Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Di tengah keheningan malam yang melingkupi Pesantren Sufi yang dipenuhi jama’ah pemburu Lailatul Qodr, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat para jama’ah menoleh berbarengan ke arah halaman melihat Mas Wardi Bashari, santri lawas, melonjak-lonjak kegirangan di samping Sufi Sudrun. Rupanya, di bawah petunjuk dan arahan Sufi Sudrun, Mas Wardi Bashari menyaksikan dengan pandangan bashirah bagaimana gemuruh para malaikat dan ruh turun dari langit tinggi ke langit dunia.
“Aku sudah menyaksikan. Aku sudah menyaksikan,” seru Mas Wardi Bashari dengan nafas terengah-engah,”Sungguh penyaksian yang luar biasa menakjubkan.”
Hanya dalam hitungan menit, mushola yang semula penuh menjadi kosong karena semua lari ke halaman, ingin menyaksikan malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh ke dunia. Sambil bertanya ini dan itu kepada Mas Wardi Bashari dan Sufi Sudrun, mereka ingin ikut menikmati anugerah ruhani menyaksikan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Sebagian di antara jama’ah yang diberitahu Mas Wardi Bashari tentang kegaiban luar biasa yang disaksikannya yang berlangsung sampai saat itu, bersujud syukur memanjatkan puja-puji kemuliaan kepada Tuhan meski mereka tidak menyaksikan sendiri malam mulia itu. Hingar kegembiraan menyemarakkan malam ke-21 Ramadhan dengan celoteh para pemburu Lailatul Qodr.
Setelah lebih setengah jam terlibat hiruk di halaman, Ndemo dan Aditya masuk ke dalam mushola, di mana mereka mendapati Guru Sufi, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Senewen sedang tenggelam dalam kekhusyukan iktikaf. Mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian apa pun yang berlangsung di sekitarnya. Mereka melanjutkan iktikaf sampai fajar.
Usai sholat Subuh dengan benak dikitari tanda tanya Aditya bertanya kepada Guru Sufi tentang peristiwa aneh tidak masuk akal yang dialami Mas Wardi Bashari, yaitu menyaksikan bagaimana pada malam kemuliaan itu para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Mohon maaf Mbah Kyai, apakah malam kemuliaan itu memang bisa kita saksikan?” tanya Aditya.
“Yang bersih hati dan jiwanya, bisa menyaksikan secara bashirah,” sahut Guru Sufi datar.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya belum puas,”Kalau Mas Wardi Bashari saja bisa menyaksikan Lailatul Qodr, maka logikanya Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir pasti lebih bisa menyaksikannya.”
Guru Sufi diam tak menjawab.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya melanjutkan pertanyaan,”Kalau Mbah Kyai punya kemampuan untuk menyaksikan Lailatul Qodr, kenapa Mbah Kyai tidak keluar untuk menyongsong Lailatul Qodr? Bukankah dengan kemampuan menyaksikan yang gaib itu, Mbah Kyai akan sangat muda menjemput malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh itu ke dunia?”
“Kami tidak pernah berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr,” sahut Guru Sufi dingin.
“Apa, godaan?” sergah Aditya kaget,”Mbah Kyai tidak berhasrat kepada Lailatul Qodr? Bagaimana ini? Bukankah orang sedunia beramai-ramai mencari Lailatul Qodr tapi Mbah Kyai malah menganggapnya sebagai godaan,bagaimana penjelasannya?”
“Memangnya ada perintah yang mewajibkan kita untuk mencari dan menjemput Lailatul Qodr?” sahut Guru Sufi datar,”Apakah hukum menjemput Lailatul Qodr itu wajib atau sunnah? Apakah Rasulullah Saw pernah mencontohkan iktikaf di masjid dengan tujuan utama mendapatkan Lailatul Qodr?”
Aditya diam tidak menjawab.
“Kalau berdzikir mengingat Allah, Dzat Yang Memiliki dan Mengaruniakan Lailatul Qodr kepada umat Islam, apakah hukumnya?” tanya Guru Sufi.
“Kalau Dzikir itu hukumnya wajib, Mbah Kyai, karena perintah untuk dzikir mengingat Allah itu diungkapkan berkali-kali di dalam Qur’an,” sahut Aditya garuk-garuk kepala,”Tapi semua orang di dunia pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini pada berebut menjemput Lailatul Qodr. Apakah itu salah Mbah Kyai?”
“Tidak ada yang salah dari kebiasaan memperebutkan pahala seribu bulan yang sudah berurat akar itu, sebagaimana tidak salahnya orang-orang yang berjuang keras untuk bisa masuk ke dalam surga karena Lailatul Qodr sendiri adalah bagian dari ni’mah Ilahi yang bermuara ke ni’mah surgawi. Tetapi apa yang kami lakukan dengan istiqomah mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Allah sehingga mengabaikan dan bahkan menganggap Lailatul Qodr sebagai bagian dari godaan ni’mah surgawi yang bisa memalingkan hati dan pikiran kami dari Allah, juga tidak boleh dianggap salah,” jawab Guru Sufi.
“Tapi Mbah Kyai, bagaimana orang beragama menjalankan perintah Allah dengan mengabaikan ni’mah kemuliaan Lailatul Qodr dan kenikmatan surgawi?” tanya Aditya belum faham.
“Orang beragama menjalankan perintah Allah itu ada dua golongan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Yang pertama, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap imbalan dari Allah berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi. Golongan inilah yang paling besar jumlahnya. Sementara golongan yang kedua, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan harapan menjadi hamba yang lebih dekat kepada Allah guna mendapat ridho-Nya tanpa mengharap apa pun di antara aneka kenikmatan yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.”
“Maaf Mbah Kyai, bagaimana menjelaskan secara masuk akal perihal kedua golongan itu?” tanya Aditya belum memahami uraian Guru Sufi.
“Jika engkau menjadi orang yang kaya raya, lalu datang orang mendekatimu dan mengatakan wahai Mas Aditya biarlah aku bekerja sebagai karyawanmu asal engkau beri aku gaji yang banyak, engkau beri aku mobil dinas, engkau beri aku jatah makanan yang sangat lezat, engkau beri aku rumah, ijinkan aku sekali waktu masuk ke dalam tamanmu untuk ikut pesta kebun. Inilah analogi dari gambaran golongan pertama yang menjalankan perintah Allah karena berharap mendapat imbalan Ni’mah Allah. Sementara untuk golongan kedua ibaratnya engkau orang yang kaya raya memiliki segala, lalu datang seseorang yang mendekatimu dengan mengungkapkan hasratnya untuk menjadi pegawaimu tanpa sedikit pun ia menginginkan imbalan harta kekayaanmu. Ia menginginkanmu menjadi tuannya. Ia memasrahkan semua dirinya utuh atas keputusanmu, apakah dia akan engkau jadikan pekerjamu sebagai jongos, kacung, sopir, tukang masak, asisten dengan sedikit pun tidak memikirkan imbalan upah dan pemberianmu. Nah, bagaimana kira-kira sikapmu terhadap dua orang yang yang berbeda ini?” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Saya faham Mbah Kyai,” sahut Aditya menyimpulkan,”Berarti Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir masuk golongan yang kedua sehingga mengabaikan Lailatul Qodr dan aneka Ni’mah Surgawi, sebaliknya hanya menghadapkan kiblat hati dan pikiran kepada Pemilik sekaligus Pemberi anugerah kemuliaan Lailatul Qodr.”
Guru Sufi diam.
“Kenapa Mbah Kyai memilih menjadi hamba dari golongan kedua?” tanya Aditya ingin penjelasan, “Mohon penjelasan untuk bisa kami jadikan pedoman dalam meniti jalan menuju-Nya.”
“Allah sudah bersabda: Waladziina jahadu fiina lanahdiyanahum subulana (barang siapa berjihad dengan sungguh-sungguh menuju Kami, maka akan Kami beri jalan-jalan Kami). Itu berarti, menuju Allah itu wajib didasari semangat jihad yang menyala-nyala pantang redup dan padam. Tetapi hendaknya kalian ingat, bahwa Allah bukan Sesuatu yang bersifat statis yang membiarkan seseorang mendekati-Nya. Allah akan menguji semua yang mendekati-Nya untuk membuktikan kebenaran dari jihad yang dijalankannya dalam menuju Allah. Begitulah, berbagai hal yang berkaitan dengan ni’mah kemuliaan – maunah, karamah, himmah, tahakkum, termasuk lailatul qodr - yang dihamparkan di hadapan seorang salik pada dasarnya adalah ujian bagi kesungguhannya menuju Allah,” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Kami faham Mbah Kyai,” kata Aditya manggut-manggut dengan wajah berseri-seri,”Berarti laku ruhani yang dijalankan para sufi pada dasarnya adalah memaknai secara haqqi qi perjuangan kembali kepada-Nya dengan berpedoman kepada kalimah Innalillahi wa inna ilaihi roji’un – Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Benar begitukah Mbah Kyai?”
Guru Sufi mengangguk meng-iya-kan.
“Alhamdulillah,” sahut Aditya gembira,”Berarti saya tidak perlu lagi marah kalau dicela murid-muridnya ustadz Dul Wahab sebagai ahli neraka karena amaliah bid’ah, karena sejatinya apa yang saya jalankan tujuannya hanya kepada Allah dan tidak bersangkut-paut dengan makhluk ciptaan yang disebut surga dan neraka. Terima kasih Mbah Kyai,” Aditya menyalami dan mencium tangan Guru Sufi dengan hati terasa luas, seluas samudera raya tanpa tepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar