"”Wahai isteriku, engkau telah suci kembali, sebagaimana engkau telah sampai ke puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucian dirimu yang sudah pasti masuk ke Nirwana, atas jaminan Dewa. Bawalah cinta, bawalah kesucian dan bawalah tanggung-jawab dalam menyaksikan bagaimana anak- anak kita merusak dunia ini”, kata sang Begawan.
”Bagaimana Kakanda, seandainya para Dewa mengubah, apa yang telah Kakanda lihat tentang anak-anak kita. Bisakah itu?”, Sang Dewi bertanya.
”ltu, ’titis tulis’, Hing Dumadi”, jawab Sang Begawan, ”Kita membuat tulisannya, kita mempersiapkan daun lontarnya. Kita telah menulis dengan cinta, dengan syahwat, dengan ilmu dan dengan kesucian, pada daun lontar. Maka para Dewa meniupkan daun lontar itu jatuh di muka bumi ini. Memang hukum dunia dari kejahatan dan kemalangan, itu dibawa di permukaan daun lontar yang telah kita tulis bersama, telah tertulis pula di Nirwana. Permata-permata indah yang menghiasi Nirwana, yang memberikan cahaya ke negeri Nirwana, yang memberikan cahaya ke alam para Dewa, mulai redup. Karena telah kita nodai dengan air kehidupan dunia di permata cahaya dinding-dinding perhiasan Nirwana. Maka Permata kehidupan berkurang pancaran cahayanya oleh percikan air yang kita siramkan ke Nirwana.”
Dalam kitab Ramayana, alkisah ada seorang raja yang mengundurkan
diri dan diserahkan pada anaknya. Raja tersebut yang menjadi Begawan Wisrawa,
menyerahkan pada putranya Prabu Danareja di kerajaan Lokapala.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Setiap raja yang melamar Dewi Sukesih ini di bunuh (harus
berhadapan dalam perang tanding) pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga tak ada
lagi raja-raja yang mampu mengalahkan pamanda Dewi Sukesih. Satu-satunya raja
yang masih ada ialah putera Begawan Wisrawa, Prabu Danareja. Namun raja ini
kalah kuat ilmunya, kalah kuat oleh pamanda Dewi Sukesih. Oleh karenanya
Begawan Wisrawa turun dari pertapaan. ”Ada apakah anakku, dalam tapaku, aku
melihat kegelapan. Mengapa negeri ini, yang kita cintai, dalam kesengsaraan?
Air bening untuk hidup rakyat tidak lagi ramah. Seluruh air kembali lagi pada
sumbernya di bawah samudera. Bunga-bunga layu sebelum berkembang, buah yang ada
pun tak sempat masak. Diapakan negeri kita ini, wahai anakku?”
”Wahai ayahanda, seluruh kehidupanku dirampas oleh cinta Dewi
Sukesih, dan aku tak mampu memikirkan bangsa ini, negeri ini. Yang kupikirkan
adalah kecantikan Dewi Sukesih”, berkata Prabu Danareja.
”Wahai anakku, Sang Dewa marah padamu. Karena engkau telah
mematikan kesuburan negara ini dengan asmara, wahai anakku, jangan jadikan asmara
ke dalam pekerjaan yang besar.Karena asmara adalah dunia kecil yang mampu
menghancurkan dunia yang besar”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai anakku, jangan engkau melihat kebenaran-kebenaran yang ada
di muka bumi ini, melalui perasaan asmaramu. Keluhuran nilai akan ternoda, tak
bermakna, manakala diteropong oleh perasaan asmaramu. Namun demikian, aku
ayahmu pernah merasakan perasaan asmara. Biar aku yang melamarkan, menyunting
Dewi Sukesih. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku untukmu wahai anakku, biarlah
aku, ayahmu mewakili datang ke kerajaan Alengka.”
Sesampainya Begawan Wisrawa di kerajaan Alengka, kebahagiaan batin
dari raja Alengka, Prabu Sumali, menyatu dalam pelukan mesra dengan sahabatnya.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, gara-gara anakku, darah para
raja harus mengalir di negeri yang kucintai ini, Alengka.”
”Karena itu aku datang untuk menyunting puterimu, untuk anakku.”
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
”Wahai ayahku, aku mau dikiwini oleh seorang raja atau oleh orang
miskin sekalipun. Asal mampu memedarkan, menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.”
”Wahai puteri sahabatku, calon suamimu, anakku, takkan mampu. Dan
siapapun takkan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu,
kecuali aku. Harus kutebus makna ini dengan meninggalkan gemerlap kekayaan dan
kekuasaan sebagai raja. Namun demikian, biarlah, untuk anakku dan untuk aku,
akan aku pedar Sastra Jendra tersebut”, kata Begawan Wisrawa kepada putri Prabu
Sumali sahabatnya.
Berkata Begawan Wisrawa pula pada sahabatnya, Prabu Sumali,
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
Maka Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Manakala masuk ke taman
yang indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan kecintaan seorang
ayah pada anaknya.
”Kesinilah putriku.” Saat itu pula Dewi Sukesih merasa berdiri di
bumi ini, dan dunia ini hanya ada di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan
Wisrawa, serta mampu menggapai bulan yang ada, tidak hanya satu, tapi tiga.
”Wahai Dewi Sukesih, engkau mampu menggenggam bulan. Keanggunan
dan kemolekan bulan sejak dulu selalu menghina dan memperkecil makna duniawi.
Namun dihadapanmu wahai putriku, sang bulan meronta. Cahayanya engkau ambil
alih ke dalam jiwamu.”
Saat itu pula, Dewi Sukesih merasa retak hatinya. Sakit yang tiada
sebab, seperti benci pada seseorang tapi tak ada orangnya. Resah oleh sesuatu
tapi tak ada kesalahan, kesal akan sesuatu tapi tidak tahu sebabnya. Emosi
bergemuruh dalam diri Dewi Sukesih!
”Wahai putriku, jangan engkau membiarkan gejolak emosimu menjadi
tuan di dalam dirimu. Bulan yang angkuh tak berdaya, karena engkau ambil alih
kemolekannya, dan energinya kembalikan pada bulan. Wahai puteriku, engkau tak
mampu menerima kemolekan bulan, karena sang rembulan, cahayanya menjadikan
bunga-bunga berkembang, menjadikan binatang-binatang memadu cinta, maka
berkembanglah keturunan kelestarian alam ini oleh cahaya kekuatan rembulan.
Jangan kau ambil alih kedalam jiwamu. Engkau adalah yang berdarah dan berdaging.
Manakala kau menyimpan cahaya rembulan di dalam jiwamu, berarti engkau merampas
hak hidup bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah sebuah permulaan dari Sastra
Jendra, wahai puteriku.”
Maka Dewi Sukesih dengan kekuatan bathinnya, mengusir luka didalam
bathinnya, kesakitan dalam perasaannya. Bulan yang redup, terampas cahayanya
oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.
”Wahai Puteriku”, berkata Begawan Wisrawa, ”Sastra Jendra adalah
bukan kata-kata, Sastra Jendra bukan kalimat, Sastra Jendra adalah ’sesuatu’
yang mempunyai wadah, tapi ada di alam dunia ini. Ada di bumi ini, ada dalam
cakrawala dan ada dimanapun. Tapi Sastra Jendra tak mampu tertampung karena
wadahnya belum ada.”
Manakala Begawan Wisrawa mengakhiri kata-kata ini, mengangkasalah
keduanya, ke suatu tempat yang sangat jauh. Sampailah ke suatu tempat yang
sunyi, mencekam!
”Wahai Puteriku, jangan menjerit, karena disini tiada siapapun.
Tiada orang yang bisa dipanggil, tiada apa-apa tempat berpijak. Tidak ada
sesuatupun permasalahan.”
”Wahai puteriku, disini kita tidak memiliki dan disini kita tidak
dimiliki. Dan engkaupun disini tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang
berdarah dan berdaging, dirimu yang berjiwa dan berperasaan, adalah ketiadaan.”
Demikian sang Begawan bertutur.
”Kita dalam ketiadaan, rasakanlah anakku, manakala engkau
kehilangan rasa memiliki, termasuk dirimu sendiri. Kita dalam kematian.
Kematian adalah melepasnya rasa memiliki. Dibalik kematian justru ada kehidupan
yang sejati. Kehidupan yang tidak dapat lagi dialas oleh definisi, kehidupan
yang tidak mulai dari awal dan tidak berakhir dari satu batasan. Itulah
Jatining Hurip.”
”Wahai anakku, kematian adalah sebenarnya sebuah proses kehidupan
yang lebih luas dari proses kehidupan sebelumnya, kita berada dalam kehidupan
yang sejati. Tenang dan tentram, karena merasa tidak dimiliki dan tidak
memiliki”, demikian sang Begawan.
”Wahai Puteriku, manakala engkau merasa memiliki, engkau akan
menggugat pada yang engkau miliki. Dan merasa engkau dimiliki, engkaupun akan
digugat oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Kini kita merdeka, kemerdekaan
bathin dan perasaan yang tiada batas.”
”Wahai Begawan, dimanakah dewa-dewa?”
”Di sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Dewa pun tiada, hanya
kita. Manakala engkau ingat pada dewa, berarti kita masih ’merasa’ ingin
memiliki. Dewa pun tidak ada, hanya kita berdua.”
Maka Dewi Sukesih merasa tenang dan tenteram. Ketenteraman yang
sangat tinggi dan indah, kesejukan bathin yang tiada tara. Maka mereka masuk
lebih jauh lagi.
”Mari kita masuk lebih jauh ke angkasa
ketentraman.”
”Kita akan kemana? Bukankah kita sudah sampai ke alam
ketenteraman, wahai Begawan”, tanya Dewi Sukesih”.
”Belum, diatas ketenteraman ada ketenangan, diatas ketenangan ada
kemegahan kesejukan. Itu tidak terbatas, wahai Puteriku.”
”Dimanakah puncaknya, wahai Begawan?”
”Puncaknya, ada didalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi
Sukesih.”
Maka sampailah ke suatu perbatasan. Alam cinta dimasuki.”
”Anakku, kita masuk ke Sastra Jendra. Tiada alam
diciptakan oleh Illahi, kalau bukan karena cinta. Manusia dan hewan tidak
mungkin ada tanpa cinta. Alam raya takkan tercipta tanpa cinta. Kita masuk,
wahai anakku ke dalam cinta. Itulah Sastra Jendra.”
Masuklah mereka ke alam cinta. [Dalam Islam, masuk ke alam
Ar-Rohman]. Masuklah Dewi Sukesih ke alam cinta. Maka jiwa bukan lagi terbatas
oleh rasa tenteram, dibatasi oleh rasa tenang saja. Tetapi jiwanya tiada.
Ketenteraman melampaui Kebahagiaan. Tiada lagi dikatakan bahagia, tiada lagi
dikatakan nikmat, tiada lagi dikatakan enak. Diatas segalanya.
Maka gelombang cinta itu menyibakkan rambut Dewi Sukesih yang
berkonde. Rambut terurai, bergelombang begitu indah terhempas cinta. Cinta,
bisa dirasakan, tapi tak bisa dilihat. Cinta, bisa dinikmati tidak melalui
kulit dan daging. Karena saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki dirinya
sendiri. Cinta yang sesungguhnya, bisa diraba oleh sesuatu, manakala manusia
kehilangan eksis fisiknya, eksis fikirannya dan eksisnya. Maka di alam itu,
mengalirlah sungai yang bening. Sungai tak bernama sebagaimana sungai Eufrat,
sungai Nil ataupun sungai Ciliwung. Namun sungai itu bening, sungai mengalir
membawa energi cinta, kasih sayang.
”Wahai Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tapi
waktu bergerak dibawa oleh kita. Seperti sungai yang melepas air-airnya, dia
tetap diam. Waktu harus kita gerakkan, bukan kita yang digerakkan oleh waktu,
wahai anakku. Walaupun sungai itu diam, tapi selalu baru. Kehidupan, wahai
anakku, harus tetap baru. Usia menguasai kita, tapi kita akan tetap baru, jiwa
kita dan perasaan kita. Kita tidak boleh harus tua oleh waktu, kita harus tetap
muda, walau kita dirongrong oleh waktu. Kekuatan cinta tidak lagi termakan oleh
usia. Tua dan muda, gagal menggoyangkan kemurnian cinta itu sendiri.” Demikian
Begawan berkata pada Dewi Sukesih.
”Namun demikian sungai menurun, tidak pernah menanjak, wahai
anakku. Lihatlah kehidupan. Kita jangan cari yang menanjak. Kita harus seperti
sungai yang mengalir tanpa beban. Berbelok-belok dihimpit oleh gunung. Biasa,
kehidupan harus terhimpit namun sekecil apapun himpitan gunung, sungai tetap
mengalir, walaupun melalui celah-celah yang sempit.” lman tetap mengalir
walau himpitan persoalan hidup seperti gunung yang menggencet.
”Wahai puteriku, jangan kalah, ngalirlah tetap. Kehidupan tetap
mengalir.” Maka masuklah ke alam yang baru, lebih tinggi lagi. Di sana mereka
tidak melihat masa lalu. Masa lalu tidak ada!
”Wahai Begawan, dimanakah aku waktu dilahirkan? Aku waktu remaja,
saat bermanja pada Ayah dan Ibu?”
”Wahai Puteriku, masa lalumu tidak ada. Di sini tidak ada masa
lalu, disini tidak ada bedanya. Masa lalu adalah kehidupan dunia. Di sini tidak
ada masa lalu.”
”Wahai Begawan, manakah masa depanku?”
”Di sini tidak ada masa depan. Masa depan adalah kehidupan dunia,
karena manusia dunia dirancang untuk bercita-cita, melihat masa depan. Dibangun
oleh keinginan maka melihat masa depan, dibentuk oleh rencana kerja. Di sini
Puteriku, tidak ada masa depan. Kita tidak ada lagi rencana keinginan, apa dan
bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang sesungguhnya. Bumi adalah
bayang-bayang kita dalam kehidupan. Itulah Puteriku”, kata Begawan Wisrawa.
“Kalau demikian, wahai Begawan, apakah ’kerinduan’? Sedangkan aku
merindukan masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, dimanakah
kerinduan. Ditempat ini tidak ada, wahai ayahku.”
”Wahai Puteriku, Kerinduan di sini tidak ada. Tapi ada dalam
bathinmu dan jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, ada dalam jiwamu. Dan dalam jiwamu
lebih besar, lebih agung, lebih hebat dari alam ini, wahai anakku. Itulah
Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam bathin.
Kerinduan bukan kepada anak isteri, kerinduan bukan pada suami, kerinduan bukan
pada kekasih, kerinduan bukan pada harta dan kekuasaan. Kerinduan kepada
sesuatu, dimana sesuatu itu pun kita tidak tahu. Itulah Sastra Jendra, wahai
anakku.”
Kerinduan ini dalam Islam dikatakan sebagai kerinduan dalam
Nurani. Nurani yang ada pada setiap manusia yang dilahirkan ke dunia. Dalam
Al-Qur’an, ”Bahwasanya setiap bayi yang dilahirkan berfitrah Islam, adapun
kalau dia jadi Nasrani, Majusi dsb, itu adalah kesalahan orang-tuanya.” Fitrah
Islam/Nurani, inilah yang menjadi dasar lman bagi setiap manusia.
Maka, ”Wahai Puteriku, bila engkau merindukan sesuatu, jangan
disini. Di sini tidak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tidak ada keinginan
dan harapan. Kembalilah kepada hati, wahai Puteriku. Hatimu yang ada
kerinduan.”
Dalam Al-Qur’an, surah 2l:l3, ”Janganlah kamu berlari dan
tergesa-gesa, kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada
tempat-tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya”
”Masuklah kembali ke dalam hati, di sana ada kerinduan. Di sana
ada kehidupan yang sesungguhnya, wahai Puteriku.”
Maka sang Dewi masuk ke dalam bathinnya sendiri, ke dalam
perasaannya sendiri. Maka dijemputlah sang Dewi oleh cahaya gemilang, gemerlap
sinar yang keindahannya melampaui cahaya matahari. Dan seluruh cahaya matahari
di alam raya padam, tiada arti oleh cahaya yang datang dari bathinnya sendiri.
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Itu adalah cahaya dari yang engkau rindukan. Itulah Sastra
Jendra, wahai Puteriku.”
anakala cahaya tersibak, disana ada Kebijaksanaan, kebijaksanaan
yang tersembunyi, kebijaksanaan yang tersimpan dari ribuan lapis perasaan hati.
Kebaikan hati, keikhlasan, kepasrahan, itu adalah membentang rapat menutupi
Kebijaksanaan.
”Wahai Puteriku, sibaklah hati pasrahmu, Puteriku, sibaklah hati
kebaikanmu, sibaklah hati keikhlasanmu maka ada Kebijaksanaan. Kebijaksanaan
ada di tempat yang paling dasar dari sibakan keikhlasan. Sibaklah hati yang
baik.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena kebijaksanaan adalah tetesan dari kesakitan yang tak mampu
lagi menimbulkan luka.
Dari kesakitan yang tidak lagi memberikan hujan duka. Dari
tetesan kesenangan yang tak mampu lagi menggembirakan. Kegembiraan dan duka,
punah! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”
”Kebijaksanaan”, kata Sang Begawan, ”Seperti malam bersayap siang,
seperti siang berparuh malam. Seperti kematian yang berkafankan kehidupan.
Seperti kehidupan yang berselimutkan kematian. Rembulan di siang hari, matahari
di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
Sang Dewi pun tenggelam dalam kebijaksanaan. Di alam itu, sang
Dewi muncul lagi rasa sengsara yang tak bertepi. Rasa duka yang luar biasa,
Namun, manakala rasa kesakitan yang tinggi, muncul dalam jiwanya, tiba-tiba,
tanpa proses. Tenang…senang yang melonjak! …..Terus demikian! Antara sakit dan
senang diubah tiba-tiba. Proses psykologi yang tak mampu menampung perubahan
yang sangat hebat. Dari sakit ke senang, dari duka ke tenang, dari resah ke
aman, tiba-tiba. Terus demikian berganti-ganti.
”Wahai Begawan, apakah ini?”
”Ini adalah tangga-tangga menuju jagad raya, yang tak bertepi.
Kita datang ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Raya ini. Anakku,
tangga-tangganya berlapis kesengsaraan yang tidak terhingga dan kebahagiaan
yang tak terhingga.” Sang Dewi pun masuklah.
Manakala jiwanya tak terkecoh oleh duka dan senang, oleh rasa dan
tenteram. Masuklah ke suatu alam, dimana di alam ini semuanya tidak ada lagi
proses permulaan dari kejadian. Proses awal dan akhir. Maka Sang Dewi merasa
malu kepada dirinya sendiri. Yang tadinya bangga dengan dirinya, bangga dengan
kecantikanya. Saat itu, sang Dewi malu pada dirinya sendiri dan malu kepada
alam, keadaan alam saat itu.
”Wahai Begawan, aku malu pada diriku.”
”Wahai Puteriku, manakala engkau malu pada dirimu berarti engkau
kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya. Manakala engkau malu pada alam ini,
engkau sebenarnya kembali pada sumber awal kehidupan. Engkau berangkat dari
sini, wahai anakku, dilahirkan ke bumi.”
”Aku pun malu yang tidak mengerti”, berkata
sang Dewi.
”Wahai Puteriku, pengertian malu adalah malu pada Penciptamu. Ada
disini Pencipta kita, kita tidak bisa melihat. Tapi kita ada dalam genggaman
sang Maha Pencipta. Kita sedang berenang di Samudera keillahian, wahai
Puteriku.”
Tidak lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan
sebuah permulaan. Dimana segala sesuatu tidak lagi melalui pengertian.
Pengertian yang tidak perlu dipelajari.
Pengertian tidak perlu dipelajari,
perasaan-perasaan rasa tidak lagi harus dibuat. Dia sampai pada puncak
keindahan tiada tara.
”Wahai anakku, kita sudah sampai pada puncak kebahagiaan. Tiada
lagi kebahagiaan selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan yang tak bisa
dipetik dengan ilmu. Kebahagiaan ini, tak bisa dipetik, dipanen dari amal
ibadah. Kebahagiaan yang bukan dipetik dari pengorbanan. Itulah puncak
kebahagiaan.”
”Wahai Begawan, bilamana kebahagiaan ini yang bukan dipetik dari
pengorbanan, apakah itu?”
”Itu adalah ’Hayuningrat’ anakku, Sastra Jendra Hayuningrat.
Hayuningrat adalah kebahagiaan bukan yang dirintis dari keinginan berbuat baik,
tapi Hayuningrat adalah ’Izin Illahi’ dalam memberikan sesuatu. Bukan keinginan
kita, bukan jerih payah kita, Kehendak-Nya. Itulah Sastra Jendra Hayuningrat,
wahai anakku.”
Hayuningrat adalah penyerahan diri total. Kebahagiaan yang begitu
meresap ke dalam jiwa sang Dewi. Maka muncul kebahagiaan baru yang
berlapis-lapis. Tambah mengangkasa tambah indah. Ternyata kebahagiaan pun
berlapis-lapis tak bersisi, kebahagiaan yang tak ada limitnya.
”Wahai Begawan, kita menuju kemana?”
”Kita arungi kebahagiaan yang tak bertepi.”
”Apakah…..apakah ada tempat puncak?”
”Ada, puncak kebahagiaan.”
”Bagaimanakah cara sampai ke sana, wahai
Begawan”,
”Wahai Puteriku, adakah sisa perasaan dalam
hatimu untuk dipersembahkan?”
”Ada.”
”Apa?”
”Aku rindu kepada Tuhan.”
Dewi Sukesih merasakan, kebebasan sebebas-bebasnya tanpa rasa
kekangan dari perasaannya sendiri. Artinya, setiap manusia mengalami himpitan
dalam mengarungi kehidupan. Namun saat itu, Dewi Sukesih terbebas dari apapun
yang menghambat dalam perasaannya. Dia terbang di alam Yang Maha Merdeka, Maha
Sentosa, Gemah Ripah Loh Jinawi. Angkasa kebebasan yang sangat demokrasi.
”Wahai Puteriku, terbanglah sejauh-jauhnya,
kepakkan sayapmu.”
Maka Dewi Sukesih terbang yang sebebas-bebasnya, seperti merpati
yang mengarungi angkasa luas.
”Namun Puteriku, jangan terlalu jauh dalam terbang. Sejauh-jauh
merpati terbang, akhirnya akan lelah jua. Sebelum lelah engkau harus kembali.”
Dewi Sukesih merasa sebagai manusia yang punya harkat, merasa
dirinya mempunyai makna. Betapa dekat dengan yang menciptakannya, kasih
sayang-Nya, terasa membeli jiwa. Sang Dewi merasa mendapat titah dari Hyang
Widhi, dan merasa seolah-olah dirinya tidak berhak lagi hidup di dunia. Dirinya
enggan pulang ke bumi.
”Wahai Puteriku, jangan munculkan perasaan itu. Di sini adalah hak
setiap manusia, di sini adalah hak setiap makhluk. Namun bumi pun adalah hak
kita. Sekalipun engkau merasa tidak berhak lagi di dunia, namun fisikmu,
dagingmu masih terikat oleh hukum dunia. Kematian masih memijak alam bumi ini.
Engkau tidak akan mampu jauh di alam kebahagiaan ini, sedang kau masih punya
raga di dunia. Jangan lupakan itu”, berkata Begawan Wisrawa.
Terus sang Dewi mencoba berusaha melupakan duniawi. Dunia terlalu
hina dirasakan, niat baiknya sering dinodai.
”Wahai Begawan, segala keinginan yang baik selalu terjegal oleh
noda dunia, aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kupersembahkan
dengan ikhlas, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai Begawan,
setiap bunga-bunga dihatiku kuungkapkan dalam kerinduan kepada rakyat, kepada
mereka, kepada yang aku cintai. Namun mereka tidak pernah melihatku bahwa aku
mempersembahkan keindahan, keikhlasan kepada mereka. Aku muak kepada dunia yang
penuh kehinaan dan kekotoran.”
”Wahai Dewi Sukesih Puteriku, jangan engkau merasakan perasaan
itu. Usirlah, rasa menghina bumi. Karena bumi, Tuhan pula yang menciptakan,
sama pula menghina Tuhan, kalau engkau menghina dunia atau bumi. Stop gejolak
penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih di dua alam. Keterikatan dengan
bumi dan mengarungi hak kita di alam jagad ini.”
Namun Dewi Sukesih nakal, tetap diarungi. Tidak mau kembali ke
dunia. Tiba-tiba keresahan bergelombang kembali. Keresahan bukan berasal dari
alam keindahan ini. Alam surga Nirwana yang maha nikmat, tetap dengan segala
keindahan dan kesempurnaan. Keresahan dan gejolak pilu datang dari bathinnya
sendiri. Resah, merasa kotor, merasa terhina, ternoda.
”Wahai Begawan, aku merasa malu. Bukan malu seperti dulu, tapi aku
malu kehinaan diriku. Betapa aku kotor di tempat ini, aku tidak pantas di
tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas di tempat yang Agung ini,
karena aku ternoda, karena noda itu aku sendiri yang menciptakan, wahai
Begawan. Kenapa demikian wahai Begawan?”
”Wahai Puteriku, engkau, aku, memang datang dari noda, berangkat
dari noda. Berangkat dari kesalahan, pergi menuju ke kesalahan. Kita menyimpan
jagad kesalahan dalam diri kita, walau di tengah surga yang indah ini.”
Demikian Begawan Wisrawa berkata. ”Karena itu Puteriku, engkau harus ’diruwat’,
supaya Tuhan mensucikan jagad kita yang ternoda. Pangruwating. Karena dalam
jiwa kita penuh nafsu dan amarah. Angkara murka yang tak bersisi, keserakahan
yang tak berbentuk lagi. Itu harus diruwat oleh Illahi. Pensucian jagad kita,
karena kita tetap dalam kekotoran, walau kita mengangkasa di jagad keindahan
yang sangat permai, yang sangat suci, yang sangat agung”, Begawan Wisrawa
meneruskan keterangannya.
”Marilah kita kembali, Sastra Jendra sudah kupedar, Hayuningrat sudah
kupedar, Kita harus kembali ke bumi, segera! Supaya Hyang Widhi mensucikan
jagad kita yang sudah kelam dalam kekotoran dan noda.”
Namun karena keindahan yang luar biasa. Terhanyutlah sang Dewi
Sukesih dengan Begawan Wisrawa sendiri, hingga sampai ke gerbang Kahyangan,
pintu surga, pintu Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dinamakan
Sela Menangkep (Dalam Islam, gerbang Ar-Royan) pintu masuk surga. Menjelang
gerbang Sela Menangkep, maka goyanglah jagad tersebut. Jeritan-jeritan Raksasa
datang. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu-hawa nafsu membentuk berjuta
raksasa-raksasa. Aroma bau. Bau kematian. Lebih bau daripada mayat basah. Erang
harimau raksasa. Kemarahan para raksasa bergelombang.
”Wahai Puteriku, raksasa itu tidak ada di jagad ini, digerbang
Kahyangan ini. Itu ada dalam jagad dirimu. Kecantikan wajahmu, itu mengerang
seperti harimau. Sesungguhnya kecantikan adalah harimau. Senyummu sebenamya
erangan harimau, keindahan tubuhmu sebenarnya raksasa yang buruk muka.
Kemarahan mereka, sebenarnya kemarahan dirimu, wahai Puteriku, yang ada di
jagad ini. Dan bau yang melampaui bau mayat yang basah, itu hatimu sendiri.
Karena manusia tak mampu melepaskan dari rasa persaingan sesamanya, tidak mau
melepaskan dari keterpenjaraan benci, kebencian. Perbedaan kebenaran saja,
walaupun kebenaran yang sama, itu menimbulkan kebencian. Itulah bau yang sangat
buruk, aroma mayat yang rusak, wahai Puteriku. Dan kau masih memiliki hati
itu.”
Dan tiba-tiba muncul roh-roh halus, lembut, merekah beraroma
sangat wangi, melampaui aroma wangi-wangian apapun. Berpakaian manik-manik
putih, berbusana putih murni.
”Itu tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai
puteriku. Itu adalah rukhmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memiliki
kemurnian dari Rukh yang suci.”
Dan tiba-tiba raksasa yang jahat berperang dengan rukh yang suci.
Peperangan saling mengalahkan, tiada yang menang, tiada yang kalah. Rukh suci
dikalahkan oleh rukh jahat, maka rukh suci bangun kembali seketika. Begitu pula
sebaliknya. Maka peperangan tidak lagi dibatasi oleh kemenangan, juga tidak
diakhiri oleh kekalahan.
”Wahai anakku, itulah kehidupan dunia. Tidak akan ada yang menang
dan tidak ada yang kalah. Cepatlah kembali pada kehidupan dunia., wahai
Puteriku.”
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
”Puteriku, itulah Kencana Rukmi. Diantara keinginan menang,
diantara takut kalah, ada sesuatu yang netral. Yang tidak ingin menang dan
tidak ingin kalah. Itulah Kencana Rukmi dalam dadamu. Kencana Rukmi inilah
tempat paling aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini di Kahyangan
engkau tenteram dan aman. Di bumi pun dengan Kencana Rukmi ini kamu akan
selamat.”
[Dalam Islam, Kencana Rukmi adalah Taufik,
Hidayah, Irsyad dan Tasydid].
Kencana Rukmi, mengikis habis keresahan di malam.hari, kekelaman
jiwa dalam kegelapan. Kencana Rukmi memotong harapan-harapan illusi dari sebuah
harapan kosong tentang kenikmatan. Kencana Rukmi membenarkan kenyataan haq dan
menyalahkan kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, laksana sinar yang datang
dari sumber Illahi, tembus sampai ke dasar bumi.
”Ikutilah wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi alat untuk
mengarungi kehidupan. Cahaya dari ALLAH, cahaya Illahi yang sampai ke dasar
hati.” [Dalam Islam, Ihdinas shirothol Mustaqim].
Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesih tambah tinggi-tambah tinggi,
mengarungi lapisan-lapisan kebahagiaan yang tiada tara, melampaui ketenteraman
dan kedamaian. Makna ketenteraman dan kedamaian itu adalah ”sela” atau batasan
kecil dari rasa aman di muka bumi. Tapi dijagad tersebut, di perbatasan alam
Kahyangan, kedua orang ini terhanyut oleh alam kebahagiaan. Di mana alam
kebahagiaan ini memiliki satu kenikmatan yang tak terhingga, walau masih kosong
atau sepi dari energi Ke-Illahi-an. Berarti alam Kahyangan atau alam surga
adalah jagad nikmat kebahagiaan yang mengandung energi ke- Illahi-an.
”Wahai Dewi Sukesih”, kata Begawan Wisrawa, ”Kita harus kembali
secepatnya ke bumi.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena kita ini masih memiliki raga. Di sini, di alam Kesucian
tidak ada alatnya untuk mensucikan tubuh kita. Dan tiada mampu alam ini
mensucikan jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Sekalipun dunia penuh
noda tapi di sana tempatnya ’pensucian’, tempat ’meruwat’.”
”Namun Begawan, saya tak mampu melepaskan kerinduan yang sangat
kepada sesuatu yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu
Kahyangan”, kata Dewi Sukesih.
”Apakah wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke
Kahyangan. Walau pikiranku tidak merindukan kenikmatan Surgawi. Tidak
merindukan kenikmatan Kahyangan. Bathinku merindukan yang menciptakan Kahyangan
itu sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”
”Itu adalah ’Budi’, jawab Begawan Wisrawa, ”Budi yang ada dalam
jiwa kita, yang tersembunyi, karena Budi berangkat dari Ke-Illahi-an. Maka,
meronta, bergerak, selalu menuju pada sumber Ke-Illahi-an.”
Maka manakala menjelang Sela Menangkep, pintu Ar-Royan, pintu
surga terbuka, dengan kegembiraan yang sangat, sang Dewi masuk. Yang tadinya
Begawan menasehati untuk mengajak pulang, sang Begawan pun tersedot untuk ingin
masuk ke pintu Kahyangan tersebut. Maka bumi berguncang-guncang, evolusi
matahari berubah, alam raya, acak! Samudera menggelegar, banyak permukaan bumi
tergenang air laut. Daratan menjadi lautan. Para raksasa yang tadinya gagah,
menangis pilu. Rukh jahat mengerang kesakitan, meronta, memanggil-manggil Hyang
Widhi. Memanggil-manggil Tuhannya. Maka yang tadinya raksasa-raksasa dalam jagad
sang Dewi pun keluar, masuk ke Kahyangan. Menghalangi pintu-pintu Surga.
”Wahai manusia, belum saatnya engkau meninggalkan dunia. Kasihan
bumi kau hina, kasihan bumi kau injak-injak, kasihan bumi kau lecehkan”, kata
raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat lainnya.
Para Dewa pun resah!
Maka Batara Guru mengumpulkan para Dewa, para Batara dan para
Bidadari. ”Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam”, kata Batara Guru.
”Ada anak manusia mencoba masuk kesini, melalui tangga-tangga Sastra Jendra
Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena mereka belum saatnya
masuk ke Indra Prastha yang kita cintai ini.”
”Wahai Batara Guru, siapakah yang datang?”
bertanya Batara Narada.
”Dua anak manusia, perempuan dan laki-laki”,
jawab Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, kita tidak perlu resah. Tempat kita Kahyangan
ini mana mampu dimasuki oleh manusia sebagai perempuan dan laki-laki. Di sini
tidak ada batasan perempuan dan laki-laki, kita tidak perlu resah. Dua manusia
itu belum saatnya masuk Kahyangan”, Batara Narada melanjutkan keterangannya,
”Karena walaupun mereka sudah masuk ke Sastra Jendra, tetapi di balik hatinya
yang terdalam masih merindukan dosa-dosa, masih merindukan noda-noda. Walaupun
mereka sudah hening dari kerinduan-kerinduan itu sendiri.”
”Wahai Dindaku”, berkata Batara Guru pada
isterinya, Betari Uma.”
”Bagaimanakah pendapatmu, tentang dua orang yang mencoba memasuki
Kahyangan ini?”
”Wahai Kakandaku, walau aku wanita tapi di sini aku kehilangan
kewanitaanku. Karena kewanitaanku sudah kukorbankan dalam Sastra Jendra yang
panjang. Aku dihadapanmu wahai suamiku, bukan lagi feminim. tapi aku adalah aku
sebagai sumber awal kehidupan”, jawab Betari Uma.
”Dan bagaimanakah dengan Dewi Sukesih yang mencoba masuk ke
Kahyangan ini?”
”Biarlah, dia masih membawa keangkuhan wanita, sang Begawan pun
masih membawa keangkuhan pria. Bukankah Nirwana ini dibentengi oleh keangkuhan
rasa wanita dan keangkuhan rasa lelaki? seperti aku, wahai suamiku. Sewaktu aku
pernah ke bumi”, kata Betari Uma selanjutnya, ”Perempuan di puncak
keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga di jiwanya, taman bunga di
dagingnya, taman bunga di perasaannya. Bunga-bunga Menur tercuri oleh lelaki.
Maka wanita tak merasa tercuri kesuciannya oleh lelaki. Bunga Menur, aku pun
tercuri oleh lelaki saat di bumi. Namun aku tak mampu, tak bisa, merampas bunga
Menur. Karena keperawanan bukan dua kali, hanya sekali. Keperawananku dicuri
lelaki. Seperti seorang gadis yang tidak tahu, bunganya telah dicuri dari Taman
hatinya. Rasa ego wanita, merasa tak tercuri kesuciannya. Karena rasa ego
wanita, dirinya harus mempersembahkan kepada sang suami. Itulah cinta yang aku
rasakan sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”
”Begitupun seorang lelaki, wahai isteriku”, berkata Batara Guru,
”Setelah mencuri bunga Menur dari Taman hati seorang wanita, seperti lebah yang
kehilangan sengatnya. Jangan harap mereka mampu menikmati Surga, karena
mulutpun mereka tak punya, [Hal ini harus disimak dari kejadian ”Tragedi
qolbi”]. Lelaki datang ke surga mau menikmati kenikmatan Surgawi, namun seperti
kumbang yang datang pada bunga raksasa penuh madu, tapi tak punya alat untuk
menghisap. Karena isapannya cuma satu, sudah digunakannya untuk mencuri bunga
Menur dari taman hati seorang gadis.”
”Dimanakah Sastra Jendra wahai suamiku? Manakala seorang wanita
kehilangan bunga Menurnya, dan saat lelaki kehilangan sengatnya?” ”Sastra
Jendra tetap ada”, jawab Batara Guru, ”Menunggu sampai mengerti, kenapa
kehilangan bunga Menur dan kenapa kehilangan sengatnya. Tetap tidak berakhir
kesempatan untuk meraih Sastra Jendra, wahai isteriku.”
Maka seluruh makhluk di alam raya, berbondong-bondong datang.
Diantaranya ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (rukh-rukh yang
belum sempat memiliki fisik).
Warudoyong adalah sejenis rukh yang mendambakan fisik, untuk makan
tidur.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Pocong adalah bentuk rukh yang mendambakan fisik, daging dan
darah, supaya kelaminnya bisa kimpoi, untuk menikmati seksual. Mereka merasakan
sensual, tapi tak punya kelamin karena tak berfisik.
Jerangkong, perlu fisik untuk bisa menyayangi, untuk bisa
membunuh, untuk bisa menyiksa sesamanya.
Adapun rukh-rukh marakayangan, yang pernah hidup di dunia, namun
kematiannya masih membawa nafsu secara sempurna.
Brakasaan, Banaspati, Gandarwa dan seluruh rukh-rukh baik yang
tidak punya fisik, yang pernah punya fisik, rukh-rukh marakayangan, para diyu
dan para jin, kumpul. Demonstrasi!
“Wahai Sang Dewa Batara Guru, jangan biarkan dua anak manusia ini
masuk, karena kalau mereka masuk dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki
daging dan darah, wahai Dewa Batara”, berkata rukh-rukh yang belum sempat
mempunyai fisik.
”Wahai Dewa Agung, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk,
karena aku masih ingin lahir kembali ke dunia. Walau sempat hidup di dunia, aku
tidak bosannya bergumul dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku”, kata
rukh-rukh marakayangan.
Maka darah-darah pun mengalir, darah yang aromanya bau, hitam dan
kelam berkata, ”Wahai sang Dewa, kami adalah tetesan dosa , kami menangis.
Walaupun dunia tidak hancur, manusianya kehilangan kerinduan kepada aku.
Bukankah wahai sang Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah, Kerinduan
kelamin adalah penyimpanan darah? Bukankah memakan harta yang lain adalah
menghisap darah, dan mengkhianati yang lain adalah berenang dalam darah? Kami
adalah darah-darah yang masih punya hak bergenang di bumi. Jangan engkau
biarkan darah tidak dirindukan lagi oleh penduduk bumi.”
”Wahai Kakanda”, berkata Batara Guru pada Batara Narada,
”Bagaimanakah cara membendung mereka supaya tidak masuk ke kahyangan ini?”
”Wahai Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang
masih dibatasi oleh rasa lelaki dan rasa wanita. Memang mereka sudah terbebas
dari rasa memiliki dan rasa dimiliki oleh siapapun dan oleh apapun. Tetapi
mereka dipisahkan oleh rasa ke-dewi-an dari Sukesih dan ke-resi-an dari sang
Begawan Wisrawa. Adindaku, cobalah mereka. Benarkah tidak menyimpan lagi
batasan-batasan kerinduan untuk berbuat dosa lagi. Turunlah (masuklah) ke salah
satu bergiliran”, kata Batara Narada.
Maka masuklah Batara Guru ke diri Dewi Sukesih, masuk ke alam
jiwanya terdalam. Batara Guru tidak masuk ke jagad fikiran dan jagad rukhnya,
karena jagad fikiran adalah dunia bumi dan jagad rukh, hanya milik Sang Hyang
wenang Allah subhanahu wa ta’ala [tentang janji rukh pada Allah swt, Q. S.
7:l72 ’wa idz akhodzna robbuka min bani aadama, qolu balaa syahidna]
Begitu masuk kepada sentral terdalam jiwa dewi Sukesih, muncullah
perasaan tertentu dalam diri Dewi Sukesih. Dipuncak kesucian dari jagad
perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian memadu dengan keagungan dari
Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, betapa gagah, betapa agung,
betapa indah akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan. Menimbulkan kekaguman
yang sangat dalam pada perasaan sang Dewi sebagai wanita.
Keagungan jagad Nirwana yang suci, memberi sentuhan keagungan dari
sikap Begawan Wisrawa. Maka terlihatlah laksana Dewa Batara Kamajaya, simbol
kesempurnaan seorang lelaki (nabi Yusuf as, dalam Islam). Muncullah cinta
asmara yang hebat pada sang Begawan, cinta dari anak ke Bapak, punah! Yang ada
hanyalah sebagaimana cinta wanita pada pria. Rontaan-rontaan perasaan ini tidak
kuat untuk diungkapkan.
”Wahai Begawan, Aku cinta padamu. Betapa engkau mempesona aku,
betapa bertambah indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini, sentuhlah
kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun tersentak kaget!
”Dewi Sukesih anakku!….. Aku datang untuk anakku Danareja. Oh,
Dewi Sukesih, kenapa pipimu yang merah dan indah itu harus dipoles oleh kembang
api neraka? Dan alismu yang hitam, harus dihitamkan oleh abu neraka? Kulitmu
yang halus, mengapa harus diperhalus oleh awan-awan nafsu yang kuning? Yang
menyorot tubuhmu yang kuning.”
Maka pada saat Begawan Wisrawa bicara demikian, Dewi Sukesih
kembali kepada jagad kesuciannya.
”Mohon ampun Begawan….. Mohon ampun raja Dewa. Aku tidak mengerti,
kenapa tumbuh perasaan seperti itu. Dan akupun sadar, betapa aku belum pantas
untuk masuk ke Nirwana yang Suci”, berkata sang Dewi dengan terbata-bata.
Begitu kesadaran kesucian dari sang Dewi muncul, Batara Guru
terpental dari jagad jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang
terpancar dari kesucian bathin, lebih hebat, lebih sakti dari segala macam ilmu
dan kesaktian apapun. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, bisa terpental! Dalam
keterpentalannya, Batara Guru bicara dari jarak jauh kepada kakandanya, Batara
Narada.
”Wahai Kakanda, betapa hebat kekuatan yang ada dalam kesadaran
yang tinggi dari jagad bathin Dewi Sukesih. Memang pantaslah dia menjadi
bidadari Surgawi. Pantas Dewi Sukesih menjadi raja dari segala Bidadari.”
”Memang benar wahai Dindaku”, kata Batara Narada, ”Dewi Sukesih lebih
cantik dari semua Bidadari yang ada di Surga. Karena, bilamana manusia bumi
mampu mencapai ketinggian harkat, itu melampaui kecantikan dan keindahan
penghuni Surga itu sendiri. Manakala anak manusia mencapai ketinggian harkat
yang suci dalam keikhlasan, suci dalam kepasrahan, suci dalam rasa memiliki dan
dimiliki. Itu adalah lebih tinggi harkatnya dari harga Nirwana itu sendiri,
harga Surga itu sendiri”, Batara Narada menerangkan.
Perasaan cinta sang Begawan sebagai seorang ayah, ternyata telah
menyelamatkan dirinya dari belaian maut cinta asmara. Dan ternyata kalau cinta,
suami isteri telah membuahkan anak, seharusnya ”menambah” kokoh cinta yang ada.
Sehingga apabila saat-saat kritis menghadang, terutama dari hempasan badai
asmara dari pihak ketiga, ataupun saat-saat kejenuhan mencengkeram jiwa
masing-masing, maka cinta kepada anak adalah kekuatan yang agung, dalam
menghadapi semua itu.
Ternyata sang Dewa Batara Guru, dalam harkat kedewaannya, sangat
menaruh hormat atas kesucian bathinya.yang dimiliki oleh insan manusia.
”Namun demikian…..lupakah engkau wahai Dindaku, bahwa Dewi Sukesih
datang ke tempat ini karena masalah mencari calon suami. Sekalipun sudah sampai
ke Sastra Jendra, sampai pada puncak nilai dan kesucian. Tapi berangkatnya dari
mencari suami. lkatlah keberangkatan mencari suami dengan kesucian Sastra
Jendra maka Dewi Sukesih akan ditarik kembali oleh aibnya, dari kekuatan daya
tarik bumi. Dan cobalah sekarang masuk lagi ke Begawan Wisrawa, masuk ke pusat
jagad lelanang-nya Begawan, keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya.
Munculkan tentang ’mandra guna’ kelelakiannya. Laki-laki ’Lelanang ing jagad
mandra guna wiwaha’. Sekalipun Dindaku tidak merasa memiliki, tapi engkau mampu
membawa ’lelanang jagad’ pada jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”
Maka masuklah Batara Guru ke alam bathin Begawan Wisrawa, masuk ke
pusat jagad lelanangnya (ego maskulin), keangkuhan kelelakiannya, jagad
kegagahannya. Batara Guru terkagum-kagum melihat keikhlasan kelaki-lakian sang
Begawan. Ternyata dengan sukarela sang Begawan memperlihatkan kekuatan jiwanya,
karena mampu meninggalkan keangkuhan kelelakiannya. Ada suatu keindahan
didalamnya, keindahan karena sang Begawan Wisrawa telah meninggalkan dirinya
sebagai raja, meninggalkan dirinya yang berkuasa atas rakyatnya. Meninggalkan
dirinya yang beristerikan seorang ratu. Dan telah meninggalkan semua unsur
manusiawi, terutama naluri seksual.
Betapa Batara guru terpukau, terpesona, betapa indahnya! Kahyangan
adalah jagad yang penuh dengan kenikmatan nan mempesona, namun jagad bathin
sang Begawan ternyata lebih mempesona, lebih anggun.
Kekaguman Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada.
”Wahai Dindaku, kenapa engkau terpesona? Di jagad kita memang tidak ada pesona
keindahan seperti itu. Jagad itu ada di atas jagad Kahyangan ini. Itu sangat
dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Tunggal, Yang
Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad bathin yang ada dalam dada sang Begawan
adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Illahi.”
”Wahai Kakanda, bagaimanakah cara aku
menggodanya?”
”Engkau begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau
lupa bahwa jagad itu adanya dalam daging Begawan Wisrawa. Cobalah munculkan,
jagad dagingnya, jagad diyu-nya.” Jawab Batara Narada.
Begitu dimunculkan jagad daging sang Begawan, bergetar
syaraf-syarafnya, muncul perasaan aneh dari sang Begawan. Terlihatlah, wajah
cantik nan rupawan Dewi Sukesih, bertambah cantik. Betapa keindahan jagad suci
kahyangan bertambah indah dengan kehadiran Dewi Sukesih. Pesona Kahyangan pun
bertambah mempesona oleh wajah dan keindahan tubuh Dewi Sukesih. Terungkaplah
rontaan perasaan yang tak bisa lagi dikendalikan. Yang biasanya ”wahai anakku”
tapi kini, ”wahai dindaku”
Dewi Sukesih tersentak, kaget!
”Wahai Dindaku”, mengapa kita tidak manunggal ? Manunggal dalam
jiwa, manunggal dalam perasaan, manunggal dalam bathin. Manunggal dalam jagad
fikiran dan jagad raga kita. Supaya engkau meneteskan darah dari rahimmu,
supaya dunia bertambah indah oleh darah-darah yang indah. Marilah kita lewati
malam pertama dari sebuah perkimpoian, supaya perkimpoian manusia di dunia
tambah dirasakan indah. Dan menjadi dambaan tertinggi dari harapan kehidupan
dunia.”
”Wahai Begawan, Aku melihat di matamu yang
teduh, keluar mega-mega hitam dari nafsu seluruh manusia. Mengapa engkau ambil
alih semua nafsu manusia yang ada di bumi? Yang katanya tak boleh dicela, wahai
Begawan, walaupun engkau berhasil untuk tidak menghina dunia, namun kau ambil
alih noda nafsu seluruh manusia di seluruh jagad bumi. Mengapa engkau isi
mega-mega hitam itu dengan birahi? Yang telah engkau mampu padamkan. Dan
engkaupun telah membawa obor birahi dari bumi, padahal aku tak melihat engkau
mengambilnya dari bumi. Mengapa demikian, wahai Begawan?”
Tersadarlah sang Begawan.
”Wahai Maha Dewa yang ada di Kahyangan,
betapa aku masih mensisakan rasa manusiaku, aku tak pantas menjadi penghuni
Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih untuk segera kembali ke bumi, supaya
kami tidak terjebak oleh sisa manusiawi kami, yang temyata masih kuat, teguh
menjadi raja dalam jiwa kami.”
Begitu ada kesadaran yang suci dari sang
Begawan, Batara Guruh terpental jauh. Tidak hanya keluar dari jagad bathin sang
Begawan, namun terus jatuh di hadapan Batara Narada di Kahyangan. Ternyata ada
kekuatan yang dahsyat dari miniatur Surga yang ada dalam jagad bathin sang
Begawan.
”Wahai Dindaku, ternyata engkau masih tetap
kalah oleh mandragunanya kekuatan manusia bumi”, berkata Batara Narada yang
nampak kekagetan di paras mukanya.
”Mengapa demikian Kakanda?”
”Karena Sang Hyang Wenang Hing Murbeng Agung,
pencipta kita. Walaupun marah kepada penduduk bumi (perpanjangan dampak tragedi
qolbi), namun masih menyimpan kekuatan kekuasaan-Nya, yang tersembunyi dalam
nurani manusia. Yang tidak diberikan kepada kita.”
”Kalau demikian Kakanda, Sang Begawan sangat
pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”
”Lebih dari pantas”, jawab Batara Narada, ”Lebih dari kita para
Dewa, lebih dari para Bidadari. Karena kita menjadi penghuni Nirwana ini adalah
Titis Tulis Hyang Widhi, sekalipun menolak kita tetap menjadi penghuni
Kahyangan ini. Kalau sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu adalah karena
perjuangan dari sebuah makhluk. Yang dilahirkan tanpa harkat, namun mampu
meraih harkat. Itu adalah bagian pengembangan dari sisi lain Kekuatan Kuasa
Illahi.”
”Kalau demikian berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik
kita”, kata Batara Guru.
”Benar, kita tidak memiliki Sastra Jendra, walaupun Kahyangan ini
adalah buah dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah
milik Hyang Widhi, milik Illahi, yang hanya diberikan kepada mereka penduduk
bumi yang mampu mengangkat harkat dirinya. Baiklah dinda Batara Guru, sekarang
engkau masuklah pada keduanya dalam kebersamaan dengan isterimu, Betari Uma.
Bercintalah kalian dengan menggunakan fisik kedua anak manusia itu. Engkau
tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad bathin keduanya. Langsung saja
kembalikan diyu keduanya. Kita para Dewa punya hak dari Hyang Agung, untuk
membangun ’diyu-diyu’ dalam jagad diri manusia.”
Batara Guru pun memanggil isterinya, Betari Uma. ”Wahai kekasihku,
kita akan bercinta melalui raga dari kedua orang ini.”
”Wahai Kakanda”, berkata Batari Uma, ”Bukankah kita bercumbu di
Surgawi ini tanpa harus bersentuhan fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Illahi
tanpa harus melewati kelamin? Dan kita tidak lagi memiliki kalamin, kenapa
harus memakai kelamin mereka? Bukankah kita akan menodai kesucian yang telah
lama kita lakukan.”
Ingatlah tentang kemurkaan Allah swt, saat terjadinya tragedi
qolbi, dimana bahwa penciptaan alam raya dan isinya, melalui proses evolusi
(Yaa-Siin), diciptakan dari proses pembuatan ”alat kelamin”. Sedangkan jasad
Adam dikembalikan ke Sidrah, sebagai Atma. (Proses terusirnya Adam dari Surga)
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
Reaksi pertama muncul dari alam jiwa, alam pikiran dan alam fisik
Begawan Wisrawa. Dirasakan oleh sang Begawan, dirinya seperti masuk ke suatu
padang yang panjang. Dirinya sendiri menjadi kuda jantan yang gagah perkasa,
berlari-lari dengan congkaknya. Maka energi birahi sang lelaki menimbulkan
meregangnya semua syaraf dan pori-pori tubuh. Maka secara fisik dan dalam alam
fikiran, alam jiwa, sang Begawan merasa menjadi kuda jantan yang gagah dengan
otot-ototnya yang teguh serta urat-urat yang menegang. Resah! Diterpa birahi.
Semakin meregang tubuhnya semakin keras pula keresahan yang menerpa. Melejitlah
bak anak panah yang tersentak dari busurnya, sang kuda jantan berlari dengan
desah nafas memburu dan keringat yang membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda
pun meringkik dengan kedua kaki depan terangkat ke atas, menendang,
melompat-lompat, tak tahan atas desakan birahi yang maha tinggi, melampaui
kekuatan keikhlasan dan keimanan jiwanya sendiri.
Kuda jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya tidak saja
tubuhnya yang menegang dengan urat-urat menonjol, otot kelaminnya pun meregang
pula bersama dengan larinya kaki dipadang panjang yang terjal dan berliku. Betapa
hebat udara birahi yang menerpa sang Begawan, birahi yang tidak pernah
dirasakan, sekalipun dalam kehidupan remaja dan akil balikhnya. Sang kuda pun
turun, naik, di setiap celah-celah gunung, jurang-jurang yang dilaluinya.
Berlari terus bak kuda sembrani yang menjelajahi seluruh padang panjang
kegelisahan, dengan satu tujuan, mencari kuda betina!
Maka jagad perasaan manusiawi sang Begawan dirasakan lebih
sempurna dari puncak hawa nafsu manusia di bumi. Hal ini adalah disebabkan oleh
Batara Guru sedang masuk ke pusat jagad manusiawi sang Begawan dan
membangunkan, menggetarkan semua simpul syaraf dan indera sang Begawan. Para
Dewa punya hak untuk bangunkan diyu-diyu hawa nafsu yang ada dalam jagad
manusia.
Dalam waktu yang bersamaan, Betari Uma pun membangun nuansa-nuansa
imajiner sang Dewi. Karena sesungguhnyalah bahwa birahi itu tak lebih dari
ilusi/imajinasi belaka. Cuma karena imajinasi itu datangnya dari pikiran dan
perasaan kita, maka seolah-olah itu adalah sesuatu yang nyata.
Maka Dewi Sukesih pun seperti wanita telanjang yang sedang mandi
di telaga Taman Firdaus, telaga Nirmala. Kemudian tangan sang Dewi pun
menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang, menimbulkan erotisme yang sangat
tinggi. Lentik jemarinya pun menelusuri seluruh lekuk tubuhnya sendiri. Maka
seketika kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat, punah! Bahkan sentuhan
sibakan air pun mampu menimbulkan erotisme tersendiri. Berenanglah sang Dewi di
telaga Nirmala, dipetiknya bunga-bunga yang tumbuh di atas telaga, sang bunga
pun disentuh-sentuhkan pada tubuhnya, sehingga menimbulkan erotisme yang maha
tinggi, erotisme yang tidak ada di dunia.
Ternyata benda-benda saja sudah mampu menimbulkan erotisme yang
sangat tinggi bagi tubuh sang Dewi, tanpa apapun, tanpa kelamin laki-laki,
tanpa pria! Dan betapa hebat nafsu dari Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan
bunga teratai surgawi menambah rangsangan erotisme sensual sang Dewi. Ikan-ikan
yang ada dalam telaga pun menyentuh dengan nakal tubuh telanjang sang Dewi.
Juga menimbulkan kenikmatan yang sangat indah dari sebuah rasa sensual sang
Dewi.
Maka puncak sensual sang Dewi masih harus menuntut. Dan naiklah
sang Dewi dari telaga yang indah, berguling-guling di taman. Sentuhan-sentuhan
rumput di taman menimbulkan erotis yang begitu menggelitik. Dari sela-sela
taman muncullah ular besar, sang Dewi membiarkan sang ular menghampiri,
kemudian menjalar dan menjilati tubuhnya. Lilitan ular mulai dari ujung kaki
hingga lehernya, menimbulkan puncak erotisme yang sangat sempurna. Tidak ada
dimanapun. Maka sampailah ke puncak jeritan yang begitu mempesona dari sang
Dewi. Jeritan itu adalah kesadaran betapa dirinya merindukan fisik lelaki,
merindukan sentuhan lelaki, ciuman lelaki dan terutama merindukan kelamin
lelaki. Terlontarlah erangan jerit sang Dewi.
Resah jeritan, desah sang Dewi, berubah diri; membentuk kuda
betina yang sedang menggosek-gosek, berguling-guling, menggesek-gesek tubuhnya,
tersiksa deraan birahi!
Kuda jantan yang memang sedang mencari kuda betina, bertemulah
keduanya. Berguling-guling bersama, saling menggigit sambil bersenggama. Pada
saat alat kelamin kuda jantan masuk ke alat kelamin kuda betina, sadarlah sang
Dewi! Sadarlah Sang Begawan! Namun segala sesuatunya sudah terlambat.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Dalam pada itu menjelang puncak hubungan dari keduanya, dengan
cepat Batara Guru dan Betari Uma keluar dari tubuh keduanya, lapor pada Batara
Narada.
”Wahai Kakanda, benar! Ternyata mereka masih merindukan dosa-dosa
yang tersembunyi. Sekalipun sudah sampai ke jagad alam yang paling suci,
melampaui kesucian kita para Dewa. Mereka masih memiliki kelamin yang ada dalam
Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa keagungan dan kesucian
Sastra Jendra masih harus diperankan oleh kelamin mereka. Mereka dengan
kelaminnya harus kembali ke bumi.”
Sesungguhnyalah bahwa pada saat keduanya didera oleh birahi yang
maha dahsyat, semakin tinggi birahi dirasakan oleh keduanya, maka semakin
turunlah mereka dari Kahyangan. Desah erang kejantanan sang Begawan dan jeritan
kewanitaan sang Dewi dipuncak hubungan kelamin sempurna, keduanya sudah berada
di Taman Arga Soka. Taman yang memang dipersiapkan bagi keduanya oleh Prabu
Sumali, ayahanda Dewi Sukesih.
Begitu sadar, maka keduanya dalam keadaan tanpa busana. Reaksi
pertama dari keduanya adalah dengan cepat mengambil busana masing-masing yang
ternyata tergeletak di sebelah mereka, dan segera menutupi tubuh masing-masing.
(Dalam Qur’an : ”………Adam dan Hawa segera mengenakan daun-daun
surga untuk menutupi auratnya”).
Keduanya pun dilanda, dicekam oleh rasa malu yang sangat! Setelah
keduanya selesai mengenakan busana masing-masing, nampaklah bahwa busana sang
Dewi, busana indah puteri seorang raja yang serba putih, penuh noda darah
keperawanan sang Dewi. Gugurlah Bunga Menur seorang gadis yang suci.
Berkata sang Begawan pada Dewi Sukesih, ”Wahai Dindaku, kita telah
terikat sebagai suami isteri dan kita tidak perlu menikah kembali atas
persetujuan orang tuamu. Kita tidak perlu akad nikah yang diresmikan oleh
rakyat, oleh umat. Dan kitapun malu minta kepada sang Dewa untuk diresmikan dan
disyahkan. Kita dinikahkan oleh syahwat kita. Bukan dinikahkan oleh alam ini,
bukan dinikahkan oleh orang-tua kita, dan bukan pula dinikahkan oleh Sang Hyang
Wenang, Tuhan yang Maha Esa.”
Dewi Sukesih menangis dengan segala penyesalan, dan air mata pun
berderai tak henti-hentinya. Sementara sang Begawan tak berkata-kata, tak ada
kalimat yang menyatakan tentang mohon pengampunan dosa. Tiada kata-kata yang
menyatakan tentang rasa kebersalahan atau penyesalan dari sang Begawan.
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
Ternyata walaupun tak ada kata atau kalimat yang menyatakan
perasaannya ataupun derai air mata dari sang Begawan, ternyata sang Begawan
lebih tinggi rasa penyesalannya. Karena dia adalah pendeta, wali Allah, seorang
ulama yang sangat kasyaf, seorang resi, seorang pastur yang sangat suci.
Rasa penyesalan tak lagi mampu dapat diwakili oleh perangkat
apapun, sekalipun dalam bentuk tangisan. Maka berkatalah sang Begawan,
”Dindaku, menangislah sepuasmu sekalipun tidak akan mensucikan noda-noda kita.
Darah yang ada dalam busanamu menyebabkan semua anak manusia yang akan datang
ke dunia ini harus tercekam, terpenjara kerinduan malam pertama pengantin.
Biarlah, kita korban dari keserakahan nafsu kita sendiri. Biarkanlah kita
menjadi korban dari syahwat yang lebih besar dari raksasa apapun. Biarkanlah
kita menjadi tumbal, menanggung dosa semuanya yang akan lahir ke dunia ini”,
sang Begawan tercenung sejenak, kemudian katanya,
”Wahai Dindaku, sperma yang keluar dari kelaminku telah menetes
dalam jagad kewanitaanmu. Biarlah sperma itu menjadi makhluk baru dalam
rahimmu, menjadi makhluk baru yang penuh kemerdekaan. Apapun sang janin
jadinya. Kita serahkan kepada hawa nafsu yang telah kita ukir bersama. Biarlah
sang nafsu yang telah kita ukir bersama akan membangunkan janin bayi yang ada
didalam perutmu. Wahai Dindaku, kita harus siap mencintai, merawat dan mendidik
bayi-bayi yang akan lahir. Anakmu adalah anakku, anakmu seharusnya cucuku, tapi
anakmu adalah anakku. Apapun sifat dari bayi ini, kita tak boleh mengurangi
cinta kita pada mereka, kita didik dengan segala pengorbanan tanpa harus
menuntut. Sekalipun kita didik sebaik mungkin, karena lahir dari dosa kita,
kitapun tak mampu untuk menjadikan mereka anak baik yang mendapat ridho dari
sang Dewa. Biarkanlah berkembang dengan sifat keangkaraannya, dengan penuh
kesalahannya. Biarkanlah anak kita berkembang dengan keinginannya, asal kita
mensisakan kasih sayang yang ikhlas untuk mereka. Dengan segala perlindungan
dan pendidikan. Dan baik tidaknya anak ini bukan tugas kita lagi. Itu adalah
tergantung kearifan dari Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita. Kitapun tak
mampu berdoa untuk mohon itu, karena doa itupun sudah mengutuk kita dari dalam
perbuatan syahwat yang akan mengukir sampai akhir dunia.”
Maka rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang
dicintai, harus tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium
kaki sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya
sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.
Sementara itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu
Sumali muncul kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang
menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke dalam
jagad kewanitaan Dewi Sukesih.
”Wahai sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini
belum juga pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa
oleh-oleh dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak
mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku laksana
genangan darah yang tak mampu mengalir. Mengapa aku gelisah wahai Dewa Maha
Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan. Jangan Engkau jadikan
kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan, Wahai Dewa Agung.”
Demikian ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda
kegelisahan. Di puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap
cemas kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki
ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.
”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur
bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”
Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah
gerangan wahai anakku.”
”Aku menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang
memporak-porandakan semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa,
selain noda-noda dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol
dalam jiwaku wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.
”Terangkanlah musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu
Sumali. Namun Dewi Sukesih diam…..terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap
mengalir, tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah
dari istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang
darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur dalam
kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.
Tinggallah cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan
sang ayah menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Pengulangan kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih,
sekaligus ”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh
lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita kembali
tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu Sumali.
Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada
Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.
”Wahai Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan
dari harga manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan,
membangunkan api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya,
sahabatku yang begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang
sempurna dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa
itu, aku tak percaya! Pasti…….ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di
Nirwana.”
Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya
selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.
Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki
sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.
”Wahai sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita
berangkat dari noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian
seperti para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di
Nirwana.” Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.
”Jangan menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku
dalam jiwa sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun
cinta aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah
para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku akan
mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku, bangunlah,
peluklah aku, jangan malu.”
Sang Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka
tumbuhlah perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang
Dewi pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.
”Wahai puteriku, siapapun engkau dengan noda dosa yang sangat
tinggi, cintaku tidak pernah berubah. Cintaku tambah tinggi karena aku tahu
engkau memiliki kecintaan kepada rakyat, dan aku tahu engkau memiliki kecintaan
kepada orang tuamu, melampaui saudara-saudaramu, melampaui cintanya rakyat
kepadaku sebagai raja, dulu. Dan akupun mampu meninggalkan kekuasaan tahta,
harta, serta ibumu. Itu adalah karena dorongan cintamu yang agung untuk segera
meninggalkan istana, dan segera menuju pertapaan. Itu adalah jasamu, anakku.
Dan ini akan menyelamatkan engkau dan mengalahkan keagungan bidadari yang ada
di Kahyangan. Senyumlah, puteriku…..”, Sang Prabu mengangkat wajah Dewi
Sukesih, ”Senyumlah….”, sang Dewi pun tersenyum.
”Teruskanlah perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau wahai
sahabatku, bertanggung jawablah, bahwa inilah isterimu. Walaupun engkau tidak
dinikahkan oleh alam dan sang dewa. Tapi engkau akan dinikahkan oleh cinta aku
sebagai sahabatmu. Wahai Begawan dan engkau wahai Puteriku, akan kunikahkan
dengan cinta yang agung, yang pernah engkau berikan padaku, itulah mahar.”
Tak lama kemudian, Prabu Sumali mempersilakan
keduanya berangkat.
”Berangkatlah menuju kepada kehidupan. Jemputlah darah-darah yang
akan mengalir ke muka bumi ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah para
wanita, engkau membuktikan diri kepada para Dewa. Membuktikan bahwa engkau
mampu lebih agung daripada para Bidadari, bahkan dari para Dewa itu sendiri.
Berangkatlah, tundukkan dunia ini dengan darah yang engkau tampung, jangan coba
kau tundukkan dengan kesucian Sastra Jendra”, kata Sang Prabu mengakhiri
pesannya.
Setelah berpamitan maka berangkatlah keduanya, melanjutkan
perjalanan.
Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.
Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.
”Wahai anakku”, kata sang Ibu, ”mengapa engkau biarkan dirimu tersiksa
oleh puasa?”
”Ibu, aku sangat merindukan kekasihku Dewi Sukesih. Kapankah
Ayahanda dan Dewi Sukesih pulang. Kerinduanku pada Dewi Sukesih melenyapkan
seleraku pada makanan apapun. Apapun kenikmatan dunia tak ada artinya
dibandingkan kerinduanku kepada kekasihku, Dewi Sukesih.”
”Wahai anakku, ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih. Dan aku
ini, ibumu, telah membuktikan kepatuhan dan janji yang benar dari ayahmu.
Sebagai wanita, sebagai isteri aku puas, sebagai orangtua anak-anakku, ayahmu
telah menghantar aku ke alam yang sangat tinggi dari kenikmatan harkat wanita.
Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti diangkat lebih tinggi.”
Namun betapa kaget keduanya, ketika ada yang datang, yang ternyata
adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
”Mengapa mata ayah demikian redup?”, berkata Prabu Danareja,
”Dimana kegagahan Ayah?”
”Wahai anakku, aku telah mencuri cinta, mencuri cinta kepada
anakku sendiri. Cintamu kepada dewi Sukesih telah aku curi. Sekarang kekasihmu
adalah ibu tirimu.” Maka sujudlah Begawan Wisrawa kepada anaknya sendiri.
Sang anak tak mampu berkata-kata, diam seribu basa, sudah tidak
ada lagi perasaan apapun dalam jiwanya. Dirinya sudah menjadi patung yang tidak
mempunyai rasa hidup. Dirinya tak dapat menyalahkan ayahnya ataupun menyalahkan
Dewi Sukesih, karena jiwanya menjadi batu yang tak punya rasa.
”Wahai anakku Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal dalam
memenuhi keinginanmu. Namun biarlah semua apa yang aku raih sebagai manusia
dalam tapaku, dalam meninggalkan kemasyhuran tahta dan harta. Maka seandainya
Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepada aku, biarkanlah aku berikan kepadamu,
wahai anakku. Biarkanlah aku tidak ada arti selama alam raya ada, sampai aku
bertemu dengan Hyang Widhi nanti. Biar kemegahan di hadapan Tuhan engkau yang
merasakan, wahai anakku. Karena diantara noda dosaku, aku merasa lebih cinta
kepada anakku. Engkau adalah kulahirkan dengan kesucian jiwaku. Namun engkau
dihancurkan harapanmu, oleh rasa ayah yang dapat menyelamatkan anaknya.”
Kemudian sang Begawan bersimpuh kepada
isterinya,
”Maafkanlah aku, wahai isteriku.”
”Wahai kanda”, berkata sang isteri, ”Tiada yang harus engkau
ungkapkan. Namun cintaku yang murni, dalam kerinduan begitu utuh dan indah
manakala kerinduanku sebagai wanita muncul. Dan aku tenang dengan cinta itu
karena engkau, wahai suamiku, sedang bertapa dalam Sastra Jendra Hayuningrat.
Namun kali ini cintaku merasa di uji. Yang berarti aku tidak perlu lagi
merindukan dirimu. Manakala aku paksakan merindukan cinta pada suamiku, berarti
aku harus berhadapan dengan cemburu, karena engkau telah memiliki isteri yang
baru. Biarkanlah cinta ini akan kugenggam. Kalaupun aku rindu kepadamu, itu
adalah kerinduan dari kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini aku
persembahkan teruntuk Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku.
Pergilah, aku pun seharusnya seperti isterimu Dewi Sukesih, namun aku lebih
beruntung karena aku telah dihantar oleh harkat.”
Dewi Sukesih dihantar kesombongannya dalam merasa dirinya mampu
memedar Sastra Jendra Hayuningrat.
Maka kedua orang ini berjalan setapak demi setapak di muka bumi
ini. Hingga di suatu saat datanglah suara atau wangsit dari Kahyangan. Batara
Narada menyampaikan wangsit Sabdo Palon pada keduanya :
”Wahai anak-anaku, jangan sesali kemalanganmu, apakah engkau lupa
wahai anakku. Kemalangan adalah hak setiap penduduk bumi, hidup itu sendiri
adalah kemalangan. Wahai anak-anakku! Dunia adalah kemalangan, kamu harus ramah
terhadap kemalangan. Jangan engkau lawan kemalangan. Kalau engkau ingin
mendapatkan pengakuan penghormatan dari Sang Hyang Wenang, terimalah kemalangan
sebagai kesadaran kehidupan di muka bumi ini. Karena kemalangan menyimpan
rahasia kebahagiaan, kebahagiaan mereka yang ada di muka bumi, itu ada di balik
kemalangan. Jangan engkau lawan, akrabilah, hingga kemalangan memberikan
permata kebahagiaan kepada engkau”, Sabda Batara Narada.
[Dalam GGM, ”Bahwasanya, setiap kejadian yang menimpa seseorang,
itu adalah dialog Allah dengan makhluk-Nya”]
”Wahai anakku, setinggi apapun harkat manusia, setinggi apapun
ilmunya, ibadahnya, dharmanya, itu tak akan mampu mencari jatidirinya, karena
jatidiri semakin dikejar semakin jauh. Jatidiri adalah dekat dalam jauh, jauh
dalam dekat. Kau harus pandai-pandai melihat dimana ada jatidiri, tapi jangan
mencoba memetik. Jatidiri bukan milik makhluk tapi milik Sang Hyang Tunggal”,
demikian Sabda Palon dari Batara Narada.
”Dan engkau pun lupa wahai anak-anakku, kejahatan adalah bagian
nafas kehidupan manusia. Segala apapun nilai-nilai yang suci dan benar, itu
tetap ada dalam nafas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara kejahatan,
darahmu mengecap udara kejahatan, fikiranmu menerima air kajahatan. Dan jiwamu
adalah samudera kejahatan”, sabda Batara Narada,
”Dharma yang luhur dan agung tetap harus tersimpan dalam gelombang
kejahatan. Karena itu anakku, kejahatan jangan kau lawan. lkutlah dengan
kejahatan, tetapi manakala kejahatan akan menghancurkanmu, simpan dulu
kejahatan. Biarkanlah kejahatan jadi milik hawa nafsumu, bukan milik
anak-anakku. Engkau adalah milik kebenaran. Pisahkanlah kepemilikan kejahatan
dan kebenaran, tanpa harus melawan kejahatan. Manakala engkau mencoba melawan
kejahatan, engkau akan di makan oleh kejahatan itu sendiri. Begitulah wahai
anak-anakku, dari Sabda Palon Hing Puri Agung Hayuningrat yang ada di Puncak
Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan.”
Tahta Parahyangan adalah menyimpan tahta Kahyangan, didalammya ada
Sabda palon, yang bisa di kumandangkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai,
Dewa kesucian dan Dewa kearifan.
”Wahai anak-anakku, kemalangan memadu dengan kejahatan. Maka hukum
dunia, hukum bumi adalah anak yang lahir dari kejahatan dan kemalangan.
Terimalah hukum dunia dari anak perpaduan perkimpoian kemalangan dan kejahatan,
dan ramahlah kepada hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Karena daging dan
darah sangat dekat dengan hukum bumi yang dilahirkan dari bayi-bayi dari
perkimpoian kemalangan dengan kejahatan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”
”Karena hukum dunia lahir dari kedua faktor tadi, maka kemanapun
manusia pergi dalam mencari jatidirinya, apalagi mencari Maha Pencipta, tetap
kesombongan dominan dalam diri manusia. Kalaupun memiliki ketersembunyian
Nurani, tetap kesombongan perahu besar dalam mengarungi samudera kehidupan
dunia. Terimalah itu semua sebagai takdir, wahai anak-anakku. Itulah Sabda
Palon.”
”Wahai anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi yang
luhur, bukanlah wedaran dari kesucian yang tinggi, bukanlah wedaran dari ilmu
yang sangat tinggi. Melainkan seruan kekuatan hati Nurani yang
tersembunyi, karena hati Nurani, walaupun kalah oleh kekuasaan kejahatan,
tetap suaranya mampu sampai ke Nirwana. Sampai pada puncak Nirwana, Tahta
Parahyangan. Karena hanya Nuranilah yang mampu menggedor pintu Tahta
Kahyangan.”
”Anakku, dalam ’diri yang jahat’, dalam ’diri yang malang’,
simpanlah desir suara kecil dari Nurani. Walaupun kecil mampu sampai menggedor
Tahta Parahyangan. Supaya bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Hyang
Maha Tunggal, suatu saat bumi ini harus menjadi Parahyangan, baru Sang Hyang
Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan kemarahannya kepada
penduduk bumi ini. Jadikanlah wahai anakku, turunanmu membawa Amanat Tahta
Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”
”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”
”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”
”Maka kemalangan manusia dengan noda dosa tidak lagi harus
diruwat. Karena Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, yang
didampingi oleh adikku Batara Guru.”
”Batara Guru, adalah menjadi kendaraan yang indah dari Sang Hyang
Wenang Hing Maha Agung, untuk mensucikan segala darah-darah yang telah engkau
tampung, yang telah engkau simpan, supaya Parahyangan menjadi kenyataan.
Parahyangan itu hanya bisa dilakukan, dibentuk, dipersiapkan oleh adikku Batara
Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Yang Maha Agung untuk menjadikan
parahyangan bagian dari jagad Kahyangan. Walaupun sesaat, tapi senyuman Hing
Murbeng Agung menerpa, mengagungkan, mensucikan semua yang suci. Dan
Pangruwating Diyu sudah tidak ada lagi. Karena Pangruwating Diyu telah menjadi
Kendaraan kejahatan dan kemalangan, untuk kembali kepada pusatnya yang amat
rahasia.”
”Yang ada adalah Batara Guru menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah
nanti di bumi yang akan memedar ’Naya Genggong’. Naya Genggong akan dipedar
oleh keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi
Kahyangan, ngahyang (moksa) dan muncul dimuka bumi. Di bumi yang ditentukan
dalam tugasnya adalah memedar Naya Genggong.”
”Naya Genggong anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu
Jagad Nata, Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri
[Batara Guru] yang mampu demikian. Karena menjadi ’raga’nya Hyang Widhi.”
”Adikku tidak lagi sebagai Dewa, tetapi menjelma menjadi manusia
yang berdarah berdaging. Ilmu punah! Karena budi menjelma. Budi dan jatidiri
bukan lagi rahasia, tapi menjelma menjadi darah dan daging adikku sendiri,
untuk memedar Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi.”
”Wahai anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah
keikhlasan supaya dengan cepat dan pasti mengundang Adikku dan Sang Hyang Agung
turun ke bumi. Dan darah-darahmu, yang ditampung dari darah umat Manusia.
Tambah banyak penampungan tetes darah Perawan, tambah cepat mengundang Sang
Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana, Panata Cinta, Panata
Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir.”
”Wahai Dewa Narada”, berkata Begawan Wisrawa, ”Mengapa demikian?
Kenapa Sang Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? betapa malu. Aku tenoda,
noda ini harus didekati oleh Yang Punya Kesucian, Sumber Kesucian. Mungkinkah
itu terjadi? betapa malu, aku.”
”Wahai anakku, biarkanlah rasa malumu terkikis habis oleh senyuman
dari Batara Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sudah sejak lama
hendak turun ke dunia ini, cuma Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang
Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap mengisi
mangkok kehidupan dunia ini.”
Mohon disimak baek-baek dialog-dialog yang cukup mendalam antara
Batara Guru dan Batara Narada …. perhatikan maknanya ….. karena itu adalah
Sabda Agung yang nyata …. tentang sosok Batara Guru yang “telah” hadir di bumi
…….
Sang Hyang Widhi I I Nur Muhammad I I I I Batara Narada (SAW) Batara Guru (Al Mahdi)
* Sastra :
adalah hidup dalam kehidupan; penghidupan dalam hidup; enghidupi; menghidupkan
segala yang hidup. (Hiru dina kahuripan; Ngahuripkeun sagala kahuripan; Hirup
kahirupan; Ngahuripan hirup [Sunda].
* Jendra : adalah
proses kehidupan yang menghidupi, menuju
hakekat kehidupan yang sehidup-hidupnya; mengarungi puncak kehidupan
tanpa batas arti hidup.
*
Hayuning : sangat bijaksana; Gelombang dari Karim dan Halim- Nya Allah swt.
Kencana Rukmi adalah : – Suatu alat (cahaya) untuk mengarungi
Cahaya Allah swt, (Ihdinas shirathal mustaqim). Ketentraman; kedamaian; tanpa
keinginan untuk menang atau mengalahkan. Bila kita mampu menjadikan Nurani
sebagai Perahu kehidupan kita, maka apapun gemerlap kehidupan dunia dengan
segala pesonanya, takkan mengecoh kita, walaupun kita ada persoalan, namun kita
sudah memiliki kepastian hidup, (Ihdinash shirothol mustaqim).
Lahirnya : Rahwana, Sarpa Kenaka
Dan Kumbakarna
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini.
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini.
Dan di suatu malam yang kelam, mencekam,
dimana seolah-olah udara diam tidak bergerak. Gempa muncul dan berbagai gunung
meletus. Pada saat demikian perut Dewi Sukesih seperti mau meletus.
”Wahai Kakanda, betapa perut ini sepertinya
mau meletus. Oh Kakanda, betapa sakit perut ini”, kata Sang Dewi.
Walaupun kandungan tidak memperlihatkan perut membesar, tetapi terasa
ada makhluk yang bergerak-gerak dalam perutnya. Jadi selama mengandung benih
dari suaminya, Sang Dewi perutnya tidak berubah tetap langsing seperti
sediakala. Namun rupanya pertumbuhan janin sedemikian pesatnya. Maka malam itu
Sang Dewi tersiksa oleh sakit perutnya.
”Wahai Dindaku, anak-anak, bayi-bayi yang ada dalam rahim sudah
siap, ingin keluar. Dan mengapa engkau penjarakan anak kita yang akan lahir?
mengapa engkau penjarakan dalam perutmu? mereka punya hak hidup untuk lahir ke
dunia. Biarkanlah mereka masuk ke alam kebebasan dunia ini, dan mereka jenuh
dan lelah bergaul dengan alam kesempitan perutmu”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai Kakandaku, aku malu. Aku malu pada pepohonan, pada
daun-daun dan gunung-gunung. Bukankah semua air, semua tanah, semua pepohonan
akan menertawakan kita. Bukankah bayi ini hasil nafsu kita yang diukir bersama?
Wahai Kakandaku, bukankah bayi ini hasil cinta kita? Cinta yang tidak mendapat
restu sang Dewa!”, demikian Sang Dewi.
”Terimalah noda yang ada dalam bayi kita”, kata Begawan Wisrawa,
”Dan kejahatan apapun yang akan dilakukan oleh anak kita, bukan kesadaran dari
anak-anak kita. Tapi itu adalah perpanjangan kesalahan kita, wahai isteriku.
Seandainya anak-anak kita nanti berpesta ria dalam syahwat, itu bukanlah
anak-anak kita. Tetapi adalah perpanjangan kerinduan syahwat yang terpendam
dari kita bersama. Terimalah semua itu sebagai ’nikmat’ dari Dewa. Kesakitan
jiwa ini, jiwaku, jiwamu, obatnya adalah penghinaan dari alam ini, dari mereka,
dari semuanya. Tanpa penghinaan, kita akan tetap terkurung oleh ketersiksaan
rasa bersalah. Penghinaan wahai Dindaku, membebaskan kesalahan kita,
membebaskan keterkurungan dari rasa noda. Kita malu mohon ampun kepada Tuhan,
kita malu mohon ampun pada para Dewa. Namun kita pun harus terbebas dari rasa
bersalah. Satu-satunya adalah menerima penghinaan. Hinaan adalah membebaskan
kita dari penjara noda, penjara rasa hina, penjara rasa bersalah, wahai
Dindaku. Bernafaslah engkau, terimalah hinaan itu. Berarti bayi itu akan lahir
ke dunia ini dengan selamat.”
Maka diujung kepasrahan yang paling dalam, karena bagaimanapun
juga Dewi Sukesih telah sampai ke puncak Sastra Jendra. Sudah dipersiapkan arti
makna kesabaran yang paling sempurna, makna kepasrahan yang paling suci. Dan
diujung kepasrahan yang total, bayi pun lahir.
Namun bukan sebagai jabang bayi yang sempurna, yang keluar adalah
darah-darah yang menggumpal, kemudian disusul oleh kuku-kuku, kuku kecil, kuku
besar, kuku hewan, kuku manusia. Kemudian lahir lagi telinga, untaian telinga
yang panjang.
Tak lama kemudian, disaksikan kedua orang tuanya. Darah itupun
berproses jadi jantung, jadi paru-paru, setiap organ tubuh membentuk diri,
hingga sempurna menjadi bayi. Dan yang lainpun, telinga dan kuping, berproses
hingga sempurna menjadi tiga bayi.
Yang dari gumpalan darah menjadi Rahwana,
Yang dari Kuku, seorang wanita, menjadi
Sarpakenaka,
Yang dari Kuping berproses menjadi
Kumbakarna.
Namun setelah menjadi manusia Sang Dewi enggan memeluknya. Karena
proses yang begitu cepat, dari gumpalan darah, kuku dan telinga, menjadi janin
bayi. Menimbulkan perasaan aneh, kagum, sekaligus takut!
”Wahai isteriku, kini engkau telah menjadi seorang Ibu, aku
menjadi Ayah. Peluklah anakmu, jangan engkau biarkan diam. Cepatlah susui
mereka sebelum menangis. Seandainya bayi ini, anak ini, menangis, menjerit
sebelum engkau susui. Maka keagungan cintamu sebagai wanita takkan bisa
mengalahkan dunia ini. Cepat kalahkan dunia dengan air susumu. Karena dunia
dengan segala kegagahannya akan kalah, akan takut oleh air susumu. Karena air
susumu membuat energi cinta yang sempurna dari seorang Ibu.” Maka dengan cepat,
satu persatu ketiganya disusui oleh Sang Dewi.
Begitu anak pertama, Rahwana, disusui maka dengan segera
menangislah ia dengan keras, pun demikian dengan yang lainnya. Namun yang unik,
Rahwana, begitu menangis, keluarlah sepuluh kepala, Dasamuka!
Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa.
Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa.
”Wahai isteriku”, berkata Sang Begawan, ”Cintailah mereka. Mereka
adalah ’diyu-diyu’, raksasa-raksasa dari diri kita yang belum sempat diruwat.
Mereka adalah jelmaan dari diyu-diyu yang ada dalam jiwa kita, yang belum
sempat di sucikan oleh Sang Hyang Widhi. Terimalah mereka, raksasa-raksasa,
sebagai anak kita, yang kita cintai, yang kita kasihi.”
”Wahai Kakanda, bagaimakah sifat nereka?”,
tanya Dewi Sukesih.
” bahwasanya motivasi perkawinan, gejolak (Sibak kembali
Mutasyabih ” perasaan/bathin, dan kadar keimanan, saat berhubungan intim,
sangat menentukan karakter anak yang akan terlahir).
”Rahwana adalah dari gumpalan darah yang kita tampung, dengan
kebanggaan ilmu Sastra Jendra, dengan kebanggaan kesaktian yang kita rasakan.
Dan dengan kebanggaan kita sudah pasti masuk Nirwana. Kitapun terjatuh! Maka
semua dosa, darah-darah seluruh umat kita tampung bersama. Maka Rahwana adalah
anak kita, dosa kita yang sempurna, syahwat kita yang sempurna. Kitapun telah
meminjam semua syahwat manusia, kitapun telah meminjam semua nafsu umat manusia
ke dalam mangkok-mangkok kecil kita. Maka Rahwana anak kita, adalah jelmaan
kesempurnaan syahwat yang Tuhan ciptakan untuk umat manusia. Rahwana adalah
sumber syahwat, sumber kejahatan, sekaligus sumber kemalangan. Rahwana adalah
anak dari kejahatan dan kemalangan, yang diikat oleh syahwat yang sangat
sempurna. Cintailah dia, wahai Dindaku. Hak anakku, hak anakmu untuk menjadi
apapun. Yang penting kita hantar mereka dengan cinta dan kasih sayang. Kita
didik mereka dengan tanggung-jawab. Hasil tidaknya itu kita serahkan pada Tuhan
Yang Esa. Yang penting cinta kita dalam mendidik, cinta kita menghantar hingga
dewasa. Itupun, penghinaan telah berkurang dari dosa-dosa kita. Rasa
kebersalahan kita akan berkurang, manakala cinta-kasih kita, kasih-sayang,
kepada anak-anak kita tidak pernah berkurang dan utuh. Sekalipun mereka sangat
mengecewakan kita. Kini mereka milik Dewa, meskipun kita yang melahirkan.”
”Ada pun anak kita yang wanita, Sarpa Kenaka”, lanjut sang
Begawan, ”Adalah kuku-kuku kita, wahai Dindaku. Engkau telah terangsang oleh
seksual. Kukumu mengusap-usap tubuhmu sendiri di Telaga Nirmala, kukumu
mengait-ngait, mencakar-cakar tubuhmu sendiri. Karena deru birahi betapa kuat,
menguasai jiwamu dan fikiranmu, wahai Dewi Sukesih. Dan itupun kuku-ku, saat
aku jadi kuda jantan, berlari-lari dalam birahi. Kuku kuda itu ada dalam
kandunganmu. Lahir sebagai anak kita, yang kita cintai, Sarpa Kenaka. Sarpa
Kenaka adalah lahir dari erangan-erangan, cakaran-cakaran kuku, karena birahi yang
begitu hebat, yang menggerogoti jiwa kita. Dan kuku-kuku birahi sudah merasuk
umat manusia hingga akhir zaman, wahai Dindaku. Dan puteri kita adalah simbol
dari semua kuku yang ada di muka bumi ini. Kelak puteri kita, tidak ada yang
dicari, selain lelaki! Tidak ada yang dicari kecuali kebanggaan menguasai
lelaki. Cinta, tidak ada bagi anak kita yang wanita ini, yang ada adalah
birahi. Dia tidak pernah puas menyerahkan tubuhnya untuk disenggamai oleh
setiap lelaki, dan dia tidak pernah puas hanya dengan disetubuhi, bahkan dia
harus memperkosa setiap lelaki. Kejantanan setiap lelaki dari anak manusia itu
bisa dikalahkan oleh birahi putri kita. Dan tidak itu saja, kuku birahi lelaki
tidak boleh memiliki wanita, tetapi lelaki harus dibeli oleh syahwat. Walaupun
puteri kita berupa wajah buruk, bau, kotor, raksasa. Tapi manakala timbul
birahi pada laki-laki, dia akan secantik bahkan melampaui kecantikan bidadari
dari Kahyangan. Betapa akan terpesona semua mereka yang merasa menjadi pria,
yang merasa menjadi lelaki. Kecantikan yang sempurna, kecantikan engkau wahai
Dewi Sukesih, telah terwariskan pada puteri kita. Namun, saat dunia engkau
menjadi kuda betina, dunia aku menjadi kuda jantan yang mengerang dalam
senggama yang sempurna. ltu lebih luas, lebih besar jagadnya dalam jiwa puteri
kita. Maka lelaki harus di beli, tidak saja fikiran dan jiwanya, namun semuanya
akan dibeli oleh puteri kita. Satu lelaki tidak cukup, seribu lelaki lebih
tidak cukup. Tidak saja fikiran dan jiwanya yang harus menghamba pada puteri kita,
tetapi puteri kita bisa menimbulkan kebanggaan kelamin dari setiap pria, yang
anak kita beli.
Jadilah puteri kita, sumber sensual dari semua pria yang ada di
dunia.”
”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna. Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya dia bersenggama, dalam tidurnya dia bermegah-megah. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.
”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.”
”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna. Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya dia bersenggama, dalam tidurnya dia bermegah-megah. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.
”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.”
Sang Begawan mengangkat kedua tangannya ke langit, ”Wahai Maha
Dewa, aku mensyukuri bahwa isteriku muncul kekuatan cintanya, disela cinta
muncul tanggung-jawabnya. Wahai Maha Dewa, bukankah cinta tiada arti tanpa
tanggung-jawab? Bukankah cinta tiada makna tanpa tanggung-jawab? Dan, bukankah
cinta tidak harus ada tanpa tanggung-jawab? Tanggung-jawab adalah buah dari
cinta, tapi cinta itu sendiri lahir dari tanggung-jawab. Betapa Engkau telah
menganugerahkan perasaan pada isteriku, untuk membuahkan cinta. Wahai Sang
Dewa, isteriku telah ’meruwat’ dirinya dengan tanggung-jawab.”
”Wahai isteriku, engkau telah suci kembali, sebagaimana engkau
telah sampai ke puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucian dirimu yang
sudah pasti masuk ke Nirwana, atas jaminan Dewa. Bawalah cinta, bawalah
kesucian dan bawalah tanggung-jawab dalam menyaksikan bagaimana anak- anak kita
merusak dunia ini”, kata sang Begawan.
”Bagaimana Kakanda, seandainya para Dewa mengubah, apa yang telah
Kakanda lihat tentang anak-anak kita. Bisakah itu?”, Sang Dewi bertanya.
”ltu, ’titis tulis’, Hing Dumadi”, jawab Sang Begawan, ”Kita
membuat tulisannya, kita mempersiapkan daun lontarnya. Kita telah menulis
dengan cinta, dengan syahwat, dengan ilmu dan dengan kesucian, pada daun
lontar. Maka para Dewa meniupkan daun lontar itu jatuh di muka bumi ini. Memang
hukum dunia dari kejahatan dan kemalangan, itu dibawa di permukaan daun lontar
yang telah kita tulis bersama, telah tertulis pula di Nirwana. Permata-permata
indah yang menghiasi Nirwana, yang memberikan cahaya ke negeri Nirwana, yang
memberikan cahaya ke alam para Dewa, mulai redup. Karena telah kita nodai
dengan air kehidupan dunia di permata cahaya dinding-dinding perhiasan Nirwana.
Maka Permata kehidupan berkurang pancaran cahayanya oleh percikan air yang kita
siramkan ke Nirwana.”
”Oh! Kakanda. Kapankah itu? Bukankah kita tidak pernah masuk ke
Nirwana ? Dijegal oleh para Dewa!?”
”Lupakah wahai Dindaku? Ternyata perbuatan kita melakukan hubungan
suami istri dan pesta syahwat, itu adalah kehendak Dewa? Dan manakala selesai
Batara guru mempengaruhi kita untuk bersenggama, sang Dewa keluar dari jagad
jiwa kita, kembali ke Nirwana membawa air kehidupan dunia dari tubuh kita, dari
darah kita, dari daging kita. Batara Guru tak kuasa untuk menggenggam air
kehidupan dunia, maka memerciklah ke permata cahaya di dinding Nirwana. Dan
Batara Guru hanya melaksanakan tugas, titah, dari kebenaran Nirwana. Dan air
itu kita yang membawa ke Puncak Sastra Jendra. Air dunia yang ternoda, kita
bawa ke puncak Hayuningrat yang belum saatnya tiba. Wahai Dindaku. Anak-anak
kita sudah masuk ke alam Takdir. Sudah masuk ke jagad Paria yang terendah, yang
terhina, yang terhitam dari kehidupan. Anak-anak kita sudah terlanjur kita
penjarakan di Alam Samsara. Walaupun mereka jahat, merekapun harus menerima
penderitaan. Samsara!”
”Anak kita Rahwana, berkuasa jadi raja, apapun yang diinginkannya
mampu didatangkan. Tapi apa yang didapat tidak membahagiakan anak kita. Justru
itu alam Samsara, alam penderitaan yang lebih menderita dari kita sendiri,
wahai isteriku.”
”Sarpa Kenaka, kecantikannya mampu membeli seribu laki-laki,
menikmati seks, pesta pora dalam birahi. Seribu lelaki yang molek mudah
didapatkan. Erang kuda kejantanan lelaki mudah dikecap, tapi puteri kita tidak
pernah, tidak bisa menikmati, karena puteri kita ada di alam jagad Samsara,
lebih mederita dari kita.”
”Anak kita Kumbakarna, dalam tidurnya dia menikmati kehidupan
illusi, dalam tidurnya dia menikmati seks, pesta seks. Dalam tidumya dia ada
dalam Istana dengan berbagai kemewahan dan keindahan. Tapi Kumbakarna anak
kita, tidak menikmati di alam nyata. Tetapi alam illusi. Dalam tidurnya ada di
jagad Samsara, di jagad penderitaan yang sangat, melampaui penderitaan kita,
wahai isteriku.”
”Karena itu mereka sudah terlanjur masuk ke jagad Takdir, Kehendak
Hyang Widhi. Karena kita memercikkan air noda dunia ke dinding Permata Cahaya
di Nirwana.”
”Bagaimanakah wahai Kakanda, dalam menghadapi cinta anak-anak
kita, seandainya pada waktunya, saya ibunya harus menderita melihat penderitaan
mereka, anak-anak kita. Masihkah tetap diam?”, tanya Dewi Sukesih pada
suaminya.
”Wahai isteriku, apapun usaha perjuangan dengan segala upaya untuk
memperbaiki anak-anak kita, itu tidak mungkin menjadikan anak-anak kita lebih
baik. Kita harus menerima penderitaan mereka, karena penderitaan itu kita pula
yang mengukir.”
”Bisakah kita menyelamatkan mereka, wahai
Kakanda?”
Rupanya hati seorang Ibu (Dewi Sukesih) masih selalu berharap yang
terbaik bagi anak-anaknya.
”Oh Dindaku, bukankah sewaktu kita sama-sama memedar Sastra Jendra
Hayuningrat, kitapun tak mampu menyelamatkan diri kita dari serangan syahwat?
Bagaimana kita akan mampu menyelamatkan anak-anak kita? Kita sendiri tidak
mampu menyelamakan diri kita sendiri! Terimalah azab mereka sebagai ’cermin’
bahwa kita telah membuat tulisan dan lukisan di cermin kehidupan ini. Dan semua
anak manusia ikut serta, ma’mum, kepada anak-anak kita, hingga keputusan Hyang
Widhi, keputusan Allah bersama Batara Guru, bersama Batara Narada, turun ke
bumi ini membebaskan Kumbakarna-Kumbakarna yang lahir. Beribu-ribu Kumbakarna
akan lahir, berjuta Sarpa Kenaka akan lahir dan berjuta Rahwana akan lahir. Hanya
Hyang Maha Asih yang mampu melepaskan dari jerat noda mereka.”
”Satu-satunya wahai Dindaku, semua sisa kehidupan ini, kita
peruntukkan bagi Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta Nirwana, Maha Pencipta
kita. Kita serahkan semua teruntuk Hing Maha Murbeng, Allah swt.”
”Dunia jagad jiwa kita, kita bagi dua. Jagad mencintai anak-anak
kita dan jagad yang kita persembahkan kepada Hing Murbeng Agung, Allah swt.”
Realisasi
Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ”
Ternyata ada dendam pada Begawan Wisrawa, dari seorang yang sangat
sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih, Jambumangli. Waktu para raja datang melamar
Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu
bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia. Datang kehadapan
Begawan Wisrawa.
”Wahai Begawan, aku tidak mengira, kesucian dirimu sebagai
pengemban Wedha, pengemban kebenaran, pengemban kesucian, ternyata hanyalah
srigala yang berbadankan kebenaran dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata
kependetaanmu hanyalah sandiwara. Padahal, aku cukup lama di puncak
penghormatan hati ini, menyimpan penghormatan kepadamu, penghormatan ini runtuh
dalam jiwa ini ! Ternyata penghormatan kepadamu sebagai Resi tak pantas! Dan
engkau tidak malu menghancurkan puteri Kakandaku, mencuri cinta anakmu sendiri!
Dan engkau menodai dirimu sendiri di hadapan rakyat Alengka. Menghitamkan
segala kesucianmu di hadapan rakyat Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu
yang belum pernah kugunakan. Seribu Ksatria akan mati, akan hancur oleh ilmuku
ini. Aku tidak takut! Sekalipun engkau sakti mandraguna, wahai Resi.”
Ternyata segala caci-maki dan hinaan ini diterima sebagai ’nikmat’
oleh Begawan Wisrawa. Sang Begawan tunduk, malah bersimpuh kepada Arya
Jambumangli. Sang Arya yang sedang mengamuk ini memanah sang Resi, dengan panah
yang sakti. Berbagai panah menusuk ke tubuh sang resi. Beratus pusaka
ditusukkan ke tubuh sang resi, sang resi membiarkan. Diam tak melawan. Karena
ini semua dianggap qishash (karma), siksa dunia atas noda yang diciptakannya.
Dalam hati sang Begawan berkata, ”Terima kasih wahai Dewa, Engkau
telah menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau mendahulukan
pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagiku ini adalah kehormatan yang sangat
tinggi, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku yang ternoda.
Ternyata engkau tidak rela mengadili aku di Nirwana, tapi mengadili aku di
jagad bumi ini. Betapa Engkau dan semua para Dewa menghormati aku. Biarkanlah
siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada dalam jiwa dan fikiranku, wahai
Dewa-Dewa .”
Dan ternyata, setiap senjata yang masuk dan keluar dari tubuhnya,
tidak mengeluarkan darah setetes pun. Tambah disiksa oleh Jambumangli, tambah
ikhlas, tambah nikmat dan tambah tinggi kesaktian yang ada dalam diri sang
Begawan ini. Sampai ilmu apapun telah dikeluarkan, habis semua kesaktian
Jambumangli.
”Wahai Resi, Pendeta yang melacur! Pendeta yang bersyahwat!
Ternyata engkau sakti. Dan aku tidak menyimpan lagi kesaktian, karena aku tahu,
kesaktian engkau karena kekuatan birahi yang engkau agungkan bersama
keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktian engkau melampui kesaktian semua
ksatria, karena engkau beli dengan syahwat yang tinggi. Karena engkau beli
dengan tapa yang lama di dunia, dengan keserakahan cinta dan keserakahan
syahwat menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengaku atas kesaktianmu dan aku
mengakui, kesaktian itu kau dibeli oleh syahwat dan puasa untuk mengejar
syahwat, tapa untuk mengejar syahwat”, demikian Jambumangli.
Yang tadinya hinaan sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Yang tadinya hinaan sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Datanglah suara dari Nirwana, ”Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah
Arya Jambumangli. Karena keangkara murkaan yang telah disebar oleh anak-anakmu,
cukup melampaui kemurkaan dunia, melampui noda dunia. Jangan sampai ditambah
noda-noda angkara Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan dengan
siksaan. Tapi bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau bawa dari Sastra
Jendra!”
Maka Sang Begawan mengeluarkan ”alat” dari tubuh dirinya sendiri.
Pusaka itu bukan tersimpan di luar tubuhnya, tapi di dalam tubuh fisiknya. Diambillah
sebuah pusaka dari perutnya, maka keluarlah satu cahaya kuning yang menyilaukan
Jambumangli. Jambumangli yang tadinya marah, mengamuk. Tiba-tiba, tersenyum,
keluarlah keringat dari sekujur tubuhnya terus membuka bajunya sendiri,
telanjang bulat! Maka tampaklah suatu pandangan yang ganjil. Jambumangli
sebagaimana seseorang (laki-laki) yang sedang dipermainkan oleh suatu birahi
yang maha dahsyat, seksnya terangsang, nafasnya mendengus sebagaimana nafas
kuda jantan yang binal, gelisah!
Ternyata cahaya kuning dari Pusaka ini, membawa kabar,
rekaman-rekaman peristiwa jadi kudanya Begawan sewaktu hubungan suami-isteri,
pesta pora seks dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu, terulang kembali!
Jambumangli ikut serta dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak
syahwat, Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang
Begawan. Akhirnya terungkaplah desah Jambumangli.
”Wahai Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memiliki dirimu, engkau
jadi isteriku. Aku menyentuh tubuhmu, aku mencium tubuhmu, engkau mencintai aku
Dindaku, isteriku. Engkau berhasil menjadi milikku dan aku puas hidup di dunia
ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih”, demikian Jambumangli sambil tersenyum.
Maka senyuman itu sekaligus tarikan nafas yang terakhir.
Jambumangli mati dalam kesempurnaan nikmat syahwat bersama Dewi Sukesih,
seolah-olah. Padahal memang sesungguhnya terjadi seperti itu, karena Rahmat
Allah terlalu luas ”Nafidad Kalimatullah”. Tetap diberikan kenikmatan dan
kenyataan memiliki Dewi Sukesih. Tetapi yang dimiliki bukan keikhlasan kesucian
ilmu Sastra Jendra yang sudah ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang dimiliki adalah
fisik syahwatnya dan kewanitaan Dewi Sukesih. Dibawa serta dalam kematiannya.
Maka datanglah suara dari Nirwana.
”Wahai Begawan, engkau telah menyelesaikan tugasmu membunuh
Jambumangli, demi ketenteraman dunia, dengan ilmumu. Dibunuh oleh peristiwa
hidupmu, dibunuh oleh pengalaman hidupmu, oleh nafasmu, oleh cintamu. Dibunuh oleh
keikhlasanmu dan dibunuh oleh kesaktian engkau. Namun bagian-bagian syahwat
yang tersisa dari dirimu, karena peristiwa ’senggama’ telah engkau wariskan
kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli telah dibawa kembali ke sumbernya.
Biarkanlah Jambumangli, kematiannya di alam kenikmatan seksual, karena itu
semua kehendak Dewa Yang Agung.”
Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini.
”Kakanda, betapa tragis! Aku takut, aku dibawa. Syahwatku, fisik
tubuh kewanitaanku. Aku takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan
perasaan kewanitaanku?”
”Wahai Dewi Sukesih isteriku kau harus mensyukuri”, jawab Begawan
Wisrawa. ”Engkau telah diruwat oleh pamanmu sendiri, yang mencintai syahwatmu,
yang mencintai kewanitaanmu. Pesona tubuhmu telah sirna kini, di dunia, kembali
ke tempat asalnya. Dibawa oleh kendaraan cinta yang ada dalam diri pamanmu.”
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.
”Anak-anakku, engkau telah menghantar bayi-bayi hingga besar.
Seiring dengan usia bayi yang membesar, seiring pula dengan ampunan dari Yang
Maha Murbeng, menyertai engkau. Kini engkau terbebas dari dosa, noda. Engkau
suci dari ujung rambut hingga ujung kaki. Suci segala gejolak jagad fikiranmu,
suci segala gejolak jagad bathinmu, jagad jiwamu, dan suci pula rukhmu. Aku
kirimkan ’Atma’ dari puncak Surgawi, ’Atma’ dirimu. Atma dirimu akan
Kukembalikan wahai Begawan, dan Atma dirimu wahai Dewi Sukesih. Pakailah
kembali Atma dirimu, jati dirimu, yang telah lama engkau simpan di arsip
Kahyangan, atas kehendak Hyang Widhi.”
Maka datanglah cahaya yang persis wajahnya, yang persis fisiknya.
Dan sang Atma itupun mengucapkan salam.
”Wahai sang Begawan, aku terlalu lama engkau tinggalkan. Dan aku
terlalu lama engkau lupakan, namun aku rindu padamu. Kerinduan ini dapat izin
dari Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah aku, dalam rumah jiwamu,
dalam rumah fikirarmu.”
Berkata sang Begawan.
”Selamat datang wahai diriku yang sudah lama kurindukan. Selamat
datang hatiku yang sudah lama kulukis dengan kerinduan kepada kebenaran.
Selamat datang, wahai jiwaku yang selama ini kugapai, masuklah ke dalam
rumahmu, yang sudah lama engkau aku kotori. Masuklah ke dalam rumahmu, yang
sudah lama aku nodai. Dan tidurlah dengan nyenyak, di tempat tidur yang
terpercik oleh spermaku, Wahai diriku. Masuklah ke jagad yang lama kosong di
dunia ini.”
Maka masuklah Atma itu ke dalam diri keduanya, Begawan Wisrawa dan
Dewi Sukesih.
Bersabda Batara Narada.
”Wahai Begawan, engkau telah kembali pada dirimu. Engkau telah
kembali kepada haq yang telah engkau genggam. Penderitaan yang telah engkau
genggam, usai sudah. Pengorbanan yang harus engkau bayar telah selesai, dharma
tak perlu lagi karena sang Atma adalah dharma. Ibadah sudah tak perlu lagi,
karena sang Atma, adalah ibadah. Engkau menjadi bagian dari kami, para dewa di
Surgawi. Dan engkau telah menjadi dewa di dunia ini, di bumi ini. Wahai
Begawan, segeralah berkunjung ke Nirwana. Tapi engkau, wahai Dewi Sukesih,
masih punya tugas untuk membesarkan anak-anakmu. Maka manakala engkau rindu
kepada Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana dalam tapamu. Dan manakala engkau
terpanggil oleh tanggung-jawab kepada cinta anak-anakmu, bangunlah dari
tapamu.”
Sang Dewi menjerit
”Wahai sang Dewa Narada, kenapa aku tak
diundang ke Nirwana?”
Batara Narada menjawab.
”Wahai Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta kasihmu masih diperlukan
oleh umat manusia. Cinta kasihmu masih diperlukan untuk mengembangkan keturunan
manusia untuk mengembangkan semua habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan. Supaya
daun tetap lestari, supaya bumi tetap berjalan. Engkau harus terima dharma ini
sebagai penghormatan dari kami para Dewa. Biarkanlah suami lebih dulu
berkunjung ke Nirwana. Tunggulah, sampai sang Dewa mengajak engkau ke Nirwana.
Dengan rukhmu, dengan tubuhmu, dengan jiwamu.”
Sang Begawan pun bolak-balik, Nirwana Dunia (bumi) di dalam
tapanya.
”Hal ini merupakan dambaan para filosof, para sufi, para pertapa, para ahli yoga, termasuk penganut kejawen. Menjadi dambaan keinginan melanglang buana dalam sepinya, dalam tapanya, di dalam mati raganya. Umat Islam memiliki yang sempurna dalam tapa, yaitu ’Shalat’ dengan segala kekhusu’an. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, ’Isra’ Mi’raj’ umatku adalah ’Shalat’. Karena shalat adalah Puncak nilai-nilai yang tidak diberikan kepada umat lain. Hanya diberikan kepada umat Rasulullah SAW.”
”Hal ini merupakan dambaan para filosof, para sufi, para pertapa, para ahli yoga, termasuk penganut kejawen. Menjadi dambaan keinginan melanglang buana dalam sepinya, dalam tapanya, di dalam mati raganya. Umat Islam memiliki yang sempurna dalam tapa, yaitu ’Shalat’ dengan segala kekhusu’an. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, ’Isra’ Mi’raj’ umatku adalah ’Shalat’. Karena shalat adalah Puncak nilai-nilai yang tidak diberikan kepada umat lain. Hanya diberikan kepada umat Rasulullah SAW.”
Manakala Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para
Bidadari, khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya.
Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan atau
Resi, tetapi sudah menjadi Batara. Batara Wisrawa (Dalam wayang Batara Ismaya).
”Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air
noda dunia dari Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini?
Kami para Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga
berkurang oleh air noda dunia. Hanya engkau, Batara Wisrawa. Yang mampu
membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena engkau
bisa kembali ke bumi.”
Tak ada dalam Wedha, atau kitab agama apapun, hanya bisa diwedar
dengan menggunakan, ”Senter Besar Mutasyabih” dari rahasia-rahasia Al-Qur’an.
Karena kita sudah memberi wedaran ”Cupu Manik Astagina.”
Maka Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik
pada permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah dibersihkan ternyata
cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.
Berkatalah para dewa, ”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil
menyimpan kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu. Tetapi cahaya
gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang. Permata-permata indah yang
biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram. Tetap buram
walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”
Bersabda Batara Narada, ”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram. Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”
Batara Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di
surga menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.” Jadilah
Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.
Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi di puncak
Nirwana,
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
Terdengarlah firman dari Allah swt :
”Memang, hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya
yang Aku ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan
turun ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”
Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung,
Allah subhanahu wa ta’ala, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Muntaha ke
Nirwana membawa serta cahaya, firman-Nya :
”Siapakah yang bisa menerima ’Ijab Qabul’, dari cahaya ini?” Semua
bungkam. Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara
Wisrawa pun bungkam.
”Engkau Wisrawa?”, firman Hyang Agung, ”Bisa membawa Ijab Qabul
cahaya ini? Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad
jiwamu. Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini. Berarti engkau bisa
mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”
Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.
”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari
segala cahaya ini”, kembali Hyang Widhi berfirman :
”Cahaya puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya
puji-pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji, Nur Muhammad. Berarti Aku
yang harus tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah,
Aku lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”
Hing Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya,
tatapan kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua
makhluk, dari pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun
hampir mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini
oleh engkau, wahai Batara Guru.”
Batara Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka Kecintaan
Allah pada Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru. Cinta Allah
pada Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala
Yang Terpuji, diterima.
”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara
Guru.”
Maka cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari
semula, sebelum terkena air noda dunia. Permata Sendu, kembali gemerlap!
Ternyata Cahaya yang ada dalam Jagad Bathin Batara Guru, lebih cemerlang dari
cahaya Nirwana itu sendiri.
Firman Hyang Widhi, pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali
pada-Ku cahaya itu.”
Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari
segala yang terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah. Inilah
yang dinamakan Cupu Manik Astagina.
Di dalamnya ada Kekuasaan Allah, Cinta Allah Yang Maha sempurna.
Demikian dipersembahkan kembali pada Allah, cahaya tetap cahaya di Nirwana.
Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.
Firman-Nya : ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara
waktu, ke tempat-Ku. Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina
ini. Guna mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”
Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa
menangis.
”Wahai Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang
panjang, engkau, Dewa-Dewa, belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi,
bertatap muka dengan Hing Murbeng Asih. Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama
engkau aku bertemu. Akupun bertemu, bertatap muka dengan Hyang Agung.”
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Akhirnya datanglah Firman-Nya :
”Wahai Batara Wisrawa, belum saatnya engkau meninggalkan dunia,
engkau masih dibutuhkan oleh dunia. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah
Ku-genggam, namun cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah
tersimpan dalam jiwamu. Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang telah
Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik Astagina.”
Isi Cupu Manik Astagina yaitu : Nuur, tetap digenggam oleh Allah
swt. Maka turunlah Begawan Wisrawa, dari Nirwana kembali ke bumi. Dengan
membawa Cupu Manik Astagina yang isinya Air Kehidupan Dunia.
Untuk selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan
dunia ini, kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.
Adalah sebuah hukum yang belum selesai dari setiap Nabi dan Rasul,
turun ke muka bumi ini.
Cupu Manik Banyu Kahuripan ( Cupu Manik Astagina II )
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih
dengan sempurna menggunakan Atma yang dikirim oleh Batara Narada dari puncak
Nirwana. Sang Begawan naik harkat, jadi Batara.
Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana membawa amanah Hing Murbeng
Agung, untuk membawa Cupu Manik Banyu Kahuripan. Yaitu ”Cupu” yang berisi
paduan air kehidupan dunia dengan cahaya permata sendu yang ada di Nirwana.
Pada saat Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana, sang Atma membawa
fisiknya yang asli, jiwanya yang asli, fikirannya yang asli. Walaupun fisiknya
yang biasa, yang dilahirkan bersila, bertapa di dalam pengosongan raga, mati
raga. Namun manakala tugas mendidik anak-anaknya memanggil, maka sang Batara
harus membawa serta fisik yang dilahirkan, bukan fisik atma. Karena fisik yang
dilahirkan lebih pandai dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan, ucapan-ucapan,
kata-kata. Jadi, kebohongan manusia pada dasarnya berangkat dari ingin
memperindah kata-kata dalam semua masalah. Ingin ”memoles” permasalahan yang
diungkapkan, supaya lawan bicara tertarik.
Hal ini, sekalipun pas dengan kebenaran hakiki, ungkapan-ungkapan
estetika, dialektika manusia, itu di hadapan Allah adalah dosa-dosa kecil yang
tidak terasa. Oleh karenanya Rasulullah saw bersabda : ”Bahwa diam itu adalah
emas.” Diam yang dimaksud di sini bahwa pada dasarnya fisik manusia kalau ada
keinginan, tidak menyatakan secara langsung yang sesungguhnya. Harus melalui
cara penyajian yang berhiaskan kalimat-kalimat yang memberikan keyakinan pada
lawan bicaranya.
Demikianlah Batara Wisrawa, dalam mendidik anak-anaknya,
tanggung-jawab pada masyarakat, harus bangun dari tapanya. Sepenuhnya dengan
fisik daging hasil proses pembuahan kedua orangtua-nya.
Dan manakala Cupu Manik Banyu Kahuripan di bawa kembali,
mengalirlah cahaya-cahaya permata surgawi. Menyinari alam raya ini, menyinari
semua planet. Dan anehnya, planet-planet lain, begitu terbiasi, teradiasi oleh
cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan, maka dengan jelas kegelapan planet tersibak!
Benderang oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, bukan oleh cahaya
matahari.
Namun manakala sang Batara sampai ke bumi, cahaya itu lebih banyak
lagi yang keluar, meradiasi, menyoroti, tapi tidak benderang di muka bumi ini,
tidak bercahaya, diterima oleh muka bumi ini. Karena cahaya ini ternyata masuk
langsung ke dalam hati manusia, ke dalam jiwa manusia, ke dalam kerinduan
secara massal kepada Yang Menciptakan di bawah sadar manusia. Menyinari
pemikiran-pemikiran manusia untuk berbuat baik, menciptakan strategi untuk
menyajikan kebaikan.
Maka seluruh umat manusia memiliki keinginan untuk menjadi baik,
ingin menyayangi semua umat, walaupun cahaya ini bergelombang di balik
kesadaran masing-masing manusia.
Manakala sang Batara bertapa, cahaya itu semakin bersinar,
meradiasi semua permukaan bumi dan manusia itu sendiri. Yang tadinya
induk-induk hewan hanya menyusui, tanpa kuasa untuk terus mendampingi hingga
anaknya besar. Dan diam tak berdaya, tatkala baru saja melahirkan, harus
melayani ajakan senggama dari pejantan. Namun Hikmah dari Cupu Manik Banyu
Kahuripan ini, membuat induk-induk hewan dengan sabar menanti, menghantar
anak-anaknya hingga besar. Dan ada kekuatan untuk berjuang melawan ajakan
senggama sang pejantan. Dalam Islam, lahirnya Hukum Syariat ”Nifas.”
Bunga-bunga yang tadinya cepat kuncup, enggan kuncup! Dia menuntut
pada pencipta untuk menjadi buah. Maka beribu habitat jenis bunga, yang tadinya
hanya sampai mekar dan layu, berlanjut menghasilkan berupa buah. Buah-buahan
pun yang tadinya sekedar manis, menjadi sangat manis. Sebuah proses alam,
evolusi alam raya.
Manakala sang Batara bertapa, saat itu pula jiwa-jiwa manusia
berbunga dengan harapan-harapan masa depan yang gemilang, bergerak dalam
membangun Dharma, amal Ibadah. Untuk menghasilkan buah bagi dirinya sendiri,
buah keimanan bagi dirinya sendiri ataupun buah keimanan bagi umat manusia.
Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.
Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.
Namun demikian, Batara Wisrawa sendu. Batara Wisrawa melihat
keberkahan cahaya ini diterima oleh semua pihak. Mengapa anak-anakku tidak
menerima cahaya ini?
Sebuah pertanyaan yang paling menyakitkan, yang tersembunyi di
balik jiwa Batara Wisrawa. Kesakitan bertambah sakit dan luka, karena tak mampu
mengadu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak mampu memohon kepada-Nya, kalau ada
hubungannya dengan anak-anaknya. Jeritan hatinya hanya diobati oleh
kesempurnaan cinta kepada anak-anaknya. Suara hatinya bergelora, dalam
kesakitan.
”Wahai anakku Rahwana, hanya cinta ayahmu yang dapat menghantarmu.
Hanya cinta ibumu yang dapat menghangatkan, dalam membesarkan dirimu.”
”Wahai anakku Sarpa Kenaka, aku tak mampu menghantar engkau dengan
cahaya cinta yang kugenggam, tetapi engkau akan kuhantar dengan kekuatan cinta
yang kukumpulkan, yang aku besarkan, yang aku rawat dengan segala pengorbanan.”
”Wahai anakku Kumbakarna, tidurlah engkau dalam cintaku, tidurlah
engkau dalam genggaman ibumu.”
Itulah. Hanya suara hati yang meronta!
Karena Titis tulis Hing Widhi, tak mampu
diubah. Anak-anaknya mengalir, terpenjara oleh takdir yang tak mampu dibedah.
Sang waktu pun bergulir terus, Batara Wisrawa membelainya dengan
tapa dan tugas membesarkan anak-anaknya, serta berangkat dan pulang ke Nirwana.
Setiap pulang dari Nirwana, cahaya Kesucian Permata Sendu bertambah camerlang,
yang tersimpan dalam Cupu manik Banyu Kahuripan. Maka habitat hewan dan
tumbuhan terus berkembang dan berkembang. Manusia pun keturunannya bertambah
dan berkembang, meramaikan hiruk pikuk kehidupan di muka bumi.
Cupu Manik Hayuningrat (Cupu
Manik Astagina III)
Sementara Batara Wisrawa mengisi waktunya dengan tapa dan tugas
mendidik anak-anaknya. Di lain tempat, ada satu negeri. Kerajaan, yang memiliki
seorang Puteri yang sangat cantik jelita, Dewi Windradi (Retna Windradi, dalam
wayang), tengah diperebutkan oleh para raja, para pangeran, para satria ataupun
para pembesar negeri lainnya. Dan sang raja, ayahanda Dewi Windradi begitu
terpukau oleh kegagahan raja-raja yang melamar. Sang Dewi pun dipanggil oleh
ayahandanya.
”Wahai anakku, Dewi Windradi. Engkau telah mekar, Wanodya yang
sangat cantik. Betapa seluruh dunia mengagumi kejelitaanmu, sudah saatnya
memilih mereka, menjadi calon suamimu.”
”Anakku Dewi Windradi”, berkata pula ibunya, ”Ibumu dulu memilih
ayahmu sebagai tempat menumpahkan kasih sayang. Sebagai kawan dalam berjalan,
sebagai sahabat di dalam kegembiraan. Dan, Engkau lahir karena itu semua wahai
anakku.”
Namun sang anak meronta, menangis. Menolak!
Dan semua raja, semua pangeran, semua ksatria atau siapapun yang
melamar di tolaknya. Marahlah kedua orang-tuanya, hingga ia pun akhirnya
diadili oleh kedua orang-tuanya.
”Anakku Dewi Windradi, engkau telah mencemari namaku sebagai Raja.
Penolakan engkau adalah penghinaan. Penghinaan engkau kepada ayahmu berarti
penghinaan raja-raja kepada aku. Engkau telah melawan ayahmu!”
”Wahai ayahku, engkau bapakku ternyata lebih mencintai penghomatan
sebagai raja, daripada cinta kepada anakmu”, jawab Dewi Windradi.
”Engkau lebih mencintai penghormatan dari umat, dari masyarakat,
daripada cinta padaku. Aku pun, anakmu, harus mengakui bahwa aku lebih
menghormati cinta Hing Murbeng Asih daripada aku menerima cintamu sebagai ayah.
Dan matahatiku lebih jelas sekarang, wahai ayahku. Engkau tidak mencintai aku,
tapi engkau memanfaatkan aku demi ambisimu sebagai raja! Namun hatiku bertambah
peka. Betapa cinta Hing Murbeng Agung lebih tinggi, lebih agung, daripada
engkau wahai ayahku.”
”Dewi Windradi!” sang ibu terpekik, ”Oh anakku, engkau jangan
melawan ayahmu, walau bagaimanapun juga engkau sudah kami besarkan dalam
pelukan cinta dan belaian kasih, mengapa engkau melawan?”
Dengan tenang, bahkan terlalu tenang, Dewi Windardi menatap
Ibunya, namun dengan bibir yang agak tergetar.
Dewi Windradi menjawab.
”Wahai Ibuku, aku tahu. Ibu, di dalam kamar hatimu, tersimpan
cinta kepada suamimu dan kepadaku sebagai anakmu. Engkau tersudut oleh dua
kekuatan cinta, yang kadang-kadang seimbang, yang kadang bertengkar. Wahai
Ibuku, Engkau menderita karena pertengkaran cinta kami. Karena itu Ibu,
persembahkan kembali pertengkaran itu pada Hing Murbeng Asih. Jangan Ibu
tersiksa oleh cinta pada suami dan cintamu kepada aku.”
Sang ayah bertambah murka!
”Dewi Windradi, ternyata engkau adalah anak yang sia-sia, berarti
engkau adalah anak yang durhaka! Maka enyahlah dari Istana ini! Aku sudah tidak
memiliki anak seperti engkau. Adik-adikmu, kakak-kakakmu, masih banyak yang
akan mencintai aku. Dan juga adik-adikmu akan lahir. Akan lahir kembali bayi
yang lain. Yang akan lebih mencintai aku daripada Engkau. Enyahlah engkau dari
Istana ini!”
Sang Ibu terpekik! Sang Dewi tercekat! Sekilas tampak kilatan di
matanya yang bening dan tenang, namun dalam sekejap sinar matanya kembali
tenang. Setenang permukaan danau tanpa riak oleh buaian sang bayu, dengan tatap
seolah tanpa ada kejadian apapun yang menimpa dirinya. Dewi Windradi, sambil
langsung menatap mata sang ayah, dia berkata/
”Wahai ayahku, terima kasih atas jasamu dan perlindunganmu selama
ini, itu tidak akan kulupakan, menggores dalam jiwa ini. Dan suatu saat akan
aku ungkapkan kepada Hing Murbeng Agung bahwa engkau telah mencintai dan
menyayangi aku. Namun akupun akan mengadu pada Sang Dewata Agung, bahwa engkau
pun telah menjualku demi ambisimu. Aku, bukan barang, tapi harkat dan hati yang
diciptakan oleh Hing Murbeng Agung. Karena ayah menganggapku barang, maka
izinkanlah sang barang ini mengucapkan selamat tinggal.”
Maka Dewi Windradi pun meninggalkan istana. Sang Ibu menangis,
meronta! Cinta kepada anaknya diputuskan oleh cinta kepada suaminya.
”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”
”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”
”Isteriku”, kata Sang Prabu, ”Engkaupun harus tunduk padaku.
Seorang isteri adalah kaki dari tubuhku, seorang isteri adalah lutut dari
tubuhku, seorang isteri adalah dada dari tubuhku. Aku tidak takut kehilangan
jari dari tubuhku, masih ada dada yang lain, masih ada punggung yang lain.
Beribu kecantikan wajah, siap untuk diperisteri olehku. Enyahlah engkau! Kalau
memang kau lebih mencintai Dewi Windradi.”
”Wahai suamiku cintaku tak utuh, kalau aku bersujud pada Hyang
Widhi, namun cintaku utuh kembali, manakala aku menyujudi dirimu sebagai
suamiku. Biarkanlah, aku memilih menyujudi Hing Murbeng Asih, supaya aku tidak
tersiksa oleh cinta kepadamu. Izinkanlah cinta ini, yang telah kupersembahkan
kepada Tuhan. Mengucapkan salam perpisahan, wahai suamiku.”
Sang isteri pun meninggalkan istana. Kepergian kedua wanita ini,
masing-masing dengan langkahnya, dengan tujuannya yang belum jelas. Dewi
Windradi dan Ibunya, masing-masing melangkah, pergi tak tentu arah. Sekedar
mengikuti ujung jari kakinya.
Sang Prabu di Istananya yang megah. Resah, gelisah, berbagai
perasaan bergolak di dadanya membakar jiwanya. Sebagai raja, dia merasa tak
disujudi oleh hambanya, sebagai suami dia merasa betapa kelelakiannya
dicampakkan begitu saja, sebagai ayah betapa dirinya dianggap sepi oleh sang
anak. Pergolakan perasaan yang demikian dahsyat dimana antara keangkuhan,
merasa terhina dan dilecehkan, silih menyusul, memadu, dan tumpang-tindih dalam
jiwanya. Hingga menghempaskan sang Prabu pada suatu dendam. Dendam yang sangat
tinggi! Dendam yang menghanguskan jiwanya, dendam yang menghujat dirinya
sebagai raja! Dendam sang Prabu kepada Isterinya, untuk sementara waktu
terobati dengan mengambil wanita cantik sebagai selir. Nafsu syahwat,
keangkuhan lelaki dari sang raja, itu adalah hiburan dalam mengurangi dendam
kepada mantan isterinya.
Tetapi dendam kepada Puterinya, tak ada obatnya! Cinta kepada anak
tak mampu digantikan atau dialihkan kepada siapapun manusianya. Secinta apapun
pada orang lain yang dianggap sebagai anak, tidak seindah dan sekokoh cinta
kepada anak yang dilahirkan. Ini hukum alam. Namun, Seandainya manusia bisa
mencintai anak yang tidak dilahirkan, itu berarti sedang meraih cinta Allah
subhanahu wa ta’ala.
Dendam Sang Prabu sebagai ayah, tak mampu terobati. Karena cinta
pada anak yang dilahirkan tak bisa dipungkiri, lebih tinggi gejolaknya daripada
cintanya kepada anak yang tidak dilahirkan. Dan pada puncak dendamnya, sang
raja pun menjatuhkan perintah kepada pasukan pilihan, melalui Senopati
tertinggi untuk menangkap Dewi Windradi.
Maka langkah gontai dengan segala penderitaan Dewi Windradi
berhadapan dengan pasukan pilihan dari ayahandanya. Sang Dewi pun dikembalikan
ke Istana, sebagai tawanan! Dan dipenjarakan di bawah tanah, di bawah istananya
sendiri.
”Anakku engkau harus menerima ganjaran atas dosa-dosamu. Bagi Sang
Dewa, wahai anakku, lebih senang kepada aku sebagai raja daripada kepadamu,
kepada anak durhaka. Supaya sang Dewa membebaskan dosa-dosamu. Sang Dewa
bersabda kepadaku, supaya memenjarakan engkau di bawah tanah.”
”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”
”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”
Sang Dewi pun dipenjara dengan senyum kepasrahan. Dan disuatu
saat, dalam salah satu kunjungan Ayahandanya ke tempat dia dipenjarakan, Sang
Dewi menyampaikan isi hatinya kepada sang Prabu.
”Wahai Ayahanda”, ujar sang Dewi, ”Izinkanlah aku mengungkapkan
isi hatiku. Ayahku, kenapa aku menolak dijodohkan. Aku tak mengerti apa yang
dikatakan cinta kepada lelaki. Jiwaku dan perasaanku tidak tahu tentang cinta
itu sendiri, walau kawan-kawanku berkata tentang Ksatria yang gagah dengan
segala keceriaan dan perasaan. Di relung jiwaku, tak ada perasaan cinta seperti
itu. Manakala kawan-kawanku bercerita tentang kegagahan lelaki, tubuhnya,
keindahan wajahnya dan kesaktiannya. Sekali lagi, di relung hatiku tak
mempunyai perasaan kagum kepada mereka. Dan, saudara-saudaraku yang telah
menikah, bercerita tentang kenikmatan hubungan suami-Isteri di ranjang. Akupun
tak punya perasaan seperti itu, wahai Ayahku. Cinta dan syahwat, barangkali
bukan milikku. Biarkanlah aku merdeka dari cinta dan syahwat. Hanya itulah
wahai Ayahanda, yang perlu engkau ketahui kenapa aku menolak permintaanmu.
semoga hal ini mengurangi murkamu”, Demikian Dewi Windradi.
Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa.
Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa.
Diantara kerinduan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerinduan kepada
Ibundanya yang telah tiada di istana dan rasa memaafkan kepada ayahandanya.
Memadu dalam tapanya. Maka rukhnya, jiwanya, keluar dari badannya.
Fisiknya di penjara tapi rukh dan jiwanya keluar, bebas dari penjara.
Begitu keluar dari penjara, ternyata rukh dan jiwanya melihat cahaya. Cahaya
itu pun diikutinya. Dan akhirnya dari perjalanan mengikuti cahaya itu adalah,
tatkala ternyata cahaya tersebut masuk ke dalam diri seorang wanita, seorang
ibu yang sedang menjaga anak-anaknya. Begitu masuk ke tubuh wanita tersebut
yang ternyata adalah Dewi Sukesih, Dewi Windradi bertanya, ”Kakanda. Aku datang
mengejar cahaya. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhmu, cahaya apakah itu?”
Dewi Sukesih karena sudah memakai Atma, lulus dalam Sastra Jendra
dan sudah mendapat ridho para Dewa. Cepat menangkap maksud Dewi Windradi ini.
”Wahai anakku, engkau telah hadir. Kerinduan aku tentang anak,
dambaan aku tentang anak yang memiliki keindahan bathin dan keindahan hati.
Sang Dewa mengutus engkau sebagai anakku. Engkau adalah anakku yang tidak
pernah kulahirkan. Rukhmu, Jiwamu adalah anakku. Manakala aku menjelang masuk
ke Surgawi. Dalam tubuhku meronta seorang bayi, namun aku belun tersentuh
lelaki. Tubuhku meronta, menolak engkau hadir dalam kehamilan. Engkau adalah
anakku, bayi yang kurasakan sejak di perbatasan Nirwana. Karena sang Dewa
mendengar rontaan hatiku. Kehamilanku diambil alih oleh seorang wanita yang kau
kenal sebagai ibmu. Engkau adalah anakku, darah dagingku, jiwaku”, Dewi Windradi
pun dipeluknya.
Dalam Mutasyabih…….., Adam dan Hawa sebelum ”tragedi qolbi”,
diperintah Allah swt untuk saling berkasih sayang atas dasar kasih sayang
kepada-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala (seks suci dalam ridho-Nya) Adam dan Hawa
saling berpelukan, saling meremas tangan. Pembuahan pertama terjadi di surga.
Pembuahan ini ”terpotong” oleh tragedi qolbi. Maka saat Adam dan Hawa di bumi,
diperintahkan kembali untuk saling meremas tangan dalam semacam buah, sebesar
buah kelapa, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Nabi Tsys as.
Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, saat gagal digoda oleh Batara
Guru, sebenarnya jiwa masing-masing sudah saling bermesraan. Walau tanpa
sentuhan fisik. Saat ini terjadilah ”pembuahan” di bumi, terlahir jabang bayi,
Dewi Windradi.
”Yang Maha Agung, Yang Maha Esa. Betapa Engkau mengabulkan
kerinduan kepada anak-anakku. Sarpa Kenaka, biarlah terpenjara oleh kemurkaan
Engkau. Tetapi anakku yang satu ini adalah Sarpa Kenaka yang telah Engkau
selamatkan. Terima kasih, Duhai, Yang Maha Agung”, Demikian doa syukur dari
Dewi Sukesih.
”Ibuku, akupun merasa, betapa saat aku dibesarkan oleh ayahku dan
ibuku. Aku merasa terasing dalam Istana. Kasih sayang mereka tetap kurasakan,
tetapi keterasingan jiwa ini, keterasingan fikiran ini seolah-olah aku bukan
anak mereka. Hari ini, ternyata Maha Dewa telah mempertemukan aku dengan Ibuku
sejati.”
Demikianlah proses Ibu dan anak yang tidak pernah dilahirkan,
namun dititipkan sebagai ”anak titipan.”
”Wahai Ibuku”, kata Dewi Windradi, ”Cahaya yang lebih terang,
telah hadir di hadapanku. Izinkan aku nengikuti cahaya ini.”
Dan setelah mendapat restu dari sang Ibu, Dewi Windradi pun
mengikuti cahaya itu. Ternyata, cahaya itu berasal dari Batara, Wisrawa yang
sedang bertapa. Dan Batara Wisrawa ternyata lebih memahami makna kehadiran sang
Dewi.
”Selamat datang wahai anak jatidiriku. Engkau telah menggembirakan
aku dari kesakitan tentang anak-anaku yang terpenjara. Selamat datang Puteriku,
engkau telah membebaskan penderitaan aku dari kecintaan yang dalam kepada Sarpa
Kenaka. Engkau adalah jelmaan Sarpa Kenaka yang telah terbebas dari penjara.
Engkau lahir dari ukiran cinta kami berdua, engkau lahir dari keikhlasan kami
berdua, engkau dari kepasrahan kami berdua. Dan saudaramu Sarpa Kenaka adalah
lahir dari ukiran syahwat kami berdua, syahwat yang telah kami renda bersama.
Engkau adalah hasil ukiran keikhlasan kami di hadapan para Dewa. Izinkanlah,
aku memelukmu, wahai Puteriku.”
Manakala Batara Wisrawa memeluk Dewi Windradi, terjadilah kekuatan
yang hebat! Dewi Windradi naik, mengangkasa. Jejak-jejak dari sang Begawan
Wisrawa dan Dewi Sukesih, jejaknya sampai ke Nirwana. Diulang kembali oleh Dewi
Windradi.
Sang Dewi pun berangkat. Langit demi langit, alam demi alam, nilai
demi nilai, terarungi. Sastra Jendra Hayunjngrat jelas mengalir di jiwa dan
perasaannya. Langsung dimengerti dan dipahami, tanpa terjemah dan tanpa
penjelasan. Karena Nurani Sang Dewi adalah suara para Dewa di Kahyangan. Nurani
Dewi Windradi adalah perwakilan cinta yang diukir oleh Begawan Wisrawa dan Dewi
Sukesih. Maka sampailah Dewi Windradi di perbatasan Kahyangan. Sampai di pintu
Ar-Royan, Sela Menangkep. Gerbang Loka dari Surga, Gerbang loka dari
kesempurnaan nikmat.
Para Dewa gempar! Para Bidadari ramai!
”Itu ada anak manusia datang kembali akan mencoba masuk ke Nirwana
ini”, kata salah satu dari para Dewa.
Sebagaimana biasa, Batara Narada bicara dengan adiknya, Batara
Guru.
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”
Namun betapa kaget batara Guru, tatkala dirinya mencoba masuk ke
jagad jiwa Dewi Windradi. Batara Guru mental kembali ke Nirwana.
”Wahai kakanda Batara Narada, aku gagal masuk ke jagad jiwanya.
Pintu kewanitaannya tertutup rapat, segala daya sudah kuusahakan. Namun
kekuatan tak terlihat keluar dari jagad bathinnya.”
Batara Narada bingung. Mengapa hal seperti
ini bisa terjadi?
”Adikku Batara Guru, barangkali engkau terpukau oleh pintu
kewanitaannya?”
”Oh tidak Kakanda! Aku mengerti tentang keangkuhan wanita, tentang feminim, tentang harkat wanita. Tentang wanita yang merindukan, aku mengerti, aku memahami. Tetapi ada kekuatan yang mengusirku kembali ke tempat ini”, kata Batara Guru.
”Oh tidak Kakanda! Aku mengerti tentang keangkuhan wanita, tentang feminim, tentang harkat wanita. Tentang wanita yang merindukan, aku mengerti, aku memahami. Tetapi ada kekuatan yang mengusirku kembali ke tempat ini”, kata Batara Guru.
”Kalau demikian, aku akan mengadu kepada Hing Murbeng Agung yang
berada dipuncak Surga”, demikian Batara Guru.
”Kahatur Hing Murbeng Agung, apa dan bagaimana Engkau tahu tentang
semua, yang ada dalam jagad tamu yang satu ini. Berikanlah penerangan.”
Maka Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa, berfirman :
Maka Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa, berfirman :
”Para Dewa yang berada di Nirwana, engkau semua harus malu pada
manusia yang akan masuk ke Nirwana ini. Dewi Windradi, sebuah nama yang sudah
tertulis di Marcapada, Kahyangan. Namanya sudah tertulis dengan jelas. Wahai
Para Dewa! Dewi Windradi adalah nama, yang sudah terukir dalam kalam-kalam-Ku,
tulisan-Ku. Manusia itu masuk ke Nirwana ini oleh daya tarik tulisan-Ku. Kalau
engkau menahannya, berarti engkau harus melawan Aku, Yang Menciptakanmu.”
Maka semua para Dewa bersujud patuh, para Bidadari menangis pilu,
tangisan rindu untuk menjemput Dewi Windradi.
Dalam pada itu, firman turun lagi :
”Wahai para Dewa, sebenarnya Dewi Windradi hanya mengambil tulisan
namanya yang ada di Nirwana. Tetapi Dewi Windradi masih punya tugas di muka
bumi, belum saatnya menikmati kenikmatan surgawi, belum saatnya bercengkerama
dengan rahmat-Ku. Terimalah sementara, di singgasana Nirwana bersamamu. Namun
Aku akan menciptakan Dewa baru untuk menemani sang Dewi.”
Kembali pada ”Cupu Manik Astagina.” Astagina ini isinya adalah
puji-puji untuk Allah, Nuur Muhammad. Kesempurnaan cinta Allah berkumpul dalam
”Cupu Manik Astagina.”
Maka cahaya yang diambil kembali, cahaya dari Permata. Dan air
kehidupannya, diambil oleh Begawan Wisrawa. Cahayanya diambil kembali oleh
Allah subhanahu wa ta’ala. Didalamya ada sumber cahaya dari segala cahaya.
Astagina adalah Maha Terpuji, dari energi Asma-Nya mengalir puji-pujian
Astagina.
Hing Murbeng Agung menciptakan Dewa baru dari cahaya tersebut yang
namanya Batara Surya (Batara Indra).
Manakala para Dewa, para Bidadari terpekik kagum, dewi Windradi
pun tak terkecuali. Terpesona kepada Batara Surya. Dalam jiwanya sang Dewi
berkata :
”Betapa indah yang satu ini. Lebih indah dari Nirwana ini.” Dan
ternyata ungkapan bawah sadar ini, terucapkan secara lisan.
”Benar wahai Dewi Windradi”, kata Batara
Narada.
”Betul wahai Dewi Windradi”, kata Batara
Guru,
”Lebih indah dari keindahan Nirwana beserta
isinya.”
Ksatria lelanang Jagad, Batara Surya, tersenyum. Senyuman yang
menggelisahkan para Bidadari yang ada di surga.
Sang Dewi pun berkata,
” Wahai,……Dimanakah cahaya yang aku kejar sejak dari bumi?”
”Cahaya itu tidak ada di surga ini”, jawab Batara Narada, ”Sudah
diambil oleh Hing Murbeng Agung, dalam Cupu Manik Astagina.”
”Izinkanlah aku masuk ke sana”, pinta sang
Dewi.
”Tidak bisa”, berkata Batara Guru, ”Kami pun tak mampu, apalagi
engkau, wahai Dewi Windradi.”
”Wahai wanita”, berkata Batara Surya, ”Hadapi aku, kalau mampu
menghadapi aku, maka engkau berhak untuk naik lebih tinggi lagi. Menuju Yang
Maha Pencipta.”
Pada saat Batara Surya berkata-kata, jiwa
sang Dewi bergetar!
”Inikah cinta, yang tidak pernah aku miliki selama ini? lnikah
syahwat? Yang tidak pernah mampu aku miliki di bumi?”
Getaran-getaran ini melumpuhkan sang Dewi. Sang Dewi terduduk,
merunduk.
”Wahai para Dewa, aku kalah! Jangankan datang pada surga yang lebih tinggi tempat Cupu Manik Astagina. Berhadapan dengan Batara Surya pun, aku sudah tak mampu.”
”Wahai para Dewa, aku kalah! Jangankan datang pada surga yang lebih tinggi tempat Cupu Manik Astagina. Berhadapan dengan Batara Surya pun, aku sudah tak mampu.”
”Wahai Batara Surya, apakah perasaan, seperti
yang aku rasakan ini?”
”Itu adalah cinta”, kata Batara Surya.
”Dan apa yang menggetarkan darah dagingku?”
”Itu adalah syahwat.”
”Wahai Batara Surya, dosakah aku memiliki ini
semua?”
”Tidak dosa, malah anugerah. Cinta dekat di tempat ini, namun
syahwat engkau harus buang dari tempat ini.”
”Bagaimakah cara membuangnya, wahai Batara
Surya?”
”Karena itu engkau belum saatnya menikmati surgawi ini. Kau harus
membuang syahwat di muka bumi, supaya kegairahan kehidupan manusia bumi
bertarnbah gejolaknya dan cepat menurunkan keturunan sebagai khalifah di muka
bumi.”
”Berikanlah keindahan hubungan suami-isteri dengan illusi-ilusi yang
hadir dalam perasaan. Buanglah syahwatmu wahai Dewi Windradi, supaya para
isteri bertambah mesra dengan suaminya.”
”Buanglah syahwatmu wahai sang Dewi, supaya para isteri walaupun
sakit oleh suaminya, tetap setia dalam menghadapi rumah-tangga. Syahwatmu akan
mengikat rumah-tangga agar tetap setia sebagai isteri. Supaya anak manusia
terlindungi dan terawat oleh Ibu dan Ayahnya. Karena asmara yang engkau buang
pada jiwa-jiwa mereka.”
”Tumpahkanlah wahai sang Dewi Asmara ini, Asmaradana akan merekah
di muka bumi. Dan engkau bisa kembali tanpa syahwat. Hanya cinta”, Demikian
Batara Surya.
”Wahai Batara Surya, cinta ini, untuk siapa?”
”Wahai sang Dewi. Cintamu untuk siapa. Tanyakan pada hatimu, cinta
itu untuk siapa.”
”Untuk tempat ini, dengan segala kenikmatan”,
kata sang Dewi.
”Bisa, tapi bukan”, jawab Batara Surya.
”Untuk para Dewa yang berada di sini?”
”Benar, tapi tidak.”
Dan dengan malu-malu, ”Untuk engkau, Batara
Surya.”
”Kuterima. Tapi aku tak mampu menerima.”
”Lalu untuk siapa wahai Batara Surya?”
”Untuk Yang Menciptakan kita, Hing Murbeng Agung. Maka
ungkapkanlah perasaan itu pada Sang Maha Pencipta.”
Dewi Windradi mengerti dan memahami. Maka bersujudlah memohon ijab
qabul denganTuhan Yang Maha Esa.
”Wahai Sang Hyang Agung, Rajanya para Dewa, Terimalah cinta ini,
hanya untuk Engkau.”
Turunlah f irman-Nya :
”Dewi Windradi, betapa aku tak sia-sia menciptakan engkau. Betapa
aku bangga pada diriku sendiri. Engkau telah membuktikan bahwa Aku adalah
Segalanya. Bagi-Ku sendiri apalagi bagi mereka, para Dewa ciptaanku. Dan engkau
adalah milik Aku, Kuberikan dengan izin-Ku pada semua para Dewa. Dan akan aku
berikan keindahan cintamu, hanya pada seseorang.”
”Siapa?”
”Dia ada di hadapamu, mengerti Dewi Windradi?
Dia itu, Batara Surya.”
Batara Surya menjawab :
”Aku menerima. Yang tadinya aku menerima tapi tak bisa merangkul,
tapi sekarang aku terima. Engkau adalah isteriku. Kita telah dinikahkan oleh
Yang Menciptakan kita. Aku adalah suamimu. Dan mereka, para Dewa dan para
Bidadari adalah saksi, pernikahan agung di surgawi ini.”
Dewi Windradi dengan puncak kebahagiaan di atas Sastra Jendra Yang
paling bahagia, Hayuningrat. Hayuningrat kewanitaannya sempurna.
Dikatakan Hayuningrat adalah : Suasana-suasana dialog ini semua,
mulai dari Dewi Windradi naik ke Nirwana, dialog dengan para Dewa, Firman
Allah. ltu semua adalah Hayuningrat. Tanpa ada lagi ”pangruwating” karena sang
Dewi dilahirkan tanpa diruwat lagi. Lahir dari ukiran-ukiran cinta,
kasih-sayang Batara Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bisakah kita melahirkan anak tanpa diruwat lagi?…..Bisa. Dewi
Windradi adalah bukti, anak yang langsung tanpa ruwat. Langsung ada dalam wadah
Hayuningrat Sastra Jendra adalah proses pencarian nilai-nilai, dalam mengejar
sinar.Penjelajahan Ihdinas shirothol Mustaqim.
Dialog Dewi Windradi dengan Bapaknya, dengan Ibunya, diusir dari
Istana, di penjara tubuhnya. Keluar rukh dan jiwanya dari penjara, bertemu
dengan orang-tua sejati, berangkat ke langit-langit sampai masuk Nirwana. lni
semua adalah Hayuningrat.
Suasana dialog selanjutnya adalah Hayuningrat. ltu adalah
kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kenikmatan illusi. Kenikmatan duniawi
sebenarnya adalah kenikmatan illusi, manakala kita makan, lidah kita merasakan
nikmat. Kita menikmati dengan kenyang. Kenikmatan seksual suami-isteri. ltu
semua adalah kenikmatan illusi. semua kenikmatan dunia pada dasarnya adalah
illusi, bayang-bayang atau wayang. Senda-gurau dan permainan. Dalam Al-Qur’an
dikatakan ”lahun walaib.” Saat sang Dewi akan mengecap kebahagiaan yang
sempurna, dirangkullah Batara Surya, suaminya. Saat itu pula turun firman :
”Wahai Dewi, wahai Batara Surya, belum waktunya engkau menikmati
kebahagiaan, walaupun Aku yang telah menikahkan. Tapi engkau belum mampu
bersenggama dengan rasa, bersenggama dalam rukhani, bersenggama dalam fikiran.
Di surga tidak ada daging dan kelamin. Pulanglah engkau Dewi, bawalah ’Cupu
Manik Astagina’ yang isinya cahaya Hayuningrat.”
Maka sejak saat ini, telah datang duplikat kedua ”Cupu Manik
Astagina.”
Untuk selanjutnya Cupu Manik ini kita sebut dengan ”Cupu Manik Hayuningrat”, yang dibawa oleh Dewi Windradi.
Untuk selanjutnya Cupu Manik ini kita sebut dengan ”Cupu Manik Hayuningrat”, yang dibawa oleh Dewi Windradi.
Sebagaimana firman-Nya :
”Wahai Dewi Windradi, bawalah ’Cupu Manik Hayuningrat’, supaya
kehidupan di bumi walaupun illusi, akan ’adem-ayem’. Hayuningrat, akan
membangunkan mimpi-mimpi indah dari kenyataan, akan membangunkan nikmat illusi
menjadi kenyataan. Dan supaya Aku pun rindu, pada makhluk yang ada di muka
bumi. Bawalah wahai Dewi Windradi.”
Dan manakala sang Dewi menerima Cupu Manik Hayuningrat. Batara
Surya berkata :
”Wahai Dindaku menikahlah engkau dengan seorang lelaki di bumi.
Engkau pun, akan punya anak tiga. Menikahlah dengan seorang lelaki Lelanang
Jagad, Mandra Guna, Ksatria yang sakti, yang kini sedang bertapa. Namanya Resi
Gotama. Engkau menikahlah dengan ksatria tersebut. Hiduplah sebagaimana seorang
isteri, sebagaimana wanita yang dicintai oleh suami. Dan manakala suamimu
meminta tubuhmu, berikanlah. Manakala benih suamimu hadir dalam rahimmu,
terimalah sebagai anakmu yang akan lahir di muka bumi. Namun aku minta, anakmu
yang akan hadir di perutmu, isilah dengan Hayuningrat. Suamimu Resi Gotama,
biarkanlah, lepaskanlah dari Hayuningrat, karena sang Resi bertapa bukan
mencari nilai. Sudah seratus tahun ksatria ini bertapa mohon pada sang Dewa
agar diutus seorang isteri, bidadari dari Kahyangan. Maka hadirlah sebagai
bidadari dari Kahyangan. Jangan berikan Hayuningrat pada suamimu karena sang
Resi tafakur, berdoa, mohon pada sang Hyang Widhi, dalam tapa seratus tahun,
untuk kepentingan syahwatnya, akan kerinduan kecantikan wanita surga. Tugasmu
hanya satu, ruwatlah suamimu! ’angruwating Diyu’, keangkuhan lelakinya, dalam
bertapa ruwatlah oleh engkau, wahai Dindaku”, demikian Batara Surya.
Sang Dewi pun berpamitan pada suaminya, Batara Surya, kepada para
dewa yang berada di Nirwana. Turun dengan segala keindahan kecantikan. Seluruh
kecantikan wanita yang dilahirkan di bumi, cahayanya di ambil alih ke dalam
wajah rupawan dan keagungan dari Dewi Windradi ini.
Dewi Windradi Menikah Dan Lahirnya Guarsa (Subali), Guarsi
(Sugriwa), Dan Retna Anjani.
Hari terakhir dari seratus tahun tapanya Resi Gotama. Pada hari
jum’at jam l6.00, sore hari, terdengarlah sabda dari Batara Narada : ”Anakku
Resi Gotama, tapamu di terima oleh kami. Terimalah persembahan kami, ini, telah
datang dari Nirwana, Dewi Windradi.”
Selama seratus tahun, satu abad! Sang Resi tak pernah membuka
matanya, namun saat itu, manakala matanya dibuka. Bersimpuhlah seorang wanita
cantik di hadapannya.
”Sujud simpuhku, wahai Dewa Agung di Nirwana. Engkau mendengar
jeritan kerinduan hatiku pada Bidadari Surga. Engkau memberikan penghormatan
kepada kami wahai dewa-dewa Agung. Puji syukur untuk-Mu.” Maka bersujudlah Resi
Gotama. Begitu sang Resi bangkit dari sujudnya :
”Selamat datang wahai isteriku.”
”Tidak perlu mengucapkan selamat datang”, jawab sang Dewi, ”Karena
aku hadir lebih dulu. Dari dulu pun aku datang ke hadapanmu. Aku datang,
terundang keyakinanmu. Engkau, suamiku dan aku, isterimu. Dekaplah aku, wahai
suamiku.”
Tatkala sang Dewi dipeluk oleh Resi Gotama, maka munculah cahaya
yang indah keluar memancar dari dalam diri kedua orang ini. Dan cahaya-cahaya
ini, cahaya yang berasal dari Cupu Manik Hayuningrat, menggulirkan anak-anak
manusia, dalam perut sang Dewi, walaupun belum bersenggama dengan suaminya.
Tiga anak sekaligus hadir dalam rahim sang Dewi, dan langsung diberi nama oleh
sang ayah, Batara Surya, di surgawi.
”Wahai Dindaku, anak kita telah hadir berilah
nama Retna Anjani, Guarsa dan Guarsi.”
Hayuningrat, cahayanya menggelora. Cinta kasih dan syahwat sang
Resi tertolak oleh cahaya Hayuningrat. Tetapi cinta yang dibawa dari surga,
cinta kepada Batara Surya diterima oleh jagad bathin sang Dewi. Maka dalam
rahimmya menetes benih-benih anak manusia.
Sang Dewi pun mengandung, disinari oleh cahaya Hayuningrat. Namun
sang Resi merasa itu semua adalah anak kandungnya. Cinta pun menggelora,
mengiringi dalam membesarkan ketiga anaknya. Perempuan satu, laki-laki dua.
Yang paling besar Guarsa, kedua Guarsi dan Retna Anjani sebagai anak bungsu.
Dan manakala saat bersenggama dengan suaminya, sang Dewi pun
memberikan tubuhnya. Yang berarti, tubuh Dewi Windradi yang sedang di penjara
bawah tanah, dibawah Istananya sendiri. Pindah tempat ke peraduan di ranjang
sang Resi, dan setelah selesai dengan suaminya maka tubuh sang Dewi pun,
raganya, kembali ke penjara. Sang Ayah pun tetap melihat bahwa anaknya masih
ada di penjara, di bawah istana.
Meskipun sang Dewi memberikan tubuhnya pada suaminya saat
bersenggama namun tubuh Atma sang Dewi berkumpul kembali di Nirwana dengan
suami sejatinya, Batara Surya. Atau masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat,
karena dalam cupu manik ini ada alam raya dan isinya, termasuk alam Nirwana
bersama para Batara dan para Dewa.
Demikianlah Dewi Windradi menjalani hidupnya, menjadi isteri yang
dicintai oleh suaminya Resi Gotama, dan memberikan tubuh aslinya (tubuh yang di
lahirkan) manakala kewajiban sebagai isteri memanggilnya dalam persenggamaan
dengan sang Resi. Dan manakala sang Dewi merindukan suami sejatinya, Batara
Surya, Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, menjelajahi alam raya,
bersua dengan para dewa termasuk suaminya. Hingga anak-anaknya dewasa. Hingga
suatu saat, Dewi Windradi merindukan suami sejatinya, Batara Surya.
Namun manakala masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, Cupu Manik
terkunci dari dalam! Kerinduan yang tak tertahankan kepada Batara Surya, tak
mampu diekspresikan karena Cupu Manik rapat terkunci dari dalam. Maka sang Dewi
pun mengangkasa, melalui jalur yang jauh. Di puncak kegelisahannya, sang Dewi
menggenggam Cupu Manik Hayuningrat ini, di bawa ke taman. Padahal selama ini
tak ada yang tahu kalau sang Dewi memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Karena Cupu
Manik Hayuningrat ini oleh sang Dewi disimpan di jagad bathinnya. Namun saat
itu, saat dilanda kegelisahan karena sang Dewi rindu kepada Batara Surya, Cupu
Manik Hayuningrat dikeluarkannya dari jagad bathin, digenggam dan dibawa ke
taman. Dan tanpa dikehendakinya, anak perempuannya, Retna Anjani yang sedang
bermain-main di taman. Melihat keindahan cahaya yang sedang digenggam oleh
Ibunya.
”Apakah itu, Ibu?”
”Ini adalah benda pusaka warisan Dewa.”
”Pinjamilah aku, Ibu.”
”Jangan anakku, ini milik Sang Dewi, bukan
milik ibu.”
”Tapi berikanlah padaku, ibu”, Retna Anjani
mulai merajuk.
”Jangan anakku.”
Retna Anjani adalah anak yang sedang lucu-lucunya. Maka dengan
segala kelucuan dan kamanjaan rengekan seorang anak, Retna Anjani merebut
pusaka dari tangan Ibunya. Dewi Windradi tak mampu melepaskan diri dari rasa
kasih sayang seorang Ibu, kelucuan sang anak melonggarkan tangan dalam
menggenggam Cupu Manik Hayuningrat.
Bagi seorang Ibu yang sudah berputra, dapat merasakan hal ini.
Kelucuan dan rengekan anak ternyata menggoyahkan apa saja. Keangkuhan, kebanggaan
seorang ayah dan ibu akan goyah oleh lucunya sang anak. Termasuk hal prinsip
yang sedang digenggam dengan kokoh.
Pun demikian yang terjadi pada Dewi Windradi. Cupu Manik
Hayuningrat lepas dari genggaman tangannya, karena kalah oleh rayuan lucu dari
sang anak, Retna Anjani. Cupu Manik Hayuningrat dibawa bermain-main oleh Retna
Anjani. Dan tanpa sengaja, terbukalah Cupu Manik Hayuningrat, sang anak pun
masuk ke dalamnya (tersedot)
Retna Anjani mengangkasa, langit demi langit, alam dami alam
dilaluinya hingga sampai ”Sela Menangkep” di Kahyangan dan bertemu dengan para
Dewa. Maka terdengarlah firman dari Hing Murbeng Agung :
”Wahai para Dewa ! jangan engkau terpesona oleh kelucuan anak ini.
Hai para Dewa ! betapa engkau melihat, betapa indah anak ini lebih indah
daripada kenikmatan Nirwana dan cepat kembalikan ke bumi. Belum saatnya anak
ini menikmati, akan merusak keindahan ”angkasa Nirwana”. Jangan biarkan anak
ini menggagalkan keindahan Nirwana. Karena keindahan lucu anak-anak hanya milik
mereka, manusia bumi. Tidak kuberikan kepadamu, wahai para Dewa.”
Retna Anjani pun turun kembali ke bumi dan keluar dari Cupu Manik Hayuningrat. Maka dimain-mainkan kembali Cupu Manik ini. Tatkala Retna Anjani tengah memainkan Cupu Manik ini datanglah kakak-kakaknya Guarsa dan Guarsi.
Retna Anjani pun turun kembali ke bumi dan keluar dari Cupu Manik Hayuningrat. Maka dimain-mainkan kembali Cupu Manik ini. Tatkala Retna Anjani tengah memainkan Cupu Manik ini datanglah kakak-kakaknya Guarsa dan Guarsi.
”Hai! Apa itu?”
Terjadilah perebutan diantara ketiganya. Masing-masing ingin
memiliki, tidak ada yang mau mengalah, sampai salah seorang mengadu kepada
ayahnya.
Sang Ayah, Resi Gotama, juga merasa aneh terhadap benda yang
diperebutkan anak-anaknya. Maka ia pun bertanya kepada isterinya :
”Dindaku, benda apakah itu? Jangankan anak-anak kita, aku pun
terpesona oleh benda itu.”
Sang isteri, Dewi Windradi tidak
berkata-kata. Diam seribu bahasa.
”Wahai isteriku, berkatalah, jangan bungkam
seperti itu. Benda apakah ini?”
”Ayah”, tiba-tiba Retna Anjani berkata pada ayahnya, ”Tadi aku
telah pergi ke Nirwana. Aku bertemu dengan Dewa yang bernama. Batara Surya,
katanya dia suami Ibu.”
Resi Gotama adalah seorang yang sangat sakti dan seorang yang
teguh dalam kemauan. Cepat menangkap apa makna dari semua ini. Maka muncullah
kecemburuan, merasa dikhianati, merasa dihancurkan sendi-sendi kehidupannya
sebagai suami. Di puncak emosinya sang Resi melemparkan Cupu Manik Hayuningrat.
Cupu Manik Hayuningrat dilemparkan oleh rasa dikhianati dan rasa
kecemburuan pada Batara Surya. Cupu Manik pun melayang di udara dengan derasnya
dan jatuh di suatu tempat dalam keadaan terpisah. Tutupnya masuk ke dalam suatu
hutan sedangkan badannya jatuh di lain tempat, di negeri Ayodya. Tutup Cupu
manik Hayuningrat menjadi telaga Sumala, sedangkan badan dari Cupu Manik
Hayuningrat menjadi telaga Nirmala. Dan cahaya yang ada di dalamnya memancar
membias, menghiasi angkasa bumi ini. Menghiasi seluruh cakrawala dan isinya.
Ternyata cahaya ini meradiasi Alam Raya ini dan intinya masuk ke
dalam diri isterinya, Dewi Windradi.
Sang Dewi diam, bungkam, dan menjadi batu! Menjadi Arca! Menjadi
patung!
Manakala Dewi Windradi menjadi arca. berarti tugas dirinya membawa
Hayuningrat untuk meruwat suaminya dan melahirkan anak-anaknya, selesai sudah.
Dewi Windradi dengan cintanya pergi ke Nirwana dan meninggalkan syahwatnya di
bumi ini. Pernikahan Agung dirayakan kembali dengan para dewa. Dewi Windradi
hidup dengan bahagia yang sempurna di Nirwana.
Resi Gotama, walaupun sudah membuang Cupu Manik Hayuningrat beban
emosinya masih dirasakan begitu berat. Maka arca dari Dewi Windradi ini
dipukulnya, diinjak dengan segala kemarahannya. Tidak hanya sampai di sini,
sang resi pun mengerahkan segala ilmunya, segala kesaktiannya. Patung Dewi
Windradi dilemparkannya! Patung Dewi Windradi melayang tinggi sekali hingga
membelah awan dan akhirnya jatuh, di negeri Alengka.
Cupu
Manik Hayuningrat :
Tutupnya jatuh di sebuah hutan, kemudian
berubah menjadi telaga Sumala. Yang berisi air kehidupan dunia yang keruh.
Keruh oleh berbagai polusi nafsu manusia di dunia.
Cupunya jatuh di negeri Ayodya, berubah menjadi telaga Nirmala.
Yang berisi air kesucian. Perpaduan air kehidupan dunia dengan ”sinar permata
surgawi.”
Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.
Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”
Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.
Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”
Jadi definisi dari ”moksa” adalah, seperti yang terjadi demikian.
Moksa adalah kembalinya tubuh, jiwa dan rukh anak manusia ke alam yang lebih
suci dari bumi ini. Mungkin masih di bumi, mungkin di Barzah, mungkin di
Mahsyar, mungkin di Surga. Tanpa mensisakan daging tubuhnya sebagai mayat. Hal
ini sering terjadi di kalangan Pendeta, para Resi, wali-wali Allah, di
abad-abad yang telah lalu. Abad sekarang? Non sense!
Resi Gotama setelah melempar patung isterinya, Dewi Windradi,
emosinya yang semula bergemuruh mulai mereda. Sang Resi mencari-cari
anak-anaknya, namun ketiganya sudah tidak ada. Ternyata anak-anaknya
mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat yang dilempar oleh ayahnya sendiri.
Guarsa dan Guarsi mengejar Cupu Manik Hayuningrat, hingga masuk ke
dalam sebuah hutan, sampai di sebuah telaga. Telaga Sumala. Demikian pula
dengan Retna Anjani yang mengejar Cupu Manik Hayuningrat, telah sampai di satu
telaga. Telaga Nirmala.
Guarsa dan Guarsi melihat ikan-ikan membawa benda yang sedang
diburu oleh keduanya. Maka Guarsa dan Guarsi, dari sisi yang berbeda, menceburkan
dirinya ke dalam telaga itu.
”Wahai ikan, bukan hakmu, Cupu Manik itu. Itu
hakku.”
Ternyata dalam pandangan keduanya, ikan-ikan yang ada di telaga
itu, di mulutnya membawa-bawa Cupu Manik Hayuningrat. Padahal ikan itu ada
dalam ”energi Cupu Manik Hayuningrat” yang berubah menjadi telaga.
Karena bayang-bayang Cupu Manik Hayuningrat terus menerus menggoda
ketiganya maka Guarsa dan Guarsi yang masuk ke telaga Sumala, dari tempat yang
berbeda berenang terus mengejar ikan hingga ke dasar telaga. Keduanya tenggelam
di telaga Sumala yang keruh. Pun demikian dengan Retna Anjani, di tempat yang
lain, tenggelam berenang di telaga Nirmala, telaga air kesucian.
Maka terdengarlah sabda dari Nirwana, dari Dewa yang tidak
memperkenalkan eksis nama dan identitas namanya. Bersabda kepada Guarsa, Guarsi
dan Retna Anjani :”Wahai anak-anak manusia yang berani! Keberanianmu itulah,
ombak yang akan mengubur dirimu sendiri. Dan ingatlah! Ketampananmu,
kecantikanmu, akan ditelan oleh kegelapan malam.”
Dan ikan-ikan pun bemyanyi bersama :”Oh! Dua anak manusia”,
ditujukan kepada Guarsa dan Guarsi,”Dunia akan kegirangan menjemput
kedatanganmu,sebagai dua ekor kera.”
Ternyata Guarsa dan Guarsi gagal menemukan Cupu Manik Hayuningrat,
walau keduanya telah menyelami telaga Sumala hingga ke dasamya. Maka keduanya
keluar, naik dari telaga, dari sisi yang berbeda. Masing-masing tidak merasa
dan tidak menyadari telah berubah menjadi kera. Pada saat keduanya bertemu :
”Siapa dirimu wahai Kera?”, kata Guarsa.
”Engkau yang kera!” kata Guarsi.
”Kamu yang kera!”
Air keruh telaga Sumala ternyata memberikan perasaan kepada anak
manusia, kepada penduduk bumi. Untuk saling berprasangka buruk diantara
sesamanya. Warisan air noda kehidupan dunia yang ada dalam Cupu Manik
Hayuningrat. Maka keduanya mewarisi ”saling curiga.”
Terdengarlah suara dari Nirwana :
”Wahai engkau berdua! Berkacalah kepada air yang sedang bercanda
dengan cahaya mentari.”
Begitu keduanya mengaca di atas air.
Kagetlah, keduanya!
”Mengapa aku menjadi kera? Mengapa engkau
adikku, menjadi kera?”
”Mengapa engkau menjadi kera, Kakanda?”
Maka keduanya pun berpelukan, berangkulan sambil menangis.
Bagaimana pun cinta sebagai adik dan sebagai kakak tetap utuh dalam diri
keduanya.”Mengapa kita menjadi kera?”
Terdengar kembali suara dari Nirwana :
”Wahai Guarsa, Guarsi, Engkau kini memiliki nama.Guarsa sebagai
Subali dan Guarsi sebagai Sugriwa.”
”Duhai dewa! Kenapa melaknat kami,yang tidak berdosa menjadi
kera?”
Para dewa menjawab dari nirwana :
”Engkau harus bersyukur, wahai Subali dan Sugriwa. Jiwa serakahmu
sebagai manusia, akan disucikan kembali oleh Hayuningrat. Ketidak mengertianmu
untuk memahami dalam mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat. Itu akan disucikan
oleh Hayuningat syahwatmu yang menggelegar sebagai lelaki, akan disimpan dulu
oleh Hayuningrat. Dan semua batas-batas kamar syahwat, batas-batas keserakahan,
batas-batas kamar saling ingin mengalahkan diantara sesamamu sebagai manusia.
Batas-batas itu diambil alih oleh kami, para dewa. Karena ada cahaya
Hayuningrat di telaga Sumala tersebut. Dan keindahan wajahmu, adalah alat dalam
membawa keserakahan, rayuan-rayuan syahwat. Hanya ingin nikmat saja, menolak
duka. Menggapai harap akan lebih jelas oleh keindahan wajahmu. Karena itu
engkau menjadi kera. Supaya habis semua ambisi sebagai manusia di bumi.”
Dalam pada itu, di tempat yang lain. Retna Anjani sedang menangis,
menangisi dirinya sendiri. Karena dirinya pun ternyata menjadi kera juga,
walaupun tidak seluruh tubuhnya sebagaimana Subali dan Sugriwa, kakaknya. Retna
Anjani wajahnya tetap utuh, tapi badannya adalah badan kera. Karena Retna
Anjani berenang di telaga Nirmala, di mana air dunia yang suci bercampur dengan
Hayuningrat. Retna Anjani menjadi wanita yang tabah dan mempesona.
Sementara itu Resi Gotama, lari-lari mencari anak-anaknya. Dan dalam
pencarian itu, sang dewa bersabda kepada resi Gotama :”Anakku resi Gotama,
engkau telah membuang patung isterimu. Batu yang keras, arca yang diam. Jelmaan
dari isterimu. Jelmaan dari yang kau cintai. Tahukah engkau, wahai anakku? arca
itu adalah egomu. Isterimu engkau perkosa dengan kelamin syahwatmu, menjadi
batu! Kesucian dan kelembutan daging dari isterimu, terampas energinya, karena
keserakahan seksmu, hingga ampasnya menjadi batu. Dan engkaupun tidak menerima
isterimu yang cantik menjadi batu. Bukan persoalan menerima atau tidak, tetapi
engkau menangisi syahwatmu, mengapa isterimu menjadi batu, karena engkau tidak
mampu lagi melampiaskan cinta dan syahwatmu. Ketahuilah, wahai resi Gotama. Dan
engkaupun membuang korbanmu sendiri. Namun demikian, wahai resi, syahwatmu
telah di bawa oleh batu arca ke Alengka. Dan engkau wariskan syahwatmu ini
kepada anak-anak Wisrawa. Terutama kepada yang berwajah sepuluh, Dasamuka,
Rahwana. Batu dari isterimu yang jatuh di Alengka, menyebarkan energi syahwat
yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat yang sempurna. Berarti
engkau terbebas dari syahwat kelaki-lakianmu, yang dipuja, dipuji dalam seratus
tahun dalam tapamu. Mengapa demikian? Karena engkau telah di ruwat oleh
isterimu sendiri, Dewi Windradi. Dengan Hayuningrat”, demikian kata dewa dari
Nirwana.
Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.
Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.
Resi Gotama pun akan mencari anak-anaknya,
yang sudah diketahuinya telah berubah jadi kera. Akhirnya, bertemulah ayah dan
anak dalam satu tangis yang indah dan haru.
Kesempurnaan kasih sayang bapak, menyempurnakan Hayuningrat putera
puterinya.
”Ayah, mengapa aku menjadi kera?”, bertanya
Retna Anjani.
”Anak-anakku”, kata resi Gotama, ”Zaman telah menjadi tua dan
waktu telah lelah. Tapi manusia dan turunannya selalu bisa dilahirkan dengan
cepat. Semakin lelah waktu, semakin cepat turunan manusia dilahirkan. Dan waktu
pun akan membawa anak manusia kembali melalui gerbang kematiannya. Dalam
membawa bekunya sebuah hati dari syahwat yang tak terjaga. Dalam membawa
bekunya sebuah jiwa dari ambisi yang belum selesai. Engkau anak-anakku,
terbebas dari semua itu. Karena engkau merasa malu dengan wajah dan badan
kera-mu.”
”Oh dunia! Bersinarlah karena penderitaan anak-anakku. Wahai
dunia! Teguklah airmata mereka, anak-anakku. Supaya kamu semua dapat keberkahan
dari Hayuningrat, yang ada dalam diri kami dan anak-anakku.” Wahai dunia!
jemputlah airmata-airmata kami, sisa dari kebenaran yang nyata, yang sukar ada
dan jelas di muka bumi.Dunia akan semakin kokoh dengan sedu-sedan anak-anak
manusia. Penderitaan umat manusia mengokohkan zaman dan mengangkuhkan, ’harga
diri’. Namun api-api itu! semoga air mata kami bisa, menghabiskan panasnya
jiwa-jiwa yang serakah. Kau akan melihat dunia dengan isinya melalui Cupu Manik
Hayuningrat, tapi ingatlah! Kesaktian tak dapat di rebut dengan begitu saja.”
”Wahai anak-anakku, Cupu Manik Hayuningrat, yang kalian perebutkan
adalah sebuah pergulatan yang panjang dalam mencapai buah yang nikmat. Mana
mungkin engkau dengan mudah meraihnya, anak-anakku. Namun atas kemurahan sang
dewa, engkau menjadi kera, karena jagad ambisi yang ada dalam dirimu itu adalah
warisan dariku selama bertapa seratus tahun. Maafkanlah ayahmu ini, wahai
anak-anakku.”
”Wahai anak-anakku, kesaktian bukan dari usaha manusia. Kesaktian
bukan dari usaha pengorbanan apapun. Kesaktian adalah datang tanpa di sadari,
dari sebuah hati yang tak mampu lagi merasa berkorban. Kesaktian akan datang
manakala manusia sudah tidak rindu lagi untuk dipuja dan dipuji. Karena
kesaktian datang tanpa melalui ucapan salam, tapi hadir dalam jiwa manusia. Kesaktian
tidak ada dalam dunia ramai, karena kesaktian, wahai anak-anakku, hanya datang
kepada mereka yang teraniaya. Maka engkau mendapat kesaktian, wahai
anak-anakku, dari rasa rendah diri sebagai kera. Terimalah itu semua.
Anak-anakku jangan duka dan sedih, sebab penderitaan sangat di inginkan oleh
dunia. Supaya dunia terbebas dari penderitaan yang sia-sia dari umat manusia,
supaya Sang Dewata Hing Murbeng Agung menerima. Dan engkau secara tidak
langsung mendapat ’titah’ dari Sang Dewata Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha
Esa. Dan engkau sebenarnya diangkat harkatnya, oleh rasa rendah diri sebagai
kera.”
”Tengoklah wahai anak-anakku. Di seberang sana anak manusia
berpesta pora dalam kesombongan, berpesta pora dalam syahwat. Siapa yang kuat
itu yang menang! Seolah-olah kekuatan adalah miliknya. Seolah mereka mendapat
’titah’, padahal bukan. Tetapi hawa nafsunya sendiri yang mengatas namakan
dewa. Dan engkau menjadi kera anakku, kesombongan akan punah. Kesombongan akan
sirna. Akan hilang dan musnah. Karena di jiwamu hadir rasa bersalah dan rasa
rendah diri sebagai kera. Kerendah-dirian takkan mungkin hadir dalam diri
manusia, manakala manusia masih merasa memiliki sesuatu kelebihan, dalam
wajahnya, dalam perasaannya juga dalam ilmunya. Demikianlah wahai anak-anakku”,
demikian resi Gotama.
”Wahai ayahku”, berkata Subali, ”Kenapa kami
ditakdirkan jadi kera? Dimanakah keadilan? Di manakah keadilan jagad raya ini?”
”Anak-anakku, kera adalah ’titah’ yang merindukan kesempurnaan
menjadi manusia. Berjuta kera bergelayut di hutan-hutan, beribu kera menangis
pilu, karena merindukan jadi manusia. Dan kera-kera itu di ciptakan oleh Hyang
Widhi untuk menghantar lahirnya manusia. Dan engkau akan menunggu. Menanti
kelahiran manusia suci, yang berangkat dari kera.”
(Simak kembali Mutasyabih, tentang ”psikologi embrio” di mana
Pithecanthropus Erectus, Alban Aljan, yang menerima ”sperma surga.” Adalah kera
dari golongan ”non perkosaan” atau ”non pelecehan seksual”).
”Engkau menjadi kera karena menunggu kelahiran kesucian manusia
yang akan sempurna. Yang harkatnya melebihi harkat para dewa. Para kera selalu
prihatin, dengan keprihatinan supaya di angkat kesempurnaan, sebagai kerinduan
akan kesempurnaan. Kera merindukan ’limitnya pipi yang berbulu’. Dalam
pikirannya itu adalah kesucian manusia yang harkatnya tinggi. Wahai anakku,
para kera tidak tahu, bahwa limitnya pipi dan indahnva wajah manusia itu adalah
topeng-topeng keangkuhan, yang di pinjam dari api-api neraka. Bahagialah
anak-anakku, karena kerinduan itu hadir dalam hatimu dan jiwamu.”
”Dan engkau telah mengambil alih kerinduan para kera dan kerinduan
para kera yang sia-sia, yang tak mungkin menjadi manusia. Tetapi dalam dirimu,
menjadi keagungan yang akan mengangkat harkat umat manusia, dan menjadikan
dirimu sebagai bunga di surgawi kelak.”
”Anak-anakku, namamu terukir sebagai bunga di surga yang paling
indah. Pergilah engkau bertapa, wahai anak-anakku. Bermati-ragalah kamu.
Tinggalkanlah perasaan dirimu sebagai kera yang buruk rupa. Bawalah kepasrahan
pada Hyang Widhi, cinta dari ayah ibumu, simpanlah sebagai kekuatan dalam
jiwamu, wahai anakku.”
”Dan ingatlah, ibumu kini kembali ke surga. Dan suatu saat kelak
kau menziarahi makamnya, aku menyimpan arca ibumu di Alengka, dalam menjunjung
harkat. Peperangan mempertahankan keadilan, menumpas keangkara-murkaan, yang
nanti akan dibangun oleh Rahwana. Engkau akan menemukan panutan yang datang
dari surgawi, sujud patuhlah pada panutan itu. Karena panutan itu Batara Guru,
yang sementara waktu membawa Cupu Manik Astagina. Dia lahir sebagai Rama.”
”Anak-anakku, berbahagialah engkau menjadi kera yang berhati
manusia, daripada manusia yang berhati kera.”
Setelah berpamitan pada ayahandanya, maka berangkatlah Subali,
Sugriwa dan Retna Anjani bertapa, hidup dalam keheningan mati raga.
Subali pergi ke puncak gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa
ngalong.” Kaki di atas berpegangan pada kayu jati dan kepala menghadap ke bumi.
Manakala Subali tapa ngalong, maka terlihatlah kesedihan para kera yang
merindukan ingin menjadi manusia.
Sugriwa tapa seperti laku kijang (kidang/menjangan/rusa), disebut
”tapa ngidang.” Berakrab-akrab dengan bumi yang diam. Maka Sugriwa merasakan
bagaimana bumi yang selalu memberi makan tanpa beban, kepada manusia. Bagaimana
bumi selalu melahirkan buah-buahan dan bunga-bunga untuk kenikmatan manusia dan
selalu melindungi manusia dari ”angkara murka.”
Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”
Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”
Tapa – nya ; Subali, Sugriwa Dan Retna Anjani
Kekuatan kasih yang yang tinggi dari resi Gotama, kepada
putera-puterinya berat untuk dipisahkan di dalam tugas. Yang tadinya cintanya
terpaut, terampas oleh isterinya, Dewi Windradi. Anak-anak hanyalah mendapat
cinta yang sifatnya ”sisa” dari cinta kepada isterinya. Cinta kepada anak,
lahir dari aliran sungai kecil dari sebuah samudera. Cinta sang ayah adalah
bagian terkecil, karena cinta yang suci kepada anak anaknya yang seharusnya
hadir sebelum anak-anaknya lahir itu, terbius oleh cinta segalanya kepada
isterinya sendiri.
Namun saat itu sang Resi merasakan bahwa kehadiran cinta kepada
anaknya, yang cukup lama terbius oleh kebesaran cinta kepada isterinya, muncul perasaan
cinta yang suci kepada anak-anaknya dan tambah memuncak saat dirinya menyadari,
betapa selama ini dirinya kurang memperhatikan anak-anaknya.
Ternyata asmara, ”jagad asmara”, mengeruhkan jagad cinta seorang
ayah kepada anak-anaknya yang dilahirkan. Seandainya jagad cinta sang ayah
memenuhi permukaan bathin seorang anak, sukar memindahkan cinta baru, cinta
asmara baru kepada wanita lain. Karena kebeningan cinta seorang ayah kepada
anak yang sesungguhnya itu, menghalangi sikap keangkuhan lelaki dalam melangkah
di alam dunia ini, dalam mengisi alam dunia ini.
Kebeningan cinta sang Resi kepada anaknya, menggugat jiwa dan
fikirannya, betapa dirinya akrab dengan harkat kelaki-lakiannya. Dan terlalu
akrab dengan cinta egonya, kepada isterinya. Saat itu pula sang Resi merasa
berdosa yang sangat, kepada putera puterinya. Maka dirangkullah
putera-puterinya, Subali, Sugriwa dan Retna Anjani.
”Anak-anakku, maafkanlah dosa ayahmu ini, yang telah lama
menyimpan kebeningan cinta yang seharusnya ada, telah kuselipkan di ’gunung
kemurkaan’ aku sebagai laki-laki, wahai anakku! Cinta yang bening kepadamu
kusembunyikan di sela nafas kelaki-lakianku, di sela nafas syahwatku. Tak mungkin
engkau kehilangan kebeningan cinta yang ada dalam dadaku, tak mungkin sirna,
kalau aku tak mengejar-ngejar syahwat selama seabad. Karena itu anak-anakku,
maafkanlah ayahmu”, kata resi Gotama.
”Ayahku, apapun dosa yang dirasakan, kesalahan yang dipanggul oleh
punggung jiwamu, itu adalah bukan hak kami untuk menilai”, jawab Retna Anjani,
”Itu adalah hak engkau dengan jatidirimu dan dengan segala alam yang telah
membesarkan kami semua.”
”Namun demikian, kami sebagai anak-anakmu, tak mampu mengelak
untuk tidak memaafkan engkau, ayahku. Kami tidak akan mempersembahkan maaf
kepadamu, tapi kami akan berikrar kepada Hyang Widhi, Hing Murbeng Agung. Bahwa
engkau adalah ayah yang baik bagi kami semua. Engkau adalah ayah yang sempurna
dan berharkat tinggi, telah membesarkan kami semuanya. Kami bersaksi, atas
segala kebaikan yang telah engkau berikan kepada kami. Semoga alam pun bersaksi
atas kebaikan engkau, wahai ayahku tercinta.”
”Ayahanda, tak mungkin kami menerima keluh kesah tentang dosa masa
lalu, tentang keresahan kebeningan cinta yang tak mampu engkau ungkapkan,
engkau ekspresikan kepada kami”, Subali menyambung kata-kata adiknya, ”Karena
kami terlahir dari betapa cintanya engkau kepada ibuku. Tanpa cinta kepada
ibuku, tak mungkin kami terlahir ke dunia ini. Dan biarlah, wahai ayahku,
cintamu kepada ibu kami, sebagai pembelian kembali beningnya cinta engkau,
untuk kami, dan menghantar ayahanda untuk melangkah ke Nirwana yang dituntun
oleh para dewa. Tinggalkanlah kami wahai ayahanda, menuju keagungan singgasana
maaf yang diberikan kepada ibu.”
Betapa sang ayah terharu mendengar kebesaran jiwa anak anaknya.
Padahal sebelumnya, anaknya bertanya, ”Mengapa kami berwajah kera? Bertubuh
monyet?” Sang resi telah memberi kebanggaan nurani, bahwa rendah diri adalah
kekuatan untuk mengalahkan keangkuhan dunia ini. Namun kali itu, anak-anaknya
membutuhkan dirinya tentang ungkapan sebuah hati yang rendah diri. Dari buruk
rupa dan jelek tubuh sang kera. Dan sang ayah merasa, kemanusiaan dirinya yang
gagah, yang mampu bertapa, sakti mandraguna, merasa menjadi ”lelanang jagad.”
Sirna sesaat oleh ungkapan kesucian, keikhlasan bathin anak-anaknya.
Manakala anak-anaknya selesai mengikrarkan itu semua, saat itu
pula sang resi, moksa. Ilmunya kembali, tapanya satu abad hanya untuk meminta
bidadari kepada Hyang Widhi, terhapus oleh rasa maaf yang sangat kepada
isterinya. Dan dimaafkan oleh putera-puterinya. Kembali kepada jati diri yang
paling bening dari jiwanya. Kembali kepada jati diri yang paling suci dalam
hatinya. Maka beliau moksa pergi ke Suralaya.
Suralaya adalah puncak kebahagiaan, berbatasan dengan nirwana.
Puncak yang diraih oleh Sastra Jendra dari Wisrawa dan isterinya. Suralaya
adalah tempat surgawi yang sudah terisi energi ke-Illahi-an, tapi masih
terhalang oleh pintu Ar-Royan atau ”Sela Manangkep.”
Tatkala resi Gotama ke angkasa sambil menangis, tetes airmatanya
membasahi ketiga putera-puterinya. Maka lenyaplah sang ayah dari pandang mata
kepala putera-puterinya. Akhirnya masing-masing melaksanakan tapanya,
sebagaimana di amanatkan sang ayah.
Subali menuju gunung Sunyapringga,
melaksanakan ”tapa ngalong.”
Sugriwa ke hutannya Sunyapringga,
melaksanakan ”tapa ngidang.”
Retna Anjani di telaga Nirmala, melaksanakan
”tapa nyantuka.”
SUBALI
Subali, dalam kesunyian tanpa cinta
ibunda dan tanpa cinta sang ayah. Keheningan gunung Sunyapringga, menambah
mencekamnya kerinduan cinta yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
”Wahai gunung, siapakah yang mengisi
kekosongan cinta ini?”
”Aku sendiri hening dari kekayaan cinta kepada diriku sendiri,
jangankan aku mencintai diri sendiri, aku ini pun terkoyakkan oleh cinta
orangtua kami, wahai gunung Sunyapringga. Sempurnakanlah kesunyian kami,
sempurnakanlah kekosongan cinta kami. Supaya kami, masuk ke alam rahasia,
supaya kami masuk ke alam yang oleh dunia dirahasiakan. Ke alam yang oleh hutan
dirahasiakan, ke alam yang oleh tumbuh-tumbuhan dirahasiakan. Wahai gunung,
gunakanlah kesepian kami sesepi-sepinya, supaya kami melupakan diriku sendiri.
Janganlah engkau biarkan tubuh kami, jiwa kami, dan fikiran kami, terpenjarakan
oleh kesepian yang kepalang tanggung. Kesepian yang sempurna mampu membebaskan
diriku dari rasa memiliki tubuh dan jiwa ini.”
Demikianlah Subali dalam ”tapa ngalong-nya”, kaki ke atas berpegangan
pada dahan pohon dan kepala! Menghadap ke bumi.
Di puncak kesepian Subali yang paling pekat, sang daging seperti
meninggalkan dirinya, bukan daging yang ditinggalkan oleh dirinya.
Satu-persatu, tangannya meninggalkan dirinya, daging di perutnya, tulang di
kakinya, satu-persatu organ tubuh meninggalkan dirinya, yang tersisa adalah
jantung dan hati, yang terasa masih ada.
”Mengapa jantung dan hati tidak mau pamit dariku? Bukankah karena
engkau, aku merasa memiliki tubuh ini? Bukankah karena engkau, aku merasa
memiliki denyut daging dan getar syaraf? Bukankah karena engkau, wahai hati,
aku dapat memandang dengan mataku pesona dunia ini? Cepatlah engkau berjalan!
Tinggalkan aku.”
Hati dan jantung menjawab :
”Bukan aku tak mau berpamitan kepadamu, namun katakanlah, bahwa
aku pernah hadir dalam dirimu, dalam memperkenalkan dunia ini dengan isinya.
Tanpaku, engkau tak mengerti arti duniawi, tanpa kami, engkau tak mampu
bercengkerama dengan dunia. Izinkanlah kami pamit dan isilah jejak kami oleh
dirimu. Dan suatu saat kami akan datang lagi mengisi tempat ini.”
Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.
Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.
Manakala hati dan jantung meninggalkan dirinya. Saat itu pula
seluruh pohon-pohon di hutan Sunyapringga berbicara menyampaikan rahasia
dirinya. Menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia alam ini dan
menyampaikan rahasia para dewa.
Hingga setiap pohon bercerita, aku ditakdirkan berbuah sampai
sekian. Berapa yang gugur, berapa yang matang dan berapa yang dimakan ulat.
Kami ditakdirkan berdaun sekian, dari pucuk pertama dan daun terakhir yang
gugur.
Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.
Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.
Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.
Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.
Subali menuju alam pertapaan yang sangat ramai. Sendiri dalam
kesepian tetapi ramai dalam kehidupan. Subali dalam ”tapa ngalong-nya” menyaksikan
kehidupan dunia. Setiap manusia terlihat takdimya. Tingkah laku, gerak tubuh
yang menghasilkan problematik hidup setiap individu manusia, jelas di saksikan.
Persoalan umat pun dilihatnya secara sempurna.
Maka pengetahuan-pengetahuan, ilmu, bukan datang dari
pelajaran-pelajaran yang didapatkan dari ayahandanya. Semua memberikan
pelajaran, semuanya yang dilihat memberikan pengertian. Dunia bukan lagi
sekedar benda. Dunia adalah kalam Illahi yang bergerak-gerak. Dunia adalah
ungkapan wahyu Allah yang bercerita. Firman-Nya mengalir tanpa perantara.
Firman yang bukan melalui Jibril, tapi firman yang berasal dari isyarat alam,
sebagai perwakilan-perwakilan sang Maha Kuasa.
SUGRIWA
Sugriwa di dalam ”tapa ngidang-nya”, tak seperti Subali. Kalau
Subali, dalam ”tapa ngalong-nya”, ditinggalkan oleh seluruh organ tubuhnya.
Maka yang dialami Sugriwa adalah organ tubuhnya tetap dirasakan utuh, tapi
dirinya ditinggalkan oleh fikirannya.
Yang pertama kali meninggalkan dirinya adalah illusinya, ”Selamat
tinggal wahai diriku”, kata ilusi, ”Aku akan mengangkasa dan akan kembali ke
alamku sendiri, di awang-awang jagad raya, di mega-mega yang tak bersisi.
Karena kami bercerita tanpa ada awal dan akhir, karena kami mengungkap masalah
tanpa judul. Dan engkau mengenal aku, karena rekayasa perasaamu sendiri. Yang
sesungguhnya, aku tidak ada. Aku adalah embun yang kembali kepada embun. Aku
adalah asap yang kembali kepada awan. Aku tidak memiliki judul, kalaupun
berjudul, bukan aku yang membuat. Tapi engkau yang membuat judul atas
angan-anganmu tentang kehidupan ini.”
”Selamat jalan daya khayalku. Engkau terlalu kucintai, dan engkau
jangan terlalu jauh melayang-layang di angkasa. Tanpa engkau, aku tidak mampu
memahami dunia ini. Tanpa engkau, aku akan terpenjara oleh kenyataan hidup.
Tapi engkau membebaskan diriku dari keterpenjaraan kehidupan yang sesungguhnya.
Engkau adalah memberikan kemerdekaan semantara kepadaku”, demikian Sugriwa.
Perpisahan ini adalah tangisan, walau daya khayal dari illusi,
tetapi tetap ditangisi, dan perpisahan ini terasa menyakitkan.
”Tanpamu, aku kehilangan diriku sendiri. Karena aku dikatakan
sebagai manusia karena dirimu, yang telah hadir dalam diriku sebelum aku
dilahirkan di muka bumi ini.”
Maka setelah kepergian daya cipta illusi, daya lamun, berpamitan
pada logika. Logika berkata tentang atas dan bawah, sisi dan ujung, jumlah,
matematika, sebab akibat, analisa-analisa, kesimpulan-kesimpulan, penjelasan
mengapa begini, mengapa begitu, mengapa demikian.
”Selamat tinggal wahai Sugriwa. Aku matematika harus berpisah dari
fikiranmu. Engkau sering resah karena perhitungan-perhitungan dariku. Engkau
sering bergulana, karena aku menari dalam hitungan jumlah, dan engkau sakit
oleh kekurangan-kekurangan. Dan engkaupun sering gembira manakala aku menambah.
Engkau dipenjarakan olehku, dari sebuah sebab akibat. Yang paling menggoda
kekhawatiran adalah aku, Sugriwa. Namun ingatlah aku, kenanglah aku! Tanpa aku,
engkau tidak akan dapat mengerti, mengapa engkau harus mengejar-ngejar Cupu
Manik Hayuningrat, karena aku, engkau dipicu dalam usaha dan ikhtiar.”
”Selamat jalan, wahai sebab akibat, suatu
saat aku merindukanmu.”
”Ya! Aku akan datang manakala sang dewa telah mensucikan engkau.
Dan akupun akan datang dengan sebab akibat dan matematika, jumlah dan kurang.
Namun aku akan berbakti kepada ’kesucian’ engkau, yang telah disucikan dalam
pertapaan yang panjang.”
”Berilah aku keleluasaan untuk mencari rahasia-rahasia alam, untuk
mencari rahasia-rahasia mega-mega mengangkasa. Supaya manakala aku kembali,
bila engkau mengenal aku 3+2=5, tapi 3+2 adalah 5+x+n+n, aku adalah kaya. Kalau
pun aku matematik, tapi mampu membelah rahasia gaib, kalau engkau menambah
kesucian dirimu. Karena aku harus diperkosa oleh kesucian dirimu. Bukan aku
yang memperkosa dirimu, wahai Sugriwa”, demikian kata logika.
Yang terakhir pamit adalah fikirannya :
”Aku pamit Sugriwa. Telah lama aku bercokol dalam ruang-ruang
fikiranmu. Aku adalah rencana yang panjang dari dirimu. Penggalan- penggalan
kamar yang telah kau isi dari rencana kerja itu adalah aku. Biarlah aku kembali
kepada pusat perencanaan Yang Maha Sempurna, Sang Pencipta Rencana itu sendiri,
Hyang Agung Mahesa. Hing Murbeng Mahesa, adalah tempat aku kembali karena di
sana ada rencana Yang Maha Sempurna. Aku adalah bayangan-bayangan kecil dari
rencana-Nya. Aku adalah wayang dari rencana, dan engkau mau menggapai rencana
dalam bayangan dirimu sendiri. Aku mengucapkan salam kepada dirimu. Dan aku
pun, terima kembali suatu saat, manakala engkau telah membuat ’Istana kesucian’
di dalam fikiranmu. Fikiranmu adalah rukh, fikiranmu adalah sayap-sayap yang ku
isi. Tanpa rukh, aku tak mampu hadir dalam sayap rukh. Kau kembali kepada jati
yang tersuci dari rukhmu sendiri. Hewan tanpa rukh, aku pun tak mampu hadir di
alam mereka.”
Maka menangislah Sugriwa dalam tapanya. Betapa kesepian panjang
tanpa perhitungan, tanpa rencana, tanpa obsesi. Obsesi adalah kenakalan alam
fikiran, gejolak alam fikiran akibat rencana yang diperhitungkan secara rinci
dan sangat matematis. Sangat berfungsi dalam matematik dan pengetahuan alam.
Maka keheningan mengiringi Sugriwa, dan di puncak kesepiannya
Sugriwa melihat perhitungan lain. Sugriwa mengetahui jauhnya bumi dengan bulan,
mengetahui berapa banyak energi matahari yang selama ini telah mengalir ke
bumi, berapa usia dunia ini dengan matematika yang tanpa batas logika. Bulan
pun bercerita telah berapa kali mengelilingi bumi ini dan mengelilingi
matahari. Matahari pun bercerita berapa jumlah energi panas yang disimpan dalam
tubuhnya. Oksigen dan hidrogen menari-nari, memberikan informasi tentang eksis
dirinya.
Maka rahasia jumlah dari hari dan tahun yang telah terlalui oleh
alam ini, dari berapa jumlah yang akan lahir dari tahun dan bulan, diketahuinya
dalam jumlah. Rencana pun teraba, kapan kiamat, kapan gunung hancur, kapan
planet bertemu planet, meteor dengan meteor, komet dengan komet. Dan berapa
jumlah planet yang ada di cakrawala ini, diketahui dengan pasti dan sistematis.
Karena rukh, ternyata sumber logika yang paling murni. Yang terpandai dari
otak. Otak ternyata jagad terkecil dari transfer fikiran, kepandaian rukh itu
sendiri.
Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.
Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.
Subali mata bathinnya bertambah tajam dalam dialog dengan alam dan
sifatnya.
Sugriwa kepandaian rukhnya, menghitung dan membuat rencana dari
sisi jumlah dan dimensi.
Subali adalah makna sifat yang dimensional
dari fisik alam ini.
Sugriwa adalah dimensi jumlah dari fisik
sifat alam ini.
Tapa ini ”wajib” bagi makhluk di muka bumi. Karena ”khalifatul fil
ardh”, adalah tanggung jawab kepercayaan Allah kepada manusia. Manusia sebagai
khalifatul fil ardh, perawat dunia dengan bermodalkan dua faktor tersebut di
atas. Tanpa modal dua faktor ini, adalah tinja yang ada di bumi, kotoran yang
menodai bumi ini.
Sabda Batara Narada dari Nirwana
:
”Cucuku, Subali dan Sugriwa. Engkau pantas merawat dunia, engkau
pantas mencintai bumi ini, pantas sebagai penghuni yang syah dari alam yang
Tuhan telah ciptakan. Engkau adalah jagad, dimana dunia akan bersekutu dengan
jagad dirimu. Bukan engkau yang bersekutu dengan bumi. Tapi bumi kembali
bersekutu ke dalam jagad rukh dan jiwamu. Karena Hing Murbeng Agung, Sang Hyang
Wenang, tak mungkin memberikan kepercayaan kepada penghuni yang namanya
manusia, kalau tidak lebih mulia dari alam dan isinya.”
RETNA
ANJANI
Retna Anjani, tapa nyantuka, seperti kodok yang berendam di air
Sumala. Air kehidupan yang sudah keruh. Retna Anjani dalam kesunyian.
Kesunyian hatinya, kesunyian jiwanya, tambah mencekam dengan
dinginnya telaga Sumala. Malam hari bertemankan kodok-kodok yang bernyanyi,
menambah kerinduan dan keharuan kepada bundanya. Gigil tubuh Retna Anjani dan
dinginnya air keruh Sumala, menghantar dirinya pada puncak kesempurnaan dari
kesepiannya. Retna Anjani, tidak seperti Subali dan Sugriwa, yang diperlihatkan
seluruh rahasia alam ini. Di puncak kesempurnaan kesepiannya, Retna Anjani :
–
fisiknya tidak lagi memberikan perasaan,
–
fikirannya tidak lagi memberikan pengertian, namun
– jiwanya sebagai wanita yang
feminim, yang lembut, yang penuh kebijaksanaan, terbuka.
– agad
kesucian seorang wanita, pintunya terbuka.
Retna Anjani, masuk ke jagad cinta yang tertinggi. Dan dijemput
oleh sebentuk cinta.
”Selamat datang Ratu Retna Anjani, aku adalah kerinduanmu. Tanpa
aku, engkau tidak akan merindukan sesuatu, tidak akan merindukan apapun.
Mengapa aku ada dalam jagad dirimu? Mengapa aku bertemu dengan dirimu? Padahal
aku sering, aku tak pernah memperkenalkan diri kepada penghuni bumi yang
namanya wanita. Karena aku tersembunyi, bisa di rasakan tak mungkin di raba.
Bisa dihayati tak mmgkin di fikirkan. Karena aku, tersembunyi dalam emosi.
Kalau pun aku datang memperkenalkan diri, membentuk diriku sendiri di
hadapanmu, karena engkau telah masuk, mengalami terpaksa, hadir di dalam Cupu
Manik Hayuningrat. Hayuningrat menyebabkan ketersem-bunyian aku di dalam
emosimu sebagai wanita, tak kuasa tidak menjelmakan diri di hadapanmu.”
Hayuningrat :
– mampu
menjelmakan sesuatu nilai-nilai menjadi nyata,
– sesuatu
perasaan menjadi benda,
– sesuatu
khayal menjadi teraba.
”Dan kerinduan yang engkau rasakan, karena aku adalah kerinduan
kepada kesejukan kasih sayang ibu. Dan semua manusia merasakan kesejukan kasih
sayang ibu, dan kenyataan perlindungan ayah. Dan untukmu wanita, merindukan
perlindungan ksatria seorang lelaki. ltu adalah aku, kerinduan.”
”Selamat berjumpa wahai kerinduan, maafkan aku. Karena seusai
tragedi aku menjadi kera, kerinduan apapun tak pernah hadir lagi dari jiwaku.
Kalaupun kau ada dan memperkenalkan diri kepadaku, akupun terpaksa mengucapkan
selamat datang, wahai kerinduan. Wahai kerinduan, ajaklah aku kepada misteri
yang ada dalam jagad cinta. Jagad cinta wanita yang ada dalam jiwaku.”
Maka kerinduan, memperkenalkan perasaan lain, datanglah rasa
nyaman, rasa terlindungi.
”Siapakah engkau?”, kata Retna Anjani.
”Aku adalah rasa tenteram karena kenyamanan, rasa aman karena
perlindungan.”
”Siapa dirimu?”
”Aku adalah Hawa. Karena aku, terlahir generasi manusia. Karena
aku manusia mewariskan cinta kepada keturunannya. Tanpa aku, manusia akan
meninggalkan keturunannya. Aku adalah ’hawa kasih sayang’ yang tersembunyi
dalam rasa aman, yang diam di dalam kerinduan. Dan aku sebenarnya cahaya dari
perlindungan Hyang Widhi. Kerinduan kepada orang tua, kepada anak, kepada
kekasih itu pun anak-anak yang dariku, Hawa. Dan aku adalah percik cahaya dari
rasa aman yang datang dari Sang Hyang Widhi, kepada makhluk-Nya”, demikian sang
kerinduan memperkenalkan dirinya.
Dan kerinduan tidak akan berfungsi. Kerinduan akan mati, manakala
kerinduan hanya sampai kepada suami, hanya sampai kepada isteri, manusia. Hanya
sampai kepada anak-anak dan kekasih. Kerinduan yang terhenti, adalah memotong
cinta yang panjang dari makhluk kepada Penciptanya.
”Wahai ratu, jangan engkau terhenti di belokan cinta, terhenti di
tikungan cinta. Karena engkau akan diperbudak oleh kerinduan itu sendiri.
Kerinduan seperti itu meresahkan dan menyiksa, karena kerinduan belum usai,
belum pulang kembali kepada sumbernya, Sang Hyang Widhi. Maka jadikanlah aku,
Hawa, sebagai jembatan cahaya yang panjang. Supaya engkau melaju, mengalir
menuju sumber Cinta. Bawalah cinta engkau kepada orangtuamu bersama aku,
kembalikan dengan cahayaku kepada sumbemya. Bawalah cinta asmaramu kepada
ksatria, idamanmu, memakai perahu cahaya yang mengalir di samudera yang
panjang. Menuju pulau-pulau Sumber Cahaya Cinta Sang Hyang Murbeng
Asih. Jangan engkau biarkan, dirimu dalam cinta, tenggelam dalam samudera
cinta yang terseok-seok di bawah samudera asmara. Namun asmara akan menjadi
lebih indah, manakala aku mengisinya dengan cahaya yang panjang sebagai
jembatan cinta kepada sumbernya, Hing Murbeng Asih, Tuhan Yang Maha Esa.”
”Wahai Hawa”, kata Retna Anjani, ”Adakah dibalik engkau yang aku
ingin kenal padanya?”
”Ada, di belakangku adalah dirimu yang sejati. Diri sejati yang
merindukanmu yang ingin memberikan cinta kasih kepada semua yang ada. Tidak
saja ksatria yang engkau berikan cinta, tidak saja ayah ibumu yang engkau
berikan cinta. Tapi alam raya dan isinya, menunggu dengan sangat, dari abad ke
abad, berjuta tahun, alam raya dan isinya, menunggu belaian kasih sayang dari
jati dirimu sebagai wanita.”
Manakala Hawa tersibak, tampaklah di belakangnya. Dimana Retna
Anjani rasanya seperti mengaca di kaca yang besar, segalanya persis. Persis
wajah, sama persis tubuhnya. Sebagaimana Retna Anjani sendiri.
”Ucapkanlah salam kepada dirimu sendiri. ltu bukan bayangan, itu
adalah dirimu yang sesungguhnya, wahai Retna Anjani”, kata Hawa.
Retna Anjani membanding-banding dirinya, dengan tubuh yang ada di
depannya. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ternyata ada bedanya.
”Mengapa payudara yang di depanku bersinar terang?”
”Oh Retna Anjani”, kata Hawa, ”Cahaya itu adalah warisan dari
cinta sebening kaca, cinta yang sempurna, yang telah disimpan oleh Bundamu yang
telah melahirkanmu. Dan engkau pun akan mewariskan cahaya itu, memberikan
kehidupan kepada anak-anak manusia. Beribu bayi bergantung kepada cahaya dari
payudara, karena kesaktian alam berkumpul dalam cahaya itu. Memberikan vitamin
dan kesegeran (air susu), kepada setiap bayi yang dilahirkan. Dan engkau telah
menghisap kesaktian ibumu sendiri dengan keikhlasan yang sempurna. Cinta ibumu,
membuat iri semua dewi di Kahyangan. Karena mereka tak memiliki cahaya dari payudara.
Yang mereka miliki adalah keagungan nilai dari payudara, yang tidak bisa
memberikan susu kepada bayi-bayi. Kalau pun bidadari diturunkan ke dunia,
matilah setiap bayi, karena tak mampu memberikan susu. Berbahagialah engkau,
wahai Retna Anjani, sebagai manusia yang berharkat bidadari.”
”Bisakah aku bertemu ibuku di payudara yang
bercahaya?”
”Bisa, wahai Retna Anjani, mengapa tak kau
panggil kalau rindu pada ibu?”
”Karena aku tak mampu, tak sempat
mengungkapkan maaf dan terima kasih.
Bahwa aku telah dilahirkan, pernah dikandung dan telah dibesarkan.
Tragedi Cupu Manik Hayuningrat, menyebabkan aku tak sempat mengungkapkan
terimakasih dan sujudku kepada bundaku.”
”Wahai ratu, panggillah bundamu”, kata Hawa.
Maka dipanggil bundanya. Susu yang bening dan bercahaya itu,
seperti alam yang di dalamnya ada bundanya. Dewi Windradi tersenyum.
”Peluklah aku, anakku.”
Maka dengan tangisan yang menjerit, dipeluknya ibunya. Namun yang
ada hanya bayangan sinar saja. Ternyata Retna Anjani meninggalkan tubuhnya
sendiri, kembali kepada dirinya yang sejati.
Retna Anjani berjalan dan berjalan semakin jauh, di jagat dirinya
yang sungguhnya. Maka sampailah kembali kepada dirinya yang sedang bertapa.
Ternyata perjalanan Retna Anjani di
dalam jagad dirinya yang sesungguhnya, terlihat sebagai cahaya yang gemilang.
Maka cahaya gilang gemilang ini adalah cahaya yang mengeluarkan kasih sayang,
cahaya yang menebarkan serta merangsang kerinduan semua alam yang menebarkan
rasa kasihan yang tinggi. Rasa kasihan yang tinggi ini, sampai ke Marcapada,
menembus perbatasan Sela Manangkep, Suralaya dan terus sampai ke Kahyangan.
Para dewa gempar! Cahaya apa ini?
Dan sebagaimana biasa, Batara Narada berdialog dengan adiknya,
Batara Guru.
”Dinda Batara Guru, engkau mengerti apa dan bagaimana cahaya ini.
Sepertinya cahaya ini bukan milik nirwana, datang dari luar nirwana. Tapi
mengapa memberikan benderang yang lebih gemilang dari cahaya yang ada di
nirwana?”
”Aku pun tak melihat cahaya ini datang dari
puncak nirwana.”
”Wahai Dindaku, ikutilah cahaya itu, darimana
datangnya.”
Batara Guru mengikuti cahaya itu yang ternyata sampai ke bumi,
yang kemudian sampailah kepada sumbemya, Retna Anjani. Maka terharulah Batara
Guru. Cinta yang sempurna yang ada dalam bathin Batara Guru, hampir dikalahkan
oleh pesona cinta yang datang dari Retna Anjani.
Proses kembalinya suatu cinta kepada sumbernya.
”Retna Anjani”, sabda Batara Guru, ”Keangkuhanku yang menyebabkan
lelaki di lahirkan, goyah dan hampir kalah oleh cahaya yang datang dari dirimu.
Kukatakan, engkau kucintai dan engkau kumiliki.”
Batara Guru, muncul kecintaan yang mendalam, melampaui keindahan
nirwana.
Dan bersabda Batara Guru :
”Terimalah cintaku ini, cahaya yang sebenarnya belum saatnya ada
di bumi. Namun cahaya yang keluar dari dirimu ’mempercepat proses’ untuk segera
cahaya ini hadir di muka bumi ini. Dan terimalah bagian dari diriku ini, dan
berubah ujud menjadi ’ron jati malela’, daun jati malela.”
Retna Anjani, dalam ”tapa Nyantuka-nya”, memakan makanan apa saja
yang mendekati dirinya. Buah yang mengambang, daun yang mengambang. Dan
minumnya adalah uap-uap udara, embun pagi. Ron jati malela mengambang, dan
masuk ke dalam mulutnya.
Begitu di telan oleh Retna Anjani, dirinya merasakan keindahan yang mempesona. Sebagaimana yang dirasakan oleh Dewi Sukesih sewaktu melayang-layang di puncak kenikmatan cinta dan puncak kebahagiaan di perbatasan kahyangan. Cinta, kerinduan, kerinduan yang tadi memperkenalkan diri, menemukan siapa yang dirindukan.
”Izinkanlah wahai Batara Guru, ternyata engkau kurindukan.
Bayanganmu telah lama hadir dalam jiwa ini. Saat aku kecil, bayanganmu
seringkali hadir di telaga hatiku. Dan engkau menjadi kenyataan di telaga
Sumala ini.”
Sabda Batara Guru :
”Engkau akan mengandung anak kita. Anak kita, bukan lahir dari syahwat.
Diukir bukan dari cinta kerinduan, bukan dari ’hawa’, bukan cinta dari
jatidirimu sendiri. Tapi perpaduan Hayuningrat yang sudah engkau sucikan di
Sumala, bersekutu dengan cahaya yang kubawa dari kahyangan.”
”Telaga Sumala, telaga kehidupan yang kotor,
yang cemar. Kini suci kembali, kesucian yang datang dari dirimu dan yang datang
dari cahaya permata surgawi. Maka anak kita, menjelma dari kekuatan keduanya.”
Tatkala sang bayi lahir, Batara Guru datang lagi dari nirwana,
menaiki Lembu Andhini. Begitu Lembu Andhini melihat Retna Anjani dan bayinya,
Lembu Andhini lari kembali ke nirwana, dan mendobrak Sela Menangkep!
Batara Guru terkejut!
Batara Guru terkejut!
”Wahai Andhini. Engkau kurang ajar! Mengapa tanpa izinku engkau
kembali ke nirwana? dan engkau menghancurkan Sela Menangkep!”
Maka terdengarlah sabda Batara Narada :
”Dindaku, Andhini adalah kesempurnaan cinta yang tidak pernah
berkata-kata, biarlah aku mewakili Andini. Tahukah engkau? Andhini merasa,
bahwa Retna Anjani secepatnya dibawa sebagai penghuni nirwana. Dan Andhini
kecewa, dan berontak. Mengapa anak sesuci dan seagung itu harus lahir sebagai
kera. Andhini tak mampu membendung kemarahan, dari kenyataan seperti ini,
kekaguman yang sangat kepada pribadi sang bayi, dikecewakan oleh wajah kera.”
Batara Guru memahami itu semua, dan menghampiri Retna Anjani.
”Isteriku, penghuni nirwana, termasuk tungganganku Lembu Andhini,
merindukan kehadiranmu. Karena penderitaamu sudah pindah pada bayimu. Anakmu
akan menanggung semua deritamu dalam pertapaan yang panjang. Engkau usailah!
Bangunlah wahai isteriku dari tapamu yang panjang. Dosa-dosamu, karena ambisi
memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Di bawa oleh anakmu, karena dia mampu
menghabiskan dan menghilangkan semua dosa.”
”Wahai isteriku, setiap anak yang lahir membawa dosa orang-tuanya
dan mampu membuangnya. Namun, karena anak kebanyakan lahir dari dosa, bagaimana
bisa membuangnya? Anakmu lahir dari kesucian hatimu, mampu membawa, membuang
dan sekaligus melenyapkan dosa, tanpa bekas.”
”Manusia, sekali berdosa, maka dosa itu akan dibawa oleh mereka
yang mencinta. Sekali berdosa, maka akan disebarkan oleh yang kau cinta. Sekali
berdosa akan diturunkan kepada anak-cucumu. Maka dosa pun bertambah panjang.
Hanya Hayuningrat yang mampu mengakhiri.”
”Anak kita, bayimu Hanoman. Mampu melenyapkan dosa turunan, dosa
yang dibawa oleh yang dicintainya. Pangruwating Diyu, tak mampu mengakhiri
dosa. Hanya memperkecil dosa. Demikianlah wahai isteriku”, sabda Batara Guru.
”Hanoman, anak kita itu. Berilah nama sesuatu yang agung, hatinya
seagung gunung yang bening. Kesucian hatinya melampaui, keagungan gunung yang
agung. Berilah nama Giri Suci. Keikhlasannya sebening air Sumala, air keruh
yang menjadi sebening air surgawi.”
”Ia memiliki kewibawaan. Wibawa dalam jiwanya mampu mengalahkan
kewibawaan samudera. Katakanlah namanya, Jaladri Prawat.”
”Budinya lebih terang dari semua mentari, lebih cemerlang dari
semua cahaya cakrawala. Tutur katanya, selembut cahaya yang tak terlihat.
Berilah sebuah nama, Surya Sasangka.”
”Rasa juangnya sangat tinggi, tak pernah menyerah kalah, tak mau
menyerah, tak mau mengakui akan segala penderitaannya. Penderitaan adalah
pengakuan. Anak kita tak pernah mengakui akan rasa kekalahan. Sekali menentukan
sikap, seperti angin prahara yang tak mampu dibendung oleh apapun juga.
Sebutlah Anita Tanu.”
”Dan apabila saatnya tiba, anak kita harus kembali kepada alam,
bergaul dengan penghuni hutan ini. Engkau harus kembali kepada kesempurnaan
Hayuningrat, yang sudah menunggu di kahyangan.”
sumber ;
Vidieo ini berisi sesi konten tanya jawab dan wawancara seputar EXPANDER 2019 semua type dan harganya.
BalasHapusUntuk selebihnya terserah anda, karena vidieo terjadi secara spontan waktu kunjungan ke Shorum Mitshubishi Madiun senin 17 juni kemarin.
Terimakasih mas Muklis atas keramahan dan infonya, mudah2an WEKA segera dapat merealisasikan mimmpi menjadi kenyataan.
Berikut daftar Harga List Mobil Baru EXPANDER bulan Juni 2019 All TYPE ;
LIMITED 4X2 A/T Rp 275.600.000
ULTIMED 4X2 A/T Rp 265.600.000
SPORT 4X2 A/T Rp 256.900.000
SPORT 4X2 M/T Rp 246.900.000
EXCEED 4X2 A/T Rp 244.700.000
EXCEED 4X2 M/T Rp 234.300.000
GLS 4X2 A/T Rp 238.300.000
GLS 4X2 M/T Rp 227.300.000
GLX 4X2 M/T Rp 210.800.000
Untuk info lebih lengkap hub Salesman Muklis
Phine 081348085260/085655775249
Vidieo akustick koleksi Ainun WEKA!!
"Sampai Jumpa di Vidieo kami berikunya!!"
Beri kritik saran untul perbaikan, kami masih trs banyak belajar kedepan!!
#Bursamobil #Mobilbaru #Mitshibishi #Expander2019 #Ultimate2019 #Sportymanual2019 #Sporty2019 #Exceed2019 #GLS #GLX #Bursamobilbaru #Dealer #Shorum #Madiun #Ngawi
#EXPANDER 2019 YESS!!