roji’un – Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Benar begitukah Mbah Kyai?”
Guru Sufi mengangguk meng-iya-kan.
“Alhamdulillah,” sahut Aditya gembira,”Berarti saya tidak perlu lagi marah kalau dicela murid-muridnya ustadz Dul Wahab sebagai ahli neraka karena amaliah bid’ah, karena sejatinya apa yang saya jalankan tujuannya hanya kepada Allah dan tidak bersangkut-paut dengan makhluk ciptaan yang disebut surga dan neraka. Terima kasih Mbah Kyai,” Aditya menyalami dan mencium tangan Guru Sufi dengan hati terasa luas, seluas samudera raya tanpa tepi.

LAILATUL QADR PARA SUFI


Oleh: K Ng H Agus Sunyoto

Di tengah keheningan malam yang melingkupi Pesantren Sufi yang dipenuhi jama’ah pemburu Lailatul Qodr, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat para jama’ah menoleh berbarengan ke arah halaman melihat  Mas Wardi Bashari, santri lawas,  melonjak-lonjak kegirangan di samping Sufi Sudrun. Rupanya, di bawah petunjuk dan arahan Sufi Sudrun, Mas Wardi Bashari menyaksikan dengan pandangan bashirah bagaimana gemuruh para malaikat dan ruh turun dari langit tinggi  ke langit dunia.
“Aku sudah menyaksikan. Aku sudah menyaksikan,” seru Mas Wardi Bashari dengan nafas terengah-engah,”Sungguh penyaksian yang luar biasa menakjubkan.”
Hanya dalam hitungan menit, mushola yang semula penuh menjadi kosong karena semua lari ke halaman, ingin menyaksikan malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh ke dunia. Sambil bertanya ini dan itu kepada Mas Wardi Bashari dan Sufi Sudrun, mereka ingin ikut menikmati anugerah ruhani menyaksikan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Sebagian di antara jama’ah yang diberitahu Mas Wardi Bashari tentang kegaiban luar biasa  yang disaksikannya yang berlangsung sampai saat itu, bersujud syukur memanjatkan puja-puji kemuliaan kepada Tuhan meski mereka tidak menyaksikan sendiri malam mulia itu. Hingar kegembiraan menyemarakkan malam ke-21 Ramadhan dengan celoteh para pemburu Lailatul Qodr.
Setelah lebih setengah jam terlibat hiruk di halaman, Ndemo dan Aditya masuk ke dalam mushola, di mana mereka mendapati Guru Sufi, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Senewen sedang  tenggelam dalam kekhusyukan iktikaf. Mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian apa pun yang berlangsung di sekitarnya. Mereka melanjutkan iktikaf sampai fajar.
Usai sholat Subuh dengan benak dikitari tanda tanya Aditya bertanya kepada Guru Sufi tentang peristiwa aneh tidak masuk akal yang dialami Mas Wardi Bashari, yaitu menyaksikan bagaimana pada malam kemuliaan itu  para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Mohon maaf Mbah Kyai, apakah malam  kemuliaan itu memang bisa kita saksikan?” tanya Aditya.
“Yang bersih hati dan jiwanya, bisa menyaksikan secara bashirah,” sahut Guru Sufi datar.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya belum puas,”Kalau Mas Wardi Bashari saja bisa menyaksikan Lailatul Qodr, maka logikanya  Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir pasti lebih bisa menyaksikannya.”
Guru Sufi diam tak menjawab.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya melanjutkan pertanyaan,”Kalau Mbah Kyai punya kemampuan untuk menyaksikan Lailatul Qodr, kenapa Mbah Kyai tidak keluar untuk menyongsong Lailatul Qodr? Bukankah dengan kemampuan menyaksikan yang gaib itu, Mbah Kyai akan sangat muda menjemput malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh itu ke dunia?”
“Kami tidak pernah berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr,” sahut Guru Sufi dingin.
“Apa, godaan?” sergah Aditya kaget,”Mbah Kyai tidak berhasrat kepada Lailatul Qodr? Bagaimana ini? Bukankah orang sedunia beramai-ramai mencari Lailatul Qodr tapi  Mbah Kyai malah menganggapnya sebagai godaan,bagaimana penjelasannya?”
“Memangnya ada perintah yang mewajibkan kita untuk mencari dan menjemput Lailatul Qodr?” sahut Guru Sufi datar,”Apakah hukum menjemput Lailatul Qodr itu wajib atau sunnah? Apakah Rasulullah Saw pernah mencontohkan iktikaf di masjid dengan tujuan utama  mendapatkan Lailatul Qodr?”
Aditya diam tidak menjawab.
“Kalau berdzikir mengingat  Allah, Dzat Yang Memiliki dan Mengaruniakan Lailatul Qodr kepada umat Islam,  apakah hukumnya?” tanya Guru Sufi.
“Kalau Dzikir itu hukumnya wajib, Mbah Kyai, karena perintah untuk dzikir mengingat Allah itu diungkapkan berkali-kali di dalam Qur’an,” sahut Aditya garuk-garuk kepala,”Tapi semua orang di dunia pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini pada berebut menjemput Lailatul Qodr. Apakah itu salah Mbah Kyai?”
“Tidak ada yang salah dari kebiasaan memperebutkan pahala seribu bulan yang sudah berurat akar itu, sebagaimana tidak salahnya orang-orang yang berjuang keras untuk bisa masuk ke dalam surga karena Lailatul Qodr sendiri adalah bagian dari ni’mah Ilahi yang bermuara ke ni’mah surgawi. Tetapi apa yang kami lakukan dengan istiqomah mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Allah sehingga mengabaikan dan bahkan menganggap Lailatul Qodr sebagai bagian dari godaan ni’mah surgawi yang bisa memalingkan hati dan pikiran kami dari Allah,  juga tidak boleh dianggap salah,” jawab Guru Sufi.
“Tapi Mbah Kyai, bagaimana orang beragama menjalankan perintah Allah dengan mengabaikan ni’mah kemuliaan Lailatul Qodr dan kenikmatan surgawi?” tanya Aditya belum faham.
“Orang beragama menjalankan perintah Allah itu ada dua golongan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Yang pertama, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap imbalan dari Allah berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi. Golongan inilah yang paling besar jumlahnya. Sementara golongan yang kedua, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan harapan menjadi hamba yang lebih dekat kepada Allah guna mendapat ridho-Nya  tanpa mengharap apa pun di antara aneka kenikmatan yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.”
“Maaf Mbah Kyai, bagaimana menjelaskan secara masuk akal perihal kedua golongan itu?” tanya Aditya belum memahami uraian Guru Sufi.
“Jika engkau menjadi orang yang kaya raya, lalu datang orang mendekatimu dan mengatakan wahai Mas Aditya biarlah aku bekerja sebagai karyawanmu asal engkau beri aku gaji yang banyak, engkau beri aku mobil dinas, engkau beri aku jatah  makanan yang sangat lezat, engkau beri aku rumah,  ijinkan aku sekali waktu masuk ke dalam tamanmu untuk ikut pesta kebun. Inilah analogi dari gambaran golongan pertama yang menjalankan perintah Allah karena berharap mendapat imbalan Ni’mah Allah. Sementara untuk golongan kedua ibaratnya engkau orang yang kaya raya memiliki segala, lalu datang seseorang yang mendekatimu dengan mengungkapkan hasratnya untuk menjadi pegawaimu  tanpa sedikit pun ia menginginkan imbalan harta kekayaanmu. Ia menginginkanmu menjadi tuannya. Ia memasrahkan semua dirinya utuh atas keputusanmu, apakah dia akan  engkau jadikan pekerjamu sebagai jongos, kacung, sopir, tukang masak, asisten dengan sedikit pun tidak memikirkan imbalan upah dan pemberianmu. Nah, bagaimana kira-kira sikapmu terhadap dua orang yang yang berbeda ini?” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Saya faham Mbah Kyai,” sahut Aditya menyimpulkan,”Berarti Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir masuk golongan yang kedua sehingga mengabaikan Lailatul Qodr dan aneka Ni’mah Surgawi, sebaliknya hanya menghadapkan kiblat hati dan pikiran kepada Pemilik sekaligus Pemberi anugerah kemuliaan Lailatul Qodr.”
Guru Sufi diam.
“Kenapa Mbah Kyai memilih menjadi hamba dari golongan kedua?” tanya Aditya ingin penjelasan, “Mohon penjelasan untuk bisa kami jadikan pedoman dalam meniti jalan menuju-Nya.”
“Allah sudah bersabda: Waladziina jahadu fiina lanahdiyanahum subulana (barang siapa berjihad dengan sungguh-sungguh menuju Kami, maka akan Kami beri jalan-jalan Kami). Itu berarti, menuju Allah itu wajib didasari semangat jihad yang menyala-nyala pantang redup dan padam. Tetapi hendaknya kalian ingat, bahwa Allah bukan Sesuatu yang bersifat statis yang membiarkan seseorang mendekati-Nya. Allah akan menguji semua yang mendekati-Nya untuk membuktikan kebenaran dari jihad yang dijalankannya dalam  menuju Allah. Begitulah, berbagai hal yang berkaitan dengan ni’mah kemuliaan –  maunah, karamah, himmah, tahakkum, termasuk lailatul qodr -  yang dihamparkan di hadapan seorang salik pada dasarnya adalah ujian bagi kesungguhannya menuju Allah,” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Kami faham Mbah Kyai,” kata Aditya manggut-manggut dengan wajah berseri-seri,”Berarti laku ruhani yang dijalankan para sufi pada dasarnya adalah memaknai secara haqqi qi perjuangan kembali kepada-Nya dengan berpedoman kepada kalimah Innalillahi wa inna ilaihi roji’un – Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Benar begitukah Mbah Kyai?”
Guru Sufi mengangguk meng-iya-kan.
“Alhamdulillah,” sahut Aditya gembira,”Berarti saya tidak perlu lagi marah kalau dicela murid-muridnya ustadz Dul Wahab sebagai ahli neraka karena amaliah bid’ah, karena sejatinya apa yang saya jalankan tujuannya hanya kepada Allah dan tidak bersangkut-paut dengan makhluk ciptaan yang disebut surga dan neraka. Terima kasih Mbah Kyai,” Aditya menyalami dan mencium tangan Guru Sufi dengan hati terasa luas, seluas samudera raya tanpa tepi.

Sabtu, 25 Juni 2016

Serat wulangreh

SEKILAS MEMAKNAI SERAT WULANGREH (ii)
Oleh: Mashuri Mazdi*)

Pupuh  Wirangrong
Pupuh / Tembang  Wirangrong  merupakan pupuh yang berwatak  berwibawa  dan  anggun. Contohnya sebagai berikut:
 
1.Den samya marsudeng budi, wuweka dipun was paos, aja dumeh bisa muwus, yen tan pantes ugi, sanadya mung sekecap, yen tan pantes prenahira.
Hendaklah kau berusaha mengendalikan diri dan berhati-hati, jangan mentang-mentang pandai berbicara jika tak layak (didengar), meskipun hanya sepatah kata jika bukan pada tempatnya
2.Kudu golek masa ugi, panggonan lamun miraos, lawan aja age sira muwus, durunge den kaesthi, aja age kawedal, yen durung pantes lan rowang.
Carilah waktu dan tempat jika ingin bicara, jangan terburu-buru berbicara sebelum kau piker, jangan cepat-cepat kau keluarkan (isi hati) jika belum layak siapa yang kau ajak bicara

3.Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara.
Perhatikan dengan siapa kau berbicara sehingga tidak asal bicara. (pembicaraan itu) ada yang layak didebgarkan orang banyak ada pula yang tidak

4.Tan pantes kanggo ngawruhi, milane lamon miraos, dipun ngarag-ngarah  ywa kabanjur, yen sampun kawijil, tan kena tinurutan, milane dipun prayitna
Diketahui orang banyak. Oleh karena itu, jika berbicara jangan melantur karena jika telanjur terucap tidak dapat ditarik kembali

5.Lan maninge wong ngaurip, aja ngakehken supaos, iku gawe reged badanipun, nanging masa mangkin, tan ana itungan prakara, supata ginawe dinan.
Di samping itu, orang hidup jangan terlalu banyak bersumpah, itu akan mengotori dirimu, namun zaman sekarang tidak ada pertimbangan, bersumpah adalah perbuatan sehari-hari

6.Den gemi marang ing lathi, aja ngakehke pepisoh, cacah cucah erengan ngabul-abul, lamun andukani, den dumeling dosanya, mring abdi kang manggih duka.
Berhematlah dengan lidahmu, jangan memperbanyak umpatan, menggerutu, dan marah-marah. Jika kau marah, sebutkan kesalahan bawahanmu itu

7.Lawan padha den pakeling, teguhna lahir batos, aja ngalap randhaning sedulur, sanak miwah abdi, rowang ing sapangandhap, miwah maring pasanakan.
Dan juga ingatlah, kuatkan lahir batin, jangan mengharapkan janda saudaramu, kerabat, maupun bawahanmu, dan seterusnya

8.Gawe salah graitaning, ing liyan kang sami anom, nadyan lilaa lanangipun kang angrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
Hal itu akan membuat curiga orang yang mengetahuinya, sekalipun suaminya rela, tetapi yang mendengarnya tidak yakin, tidak mungkin kurang wanita

9.Tan wurung dipun cireni, ing batin ingaran rusoh, akeh jaga-jaga jroning kalbu, arang ngandel batin, ing tyase padhasuda, pangandele mring bendara.
Hal itu pasti dijadikan tanda dan dicap jorok. Di dalam hatinya, mereka tidak percaya, hal itu menyebabkan kepercayaan kepada tuannya akan berkurang

10.Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sakawan iku akeh pun, dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana.
Ada lagi cacat yang lebih besar dari kesalahan, yaitu empat perilaku, pertama madat, kedua bertaruh, dan ketiga pencuri

11.Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung batine den etang, alumuh lamun kalonga.
Yang keempat adalah berwatak pedagang. Adapun watak pedagang dianggap jelek karena siang malam hanya memikirkan keuntungan, tidak mau jika berkurang
12.Iya upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora marem ing tyasipun, ilanga sadawa, gegetun patang warsa, padha lan ilang sanambang.
Meskipun memliki uang empat karung pun, belum tenang hatinya, sekalipun hanya hilang satu sen, menyesalnya sampai empat bulan, sama dengan hilang seribu

13.Wong ati sudagar ugi, sabarang prakara tamboh, amung yen ana wong teka iku, anggegawe ugi, gegadhen pan tumanggal, ulate teka sumringah.
Orang berwtak pedagang, dalam banyak hal pura-puta tidak tahu, namun jika ada orang yang dating sambil  membawa barang jaminan, ia bersikap ramah dan wajanya pun cerah

14.Dene wong durjana ugi, nora ana den raos, rina wengi mung kang den etung, duweke liyan nenggih, dahat datan prayoga, kalamun wateke durjana.
sedangkan watak pencuri, tidak ada lagi yang dirasakan, siang malam yang diperhitungkan adalah milik orang lain. oleh kaera into sangat tidak baik berwatak pencuri

15.Dene bebotoh puniki, sabarang pakaryan lumoh, lawan kathah linyok para padha, yen pawitan enting tan wurung anggegampang, ya marang darbeking sanak.
Adapun watak penjudi itu malas bekerja, sering berbohong, dan suka beradu mulut, jika modalnya habis, maka menggampangkan segala milik saudara

16.Nadyan wasiyating kaki, nora wurung dipun edol, lamun menang lali gawe angkuh, pan kaya bopati, wewah tan ngarah-arah, punika awoning bangsat.
Bahkan warisan kakeknya pun berani dijual. Jika menang lupa daratan, lagaknya seperti bupati, member dengan tanpa perhitungan. Begitulah kejelekan penjudi

17.Kabutuhe nuli memaling, tinitenan saya awon, apan boten wonten panedinipun, pramilane sami, sadaya nyinggahana, anggegulang ngabotohan.
Jika sudah terpaksa terus mencuri, lama-kelamaan kejelekannya ketahuan karena memang tidak ada penghasilan. Oleh karena itu, hindarilah dan jangan lakukan perjudian

18.Dene ta wong akng madati, kesade kaworan lumuh, amung ingkang dados senengipun, ngadep diyan sarwi, linggih ngamben jejegang, sarwi leleyang bedudan.
Adapun pemadat wataknya malas tidak kepalang, kesukaannya hanya menghadapi lampu sambil duduk di amben bertumpang kaki sambil menimang culim

19.Yen leren nyeret, netrane pan merem karo, yen wus ndadi awake akuru, cahya biru putih, njalebut wedi toya, lambe biru untu pethak.
Jika berhenti menhisap madat, matanya terkatup. Jika sudah parah, maka tubuhnya kurus kering, wajahnya kuyu, takut air,bibir biru sedangkan gigi putih kotor

20.Beteke satron lan gambir, jambe suruh arang wanuh, ambekane sarwi melar mingkus, atuke anggigil, jalagra aneng dhadha, tan wurung metu bolira.
Karena tidak kenal gambir, pinang, dan sirih. Napasnya kembang kempis tersengal—sengal, batuk tiada henti, dan dahak menyumbat dada, dan akhirnya mengeluarkan bul

21.Yen gering nganggo ndalinding, suprandene nora kapok, iku padha singgahana patut, ja ana nglakoni, wong mangan apyun ala, uripe dadi tontonan.
Jika sakit disertai mencret. Meskipun negitu (ia) tidak kapok. Itu patut kalian hindari, jangan ada yang melakukan (perbuatan itu). Orang madat itu hidupnya menjadi tontonan

22.Iku kabeh nora becik, aja na wani anganggo, panggawe patang prakara iku, den padha pakeling, aja na wani nerak, kang wani nerak tan manggih arja.
Itu semua tidak baik, jangan ada yang berani melakukan empat perkara tersebut. Dan ingatlah, jangan ada yang berani nekat, yang berani nekad tidak akan menemui kesejahteraan

23.Lawan ana waler malih, aja sok anggung kawuron, nginum, sayeng tanpa masa iku, endi lire ugi, angombe saben dina, pan iku watake ala.
Ada lagi pantangan, jangan suka mabuk, minum tanpa batas waktu, (padahal) minum-minuman setiap hari itu tabiatnya buruk

24.Kalamun wong wuru ugi, ilang prayitnaning batos, nora ajeg barang pikiripun, elinge ning ati, pan baliyar-baliyur, endi ta ing becikir
Pemabuk akan kehilangan keseimbangan batin, pikirannya tidak jelas, ingatannya goyang. Lalu, di mana kebaikannya?
25. Lan aja karem sireki, ing wanodya ingkang awon, lan aja mbuka wadi siraku, ngarsaning pawestri tan wurung nuli corah, pan wus lumrahing wanita.
Jangan pula kau menyukai wanita yang kotor, jangan pula kau membuka rahasia di depan wanita sebab akan menjadi buah bibir. Bukakankah begitu umumnya wanita

26.Tan bisa simpen wewadi, saking rupake ing batos, pan wus pinanci dening Hyang agung, nitahken pawestri, apan iku kinarya, ganjaran marang wong priya.
Tidak bisa menyimpan rahasia karena sempitnya hati. Sudah menjadi kodrat dari Yang Mahaagung, menciptakan wanita sebagai hadiah kepada para lelaki

27.Kabeh den padha nastiti, marang pitutur kang yektos, aja dumeh tutur tanpa dapur, yen bakale becik, den anggo weh manfaat, ywa kaya Pucung lan kaluwak.
Semuanya mesti waspada, jangan hanya karena nasihat sederhana. Jika itu memang baik , maka dengarkanlah karena jika dilaksanakan memberi manfaat., jangan seperti pucung dan kluwak. (Pucung lan kluwak merupakan isyarat pola tembang berikutnya)

Nilai-nilai  yang terkandung  dalam  pupuh  Wirangrong  antara  lain  sebagi  berikut  ini.
Manusia bermasyarakat harus pandai menjaga diri, termasuk dalam berbicara, karena  dengan  berbicara  orang  akan  terlihat  tabiatnya.
Orang  harus  mampu  menahan  diri  dalam  berbicara  (menjaga  mulutnya), karena apabila sudah terlanjur terucap maka kata-kata tersebut tak dapat ditarik kembali
Manusia  perlu  menjaga  keteguhan  hati,  tidak  mengharapkan  janda  orang saudara,  pembantu,  tetangga,  teman  dan  sahabat  karib,  sebab  hal  itu  akan menjadi  pembicaraan  orang  lain,  dan  akhirnya  akan  diberi  predikat  jelek, dianggap jorok, dan tidak patut dipercaya.
Manusia harus menghindari perbuatan cacat yaitu: suka minum candu (ganja, heroin), berjudi, mencuri, komersial (semua dihargai dengan uang), juga dilarang mabuk,  melacur,  dan  membeberkan  rahasia.

Pupuh Pucung
Tembang / Pupuh Pucung  memiliki watak yang berbeda, pupuh Pucung berwatak:  sembrono,  kendor,  dan  tanpa  gairah.  Contohnya sebagai berikut:
1.Kamulane kaluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, pucung aranira ugi, yen wus tuwa kaluwake pisah-pisah.
Pada waktu muda, buah kluwak meyatu dan namanya pucung, jika sudah tua, kluwak tersebut terpisah

2.Den budiya kapriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpule kaya nomeki, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga.
Bagaimanapun juga, usahakan jangansampai berpisah, bersatunya seperti masa muda, muda menyatu ketika tua pun sebaiknya menyatu

3.Aja kaya kaluwak duk anom, kumpul bisa wus atuwa, ting salebar siji-siji, nora wurung dadi bumbu pindhang lulang.
Jangan seperti kluwak, ketika masih muda menyatu, namun ketika tua masing-masing menyebar, akhirnya hanya sebagai bumbu pindang

4.Wong sadulur nadyan sanak dipunruntut, aja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu teka prayoga.
Persaudaraan itu,meskipun dengan sudara jauh harus ruku, jangan sampai terpisah dalam segala hal. Jika hidup rukun akan baik dilihat orang

5.Abot enteng wong sugih sanak sadulur, enthenge yen pisah, pikire tan dadi siji, abotipun yen sabiyantu ing karsa
Banyak sudara memang ada berat dan ada juga ringannya. Ringan bila masing-masing pikirannya terpisah, adapun beratnya jika (kita) membantu segala hal

6.Luwih bakuh wong sugih sanak sadulur, ji – tus tadhingira, yen golong sabarang pikir, becik uga lan wong kang tan duwe sanak
Lebih kokoh jika banyak saudara, satu berbanding seratus jika bersatu hati, lebih baik dibadingkan tidak memiliki saudara

7.Lamun bener lan pinter pamomonganipun, kang ginawa tuwa, aja nganggo abot sisih, dipun sabar pamengku mring santana.
Jika benar dan pandai memperlakukannya. Yang merasa dituakan jangan berat sebelah, harus berlaku seimbang terhadap kerabat dan bawahan

8.Pan ewuh wong tinitah dadi asepuh, tan kena ginampang, mring sadulurira ugi, tuwa nenom aja beda traping karya.
Memang repot jika dituakan, tidak boleh menganggap gampang kepada saudara. Jangan membedakan perintah, baik kepada yang muda maupun kepada yang tua

9.Kang saregep kalawan ingkang malincur, iku kawruh ana, sira alema kang becik, ingkang malincur den age bendanana.
Yang rajin dan yang malas harus kau ketahui. Pujilah ia yang rajin, sedangkan yang malas, segera marahilah

10.Yen tan mantun binendonan nggone malincur, nuli patrapana, sapantese lan dosaning, kang santosa dimene dadi tuladha.
Jika tidak sadar kemalasannya dengan dimarai, jatuhilah hukumanyang seimbang dengan kesalahannya agar menjadi contoh

11.Kang wong liya darapon wedia iku, kang padha ngawula, ing batine wedi asih, pan mangkono lelabuhane dadi wong tuwa
Bagi orang lain. orang yang mengabdi akan menjadi segan dan setia. Bukankah begitu seharusnya perilaku orang yang dituakan

12.Nggone mengku jembar amot tur rahayu, den kaya sagara, tyase ngemot ala becik, mapan ana pepancene sowang-sowang.
Seyogyanya berhati bersih dan lapang dada bagai samudra, memahi baik dan buruk, bukankah masing-masing memiliki takdir?

13.Jer sadulur tuwa kang wajib pitutur, marang kadang taruna, wong anom wajibe wedi, sarta manut wulange sadulur tuwa.
Saudara tua memiliki kewajibanuntuk memberikan nasihat, adapun kewajiban orang muda adalah segan dan menuruti nasaihat saudara tua

14.Kang tinitah dadi anom aja masgul, ing batin ngrasaa, saking karsaning Hyang Widdhi, yen masgula ngowai kodrating Suksma.
Yang ditakdirkan menjadi saudara muda jangan ragu. Bersyukurlah karena sudah dikehendaki Yang Mahaesa, jika ragu akanmegubah kodrat Allah

15.Nadyan bener yen wong anom dadi luput, yen ta anganggoa, ing pikirira pribadi, pramilane wong anom aja ugungan
Orang muda, sekalipun benar tetap dipersalahkan, hal itu jika kau turuti pikiran sediri. Oleh karena itu, orang muda jangan manja

16.Yen dadi nom weruha ing enomipun, kang ginawe tuwa, dikaya banyu neng beji, den awening paningale aja samar
Jika ditakdirkan muda, sadarlah dengan kedudukan mudanya, adapun yang tua jadilah seperti air di kolam, jernihkan penglihatanmu

17.Lan maning ana ing pituturingsun, yen sira amaca, laying sabarang layanging, aja pijer ketungkul ngelingi sastra.
Di samping itu, nasihatku, jika kau membaca segala macam serat (kitab), jangan hanya terpaku pada (keindahan) sastranya

18.Caritane ala becik dipun enut, nuli rasa kena, carita kang muni tulis, den karasa kang becik sira anggowa
Pahami baik dan buruk ceritanya, kemudian renungkan (makna) cerita yang tertulis, yang kau rasa baik, ambillah

19.Ingkang ala kawruhana alanipun, dadine tyasira, weruh ing ala lan becik, ingkang becik wiwitane kawruhana.
Yang jelek pahamilah kejelekannya sehingga kau memahami mana yang buruk dan mana yang baik. Adapun yang baik, pahamilah asal mulanya

20.Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono witing ing satemah puniku pan dadi ala.
Orang yang bertindak begitu di awal, akan baik pada akhirnya, sedangkan orang yang bertindak sebaliknya akan berakibat buruk

21.Dipun weruh iya ing kawulanipun, kalawan wekasanira, puniku dipunkalingling, ana ala dadi becik wekasanya.
Pahamilah, baik awal maupun akhir. Perhatikan, ada yang tampak awalnya jelek namun pada akhirnya menjadi baik

22.Ewuh temen babo wong urip puniku, apan nora kena, kinira-kira ing budi, arang temen wijile basa raharja.
Kehidupan memang repot karena tidak dapat diperkirakan, jarang sekali tindakan yang baik (wijil adalah isyarat pola tembang berikutnya)

Nilai-nilai yang  terkandung  dalam  pupuh  Pucung  antara  lain  sebagai  berikut  ini
Manusia  hendaknya  selalu  menjaga  tali  persaudaraan,  demi  kekokohan  dan keutuhan  persaudaraan.
Manusia  dalam  berteman  dan  berkerabat  tidak  membedakan  strata  sosial.
Manusia  yang  berposisi  tua  dalam  kekerabatan  atau  dituakan  harus  memiliki sifat sabar, adil, berwawasan luas sehingga mampu memberi petuah, dan  berhati bersih.
Manusia  yang  berposisi  muda  dalam  kekerabatan  harus  tunduk  dan  taat terhadap  nasihat  saudara  tua.
Manusia  harus  selalu  mengkaji  kebenaran  suatu  nasehat  atau  masalah  yang dihadapi.

Pupuh  Mijil
Tembang  Mijil  berwatak  prihatin,  menggugah  hati  nurani,  dan  melahirkan rasa hati. Contoghnya sebagai berikut:

1)Poma kaki padha dipun eling, ing pituturingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, luruh sarta wasis, samubarang tanduk.
Harap kau ingat nasihatku ini, Nak. Engkau juga disebut sebagai kesatria, harus halus dan hening hatimu, lembut, dan cerdas dalam segala hal

2)Dipun nedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasona yen durung masane, kekendelan aja wani manikis, wiweka ing batin, den samar ing semu
serta berusahalah utuk berani, namun jangan sampai terihat, bahkan jika belum waktunya jangan sampai keberanian itu kau perlihatkan, hati-hati, sabar, dan rahasiakan

3)Lawan densemu lawan den lungit, maneh wekasingong, aja kurang iya panrimane, yen wis tinitah dera Hyang Widhi, ing badan punika, pan wus pepancenipun.
Melalui isyarat dengan cermat. Di samping itu, pesanku, jangan lupa bersyukur atas karunia Yang Mahakuasa dengan kodrat yang menyertaimu

4)Kang narima satitah Hyang Widhi, temah dadi awon, lan ana wong tan narima titahe, wekasane iku dadi becik, kawruhana ugi, aja selang surup.
(meskipun demikian) ada orang yang tidak bersyukur malah bernasib baik, sedangkan orang yang bersyukur bernasib jelek. Pahamilah, jangan sampai kau keliru

5)Yen wong bodho datan nedya ugi, atakon tetiron, anarima titah ing bodhone, iku wong narima norabecik dene ingkang becik, wong narima iku.
Jika ada orang bodoh tetapi tidak mau bertanya dan tidak manu menerima kodrat kebodohannya, itu tidak baik. Adapun yang baik adalah yang menerima dengan syukur

6)Kaya upamane wong angabdi, marang sing Sang Katong, lawas-lawas ketekan sedyane, dadi mantri utawa bupati, miwah saliyaneng, ing tyas kang panuju.
Seperi orang yang mengabdi kepada raja, lama-kelamaan akan terlihat kemampuannya, (akhirnya) diangkat sebagai menteri atau bupati atau tercapai seluruh keinginannya

7)Nuli narima tyasing batin, tan mengeng ing Katong, rumasa ing kani matane, sihing gusti tumeking nak rabi, wong narima becik kang mangkono iku.
Kemudian bersyukur secara lahir dan batin dengan tidak menolak perintah rajakarena merasa bahwa semua yang diterimanya sampai ke anak istri adalah atas kasih sayang raja. Orang yang bersyukur seperti itu baik.

8)Nanging arang iya wong saiki, kang kaya mangkono, Kang wus kaprah iyo salawase, yen wis ana lungguhe sathithik, apan nuli lali, ing wiwitanipun.
Namun sangat jarang orang jaman sekarang orang seperti itu. Yang sering terjadi adalah sal sudah memiliki kedukukan meskipun kecil akan melupakan asal-usulnya

9)Pangrasane duweke pribadi, sabarang kang kanggo, datan eling ing mula mulane, witing sugih sangkane amukti, panrimaning ati, kaya anggone nemu.
Perasaanya miliknya itu hasil pribadi, semua benda yang dipergunakan tidak diingat asal-usul bagaimana ia menjadi kaya, bahkan dikiranya diperoleh begitu saja seperti hasil nemu

10)Tan ngrasa kamurahaning Widdhi, jalaran Sang Katong, jaman mengko ya iku mulane, arane turun wong lumakyeng kardi, tyase tan saririh, kasusu ing angkuh.
Tidak merasa atas kemurahan Yang Mahakuasa itu berkat kasih sayang raja. Itulah sebabnya jaman sekarang jarang orang yang mewariskan kedudukan (kepada keluarganya) karena ia tidak sabar, tergesa-gesa, dan sombong

11)Arang nedya males sihing Gusti, Gustine Sang Katong, lan iya ing kabehing batine, nora nedya narimeng Hyang Widdhi, iku wong tan wruh ing, kanikmatanipun.
Jarang orang yang berkeinginan untuk membalas kasih sayang  raja, raja dari segala raja. Dalam batinnya tidak bersyukur atas anugrah Yang Mahakuasa, (orang seperti itu) tidak merasakan kenikmatan

12)Yeku wong kurang narima ugi, luwih saka awon, barang gawe aja age-age, anganggoa sabar rereh ririh, dadi barang kardi, resik tur rahayu.
Atau orang yang tidak tahu bereterima kasih (menyebabkan segalanya) menjadi buruk. Jangan tergesa-gesa dan selalu bertindak sabar, tenang, dan cermat sehingga pekerjaan menjadi baik dan mendatangkan kenikmatan

13)Uwis pinter nanging iku maksih, nggonira ngupados, undhaking ing kapinterane, lan undhake kawruh ingkang yekti, durung marem batin lamun durung tutug.
Ada pula orang yang sudah pandai namun masih mencari kepandaian yang melebihi kepandaian dan pengetahuannya, ia belum merasa puas jika belum sempurna

14)Ing pangawruh kang densenengi, kang wus sem ing batos, miwah ing kapinteran wus dene, samubarang pakaryan wus enting, nora nana lali, kabeh wus kawengku
Pengetahuan yang dia senangi dan sudah tertanam di dalam batin, segala pekerjaan sudah mampu ia lakukan, tidak ada yang terlupakan, semuanya sudah ia kerjakan

15)Lan maninge babo dipun eling, ing pituturingong, sira uga padha ngempek-empek, iya marang kang jumeneng Aji, ing lair myang batin, den ngarsa kawengku.
Dan lagi, ingatlah nasihatku. Kalian semua bernaung pada raja. Oleh karenanya, merasalah secara lahir dan batin

16)Kang jumeneng nata ambawani, wus karseng Hyang Manon, wajib padha wedi lan batine, aja mamang parintahing Aji, nadyan enom ugi, lamun dadi Ratu.
Bahwa yang menjadi raja memerintah Negara,itu merupakan kehendak Yang Mahatahu, oleh karenanya,jangan ragukan perintahnya. Meskipun masih muda namun menjadi raja

17)Nora kena iya den waoni, parentahing Katong, dhasar Ratu abener prentahe, kaya priye nggonira sumingkir, yen tan anglakoni, pasti tan rahayu.
Tidak boleh dicela. Perintah raja adalah benar adanya, maka bagaimanapun mau menghindar dan tidak menjalankan perintahnya pasti tidak akan membawa kebajikan

18)Krana ingkang kaprah mansa iki, anggone angrengkoh, tan rumangsa lamun ngempek empek, ing batine datan nedya eling, kamuktene ugi, ngendi sangkanipun.
Yang lumrah di masa kini adah mendaku, tidak merasa dirinya bernaung, bahkan dalam hatinya tidak mau mengingat asa-usul (kemuliaan itu)

19)Lamun eling jalarane mukti, pasthine tan ngrengkoh, saka durung bisa ngrasakake, ing pitutur engkang dingin-dingin, sarta tan praduli, wuruking wong sepuh.
Jika ingat asal-usul kemuliaan itu, pasti ia tidak akan sombong. (hal itu terjadi) karena ia belum dapat memahani nasihat orang terdahulu dan tidak perduli  nasihat orang tua

20)Ing dadine barang tindak iki, arang ingkang tanggon, saking durung ana landhesane, pan nganggo karsane pribadi, ngawag barang kardi, dadi tanpa dhapur.
Sehingga segala tindakannya jarang yang kokoh karena belum memiliki dasar dan menurutkan kehendak pribadi, ngawur, dan tanpa aturan

21)Mulanipun wekasingsun kaki, den kerep tetakon, aja isin ngatokken bodhone, saking bodho witing pinter kaki, mung Nabi kakasih, pinter tanpa wuruk.
Oleh karena itu nasihatku, Nak, rajinlah bertanya, angan malu menampakkan kebodohan, kepandaian itu berawal dari kebodohan, Nak. Hanya Nabi terkasih yang pandai tanpa berguru

22)Sabakdane datan ana maning, pinter tanpa tetakon, pan wus lumrahing wong urip kiye, mulane wong anom den taberi, angupaya ngelmi, dadya pikukuh.
Sesudah itu tidak ada lagi (orang) yang pandai tanpa bertanya. Bukankan sudah lazim kehidupan jaman sekarangbahwa kepandaian diperoleh karena bertanya. Oleh karena itu, orang muda rajinlah mencari ilmu sebagai pegangan

23)Driyanira dadya tetali, ing tyas dimen adoh, akeh ati ingkang ala kiye, nadyan lali pan tumuli eling, yen wong kang wus ngelmi, kang banget tuwajuh
Inderamu jadikan sebagai ikatan jiwa yang kuat agar kehidupanmu dijauhkan dari kejahatan. Bagi orang yang berilmu dengan sempurna, meskipun lupa, ia akan segera ingat

24)Kacek uga ingkang tanpa ngelmi, sabarange kaot, ngelmi iku dene kangge, saben dina gurokena dhingin, pan sarengat ugi,parabot kang parlu.
Berbeda halnya dengan orang yang tidak berilmu, segalanya berbeda. Gunakan ilmu dan asahlah setiap hari. Bukankan syariat juga merupakan kewajiban?

25)Ngelmu sarengatpuniku dadi, wewadhah kang sayektos, kawruhana kawengkune kabeh, kang sarengat, kang lair myang batin, mulane den sami, brangtaa ing ngelmu.
Inderamu jadikan sebagai ikatan jiwa yang kuat agar kehidupanmu dijauhkan dari kejahatan. Bagi orang yang berilmu dengan sempurna, meskipun lupa, ia akan segera ingat (brangtaa merupakan isyarat pola tembang berikut, yaitu asmarandana

Niali-nilai yang terkandung dalam pupuh Mijil antara lain sebagai berikut ini.
Manusia harus bersifat bijaksana, sabar, trampil, bertanggung jawab, dan tidak pamer.
Manusia harus bersifat tawaduk, berserah diri dan mampu menerima kenyataan hidup.
Manusia  harus  mampu  melaksanakan  perintah  atasan,  taat,  dan  patuh.
Manusia harus mampu menunjukkan dirinya secara apa adanya, tidak melebih-lebihkan  atau  mengurangi  fakta.

Pupuh Asmaradana
Tembang  Asmaradana  berwatak  menarik,  sedih,  prihatin,  menderita  karena asmara. 
1.Padha netepana ugi, kabeh parentahing syara, terusna lair batine, salat limang wektu uga, tan kena tininggala, sapa tinggal dadi kupur, yen misih remen neng praja.
Tetapkan juga seluruh perintah agama secara lahir batin. Sholat lima waktu tidak boleh kau tinggalkan. Barang siapa yang meninggalkan sholat akan menjadi kufur. Itupun jika kau masih mencintai kehidupan

2.Wiwitane badan iki, iya saking ing sarengat, anane Manusa kiya, rukune Islam lelima, tan kerja tininggala, pan iku parabot agung, mungguh uripe neng donya.
Badan ini pun bermula dari syariat, begitupun adanya manusia. Kelima rukun Islam tidak boleh kau tinggalkan, bukankah itu semua perangkat yang mulia bagi kehidupan manusia di dunia

3.Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apantosa kuwasane, ning aja tan linakwan, sapa tan ngalakanana, datan wurung nemu bebendu, mula padha estokena.
Kelima rukun Islam itu harus kau laksanakan semampumu, namun jangan sampai tidak kau laksanakan. Barang siapa yang tidak melaksanakan akan mendapatkan hukuman, karenanya laksanakan

4.Parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh marang Nabiu’ullah, ing Dalil Khadis enggone, aja padha sembrana, rasakna den karasa, Dalil Khadis rasanipun, dimene padhang tyasira.
Segala perintah Yang Mahakuasa, sebagaimana yang disabdakan Nabiullah, dalam dalil dan hadits, sangan sembarangan, rasakan sampai kau merasakan. Camkan betrul-betul makna dalil dan hadits agar menerangi hatimu

5.Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo, angur kebo dagingira, khalal lamun pinangan, yen manungsa dagingipun, pinangan pastine kharam.
Tidak mudah dalam menjalani kehidupan jika kau tidak mengetahui hidupmu. Orang demikian seperti kerbau, bahkan kerbau masih lebih baik karena dagingnya halal dimakan, tetapi daging manusia itu pasti haram untuk dimakan

6.Poma-poma wekas mami, anak putu aja lena, aja katungkul uripe, lan aja duwe kareman, banget paes neng dunya, siang dalu dipun emut, wong urip manggih antaka.
Perhatikan sungguh-sungguh nasihatku, anak cucu jangan terlena, jangan terlalu ingin memiliki perhiasan dunia. Siang malam ingatlah, bahwa orang yang hidup akan menemui kematian

7.Lawan aja angkuh bengis, lengus lanas calak lancang, langar ladak sumalonong, aja ngidak aja ngepak, lan aja siya-siya, aja jahil dhemen padu, lan aja para wadulan.
Dan juga jangan kau bengis, angkuh, mudah tersinggung, pemarah, bermulut lancing, tidak tahu tata karma galak, dan merendahkan orang lain, gemar bertengkar, dan suka mengadu

8.Kang kanggo ing masa iku, priyayi nom kang den gulang, kaya kang wus muni kowe, kudu lumaku kajinan, pan nora nganggo murwat, lunga mlaku kudhung sarung, lumaku den dhodhokana.
Untuk masa sekarang, para priyayi muda biasa melakukan perbuatan seperti itu, berjalan pun tidak dihormati karena tidak menggunakan pertimbangan, berjalan pun dengan berkerudung sarung agar tidak dikenali
9.Ngandelaken satriyane, lamun ngatrah dinodokan, anganggoa jejeran, yen niyat lumaku namur, aja ndodokaken manusa
Perbuatan semacam itu tidak baik. Dapat dikatakan sebagai kesatria yang tidak tahu adat dan hanya mengandalkan kesatriaannya. Kalaupun ingin menyamar, jangan menyamar sebagai orang lain

10.Iku poma dipuneling, kaki marang ptituturingwang, kang wus muni buri kuwe, yen ana ingkang nganggoa, cawangan wong mblasar, saking nora ngrungu tutur, lebur tan dadi dandanan
Sesunguh-sungguhnya, ankku, ingatlah pesanku ini. Jika ada yang melakukannya, maka ia menjadi orang yang tidak tahu aturan karena tidak mendengarkan nasihat sehingga hancur tidak membawa manfaat

11.Barang gawe dipuneling, nganggoa tepa sarira, aparentah sabenere, aja ambak kumawawa, amrih denwedenana. Dene ta kang wus linuhung , nggone mengku marang bala
Segala perbuatan hendaknya diukur dengan diri sendiri. Berikan perintah berdasarkan kemampuannya, jangan mentangmentang berkuasa agar ditakuti. Bagi orang yang sempurna dalam memerintahkan bawahan

12.Prih wedi sarta asih, ggone mengku marang bala, den weruhana gawene, den bias aminta-minta, karyane wadyanira, ing salungguh-lungguhipun, ana karyane priyangga
Berupaya agar segan dan hormat, dalam memerintah bawahan, tunjukan apa yang harus dikerjakan, jelaskan pekerjaan menurut tugas dan tanggung jawabnya masing-masing

13.Sarta weruhana ing becik, gantungana ing patrapan, darapon pethel karyane, dimene aja sembrana, denya nglakoni karya, ywa dumeh asih sireku, yen leleda patrapana
Serta tunjukan pada hal-hal yang baik, berikan sanksi agar rajin dan tidak sembarangan dalam melakukan pekerjaan. Sekalipun engkau sayangi, jika ia teledor, jatuhkan hukuman

14.Iku uga dipun eling, kalamun mulyaning praja, mufa’ati mring wong akeh, ing rina wengi tan pegat, nenedha mring Pangeran, luluse kraton Sang Prabu, miwah arjaning negara.
Itu juga harus kau ingat, jika Negara sejahtera akan memberikan manfaat terhadap orang banyak. Siang dan malam jangan sampai putus memohon kepada Gusti Allah agar merestui raja dan ketentraman negara

15.Iku wewalesing batin, mungguh wong suwiteng Nata, ing lair setya tuhu, kalawan nyandhang ing karsa, badan datan nglenggana, ing siyang dalu pan katur, atur pati uripira.
Demikian itu balas budi secara batin bagi orang yang mengabdi kepada raja, secara lahir setia dan menanti perintah raja, dirinya dan hidup matinya ia pasrahkan, siang maupun malam

16.Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya setiya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna bathinipun, ing tyas datan pangrasa.
Bergantung pada kehendak raja itulah sikap bawahan yang setia, tidak seperti jaman sekarang, jika sudah mendapatkan kedudukan, tingkahnya sperti pedagang, yang diperhitungkan hanyalah untung dan rugi, di hatinya tidak merasa

17.Awite dadi priyayi, sapa kang gawe ing sira, tan weling ing wiwitane, amung weruh ing witira, dadine saking ruba, mulane ing batinipun, pangetunge lir wong dagang.
Bagaimana awalnya sehingga menjadi pembesar, siapa yang menjadikanmu demikian,sekalipun  tak mengingat pada asal usulnya, pasti dalam hatinya ia tahu mulainya. Ia mejadi pejabat karena suap, maka perhitungannya seperti berdagang

18.Mung mikir gelise mulih, rerubanira duk dadya, ing rina wengi ciptane, kepriye lamun bisaa, males sihing bandara, lungguhe lawan tinuku, tan wurung angrusak desa
Yang dipikirkan hanya sesegera mungkin kembali modal. Jika demikian, bagaimana ia dapat membalas kebaikan majikannya karena kedudukannya diperoleh dari hasil membeli sehingga ia berani merusak desa

19.Pamrihe gelise bathi, nadyan besuk pinocota, picisku sok wusa mulih, kepriye lamun tataa, polahe salang tunjang, padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga
Dengan harapan segera mendapatkan untun, g sekalipun besok dipecat uangku sudah kembali. Bagaimana mungkin dapat tertib karena perbuatannya tidak pantas, seperti orang jahat yang tidak memperhitungakn kebaikan dan nalar

20.Poma padha dipun eling, nganggo syukur lawan lila, nrimaa ing pepancene, lan aja amrih sarama, mring sedya nandhang karya, lan padha amriha iku, harjane kang desa-desa.
Oleh karena itu ngatlah. Bersyukurlah jangan kau lupakan. Terimalah keharusan dan jangan mengharapkan suap dari bawahan yang melaksanakan tugas, sebaliknya berusahalah untuk menyejahterakan desa-desa

21.Wong desa pan aja ngesthi, anggone anambut karya, sesawah miwah tegale, nggaru maluku tetapa, aja den owah dimene, tulus nenandur jagung, pari kapas lawan jarak.
Orang-orang desa jangan sampai kesulitan dalam mengarap lading, bekerja, bersawah, bertani, dan membajak, jangan kau ganggu agar mereka dapat terus menanamjagung,  padi, kapas, dan jarak

22.Yen desa akeh wongneki, ingkang bathi pasthisira, wetune pajeg undhake, dipun reh pamrihira, aja kongsi rekasa, kang wani kalah rumuhun, beya kurang paringana.
Jika desa banyak penduduknya, yang neruntung tentu engkau, karena mendapatkan pajak yang lebih. Oleh karena itu hati-hatilah dalam mengatur jangan sampai menyusahkan, biarlah mengalah dulu, jika kurang biaya, berilah

23.Kapriye gemahing bumi, sakehe kang desa-desa, salih bekel pendhak epon, pametuhe jung sacacah, bektine karobelah, temahan desane suwung, priyayi jaga pocotan
Namun bagaimana bumi dapat tentram jika pemimpinnya berganti setiap hari Pon. Tanah satu jung diambil upeti seratus lima puluh sehingga desa kosong karena berganti-ganti pemimpin

24.Poma aja anglakoni, kaya pikir kang mangkono, satemah lingsem dadine, den sami angestakena, mring pitutur kang arja, nora cacad alanipun, wong nglakoni kebecikan.
Sesungguh-sungguhnya jangan ada yang melakukan perbuatan itu sebab pada akhirnya akan mempermalukan dirimu. Patuhilah nasihat yang member kesejahteraan karena tidak ada jeleknya menjalankan kebaikan

25.Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembrana, ewuh yen nuruta, malah mudhar pitutur, pangrasane pan wus wignya.
Para pemuda zaman sekarang ini jika dinasihati baik-baik jarang ada yang mendengarkan seraya bercanda dan tidak ada yang meniru bahkan ganti menasihati karena merasa sudah tahu

26.Aja na mangkono ugi, yen ana wong kang carita, rungokena saunine, ingkang becik sireng gawa,bawungen ingkang ala, anggiten sajroning kalbu, ywa nganggo budi nonoman.
Jangan ada yang bersikap seperti itu. Jika ada yang sedang bercerita dengarkan sesuai dengan apa yang dikatakan, yang baik kau ambil, yang tidak baik kau buang. Semua itu camkan dalam hatimu, jangan biasakan bertindak sebagai pemuda (nonoman merupakan isyarat pola tembang berikut, yaitu sinom).

Nilai-nilai  yang  terkandung  dalam  pupuh  Asmaradana  antara  lain  sebagai berikut  ini.
Manusia  harus  melaksanakan  perintah  Tuhan  (syariat  Islam)  dan  patuh terhadap  nabi.
Anak  manusia  tidak  boleh  mencintai  secara  berlebihan:  keluarga,  harta,  dan kedudukan.
Manusia harus menjauhi sifat bengis,lengus ’tidak bersahabat dan kasar’, lanas, langar, lancang, calak, ladak, sumlonong, ngepak, siya-siya, jail, parapadu,  dan parawadulan.
Manusia  hendaknya  menggunakan  tenggang  rasa  tidak  sewenang-wenang terhadap  anak  buahnya. Manusia  yang  menghambat  Tuhan  harus  selalu  ingat,  mengucap  rasa  syukur dan  memohon  ridho-Nya  yang  didasari  raya  ikhlas.
Manusia  harus  selalu  sabar  dalam  menghadapi  kesulitan.
Manusia  harus  menghindari  sikap  kekurang  hati-hatian  atau  sembrana.

Malam 1000 bulan

Menuju Malam Selikuran

Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari. Di tengah-tengah perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid. Kumayl berkata, “Ya Amiral Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.” Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl, itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”

"Ketika beliau sampai di halaman rumah, sekelompok angsa berteriak-teriak ke arah Imam Ali. Saat orang-orang mau menghalau angsa-angsa itu, Imam Ali berkata: "biarkan saja! Karena angsa-angsa itu tengah meratapi kematianku."

***
Malam itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit. Di mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Dia pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fasik dan munkar. Yang disapa dan dinasehati membatu, tak kunjung beranjak. Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yg sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”

Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam tersimpan pedang beracun. Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia. Di mihrab, Imam Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam, seperti orang-orang di zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari sujud partamanya. Darah lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan. “Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah".…

Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah… Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.”

***
Wasiat Imam Ali kepada putranya. Wahai putraku… Berlemah lembutlah kepada tawananmu (maksudnya Abdurrahman bin Muljam, sang pembunuh). Berbelas kasihlah kepadanya, dan perlakukan ia dengan baik. Beri ia makan dari makanan yang kamu makan, dan beri ia minum dari minumanmu. Jangan kau ikat kedua tangan dan kakinya. Jika nanti aku mati, tegakkan hukuman Allah atasnya. Bunuhlah dia dengan sekali pukulan (jangan disiksa). Jangan kamu bakar ia, dan jangan kamu cincang ia, karena aku mendengar kakek kalian (Rasulullah SAW) bersabda: “Jangan kamu mencincang siapa pun, sekali pun ia anjing galak.”

Dan jika aku nanti sembuh dan hidup (selamat dari pembunuhan ini), maka akulah yang paling berhak mengurusnya, dengan (cara) memaafkannya, dan aku lebih mengerti apa yang harus aku lakukan. Aku wasiatkan kepada kalian berdua (maksudnya kepada Al-Hasan dan adiknya, Al-Husain) dengan ketaqwaan kepada Allah, dan jangan rakus pada dunia walaupun dunia merayumu. Jangan bersedih atas bagian dari dunia yang tidak kalian dapat. Bertutur-katalah dengan jujur dan berbuatlah untuk pahala. Jadilah kalian ‘lawan si zalim’ dan ‘pembela yang teraniaya’.”

By : muhtasib tasib

Selasa, 21 Juni 2016

Bung Karno, Bendera pusaka dan kematianya

Bung Karno, Bendera Pusaka dan Kematiannya

Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dam MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu" kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka pergi ke rumah Ibu". Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi "Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia makulum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah tidak boleh tinggak di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.

Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. "Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kamu memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya". Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Saelan dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri -gadis Bali- untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno, Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat ....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!...

Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis. Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. "Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden" kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya. "Lhol, Mbak Rachma ada apa?" tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggemgam tangan Rachma lalu dengan menggemgam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. "Lho, Mbak Rachma..ada apa?" kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawar di Wisma Yaso.

Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi. Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.

Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberaoa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak. Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung Karno...!!!!!" Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.

Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini". Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.

Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Tau sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih. Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno.

Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi. Mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambai-lambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, berdiri dengan rasa cinta bukan sebuah keterpaksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, Tapi dia diperlakukan layaknya binatang terbuang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti ini lagi.....

(Ditulis Oleh Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, 21 Juni 2010)

Minggu, 19 Juni 2016

Malam 1000 Bulan

Ummatan Wasathan.

Sesuatu yang dahsyat itu sepertinya mustahil luput dari pertimbangan yang sempurna, presisi dan meliputi segala hal. Apalagi sesuatu yang membuat manusia takjub itu datangnya bukan dari hasil rekayasa makhluk. Adalah malam "seribu bulan" yang didambakan semua orang itu apakah ia datang dengan harga yang murah? Maksudnya, apakah ia datang dari ibadah yang sekedar saja? . Meski esensi sederhana atau tidaknya suatu amalan tidak dapat diukur dari hanya kadar kuantitas, ukuran yang terlihat, berat atau ringan dalam hitungan logika manusia.

Namun, rasanya, ukuran yang dahsyat itu barangkali lahir dari proses yang panjang semisal meliputi masa lalu, hari ini dan esok. Andai ada manusia yang berjumpa dengan lailatul qodar, bisa jadi perhitungan jatuhnya itu sangat presisi dengan waktu masa lalu, baik doa orang orang terdahulu, bahan dasar konsumsi orang tua terhadap anak dengan makanan yang halal, prilaku hari ini dan niatan untuk mengabdi kepada kebaikan kebaikan pada masa yang akan datang.

Rasanya mustahil atau paling tidak pada ukuran keadilan di mata manusia, kayaknya tidak mungkin kalau setiap hari konsumsi riba, sesuatu yang haram dan merugikan orang lain dia berjumpa sesuatu yang dahsyat meski hari ini ia mendadak baik dan berniat shaleh pada masa mendatang terkecuali ia menutupnya masa lalunya dengan taubat.

Atau, jika masa lalu manusia terhitung baik namun tidak dilandasi keberangkatan menuju sesuatu yang lebih baik rasanya suatu yang dahsyat akan menjadi sia sia atau bahkan dapat menjelma jurang yang menganga karena buta arah, tidak diniatkan untuk menjadi sesuatu dan dapat menjelma menjadi sebaliknya. Tak terhitung manusia yang bertambah wawasannya justru bertambah jauh dari cahaya.

Kita ini "Ummatan Wasathan" . Makhluk tengah tengah yang masa lalu dan masa depan mustahil lepas dari bagian hidup. Kita masa lalu bagi generasi selanjutnya yang pasti kita ikut andil dalam menentukan nasib apakah anak anak itu suatu malam nanti berjumpa dengan sesuatu yang dahsyat semacam apa yang dinantikan manusia pada bulan ini. Lailatul Qodar.

Ponpes al Farabi, Halangan Ratu, Pesawaran. Lampung.
18 Juni 2016. ( mas Baim )

Sabtu, 18 Juni 2016

MEDSOS

TABAYUN DI ERA MEDSOS

Jika di kerumunan pasar tiba-tiba ada yang berteriak "Coppeetttt" sambil menunjuk ke anda, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, Kerumunan akan serentak menghakimi anda, tanpa sempat lagi melakukan verifikasi: benarkan anda copetnya? atau yang lebih krusial lagi, benarkah dompet ibu di sebelah anda itu hilang karena dicopet atau ibu tersebut ketinggalan dompetnya di rumah.

Sayangnya skenario di atas juga terjadi dunia medsos. Meski sudah menggunakan smartphone tapi kita hakikatnya tidak lebih dari kerumunan di medsos: yang bersikap reaktif tanpa sempat melakukan verifikasi. Dalam bahasa agama, kita gagal melakukan tabayun terlebih dahulu sebelum bereaksi yang konsekuensinya bisa merugikan pihak lain.

Dalam sekali pencet di layar smartphone sejumlah ajaran akhlak yang diajarkan Nabi dilanggar seketika: harus tabayun, jangan ghibah, jangan mencari-cari kesalahan saudaramu, jangan memberi label atau panggilan yang buruk, jangan mudah mengkafirkan orang lain, jangan menuduh saudaramu, jangan merusak kehormatannya dengan mempermalukan di depan umum, jangan debat kusir, jangan bersikap kasar, jangan bersikap sombong, jangan menganggap dirimu suci, dan seterusnya.

Pada dasarnya berteriak "coppeettt" di pasar atau melabeli orang dengan berbagai panggilan yang buruk serta menuduh orang lain atau mencaci makinya adalah mekanisme pertahanan diri kita. Kita panik karena dompet kita tidak ada, dan serta merta menuduh orang di dekat kita. Kita kalah argumentasi dan tidak mampu membantah argumen orang lain, maka mekanisme pertahanan diri kita segera muncul: serang saja pribadi lawan diskusi kita. Diskusi di medsos menjadi sama riuh dan berisiknya seperti diskusi di pasar. Gayanya saja kita pakai smartphone saat diskusi padahal cara kita berkomunikasi masih berupa kerumunan yang saling berteriak dan memunculkan mekanisme pertahanan diri.

Kita juga cenderung mempercayai sesuatu yang memang kita ingin percayai. Kalau ada berita jelek atau berita baik tentang seorang tokoh, tanpa berpikir dua kali, kita langsung forward atau share berita tersebut, sesuai isi hati kita yang senang atau benci dengan tokoh tersebut. Jadi, yang menentukan itu bukan benar atau tidaknya isi berita tapi apakah kita senang atau benci dengan tokoh yang dibicarakan itu. Ini yang namanya bias.

Dalam bahasa ayat ilahi, kita diingatkan untuk bersikap adil meski terhadap kelompok atau orang yang tidak kita sukai. Dalam bahasa Pram novelis keren itu, kita diminta untuk adil sejak dalam pikiran, karena pikiran itu yang akan menentukan tindakan kita selanjutnya.

Anehnya lagi, kalau ada Kiai atau Guru Besar yang posting di medsos, banyak sekali yang tanya: mana dalilnya? ada referensinya gak? itu ceritanya ada di kitab apa? itu hadisnya sahih enggak? Ada yang memang genuine bertanya untuk bisa membaca lebih lanjut, namun ada yang memang hendak mempersoalkan postingan tersebut. Tetapi kalau ada berita 'menarik' di medsos, mereka langsung forward atau share, gak peduli itu berita hoax atau sungguhan. Mereka tidak lagi bertanya: ini bener gak sih?

Kalau soal agama, sibuk nanya dalil, tapi kalau menyebar berita hoax, gak nanya lagi langsung share. Maka postingan agama yang mengajarkan kebaikan menjadi kalah cepat dengan postingan yang menghembuskan kebencian.

Intinya bukan soal dalil, tapi soal perasaan anda saja: senang atau benci. Meskipun didatangkan bukti 10 kitab tafsir lengkap dengan screenshot teks arab langsung, anda gak akan percaya. Tapi hanya dengan satu gambar meme yang mengolok-olok dan cocok dengan isi hati anda, maka anda langsung klik share, gak peduli apakah itu gambar editan atau asli. Mantranya di medsos: gak cocok, tanyakan dalilnya; kalau cocok gak usah pakai klarifikasi dan verifikasi, langsung sebar saja.

Dalam kerumunan, seringkali kita terpaksa harus membela diri menggunakan logika kerumunan yang sama. Kita harus lebih smart ketimbang smartphone kita. Tidak bisa polos dan lugu.

Di dalam cafe yang terlihat hampir penuh, seorang bapak mendekati meja dimana duduk seorang perempuan muda. Kursi sebelahnya kosong, maka dengan sopan bapak tersebut bertanya:

"Maaf, kursi ini kosong? boleh saya duduk di sini?"

Tiba-tiba perempuan muda itu berteriak keras sehingga semua pengunjung mendengarnya dan segera melihat ke arah mereka berdua:

"Apa???? Bapak mencoba menawar saya? Dasar lelaki tua gak tahu diri! Kamu pikir saya perempuan murahan?!"

Merah padamlah muka si bapak itu. Di bawah tatapan pengunjung cafe, bapak itu kemudian berdiri di pojok menanti kursi kosong.

Setelah beberapa saat, perempuan muda itu bangkit dan mendekati bapak tua itu:

"Maaf Pak. Saya sedang bekajar akting, Saya tidak bermaksud membuat bapak malu"

Tiba-tiba Bapak itu berteriak kencang yang terdengar oleh semua pengunjung cafe:

"Apa?? cuma seratus ribu per jam? murrraah sekali harga anda! Dasar perempuan murahan? Saya gak mau!!!!"

Tabik,

#lawangNgelmu

Nadirsyah Hosen
Monash Law School

Atlas Walisongo

“ATLAS WALISONGO”:
MAGNUM OPUS AGUS SUNYOTO

Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I*)

Selama ini, terdapat sebagian kalangan yang meragukan kiprah Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka bahkan beranggapan bahwa kisah tentang Walisongo sekadar mitos atau legenda. Alasannya, tidak mungkin Islam menyebar begitu meluas hanya dapat tempo yang sebentar. Padahal, berabad-abad sebelumnya, Islam mengalami banyak kesulitan untuk menyebar di Nusantara, khususnya di Jawa.

Memang diakui, pada awalnya tidak mudah bagi Islam untuk masuk dan berkembang di Nusantara. Bahkan dalam catatan sejarah, dalam rentang waktu sekitar 800 tahun, Islam belum bisa berkembang secara massif. Catatan Dinasti Tan dari China menulis, saudagar-saudagar dari Timur Tengah sudah datang ke kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 M, yakni dalam masa peralihan Khalifah Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah. Pada abad ke-10, sejumlah rombongan dari suku Lor Persia datang ke Jawa. Mereka tinggal di suatu daerah di Ngudung (Kudus), sehingga dikenal sebagai Loram (dari kata Lor). Mereka juga membentuk komunitas-komunitas di daerah lain, seperti di Gresik yang dikenal dengan daerah Leran. Tapi tidak ada cerita perkembangan Islam selanjutnya.

Selain itu, berdasarkan catatan Jawa ditulis, Sultan Algabah dari Rum, mengirim 20.000 keluarga ke Jawa, namun semuanya mati terbunuh, dan hanya menyisakan 200 keluarga. Sang Sultan pun murka. Agar Islam tetap berkembang di Jawa, Sultan pun mengirim orang-orang yang dianggap wali dan memiliki karomah, salah satu tokohnya adalah Syeikh Subakir yang terkenal numbali tanah Jawa agar bisa ditempati. Pada abad ke-10 tersebut, Syeikh Subakir mengelilingi Jawa dan kemudian kembali lagi ke Rum. Setelah itu, tidak diketahui Islam berkembang atau tidak.

Dalam catatannya, Marcopolo menulis, ketika kembali dari China ke Italia tahun 1292 M, ia tidak melewati Jalur Sutera, tetapi melewati laut menuju Teluk Persia. Ia singgah di kota pelabuhan Perlak Aceh yang terletak di selatan Malaka. Menurutnya, di Perlak, ada tiga kelompok masyarakat, yaitu (1) China, yang seluruhnya beragama Islam; (2) Barat (Persia), yang seluruhnya beragama Islam; dan (3) pribumi, yang menyembah pohon, batu, dan roh, bahkan di pedalaman masih memakan manusia.

Seratus tahun setelah Marcopolo, datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa tahun 1405. Ia mencatat, ketika singgah di Tuban, ia menemukan ada 1000 keluarga China beragama muslim. Di Gresik juga ada 1000 keluarga China beragama muslim, demikian juga di Surabaya ada 1000 keluarga China beragama muslim. Pada kunjungan Cheng Ho yang ketujuh (terakhir) ke Jawa pada tahun 1433, ia mengajak juru tulisnya yang bernama Ma Huan. Menurut catatan Ma Huan, kota-kota di pantai-pantai utara Jawa, penduduknya yang China dan Arab beragama muslim, sedangkan penduduk pribumi rata-rata kafir sebab menyembah pohon, batu, dan roh.

Tujuh tahun setelah itu, yakni tahun 1440, datanglah seorang wali dari negeri Campa (Vietnam Selatan) ke Jawa beserta keluarganya, yaitu Syeikh Ibrahim Samarqandi dan dua putranya, Ali Murtadho dan Ali Rahmat. Mereka tinggal di daerah Tuban, tepatnya di Desa Gisikharjo Kec. Palang. Namun belum sempat berkembang, Syeikh Ibrahim meninggal dan dimakamkan di sana. Kedua putranya pun menuju Majapahit, sebab bibinya dinikahi raja Majapahit. Oleh raja, keduanya diangkat sebagai pejabat. Ali Murtadho sebagai raja pendeta (menteri agama) untuk orang-orang Islam, sedangkan Ali Rahmat sebagai imam di Surabaya. Ali Rahmat inilah yang kemudian dikenal sebagai Raden Rahmat Sunan Ampel.


Dari Sunan Ampel, lahirlah Sunan Bonang dan Sunan Drajat, serta putri-putrinya, kemudian murid-muridnya, seperti Sunan Giri dan Raden Fatah. Dari sini kemudian terbentuklah Walisongo. Ketika pertama datang tahun 1440, Sunan Ampel waktu itu belum menikah. Dan pada tahun 1470 atau butuh waktu sekitar 30 tahun inilah, Sunan Ampel mengembangkan Islam di tanah Jawa, sembari putra-putri dan murid-muridnya tumbuh dewasa. Inilah dimulainya era Walisongo, yakni pada tahun 1470.

Sekitar 40 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513, seorang Portugis bernama Tome Pires datang ke Jawa. Ia mencatat, sepanjang pantai utara Jawa, penguasanya adalah para adipati muslim. Padahal sebelumnya, menurut Ma Huan pada tahun 1433, sepanjang pantai utara Jawa adalah kafir. Ini mengindikasikan bahwa Islam berkembang secara massal baru sejak era Walisongo.

Kesaksian lainnya, pada tahun 1522, Antonio Pigafetta, seorang pengelana dari Italia yang menumpang kapal Portugis datang ke Jawa, ia menyaksikan penduduk pribumi di sepanjang utara Jawa seluruhnya muslim. Di pedalaman masih ada kerajaan majapahit, rajanya Raden Wijaya, namun sudah tidak berkembang. Sekali lagi, inilah bukti Islam berkembang luas baru pada era Walisongo.

Pertanyaannya: mengapa hanya dalam kurun waktu 40-50 tahun Islam diterima begitu meluas di Jawa, padahal sebelumnya sangat sulit berkembang? Faktor kesuksesan dakwah Walisongo salah satunya adalah dengan mengembangkan peradaban yang ditinggalkan Majapahit menjadi sebuah peradaban baru yang akarnya Majapahit tapi cirinya Islam. Contohnya, sampai era Demak awal, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar, seperti era majapahit. Pertama, Golongan Gusti, yakni orang-orang yang tinggal di dalam keraton. Kedua, Golongan Kawula, orang yang tinggal di luar keraton. Gusti artinya tuan, kawula artinya budak, yang tidak mempunyai apa-apa, hanya memiliki hak sewa, bukan hak milik, sebab yang punya adalah tuannya (gusti). Jadi, pada era Majapahit, semua hak milik adalah milik keraton. Jika raja ingin memberi seorang kawula yang berjasa, ia diberi tanah simah/perdikan.

Yang dirintis Walisongo, terutama Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, adalah mengubah struktur masyarakat gusti dan kawula yang tidak relevan dan tidak manusiawi tersebut. Digunakanlah struktur komunitas baru yang disebut “masyarakat”, berasal dari istilah Arab, musyarakah, yang berarti komunitas yang sederajat dan saling bekerjasama.

Salah satu metode Walisongo adalah dengan mengubah mindset masyarakat. Golongan gusti menyebut kata ganti dirinya: intahulun, kulun atau ingsun. Sedangkan golongan kawula menyebut kata ganti dirinya: kulo atau kawula. Orang Sunda menyebutnya: abdi; orang Sumatera: saya atau sahaya; orang Minang: hamba atau ambo. Walisongo mengubah semua sebutan yang berarti budak tersebut, dan diganti dengan ingsun, aku, kulun, atau awak, dan sebutan lain yang tidak mewakili identitas budak. Itulah konsep masyarakat yang tidak membedakan panggilan antara golongan gusti dan kawula. Bahkan dalam bahasa Kawi, tidak ada istilah “masyarakat”, “rakyat”, dan sebagainya.

Pada zaman Majapahit, selain golongan gusti, orang tidak mempunyai hak milik, seperti rumah, ternak, dan seterusnya, sebab semuanya milik keraton. Kalau keraton punya hajat, seperti ingin membangun jembatan atau candi dan membutuhkan tumbal, maka anak dari golongan kawula yang diambil dan dijadikan korban. Dengan mengubah struktur masyarakat, golongan kawula akhirnya bisa menolak karena merasa sederajat.

Orang Jawa era Majapahit terkenal arogan. Prinsip hidupnya adalah adigang adigung adiguna. Mereka bangga jika sudah bisa menundukkan dan merendahkan orang lain. Menurut kesaksian Antonio Pigafetta, pada waktu itu, tidak ada orang yang sombong melebihi orang Jawa. Kalau ia sedang berjalan, dan ada orang dari bangsa lain juga berjalan tetapi di tempat yang lebih tinggi, maka akan disuruh turun. Jika menolak, akan dibunuh. Itulah watak orang Jawa. Sehingga dalam bahasa Jawa asli (Kawi), tidak dikenal istilah “kalah”. Kalau seseorang berselisih dengan orang lain, maka yang ada adalah “menang” atau “mati”. Walisongo kemudian mengembangkan istilah ngalah, bukan dari asal kata kalah, tetapi bermakna seperti ngalas (menuju alas) ngawang (menuju awang-awang), maka ngalah berarti menuju Gusti Alah, yakni tawakkal.

Sebagai bukti kesombongan orang Jawa adalah ketika utusan dari China mengirimkan pesan dari rajanya kepada ke Raja Kertanegara, karena tersinggung, utusan tersebut dilukai. Istilah carok di Madura juga berasal dari tradisi Jawa Kuno. Carok dalam bahasa Kawi berarti berkelahi; warok berarti tukang berkelahi; dan Ken Arok disebut sebagai pemimpin tukang berkelahi. Oleh Walisongo, dikenalkan istilah baru, seperti sabar, adil, tawadhu’, dan sebagainya.

Walisongo melihat sebetulnya agama Hindu dan Buddha hanya dipeluk oleh kalangan Gusti di keraton-keraton. Masyarakat umumnya beragama Kapitayan, yakni pemuja Sang Hyang Taya. Taya artinya suwung, kosong. Tuhannya orang Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Taya didefinisikan secara sederhana dengan “tan keno kinaya ngapa”, tidak bisa diapa-apakan, dilihat, dipikir, dibayangkan.  Kekuatan Sang Hyang Taya inilah yang kemudian ada di berbagai tempat, seperti di batu, tugu, pohon, dan disitulah mereka melakukan sesaji.

Agama Kapitayan inilah agama kuno yang dalam arkeologi, sisa-sisa peninggalannya dikenal dalam istilah Barat dengan dorman, menhir, sarkofagus, dan lainnya yang menunjukkan ada agama kuno di tempat itu. Oleh sejarawan Belanda, hal ini disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon-pohon, batu, dan ruh. Sedangkan menurut istilah Ma Huan, praktik seperti ini disebut kafir.

Nilai-nilai agama Kapitayan ini diambil alih oleh Walisongo, dalam menyebarkan Islam. Sebab konsep tauhid Kapitayan sama dengan Islam. Tan keno kinaya ngapa sama artinya dengan laisa kamitslihi syai’un. Istilah-istilah yang digunakan Walisongo pun masih istilah Kapitayan, seperti menyembah tuhan disebut sembahyang (sembah hyang taya). Tempat ibadah Kapitayan disebut sanggar, yakni bangunan empat persegi yang pada dindingnya ada lubang kosong (simbol dari Sang Hyang Taya, bukan patung atau arca seperti Hindu Buddha). Walisongo menyebutnya langgar.

Dalam Kapitayan, ada juga ritual berupa tidak makan dari pagi sampai malam. Walisongo tidak menggunakan istilah shaum atau siyam, tapi upawasa (puasa, poso). Poso dino pitu berarti yaitu puasa padi hari kedua dan kelima. Nilainya sama dengan puasa tujuh hari. Dalam Islam, dikenal dengan Puasa Senin Kamis. Tumpeng dalam sesaji juga tetap dijalankan. Inilah yang dalam istilah Gus Dur disebut “mempribumikan Islam”.

Pada zaman Majapahit, ada upacara “sraddha”, yakni upacara setelah 12 tahun kematian seseorang. Ketika terjadi peringatan sraddha seorang raja Majapahit, Bhre Pamotan Sang Sinagara, seorang pujangga, Mpu Tanakung, membuat kidung “Banawa Sekar” (Perahu Bunga), untuk menunjukkan betapa upacara itu dilaksanakan dengan penuh kemewahan dan kemegahan. Masyarakat pantai atau sekitar telaga menyebut tradisi tersebut dengan istilah sadran atau nyadran (dari kata sraddha).

Walisongo yang berasal dari Campa juga membawa tradisi keagamaan, seperti peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 10 hari, 1000 hari kematian seseorang. Tradisi ini adalah tradisi Campa, bukan tradisi asli Jawa, bukan juga tradisi Hindu. Sebab tradisi tersebut juga ada di sebagian Asia Tengah, seperti Uzbekistan dan Kazakhstan. Dalam buku-buku tentang Tradisi di Campa, akan diketahui bahwa peringatan tersebut sudah ada sejak dulu.

Dalam tahayul Majapahit, hanya dikenal Yaksa, Pisaca, Wiwil, Raksasa, Gandharwa, Bhuta, Khinnara, Widyadhara, Ilu-Ilu, Dewayoni, Banaspati, dan arwah leluhur. Orang Majapahit terkenal sebagai orang yang rasional. Mereka pelaut dan mengenal orang-orang dari China, India, Arab, dan sebagainya. Dalam zaman Islam yang terpengaruh dari Campa, muncul banyak tahayul, seperti pocong. Ini jelas berasal dari keyakinan Islam, sebab orang Majapahit matinya dibakar dan tidak dipocong. Ada juga kuntilanak, tuyul, hingga Nyai Roro Kidul atau Ratu Laut Selatan yang muncul belakangan, sebab laut mana saja, oleh orang Majapahit, akan dilewati.

Era Walisongo, tidak ada penyebaran Islam dengan kekerasan senjata. Baru zaman Belanda, terutama pasca Perang Diponegoro, Belanda betul-betul kehabisan dana, sehingga berhutang jutaan gulden. Setelah Diponegoro ditangkap, ternyata pengikutnya tetap tidak pernah tunduk. Belanda akhirnya melakukan dekonstruksi cerita-cerita tentang Walisongo, seperti pada Babab Kediri. Dari babad inilah muncul kitab Darmo Gandul dan Suluk Gatholoco. Yang mengarang kitab ini bernama Ngabdullah, orang Pati, yang karena kemiskinan, membuatnya murtad menjadi Nasrani. Ia kemudian berganti nama menjadi Ki Tunggul Wulung dan menetap di Kediri.

Dalam serat karangannya, terdapat banyak cerita yang bertolak belakang dengan kenyataan sejarah, seperti Demak menyerang Majapahit tahun 1478 dan munculnya tokoh fiktif Sabdo Palon Naya Genggong yang bersumpah bahwa 500 tahun setelah penyerangan itu, Majapahit akan bangkit kembali. Padahal menurut naskah yang lebih otentik dan lebih kuno, pada tahun itu yang menyerang Majapahit adalah Raja Girindrawardhana, raja Hindu dari Kediri. Saking kuatnya dongeng itu, membuat Presiden Soeharto begitu percaya sehingga menetapkan disahkannya Aliran Kepercayaan pada tahun 1978 (500 tahun setelah 1478) sebagai simbol kebenaran sumpah Sabdo Palon akan kebangkitan Majapahit.

Diam-diam, ternyata Belanda membuat sejarah karangan sendiri untuk mengacaukan perjuangan umat Islam, terutama pengikut Diponegoro. Bahkan Belanda juga membuat Babad Tanah Jawi sendiri, yang berbeda dengan Babad Tanah Jawi yang asli. Contohnya, naskah tentang Kidung Sunda, digambarkan adanya peristiwa bubad, yakni ketika Gajahmada membunuh Raja Sunda dan seluruh keluarganya. Hal inilah yang membuat orang-orang Sunda memendam dendam pada orang-orang Jawa. Naskah itu sendiri muncul tahun 1860, yang membuatnya adalah orang Bali atas suruhan Belanda. Itu adalah peristiwa besar, mana mungkin tidak ditulis dalam Babad Sunda, termasuk dalam naskah Majapahit? Sekali lagi, inilah taktik Belanda dalam memecah masyarakat dengan membuat cerita-cerita palsu. Dari seluruh pendistorsian sejarah, semua pasti berawal dari naskah karangan Belanda pasca Perang Diponegoro.

Umat Islam adalah orang yang tidak mudah ditundukkan Belanda. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya dari orang-orang Belanda yang kafir. Buktinya, sejak tahun 1800-1900, terjadi 112 kali pemberontrakan yang dipimpin oleh para guru tarekat dan orang-orang dari pesantren. Akhirnya, Belanda membuat cara yang lebih sistematis, ketika tahun 1848 (pasca Perang Diponegoro), mereka membuat peraturan perundang-undangan, dimana orang kulit putih (Eropa) ditempatkan pada kelas tertinggi sebagai warga negara kelas satu; orang-orang Tionghoa dan Timur Asing sebagai warga negara kelas dua; dan warga pribumi (inlander) sebagai warga negara kelas tiga.  KUHP pun dibagi menjadi dua, yakni KUHP untuk warga negara kelas satu yang disebut Raad van Justitie, serta KUHP khusus untuk warga negara kelas dua dan tiga yang disebut Landraad. Dalam perkara perdata, orang-orang Tionghoa dan Timur Jauh dapat berperkara di Raad van Justitie, tetapi tidak demikian dengan orang pribumi.

Demikian juga diskriminasi melalui lembaga sekolah. Menurut taktik Belanda ini, umat Islam bisa ditundukkan kalau anak-anak muslim dijadikan sebagai manusia modern dengan mengirim mereka ke sekolah, sebab pesantren resistensinya sangat tinggi. Dari sekolah inilah umat Islam menjadi modern, sehingga muncul Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Serikat Islam (1912), Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persis (1923), dan sebagainya. Mereka adalah golongan orang-orang yang berpikiran modern. Dengan cara inilah Belanda menundukkan umat Islam. Buktinya, PKI lahir dari orang-orang sekolah, yakni dari SI Merah. SI pecah menjadi dua: SI Merah dan SI Hijau. SI Merah kemudian menjadi Serikat Rakyat yang pada Mei 1920 menjadi PKI. Sedangkan mereka yang di pesantren dituduh tradisional, primitif, dan tempatnya TBC (Tahayul Bid’ah, Churafat). Orang-orang pesantren ini akhirnya bertahan dengan mendirikan NU pada tahun 1926.

Warisan Walisongo terputus ketika pesantren meninggalkan tulisan Jawa. Pada abad ke-17 hingga 18, terutama setelah Terusan Suez dibuka, orang banyak pergi haji ke Tanah Suci. Pengaruh Timur Tengah pun mulai muncul. Salah satunya, munculnya tulisan pegon yang tanpa diduga akhirnya menjadi mainstream di pesantren. Dampaknya, pesantren tidak mewarisi warisan Walisongo yang tertulis dalam tulisan Jawa. Padahal peradaban baru pasca Majapahit adalah peradaban warisan Walisongo sangat tinggi nilainya, dan ditulis dalam tulisan Jawa.

Dalam teknologi metalurgi peleburan besi dan baja, misalnya, orang-orang Majapahit bisa membuat pusaka, keris, tombak, panah, bahkan barunastra, yakni panah yang berfungsi seperti torpedo air yang jika ditembakkan bisa membuat kapal jebol. Bahkan kerajaan Demak mampu membuat meriam-meriam ukuran besar dan diekspor ke Malaka, Pasai, bahkan Jepang. Fakta Jepang pernah membeli meriam dari Demak bersumber dari catatan bahwa ketika Portugis menaklukkan pelabuhan Malaka, benteng Malaka dilengkapi oleh meriam-meriam ukuran besar yang didatangkan dari Jawa. Portugis yang baru datang dari Eropa, kapal-kapal mereka dijebol meriam ketika mendekati pelabuhan Malaka. Buktinya saat ini bisa dilihat di Benteng Surosowan Banten, dimana di depannya ada meriam bernama “Ki Amuk” yang besar. Orang bisa masuk ke lubang meriam menggambarkan besarnya meriam yang ditembakkan. Bahkan capnya pun masih ada, yakni buatan Jepara. Istilah “bedil besar” dan “juru mudining bedil besar” menggambarkan meriam dan operator meriam. Itulah teknologi militer era Walisongo.

Bahkan dalam peradaban berbuasana, pada era Walisongo muncul pakaian kemben, surjan, dan sebagainya. Padahal zaman Majapahit, orang-orang tidak berpakaian sempurna. Ini bisa dilihat pada relief-relief candi, dimana laki-laki dan perempuan bertelanjang dada

Zaman Majapahit, keseniannya adalah “wayang beber”, sedangkan era Walisongo adalah “wayang kulit”. Ceritanya tentang Mahabharata, oleh Walisongo dibuat versinya sendiri yang berbeda dengan versi asli India. Dalam versi India, Pandawa Lima memiliki satu istri, Drupadi. Ini berarti konsep poliandri. Walisongo mengubah konsep tersebut dengan menceritakan bahwa Drupadi adalah istri Yudhistira, saudara tertua. Werkudara atau Bima istrinya Arimbi, yang kemudian kawin lagi dengan Dewi Nagagini yang memiliki anak Ontorejo dan Ontoseno, dan seterusnya. Digambarkan bahwa semua Pandawa berpoligami. Padahal versi aslinya, Drupadi berpoliandri dengan lima pandawa.

Demikian halnya dalam cerita Ramayana. Hanuman memiliki dua ayah, yakni Kesari Raja Maliawan dan Dewa Bayu. Oleh Walisongo, Hanuman disebut sebagai anak dari Dewa Bayu. Walisongo bahkan membuat silsilah bahwa dewa-dewa itu keturunan Nabi Adam. Hal ini bisa dilihat dari pakem pewayangan Ringgit Purwa di Pustaka Raja Purwa Solo, yakni suatu pakem untuk para dalang. Jadi pakem yang dipakai para dalang itu adalah pakem Walisongo, bukan pakem India. Wayang inilah tontonan sekaligus tuntunan dalam dakwah Islam Walisongo.

Dalam dunia sastra, Majapahit mengenal kakawin dan kidung. Oleh Walisongo, ditambah dengan berbagai tembang, seperti tembang gedhe, tembang tengahan, dan tembang alit. Berkembang pula tembang macapat di daerah pesisir. Kakawin dan kidung hanya bisa dipahami oleh pujangga. Tetapi untuk tembang, masyarakat buta huruf pun bisa. Inilah metode Dakwah Walisongo melalui jalur kesenian dan kebudayaan.

Contoh lain, slametan yang dikembangkan Sunan Bonang dan kemudian sunan-sunan yang lain. Dalam agama Tantrayana yang dianut oleh raja-raja di Nusantara, salah satu sektenya adalah Bhairawa Tantra yang memuja Dewi Pertiwi, Dewi Durga, Dewi Kali, dan lainnya. Ritual mereka dengan membuat lingkaran yang disebut ksetra. Yang terbesar di Majapahit adalah ksetra laya, sehingga sekarang disebut daerah Troloyo.

Ritual tersebut dikenal dengan upacara Panca Makara (lima ma, malima), yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi). Laki-laki dan perempuan membentuk lingkaran dan semuanya telanjang. Di tengahnya disediakan daging, ikan, dan arak. Setelah makan dan minum, mereka bersetubuh (maituna) beramai-ramai. Setelah memuaskan berbagai nafsunya tersebut, baru mereka bersemedi. Untuk tingkatan yang lebih tinggi, mamsa diganti daging manusia, matsa diganti ikan sura (hiu), dan madya diganti darah manusia.

Di Musem Nasional Jakarta, ada patung tokoh bernama Adityawarman yang tingginya tiga meter dan berdiri di atas tumpukan tengkorak. Dialah pendeta Bhairawa Tantra, pengamal ajaran malima. Dia dilantik menjadi pendeta Bhairawa dengan gelar Wisesa Dharani, penguasa bumi. Digambarkan, ia duduk di atas tumpukan ratusan mayat dan minum darah sambil tertawa terbahak-bahak.

Melihat hal tersebut, akhirnya Sunan Bonang membuat acara yang mirip. Ia masuk ke Kediri sebagai pusatnya Bhairawa Tantra. Tidak heran jika semboyan Kediri sekarang adalah Canda Bhirawa. Sunan Bonang berdakwah ke Kediri tapi tinggal di baratnya sungai, yakni di Desa Singkal Nganjuk. Di situ ia mengadakan upacara serupa, membuat lingkaran, tetapi pesertanya laki-laki semua, dan di tengahnya ada makanan, lalu berdoa. Inilah yang disebut tradisi kenduri atau slametan. Dikembangkan dari kampung ke kampung untuk menandingi upacara malima (Panca Makara). Oleh karenanya Sunan Bonang juga dikenal sebagai Sunan Wadat Cakrawati, sebab menjadi pimpinan atau imam Cakra Iswara (Cakreswara).


Jadi di daerah pedalaman dulu, orang disebut Islam jika sudah baca syahadat, khitan, dan slametan. Jadi malima itu aslinya bukan maling, main, madon, madat, dan mabuk, tapi lima unsur Panca Makara. Islam pun berkembang karena masyarakat tidak mau anaknya dijadikan korban seperti dalam Bhairawa Tantra. Mereka lebih memilih ikut slametan dengan tujuan biar slamet. Inilah cara Walisongo menyebarkan Islam tanpa kekerasan.

Kesimpulannya, sekitar 800 tahun Islam masuk ke Nusantara, sejak tahun 674 hingga era Walisongo tahun 1470, namun belum bisa diterima masyarakat secara massal. Dan baru sejak era Walisongo, Islam berkembang begitu meluas di Nusantara. Dan hingga kini, ajaran Walisongo pun masih dijalankan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.


(Disarikan dari uraian Agus Sunyoto dalam acara Suluk Maleman dan Bedah Buku “Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Menguak Walisongo sebagai Fakta Sejarah”, 15 Maret 2013 di Pati Jawa Tengah)