MUKADIMAH #SPJuni
Tema: Garuda Bermental Emprit
____________________________________________________
Semua orang kenal dengan burung rajawali, walau mungkin sebagian generasi sekarang belum pernah melihatnya dengan mata. Burung rajawali dijadikan lambang kewibawaan sebuah bangsa karena memang ia tercipta dengan karakter ‘ksatria’. Rajawali adalah burung yang usianya sejajar dengan usia kebanyakan manusia. Ia burung yang daya jangkau terbangnya bisa antar pulau, antar negeri. Burung ksatria ini akan hilang kemampuan dan ‘kemartabatannya’ kalau ia hidup dalam sangkar, atau sekedar menjadi pelengkap hiasan kebun binatang.
Sebagaimana daya rajawali, jelajah nenek moyang kita dulu pada masa majapahit atau sebelumnya telah memimpin negeri-negeri yang mencapai wilayah seperempat bumi dengan kekestariaan dan kewibawaan yang bermartabat.
Saat umur mencapai 40 tahun burung rajawali menaikkan maqomatnya menjadi maqom garuda dengan terlebih dahulu menjalani tirakat (riyadloh). Ia akan terbang tinggi kemudian menukik menuju bebatuan karang untuk menghantam-hantamkan paruh dan cakarnya agar terlepas. Setelah itu ia akan mengalami kesulitan mencari makan, dan ia menjalani tirakat dalam kesulitan dengan berpuasa sampai paruh dan cakarnya tumbuh kembali. Dua pilihan bagi rajawali, lulus menjalani masa tirakatnya atau mati dalam menjalani tirakat. Kalau lulus, ia akan memulai visi kehidupan baru dengan paruh dan cakar yang baru. Sehingga kehidupan barunya akan menumbuhkan ilmu, karakter yang derajatnya lebih tinggi dari sebelumnya.
Kita bangsa Indonesia yang mempunyai lambang burung garuda sebagai ikon ksatria, kewibawaan dan kemartabatan. kita harus mengevalusi diri apakah masih pantas disebut sebagai ‘bangsa garuda’? Apakah kita sebenarnya garuda tetapi ada kekuatan yang sengaja ‘menyangkarkan’ kita sehingga kita menjadi seakan-akan garuda tetapi perilaku dan jiwa kita emprit?
Garuda yang lama hidup disangkar akan mengalami penurunan kemampuan, martabat dan kewibawaan. Apalagi ketika garuda harus hidup di kebun binatang dan garuda beranak pinak. Anak-anak garuda tidak mempunyai pengalaman seperti nenek moyangnya yang masih hidup di alam liar. Ia bahkan lupa kemampuanya berterbang, kemampuannya menjelajah cakrawala. Ia sudah tak mengenal batu karang, apalagi ilmu menaikkan derajat garuda sejati, sedang makan saja tergantung dengan pemberian penguasa bonbin.
Apakah kita garuda yang hidup di bonbin itu? Dalam sistem geo politik dunia sebenarnya siapa yang membuat dan mempunyai bonbin. Siapa penguasa dunia yang menguasai para ‘pemimpin’negara-negara yang bak garuda bonbin yang tak berdaya. Hingga ‘garuda bonbin’ itu sebatas mempunyai raga garuda, tetapi jiwanya lebih rapuh dibandingkan burung emprit. Karena emprit saja masih mampu mencari makan sendiri, sedangkan ‘garuda bonbin’ tak mampu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa muhasabah apakah jiwa kita masih berjiwa garuda? Tradisi sponsor dengan dalih kerjasama merupakan bentuk nyata bahwa jiwa kita sebatas ‘garuda bonbin’ yang tak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Tradisi-tradisi ketergantungan terhadap berbagai bantuan menciptakan jiwa emprit, jiwa mengemis. Dengan menjadi pengemis apakah mungkin bangsa kita akan bermartabat?; dengan ‘jiwa pelacur’ (siap melayani asal dibayar) apakah mungkin kita bermartabat? Atau bahkan kita sudah mulai tak mengerti arti martabat, wibawa, dan muruah. Atau kita telah melontékan semua pusaka bangsa itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar