Membentangkan Jalan Bagi Puisi
Puisi seringkali dianggap karya anak dewa. Dalam arti sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia-manusia khusus yang dianugerahi Tuhan dua kelebihan sekaligus, yakni kemampuan untuk bisa menulis dan kesempatan menangkap turunnya ide dari langit. Ke-mampu-an menulis nyatanya memang tidak semua orang bisa melakukan meski telah mengenyam pendidikan sarjana. Sedang kesempatan menangkap ide nyatanya tidak semua orang mampu memaknai peristiwa hingga sedemikian dahsyat menalarkan suatu makna beserta kelembutannya menjadi sebuah karya tulis indah. Padahal setiap manusia satu dengan lainnya terbilang podo mangan segane, podo turu ngoroke.
Sejatinya tidak demikian. Puisi itu biasa saja setara jutaan makhluk lainnya. Ia dibikin oleh orang yang menyukainya. Seperti halnya sayur lodeh, soto, rawon, rendang, rica-rica dll. Ia adalah menu pilihan yang berkaitan dengan cita rasa, kekhasan asal daerah serta efek kesehatan. Demikian juga puisi, ia dicipta oleh penulisnya untuk menghantarkan menu utama kehidupan supaya terasa lebih nyamleng memahami keluasan pengetahuan.
Lahirnya puisi tak lepas dari proses mencipta dan dicipta. Mencipta sebagai kalimat aktif yang berlaga maskulin, sedang dicipta berposisi pasif yang bersifat menunggu sebagai tanda femina. Oleh karena itu proses lahirnya puisi sebagai makhluk tak ubahnya gejala turunan yang dilakukan Tuhan sejak zaman azali, yakni ketika sendiri di ruang sunyi, kemudian Alloh merindukan nama-nama baru, maka lahirlah makhluk pertama yang bernama ide. Ketika ide sudah berwujud, meruang dan mewaktu tercapailah tujuan asma’akullaha: aneka karya baru yang terus bermunculan, termasuk puisi dengan berbagai jenis tipografi dan alirannya.
Setelah puisi terbentuk, baik yang mencipta atau yang dicipta menemukan titik teofani, maksudnya kepuasan dua fihak. Bagi puisi, penulis yang melahirkan dirinya adalah citra khusus. Puisi berkata bahwa penulis dapat dikenali dari dirinya, maksudnya kwalitas puisinya. Yang jadi pertanyaan adalah siapakah penulisnya? Apa yang diinginkan penulisnya? Atau bagaimanakah proses yang melatarbelakangi kelahirannya?
Beberapa kali saya ngobrol dengan D. Zawawi Imron, penyair Celurit Emas asal Kecamatan Batang Batang Sumenep Madura. Katakanlah dari dua antologi puisinya Celurit Emas dan Madura Akulah Darahmu terbilang sebagai puisi jadi yang menghantarkan Zawawi Imron duduk di kursi kepenyairan. Puisi jadi maksudnya puisi pilihan setelah menyisihkan ribuan judul puisi yang dianggap gagal sebagai puisi baik atau puisi yang masih tergolong bakalan (pra-menjadi puisi). Saya kira tidak hanya D. Zawawi Imron, melainkan seluruh penyair besar karya yang terpublikasi tidak ujug-ujug sempurna sebagaimana ditelan pembaca, melainkan ada proses panjang yang menyertainya meliputi penghapusan, editorial bahkan nash-mansukh, yakni perubahan puisi lama menjadi puisi yang lebih baik dalam satu tema.
Menjawab pertanyaan bagaimanakah proses lahirnya puisi? Berikut salah satu contoh yang saya terapkan terhadap anak didik di kelas menulis MTs Al-Ihsan Kalijaring Tembelang Jombang. Dengan konsekuensi bahwa pilihan menulis puisi bagi penulis pemula adalah kerja yang paling gampang dan efektif. Meskipun sesungguhnya belum layak bagi siswa untuk menuliskan puisi sempurna dengan berbagai kajiannya. Maksudnya memahami puisi adalah hal yang berat dan belum layak dilakukan siswa yang referensi pengetahuannya masih gagap tentang apa itu makhluk yang bernama puisi. Ada rima, irama, pilihan kata, analogi kata dalam satu kalimat, kekentalan bahasa, keuletan antar kalimat dalam alenia, tipografi bahkan kenapa puisi harus ditulis dan hendak kemana tujuan puisi dilabuhkan? Yang jelas puisi adalah kapten kesebelasan sebagai kode menyatatkan peristiwa fakta ataupun peristiwa imajinasi.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengajak dialog anak didik satu persatu seputar apa saja yang berada di lingkungan mereka. Ada benda atau peristiwa apa yang paling utama untuk ditulis sehingga kabar tersebut diketahui khalayak? Otomatis tema yang muncul adalah desa-desa sekitar Kalijaring. Sebagai pembuka para siswa saya ajak menentukan judul yang puitif, sebab kelak akan menjumpai bahwa tekhnik penulisan judul pada puisi berbeda dengan karya tulis ilmiah. Setelah menentukan judul, barulah memfokuskan titik pembicaraan atau tema. Tahap berikutnya memilih kata, mengedit, membongkar pasang kalimat supaya terkesan nyes dan nyodok jika dibaca.
Puisi I:
Antara Lampung-Kapas
Sejak ginjal menyerang ibu
Aku terhempas dari Lampung ke Kapas
Aku menjadi perantau jauh
Bakauheni-Merak aku melintas
Dalam mobil enak sekali
Makan dan tidur tanpa berhenti
Sampai di Kapas aku ke sawah
Bersama teman sepermainan alangkah indah
(Ilham Surya Padewa kelas VII A)
Puisi Lampung-Kapas yang ditulis Ilham Surya Padewa mengguratkan kisah. Kelak Ilham akan memaknai puisinya sebagai kebersamaan (dengan kisah) yang bukan teori semata, melainkan peristiwa. Puisi tidak puas dengan nilai saja, tetapi juga mengalaminya. Dalam puisi Lampung Kapas petualangan merupakan ksatria, ialah makna penting sebab petualanganlah yang menciptakan era lain dalam hidup, bahkan ia jauh lebih penting dari hidup itu sendiri. Meskipun kepolosan Ilham sebagai anak masih menyolok dalam puisi tersebut. Alenia pertama Ilham menceritakan perihal dirinya yang berpindah tempat tinggal dari Lampung sebagai kota kelahiran menuju Dukuh Kapas dengan fakta ibunya sakit ginjal, namun ia tetap merasa enak tidur dan makan dalam satu mobil dengan ibunya yang sakit.
Puisi II:
Jombang-Kalimantan PP
Dulu aku lahir di Jombang
Senang, canda, sedih bersama teman sepermainan
Namun kenyataan datang
Aku harus pergi meninggalkan kampung halaman
Sesampai di Kalimantan aku bingung
Kenapa aku di sini?
Bertemu teman-teman baru
Teringat teman kampung halaman dulu
Lulus SD aku kembali ke Jombang
Lupa ingat teman buatku bimbang
Bertemu saudara, kakek yang tidak panggling
Akhirnya aku diterima sebagai siswa MTs Kalijaring
(Salsabila Putri Kelas VIII A)
Salsabila Putri melontarkan pertanyaan dalam puisinya pada bait ke dua. Seolah menyadari bahwa fungsi pertanyaan adalah menggali sebab-akibat yang akhirnya melahirkan perubahan. Opo sebape kok dadi koyo ngene? Itulah fitrah manusia dalam membongkar ekspresi kebebasannya. Sisi lain memang kelebihan manusia terletak pada fakta bahawa ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan, terutama bertanya pada diri sendiri. Maka, ketidakmampuan manusia untuk melontarkan pertanyaan berarti kehilangan karakteristik yang paling khuhus.
Puisi III:
Jalan di Karangpakis
Desaku ini teramat kecil
Jalan di Karangpakis inilah yang selalu kulewati
Betapa herannya aku
Betapa sedihnya aku
Jalan yang tak layak dilewati ini
Selalu setia menjadi saksi
Di mana kepedulianmu
Di mana kesadaranmu
Tanpa merasa malu sedikitpun
Sebagai petinggi desa, kau tak benahi jalah tak layak pakai ini
Andai aku jadi petinggi desaku
Tak perlu berfikir tak perlu disuruh
Kubenahi jalan desaku yang lumpuh
Tanpa mencari pengaruh
(Siti Nurjulianti Sa’adah Kelas VIIA)
Dalam puisinya, Siti Nurjulianti tidak sekedar memberikan gambaran sehari-hari yang parsial mengenai kesannya yang parsial sehari-hari, melainkan menunjukkan sikap yang utuh. Puisi ini mendahulukan pemikiran dari pada realitas. Realitas harus tunduk pada pemikiran dan harus menyesuaikan diri dengannya. Puisi yang melontarkan gagasan yang tidak bisa dilontarkan oleh realitas. Dengan cara demikian puisi ini menjadi bahasa kedua yang parodik.
Puisi IV:
Batu Gilang Mojokrapak
Gilang batuku
Berjuta tahun lalu engkau berdiri tegar di situ
Di jantung Desa Mojokrapak desaku
Menancap sebagai paku bumiku
Ada malam-malam tertentu
Engkau berputar meski tak disentuh
Retak tubuhmu
Tanduk Surontanu nyerudukmu
Gilang yang jatuh dari masa lampau
Hari lalu dan akan datang, warga tetap menjunjungmu
(Syifa Agung Pribadi Kelas VIII A)
Syifa Agung memilih menuliskan batu sejarah tinggalan leluhur yang ada di desanya, Mojokrapak. Puisi yang baik bagi Syifa tidak boleh cacat sejarah, dalam arti keberadaan manusia sekarang tak lepas dari nenek moyang, maka mengagungkan leluhur adalah tindakan mulia. Sebaliknya, membanggakan keturunan tanpa mengagungkan leluhur adalah tindakan cela, sebab manusia terkesan memutus gerak sejarah yang akhirnya membuat manusia buta dari sangkan paraning dumadi.
Puisi IV:
Jembatan Tol Losari
Engkau mulai memanjang
Menggunting jalan jadi gelap
Jalan pintas
Sawah terjual
Jaya Mix berseliweran
(Hanafi Kelas VIII A
)
Hanafi membebaskan puisinya dari aturan persajakan. Tampaknya ada banyak hal yang ingin diungkap Hanafi menjadi desertasi. Tetapi bagi penulis pemula, apalagi usia anak, tentu belum waktunya mendalami karya ilmiah. Maka, puisi bagi Hanafi adalah kode pertaman pencatat sejarah sebelum lahirnya kajian karya tulis lainnya. Setiap baris dalam puisi Jembatan Tol Losari adalah sub bab jika dijadikan penelitian ilmiah, atau menjadi sub adegan jika ditulis dalam cerpen atau novel. Ungkapan Engkau mulai memanjang, Hanafi tergeragap melihat situasi desanya yang berubah dengan hadirnya Jembatan Tol produk modernisme. Sawah terjual dan Jaya Mix berseliweran tentu akan membuka galaksi cakrawala ilmu jika proses pra-pembangunan jembatan tol diusut dalam hubungan dengan pengaruh kebudayaan.
Contoh empat puisi di atas adalah penanda lahirnya nama-nama baru yang memuat tema-tema baru dan benda-benda baru terutama sekitar Jombang. Tentu tidak ujug-ujug sempurna sebab yang berjuluk penyair besar saja banyak puisinya yang tersingkir. Yang terpenting adalah bagaimana mengawal proses puisi (penulis) bisa lahir. Salah satu caranya adalah mengamping anak didik, menyiapkan satu area atau membentangkan jalan bagi puisi. Selanjutnya, murid yang gigih menggeluti pasti akan melintasi, sedang murid yang sekedar tergiur nama besar akan segera tereliminasi.
Bukan anak dewa.
*) Sabrank Suparno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar