Rabu, 18 Oktober 2017

Ayat untuk Ali Bin abi Thalib

Ayat untuk Ali Bin abi Thalib :

SURAT ALA'RAF

Allah menjadikan Ali dan keluarganya berada di jalan kebenaran:

وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ

Di antara yang kami ciptakan adalah sebuah umat yang membawa kebenaran dan bertindak adil dengannya. [1]

Rasulullah saw bersabda, "Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, sedangkan satu golongan akan masuk surga. Mereka adalah engkau dan pengikutmu, wahai Ali, karena engkau tidak pernah berpisah dari kebenaran dan mereka tidak pernah berpisah darimu. Karena itu,  mereka senantiasa bersama kebenaran. [2]

Kemudian Allah menjadikan kecintaan kepada Ali sebagai pemberat neraca amal perbuatan manusia. Dia menyatakan bahwa tiada amal perbuatan yang berbobot, kecuali yang dilakukan dengan kecintaan kepada Ali, karena tidak ada nilai dan bobot (amal) bagi orang kafir dan munafik. Karena itu, hanya amal seorang mukmin yang mencintai Ali sajalah yang berbobot di hari penghitungan:

فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Adapun orang yang neraca amalnya berat dengan kecintaan kepada Ali: maka mereka adalah orang-orang yang beruntung.

وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ

Sedangkan orang yang timbangan amalnya ringan, karena mengikuti musuh-musuh Ali: mereka adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri. [3]

Sebab, mereka telah berpaling dari jalur kebenaran dan menzalimi keluarga Muhammad serta pengikut mereka.

Allah lalu menjadikan para pengikut Ali sebagai (anggota) partai Nya dan para musuhnya sebagai partai setan. Dia berfirman kepada iblis:

لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ

Adapun orang yang mengikutimu, maka Aku akan memenuhi neraka dengan kalian semua. [4]

Ini dikarenakan keselamatan di akhirat hanya ditentukan dengan iman, dan tiada iman kecuali dengan mencintai Ali. Orang yang memiliki iman sempurna (dengan kecintaan kepada Ali), namun tidak melakukan sebagian furu'(cabang agama), dia tetap mendapatkan rahmat dan syafaat. Dia akan masuk surga karena termasuk pengikut partai Allah. Sedangkan orang yang tidak berwilayah kepada Ali, tidak akan tercakup dalam rahmat Allah dan beroleh murka Nabi saw. Dia akan masuk neraka karena menjadi bagian dari partai setan.

Allah lalu menyebutkan bahwa orang yang mendustakan wilayâh Ali as akan kekal dalam neraka:

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ

Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, yakni Ali dan keluarganya, dan sombong terhadapnya,

هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

mereka adalah penghuni neraka dan kekal di dalamnya, [5] karena mereka tidak beriman, dan orang seperti ini kekal di neraka.

Allah memberikan berita gembira kepada para pecinta Ali bahwa mereka akan kekal di surga:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

Orang-orang yang beriman kepada Ali dan melakukan amal saleh di antara furu'uddin,

أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

mereka adalah penghuni surga dan kekal di dalamnya. [6] berkat iman dan amal saleh mereka.

Kemudian Allah menyebutkan bahwa orang-orang beriman akan memuji Tuhan mereka saat masuk surga, karena Dia telah membimbing mereka kepada kecintaan terhadap Ali:

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ ۖ

Mereka berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membimbing kami ke jalan ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk kalau bukan dengan bimbingan-Nya. [7]

Allah lalu menjadikan Ali sebagai muadzin (penyeru) [8] di hari kiamat, diantara surga dan neraka:

فَأَذَّنَ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ

Kemudian berserulah seorang penyeru di antara mereka, yakni Ali,

أَنْ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

bahwa laknat (Allah) atas orang-orang zalim yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menghendaki kebengkokan di dalamnya. Yakni, mereka menghalangi manusia, di dunia, dari kecintaan terhadap Ali dan pengikutnya, serta mengajak mereka mengikuti musuh-musuh Ali:

وَهُمْ بِالْآخِرَةِ كَافِرُونَ

dan mereka mengingkari akhirat. [9]

Kemudian Allah menjadikan Ali dan keturunannya sebagai a'raf (orang-orang yang dikena). Tiada yang bisa melewati shirath kecuali bila dia mengenal mereka dan mereka mengenalnya:

وَعَلَى الْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّا بِسِيمَاهُمْ

Di atas tempat-tempat tinggi itu ada orang-orang yang masing-masing dikenali dengan wajah-wajah mereka,  [10] yaitu Ali dan para imam dari keturunannya. [11]

Allah juga menjadikan orang yang mencintai Ali sebagai tanah yang baik dan musuhnya sebagai tanah yang buruk:

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ ۖ

Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh dengan subur dengan izin Allah.

Yakni, orang beriman menjadi baik dengan tauhid dan wilayah kepada Ahlul Bait. Hati dan amalnyapun baik:

وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ۚ

Sedangkan tanah yang buruk, maka tanamannya tumbuh merana. [12]

Yaitu, pada dasarnya dia sudah buruk, sehingga amal perbuatannya pun menjadi buruk. Kemudian, Allah berfirman:

كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ

Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kekuasaan Kami bagi kaum yang bersyukur. [13]

Yakni, mereka yang mengetahui karunia Allah atas mereka dan mengucapkan syukur kepada-Nya.

Lalu Allah menjadikan Muhammad dan Ali sebagai orang yang dimintai pertolongannya oleh setiap pendoa. Allah menceritakan tentang permohonan Musa:

رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي

Wahai Tuhanku, perlihatkan diri-Mu kepadaku. Allah berfirman, "Engkau tidak dapat melihat-Ku." [14]

Kemudian Allah melanjutkan:

فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ

Ketika Tuhannya menampakkan diri-Nya. [15]

Penampakan (tajalli) hanya(mungkin oleh) sesuatu yang berbentuk, dan sesuatu yang berbentuk tentu bisa dilihat. Lalu, bagaimana sesuatu yang bisa dilihat tidak bisa dilihat?

Jawabannya adalah bahwa Allah menjadikan tajalli bagi tuhan, dan tuhan adalah sebutan bagi lebih dari satu. Maka, yang dimaksud di sini adalah dengan menghapus mudhafnya (kata Tuhan). Ini berarti, maknanya adalah" ketika cahaya keagungan dan kebesaran Allah ditampakkan"

Dan kebesaran serta keagungan (disini) adalah Muhammad dan Ali.

Karena itu, Amirul Mukminin berkata, "Akulah yang berbicara dengan Musa dari balik pohon, akulah cahaya itu. Yang ditampakkan kepada Musa hanyalah sebagian kecil dari cahaya itu." [16]

Ibnu Abbas berkata, "Cahaya itu adalah cahaya Muhammad"

Kemudian Allah berfirman:

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

aku akan memalingkan wajah orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar.

وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا

Jika mereka melihat setiap tanda kekuasan-Ku berupa keluarga Muhammad saw mereka tidak beriman dengannya.

وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا

Bila mereka melihat jalan petunjuk, yaitu jalan keluarga Muhammad saw: mereka tidak menjadikannya sebagai jalan mereka.

Yang dikisahkan adalah Musa dan kaumnya, namun yang dimaksud adalah umat Muhammad. Karena itu, Allah berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا

Yang demikian itu karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami [17]

Yakni, mereka berpaling dari Ali dan keturunannya.

Allah kemudian menyebutkan permusuhan umat Muhammad saw terhadap khalifahnya. Dia mengisyaratkannya dengan kisah Musa dan kaumnya, serta ucapan Harun kepada saudaranya:

إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي

Sesungguhnya kaum ini menganggapku lemah dan mereka hampir membunuhku [18]

Rasul saw pernah bersabda kepada saudaranya, Ali, "Kedudukan-mu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. " [19]

Maksudnya, engkau memiliki kedudukan yang sama dengan Harun, kecuali kenabian. Saat aku tiada, engkau akan mengalami kejadian seperti yang dialami Harun ketika saudaranya tiada.

Dalam ayat ini, terdapat bantahan dan pembenaran; bantahan bagi orang munafik yang mengatakan bahwa Ali mampu, tetapi dia tidak mengambil haknya dari Abu Bakar.[20] Pembenaran bagi orang mukmin, yang mengatakan bahwa Ali dalam keadaan mazlum dan sendiri. Bila mampu mengambil haknya kembali, dia pasti melakukannya, karena menentang imam maksum tidak dibolehkan.

Allah menyebut musuh Ali dengan sebutan anak sapi, yang disembah kaum Musa ketika dia tidak ada:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ

Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak sapi sebagai sesembahan, yakni Abu Fashil, mereka akan mendapatkan murka dari Tuhan mereka," [21] karena mereka telah berpaling dari Amirul Mukminin.

Allah menyebut Ali sebagai cahaya yang diturunkan:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ

Orang-orang yang mengikuti nabi ummi...

وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ

dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya. [22]

Maksud cahaya itu adalah Amirul Mukminin Ali. [23]

Allah lalu menyebutkan bahwa musuh-musuh Ali, baik dari kalangan manusia ataupun jin, adalah penghuni neraka:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ

Dan Kami akan memenuhi Jahanam dengan banyak jin dan manusia. [24]

Mereka ditempatkan di neraka, karena cahaya hidayah telah diperlihatkan, namun mereka tidak menerimanya:

لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

mereka mempunyai hati yang tidak digunakan untuk berpikir, mata yang tidak digunakan untuk melihat, dan telinga yang tidak digunakan untuk mendengar. Mereka seperti hewan-hewan ternak, (dalam kesesatan  mereka,) bahkan lebih sesat. [25]

Sebab, mereka mempunyai akal sedangkan hewan tidak me milikinya.

Kemudian Allah menjadikan dia dan keturunannya sebagai Asma al-Husna:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ

Dan Allah memiliki Asma al-Husna, maka serulah Dia dengannya. [26]

Maksud Asma al-Husna adalah keluarga Muhammad saw [27]

Kemudian Allah berfirman:

وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ

Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran ketika menyebut nama-nama-Nya. [27]

Yakni, mereka yang mengikuti orang-orang yang bukan merupakan imam yang sebenarnya:

سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

mereka akan diganjar sesuai dengan apa yang mereka lakukan (pada hari kiamat.)

Allah menjadikan Ali sebagai petunjuk dan memberitahu nabi-Nya bahwa mereka tidak akan sepakat dengannya:

وَإِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَىٰ لَا يَسْمَعُوا ۖ وَتَرَاهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ

Dan jika engkau menyeru mereka kepada petunjuk, mereka tidak akan mendengar dan kau lihat mereka hanya memandangmu dengan marah ketika engkau memuliakan Ali:

وَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

Padahal mereka tidak melihat [28] karena  kedengkian terhadap keutamaan Ali atas mereka.

Kemudian Allah menjadikan Ali dan keturunannya sebagai bintang- bintang petunjuk:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagi kalian supaya kalian terbimbing dengannya dalam kegelapan darat dan laut. [29]

Ibnu Abbas berkata, "Bintang-bintang itu adalah keluarga Muhammad"

Rasulullah saw bersabda " bintang bintang ( keluarga Muhammad ) adalah pelindung penghuni langit Dan Ahlulbait ku adalah pelindung penghuni bumi " [30]

Catatan akhir

[1] al-A'raf: 181

[2] Ta'wil al-Ayat, jil. I, hal. 190 hadis ke-38; Kitab Sulaim, hal. 169-332; al-Wasail, jil

XXVII, hal. 50 hadis ke-33180

[3] al-A'raf: 8-9

[4] al-A'raf: 18

[5] al-A'raf: 36

[6] al-A'raf: 42

[7] al-A'raf: 43.

[8] Sebagaimana diriwayatkan dari beliau as. Lihat: Ma'ani al-Akhbar, hal. 59 diriwayatkan dari Imam al-Baqir as. Lihat: Raudhah al-Waidhin, hal. 105

[9] al-A'raf: 44-45

[10] al-A'raf: 46

[11]  Abu Abdillah as berkata, "Ibnu Kawwa datang menemui Amirul Mukminin as dan bertanya, 'Apa makna ayat : Di atas tempat-tempat tinggi itu ada orang orang yang masing-masing dikenali dengan wajah mereka?" Beliau menjawab "Kamilah yang dimaksud dengan ayat ini. Kami mengenal para pengikut kamidengan wajah-wajah mereka. Allah tidak akan dikenal kecuali dengan mengenal kami. Tidak ada orang yang masuk surga, kecuali bila kami mengenalnya dan dia mengenal kami, dan tidak ada yang masuk neraka, kecuali orang yang kami tolak dan menolak kami. Bila Allah menghendaki, Dia dapat mengenalkan

diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Namun, Dia menjadikan kami sebagai pintu dan jalan menuju kepada-Nya. Barangsiapa berpaling dari kami atau mengutamakan orang lain di atas kami, maka dia tidak akan dapat melewati Sirath. Tidak sama antara orang yang mengambil air keruh dari sumber selain kami dengan orang yang mengambil air dari sumber kami yang jernih dan tiada habis-habisnya." (Syarh Ushul al-Kafi, jil. V, hal. 144)

[12] al-A'raf: 58

[13] al-A'raf: 58.

[14] al-A'raf: 142.

[15] al-A'raf: 143

[16] Majma' al-Nurain, Marandi, hal. 50

[17] al-A'raf: 146

[18] al-A'raf: 150. Lihat: Ma'ani al-Akhbar, jil. XXX; dan al-Mustadrak , jil. XI, hal. 73

[19] Mahasin al-Barqi, jil. I, hal. 159 hadis ke-97; al-Kafi, jil. VIII, hal. 107; Shahih Muslim, jil. VII, hal. 120

[20] Dalam al-Imamah wa al-Siyasah, Ibnu Qutaibah meriwayatkan, "Ali bin Abi Thalib berkata, 'Demi Allah, tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa kaum Arablah yang menghalangiku. Tidak ada yang menghalangiku, kecuali perhatian orang-orang kepada Abu Bakar. Maka, aku menahan diri, meski aku melihat diriku lebih berhak dengan maqam Muhammad dari siapapun di dunia ini.. Aku khawatir bila aku tidak menolong Islam, maka akan terjadi kekacauan dalam tubuh Islam, dan musibahnya akan lebih besar dari kehilangan maqam khilafah yang hanya berlangsung sebentar saja."(al-Imamah wa al-Siyasah, jil. I, hal. 175 cet. Beirut tahun 1378 bab "Perang Shiffin")

[21] al-A'raf: 152

[22] al-A'raf: 157

[23] Imam al-Shadiq as berkata, "Maksud cahaya dalam ayat ini adalah Amirul Mukminin." (al-Kafi, jil. I, hal. 94 hadis ke-2).

[24] al-A'raf: 179

[25] al-A'raf: 179

[26] Rasul saw bersabda, "Ketahuilah bahwa Ali dan keturunannya adalah kalimat Allah yang tertinggi dan tali-Nya yang kokoh serta asma-asma-Nya. Perumpamaan mereka seperti kapal Nuh. Barangsiapa menaikinya, maka dia akan selamat." (Masyariq Anwar al-Yaqin, hal. 91) Amirul Mukminin as berkata Aku adalah Asma al-Husna yang Allah memerintahkan hamba-hamba untuk berdoa dengannya." (al-Masyariq hal. 268; Syarh Dua al-Jausyan dan al-Anwar al Nu'maniyah, jil. I, hal. 100) Imam al-Shadiq as berkata, "Kami adalah Asma al

Husna. Allah tidak akan menerima suatu amal apapun dari hamba-Nya kecuali dengan mengenal kami." (Ushul al-Kafi, jil. I, hal. 143; al-Tauhid, hadis ke-4; Tafsir Ayyasyi, jil. II, hal. 42 hadis ke-119; al-Burhan, jil. II, hal. 52) Riwayat senada juga driwayatkan dari Imam al-Baqir as. (Bihar al-Anwar, jil. XXV, hal. 4 hadis ke-7) Amirul Mukminin as berkata, "Aku lebih mengetahui jalur-jalur langit ketimbang jalur-jalur bumi. Kami adalah Asma al-Husna yang bila seseorang berdoa dengannya, maka Allah akan mengabulkannya. Kami adalah asma-asma yang tertulis di 'Arsy. Allah menciptakan langit, bumi, 'Arsy, Kursi, surga, dan neraka

karena kami. Para malaikat belajar bertasbih, tahmid, tahlil, dan takbir dari kami." (Bihar al-Anwar, jil. XXVII, hal. 38 hadis ke-5) Syaikh Mufid meriwayatkan ucapan Imam al-Ridha as, "Bila kalian ditimpa musibah, mintalah bantuan kepada Allah dengan perantaraan kami. Inilah makna dari firman Allah memiliki Asma al-Husna, maka serulah Dia dengannya." (al-Ikhtishash, hal. 252) Dalam Uyun Akhbar disebutkan bahwa Amirul Mukminin as melewati sebuah jalan, dan seorang penduduk Khaibar mengiringinya. Mereka kemudian sampai

di sebuah sungai yang deras. Orang Khaibar itu lalu menaiki sarung (pakaian)nya dan menyeberangi sungai. Dia lalu berkata kepada Amirul Mukminin as, "Wahai Fulan, kalau engkau memiliki hal yang sama denganku engkau pasti dapat menyeberangi sungai sepertiku." Imam as berkata Tetaplah di tempatmu." Kemudian, beliau memasukkan tangannya ke dalam air hingga air itu membeku dan beliau menyeberang di atasnya. Melihat

orang Khaibar itu menjatuhkan dirinya di hadapan kaki Imam dan bertanya Apa yang engkau katakan kepada air ini, sehingga ia membeku?" "Apa yang kau katakan, sehingga kau bisa menyeberang?" tanya Imam as. "Aku berdoa kepada Allah dengan asma-Nya." "Apa asma itu?" "Aku berdoa dengan nama Washi Muhammad." "Akulah washi Muhammad," kata Imam as. Orang Khaibar itu lalu berkata, "Benar apa yang kau katakan." Dia pun lalu masuk Islam.

(Masyariq Anwar al-Yaqin, hal. 172-173) Kisah yang senada adalah apa yang terjadi antara Amirul Mukminin as dengan Ammar, ketika mengubah batu menjadi emas hingga Imam berkata, "Berdoalah kepada Allah dengan namaki sampai emas ini menjadi lunak, karena Allah melunakkan besi di tangan Daud dengan namaku." (Masyariq Anwar al-Yaqin, hal. 173) Beliau juga berkata, "Segala sesuatu tercipta dengan namaku." (Masyariq Anwar al-Yaqin, hal. 159) Hal ini diperkuat fakta bahwa mereka adalah kekuasaan Allah, seperti yang diriwayatkan dari Imam al-Shadiq as. (al-Hidayah al-Kubra, hal. 434) Kaf'ami dalam Doa Najah meriwayatkan, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan asma-Mu yang terbesar, yang langit dan bumi tegak berdiri dengannya, dan dengannya Engkau menghidupkan orang mati serta memberikan rezeki kepada orang yang hidup." (al-Balad al-Amin, jil. XVII; Bihar al-Anwar, jil. LXXXVI, hal 75 hadis ke-10) Dalam al-Mishbah disebutkan doa Imam al-Shadiq as, "Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan asma-Mu, yang dengannya Engkau ciptakan berbagai keajaiban semesta, dengan kedermawanan keindahan wajah-Mu dan aku memohon kepada-Mu dengan asma-Mu, yang dengannya Engkau ber-tajalli kepada Musa di atas gunung. Ketika cahaya tersingkap dari balik hijab keagungan-Mu, Engkau teguhkan makrifah-Mu dalam hati 'urafa dengan makrifat tauhid-Mu ( misbah al-Mutahajjid hal. 301) diriwayatkan dari amirul Mukminin as, "Aku memohon kepada-Mu dengan asama Mu yang dengannya Engkau menjaga gunung berada di atas kepala mereka seperti peneduh bagi mereka." (al-Duru' al-Waqiyah, Ibnu Thawus, hal. 238; Bihar, XCVII, hal. 218) Dalam doa harian disebutkan, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan Asma-Mu, yang Kau jalankan takdir dengannya, dan yang dengannya orang dapat berjalan di permukaan air, seperti berjalan di atas bumi. Aku memohon kepada Mu dengan asma-Mu, yang membuat kaki para malaikat bergetar (Al dad al-Qawiyah, Hilli, hal. 305, Bihar, XCVII, hal. 283)

[27] al-A'raf: 180

[28] al-A'raf: 198

[29] al-A'raf: 97

[30] Uyun Akhbar al-Ridha, jil. I, hal. 530; Yanabi' al-Mawaddah, jil. I, hal. 71; Manaqib al-Imam Ali as, jil. I, hal. 343. Hakim meriwayatkan hadis ini dan berkomentar Ini adalah hadis sahih yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Rasul saw dengan redaksi demikian, 'Bintang-bintang adalah pelindung penghuni bumi supaya mereka tidak tenggelam, sedangkan Ahlul Baitku adalah pelindung umatku dari perpecahan. Bila ada satu kabilah Arab yang menentang Ahlul Baitku mereka akan bertikai dan menjadi pengikut partai setan.'" (Mustadrak al Shahihain, jil. III, hal. 149; Manaqib Ahlul Bait dari kitab al-Ma'rifah dan Kanzal Ummal, jil. XII, hal. 102 hadis ke-34189) Hakim juga meriwayatkan dari Muhammad bin Munkadir, dari ayahnya, dari Nabi saw dalam hadisnya tentang shalat, "...Kemudian Nabi saw mengangkat kepalanya ke langit dan bersabda Bintang-bintang adalah pelindung penghuni langit. Bila bintang-bintang telah menghilang, maka sesuatu yang telah dijanjikan kepada mereka akan datang Aku adalah pelindung para sahabatku. Bila aku meninggal, maka sesuatu yang Dijanjikan kepada mereka akan datang. Ahlul Baitku adalah pelindung penghuni bumi. Bila Ahlul Baitku telah pergi, maka sesuatu yang dijanjikan kepada mereka akan datang menimpa." (Mustadrak al-Shahihain, jil. III, hal. 457 bab Keutamaan Munkadir") Ibnu Mudhaffar meriwayatkan dari Anas, dari Nabi saw, "Bintang adalah pelindung penghuni langit dan Ahlul Baitku adalah

pelindung penghuni bumi. Bila Ahlul Baitku telah pergi, maka penduduk bumi akan didatangi sesuatu yang diancamkan kepada mereka." (Jawahir al-Aqdain hal. 259 bab ke 5 ) amirul mukminin as berkata " ketahuilah  perumpamaan keluarga Muhammad saw seperti bintang-bintang di langit. Bila satu bintang tenggelam, maka akan muncul bintang lain." (Syarh Nahj al-Balaghah jil VII hal. 84 khutbah ke 99 )

Imam hasan as dalam khutbah pertamanya setelah dibaiat berkata, "Kami adalah para imam muslimin dan hujah Allah di semesta. Kami adalah pelindung penghuni bumi sebagaimana bintang adalah pelindung penghuni langit berkat kami , hujan turun atas kalian dan bumi mengeluarkan berkahnya semua penghuninya." (Ahlul Bait, Taufiq, hal. 73) Imam al-Baqir as berkata kami adalah pelita bagi orang yang mencari penerang ; kami adalah jalan bagi orang yang mengikuti kami dan berkat kamilah Allah menurunkan rahmat Nya atas kalian berkat kami Dia menurunkan hujan dan melindungi kalian dari azab " ( faraid al simthain jil II Hal. 254 hadia ke 523)  Dalam sebuah riwayat disebutkan " kami adalah pelindung penghuni langit dan bumi Bila bukan karena kami niscaya bumi akan menelan penghuni nya  (Masyariq Anwar al-Yaqin, hal 56)

Dailami  meriwayatkan dari Laits, "Allah mencegah hujan dan turunnya berkah kepada umat ini karena mereka membenci Ali bin Abi Thalib." (al Firdaus, jil. I, hal. 344 hadis ke-1374 cet. Dar al-Kutub dan hal. 421 hadis ke-1380 cet. Dar al-Kitab al-Arabi)

Mereka berada di puncak kesempurnaan

Merekalah pemilik pengetahuan dan kemuliaan

Mereka adalah bahtera penyelamat

Saat ombak kesesatan mengguncang umat

Merekalah pelindung dari tenggelam

Dan benteng umat dari kesukaran

(Rasyfah al-Shadi, hal. 5 cet. Beirut)

Suatu hari, Rasul saw menggandeng tangan al-Hasan dan al-Husain, lalu bersabda, "Aku adalah utusan Allah, dan dua anak ini adalah cucuku dan cahaya mataku. Barangsiapa mencintai mereka, ayah, dan ibu mereka, akan bersamaku di hari kiamat kelak. Allah telah mengutus 124 ribu nabi dan tanpa bermaksud sombong-aku adalah yang paling mulia di antara mereka  Ali juga yang paling utama di antara 124 ribu washi. Kelak, Allah akan membangkitkan orang-orang yang wajah mereka bersinar bak cahaya dan berpakaian dari cahaya, yang akan berada di bawah naungan 'Arsy. Mereka sederajat dengan para nabi, walaupun mereka bukan nabi, dan sederajat dengan para syuhada, walaupun mereka bukan syuhada." Salah seorang sahabat bertanya, "Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah?" "Tidak," jawab Rasul. Orang lain berkata, "Aku termasuk dari mereka?" Beliau berkata, "Engkau juga bukan di antara mereka." "Lalu, siapakah mereka, wahai Rasulullah?" Beliau lalu meletakkan tangannya di atas pundak Ali dan berkata, Mereka adalah Ali dan pengikutnya. Ketahuilah bahwa Ali dan keturunannya adalah kalimat Allah yang tertinggi dan asma-Nya. Perumpamaan mereka seperti bahtera Nuh, barangsiapa menaikinya, maka dia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan binasa. Mereka ibarat bintang-bintang di tengah umatku. Setiap kali satu bintang tenggelam, maka akan muncul bintang yang lain. Ketahuilah bahwa Islam dibangun di atas lima hal; yaitu shalat, zakat puasa, haji, dan wilayah Ali bin Abi Thalib. Seseorang tidak akan masuk surga hingga dia mencintai Allah, Rasul Nya, dan Ali bin Abi Thalib serta keluarganya. (Masyariq, hal. 91, Bihar al-Anwar, jil. XXIII, hal. 125 hadis ke-53 dan jil. LXVIII, hal. 376 hadis ke-22)

Senin, 09 Oktober 2017

Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat

Sastra Jendra Hayuningrat. Satu ilmu yang menjelaskan tentang rahasia alam semesta, yang tidak bisa diketahui oleh sembarang makhluk, baik di daratan, lautan maupun angkasa raya.

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini sesungguhnya berasal dari Tuhan yang isinya merupakan wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Ilmu ini juga merupakan rahasia dari agama dan dapat menyelamatkan siapapun (manusia dan alam semesta) dari berbagai marabahaya. Lalu dari sudut pandang bahasa, maka kata Sastra Jendra Hayuningrat itu berasal dari kata “Sastra” berarti tulis, ilmu atau kitab, “Jendra” yang berarti milik raja atau diidentikan dengan Tuhan, dan “Hayuningrat” yang berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sehingga dari kata-kata itu maka bisa disimpulkan bahwa Sastra Jendra Hayuningrat itu berarti ilmu dari Tuhan yang berguna untuk keselamatan manusia dan alam semesta.

Dari sudut pandang kebatinan Jawa, maka makna dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini di tuangkan dalam berbagai falsafah. Di antaranya:

1. Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah (ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan atau berasal dari Tuhan Yang Maha Esa).
2. Pangruwating barang sakalir (dapat membebaskan dan menyelamatkan segala sesuatu).
3. Kawruh tan wonten malih (tiada ilmu pengetahuan lain lagi yang dapat dicapai oleh manusia).
4. Pungkas-pungkasaning kawruh (ujung dari segala ilmu pengetahuan atau setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi).
5. Sastradi (ilmu yang luhur).

Jadi, ilmu Sastra Jendra Hayuningrat atau lebih lengkapnya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu yang menjadi kunci bagi seseorang untuk dapat memahami isi dari indraloka – pusat tubuh manusia – yang berada di dalam rongga dada, yaitu pintu gerbang atau kunci rasa sejati yang bersifat gaib. Maka dari itu, ilmu Sastra Jendera Hayuningrat ini adalah sebagai sarana “pemusnah” segala bahaya. Sebab segalanya sudah tercakup di dalam ilmu Sastra Utama ini, puncak dari segala macam ilmu.

Ilmu sastra jendra hayuningrat pangruwating dhiyu

Ya. Dahulu kala, saat raksasa atau segala hewan seisi hutan mengetahui arti dari Sastra Jendra, mereka akan terbebas dari segala petaka, sempurna kematiannya, sementara ruhnya pun akan berkumpul dengan ruh golongan manusia linuwih (mumpuni). Sementara manusia yang telah sempurna dalam menguasai ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini, apabila ia mati, maka ruhnya akan berkumpul dengan para dewa dan orang suci.

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disebut juga dengan Sastra Cetho. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, dan keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu, ilmu Sastra Jendra ini disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya. Jadi, tugas dari Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini ialah sebagai jalan atau cara untuk bisa mencapai kesempurnaan hidup yang sejati.

Wahai saudaraku. Dahulu, untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau perilaku khusus. Dalam hal ini berarti suksma, jiwa dan rahsa-nya juga harus bisa manunggal (menyatu). Adapun di antara caranya adalah sebagai berikut:

1. Ngrowot : Hanya makan sayuran tanpa garam atau gula dan cukup minum air putih.
2. Mutih : Hanya makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga, termasuk garam dan gula. Boleh minum air, itu pun harus terus dikurangi volumenya.
3. Sirik : Menjauhkan diri dari segala macam urusan keduniawian.
4. Ngebleng : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa) dan tidak tidur selama kurun waktu tertentu. Disini seseorang juga melakukan semedhi (meditasi).
5. Patigeni : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa), di tambah dengan tidak tidur dan tidak terkena cahaya (api, matahari) dalam kurun waktu tertentu. Lalu selama melakukan patigeni ini seseorang juga terus ber-semedhi (meditasi).
6. Tapa brata : Setelah ke lima laku tirakat di atas dijalani dengan tekun, selanjutnya seseorang baru akan siap melakukan tapa brata secara terus menerus tanpa makan, minum, dan bergerak di suatu tempat khusus – biasanya di alam bebas seperti goa, puncak gunung, hutan, dan air terjun. Pada saat semedhi itulah, jika ia berhasil seseorang akan mendapatkan ilham atau wisik goib.

semedhi

Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus dilakukan apabila seseorang ingin mencapai tataran hidup yang sempurna. Semuanya harus dilakukan dengan kerendahan hati dan penuh kesadaran, alias tanpa ada paksaan atau karena ajakan seseorang. Adapun di antara yaitu:

1. Tapaning jasad
Sikap ini berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Disini seseorang seharusnya jangan merasa iri, dengki, sakit hati atau menaruh dendam kepada siapapun. Segala sesuatu itu, baik ataupun buruk, harus bisa diterima dengan kesungguhan hati dan sikap yang ikhlas.

2. Tapaning hawa nafsu
Sikap ini berarti mengendalikan hawa nafsu atau sifat angkara murka yang ada di dalam diri pribadi. Pada tahap ini seseorang itu hendaknya selalu bersikap sabar, ikhlas, murah hati, berperasaan mendalam (tenggang rasa, welas asih), suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ia juga sudah bisa memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta berada dalam kewaspadaan (hening).

3. Tapaning budi
Sikap ini berarti selalu mengingkari perbuatan yang hina, tercela dan segala hal yang bersifat tidak jujur (munafik). Pada tahap ini, seseorang itu harusnya sudah berbudi pekerti yang luhur, memiliki sopan santun, sikap rendah hati dan tidak sombong, tidak pamer dan pamrih, serta selalu berusaha untuk bisa berbuat baik kepada siapapun.

4. Tapaning suksma
Sikap ini berarti memenangkan jiwanya. Jadi pada tahapan ini hendaknya kedermawanan seseorang itu diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan khusus, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi siapapun. Singkat kata, ia tidak lagi pernah menyinggung perasaan orang lain.

5. Tapaning cahyo
Sikap ini berarti seseorang itu selalu eling lan waspodho (ingat dan waspada) serta mempunyai daya meramal/memprediksikan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk, karena keadaan cemerlanglah yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar (tidak jelas) dan saru (tidak baik, tidak sopan, tidak tepat, tercela) menjadi jelas. Lagi pula setiap kegiatannya harus selalu ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan umum. Jauh dari urusan materi duniawi.

6. Tapaning gesang
Sikap ini berarti selalu berusaha sekuat tenaga dan hati-hati untuk bisa menuju pada kesempurnaan hidup. Hal ini bisa terjadi, ketika seseorang sudah melalui ke lima jenis tapa sebelumnya. Dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disini adalah yang paling utama, mengingat hanya dari Tuhanlah kebenaran yang mutlak itu berasal.

Wahai saudaraku. Di karenakan jalan atau cara dalam menguasai ilmu Sastra Jendra ini berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka ilmu ini juga dinamakan sebagai “Benih seluruh alam semesta”. Itu terjadi karena ilmu puncak ini bisa dibilang juga sebagai kunci untuk dapat memahami isi dari Rasa Sejati. Dimana untuk bisa mencapainya, maka diperlukan sesuatu yang luhur dan perbuatan yang mutlak sesuai dengan kebenaran Tuhan. Silahkan juga baca artikel berikut: Proses penciptaan dalam kebatinan jawa dan Keseimbangan diri manusia dan pengaruhnya terhadap bencana alam dan perang kosmik.

Ya. Rasa Sejati itu melambangkan jiwa atau badan halus ataupun nafsu sifat di setiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang kuat ke arah yang baik maupun yang buruk atau jahat. Di antara nafsu sifat itu ialah; Lauwamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya suatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan, korupsi dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya), dimana sifat ini akan selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak baik.

1. Kisah turunnya ilmu Sastra Jendra Hayuningrat kepada manusia
Dahulu kala, tersebutlah seorang manusia pilihan yang bernama Wisrawa. Sosok ini menjadi lambang guru yang memberikan wejangan ngelmu Sastra Jendra kepada umat manusia. Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai makhluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerimanya sebagai isteri. Lalu Bhatari Uma di sumpah (di kutuk) menjadi raksesi oleh Bhatara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Bhatari Uma dengan Bhatara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “Bhatara Kala“ (kala berarti keburukan atau kejahatan).

Melalui ilmu Sastra Jendra ini, maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki oleh manusia akan diubah menjadi sifat-sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian makhluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran Diri-Nya. Filosof Timur Tengah seperti Al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari zat hara dan berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya, namun manusia memiliki sifat-sifat yang mampu menjadi khalifah (pemimpin di dunia).

Itulah keunggulan dari ilmu Santra Jendar ini. Namun oleh para dewata ilmu ini hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa, seorang satria berwatak resi yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga mereka memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Selain itu Wisrawa adalah sosok yang juga memiliki sifat yang mampu membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan gemar berbagi ilmu dengan cara yang bijak. Sebelum “madeg pandito“ (menjadi seorang resi), Wisrawa telah lengser keprabon dan menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Danaraja. Sejak itu sang resi gemar bertapa untuk bisa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi. Kebiasaan ini membuat Wisrawa tidak saja dicintai oleh manusia namun juga para dewata.

Begawan Wisrawa ini bukan orang sembarangan. Ia keturunan orang-orang hebat, bahkan sebenarnya masih ada hubungan langsung dengan Bhatara Guru, raja para dewa di kahyangan. Karena itulah, tidak heran jika ia bisa mendapatkan anugerah ilmu Sastra Jendra Hayuningrat yang luar biasa itu. Berikut ini silsilah keluarganya:

Silsilah-Rala-raja-Alengka

Kisah pun berlanjut. Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah ilmu Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Bhatara Guru, raja para dewa di Kahyangan. “Duh sang Bhatara agung, kalau boleh kami mengetahuinya, siapa yang akan menerima Sastra Jendra?” Bhatara guru menjawab: “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa“. Serentak para dewata bertanya: “Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya? Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua?” Kemudian sebagian dewata juga berkata: “Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia?“.

Seolah menegur para dewata, sang Bhatara menjawab; “Hee para dewa, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan kepada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah?“. Serentak para dewata menunduk malu dan berkata; “Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Setelah itu, Bhatara Guru turun ke mayapada (Bumi) dan didampingi Bhatara Narada untuk memberikan serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

wayang para dewa

Sebelum memberikannya, sang Bhatara berkata: “Anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan untuk memberikan amanah Serat Sastra Jendra ini kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”. Mendengar hal itu, menangislah sang Begawan. Ia pun berkata: “Ampun sang Bhatara Agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini“. Yang di balas oleh Bhatara Narada dengan mengatakan: “Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu itu ada tiga. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata, karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik“. Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata itu kembali ke khayangan.

Setelah menerima anugerah Sastra Jendra, maka sejak saat itu berbondong-bondonglah orang dari seluruh satria, pendeta, dan cerdik pandai mendatangi sang begawan untuk minta diberi wejangan tentang ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa untuk melamar sebagai cantrik disana. Tujuannya tentu untuk bisa mendapatkan ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa, karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para brahmana, sarjana, dan satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih saja yang mampu menerima ajaran itu.

Demikianlah pemaparan singkat tentang kisah turunnya ilmu Sastra Jendra Hayuningrat kepada manusia, dalam hal ini Begawan Wisrawa. Ini adalah puncak ilmu Jawa yang adi luhung, tidak bersifat primordial karena bersifat universal. Ia juga berlaku bagi seluruh makhluk yang hidup di dunia ini sampai kapanpun.

2. Bencana akibat menyalahgunakan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke-19 atau tepatnya tahun 1820. Naskah itu dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan dalam kitab itu diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26 yang berbunyi:

“Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya, karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Hayuingrat itu adalah pangruwat segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, dan sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada di hutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Bhatara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra, maka nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia”

Jadi, ajaran “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik dan angker gaib kalau salah digunakan, bisa mendapat malapetaka yang besar. Dan konon diceritakan bahwa ilmu Sastra Jendra ini pernah dijabarkan oleh Begawan Wisrawa. Saat itu, karena ingin membahagiakan anaknya ia terpaksa mengikuti sebuah sayembara di kerajaan Alengka, yang ketika itu dipimpin oleh Prabu Sumali. Sayembara tersebut untuk bisa meminang seorang putri yang bernama Dewi Sukesi. Dalam sayembara itu diputuskan bahwa siapapun akan menikah dengan sang putri asalkan ia mampu mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti. Selain itu, ia juga harus bisa pula menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu secara lengkap.

Singkat cerita, ilmu Sastra Jendra ini tidak bisa sembarang dijabarkan, ia harus disampaikan secara rahasia kepada seorang saja, yang dalam hal ini adalah Dewi Sukesi sendiri. Tapi sebelum wejangan ilmu Sastra Jendra mulai diajarkan kepada Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa memberikan sekilas penjelasan tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Begawan Wisrawa berkata lembut; “Bahwa seyogyanya tak usah terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti Sastra Jendra, maka ajaran ilmu Sastra Jendra itu adalah barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu, yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya itu di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur”.

Mendengar penjelasan itu, Prabu Sumali terperangah, hatinya menjadi sangat terpengaruh, tertegun dan dengan segera mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke dalam sanggar bersama Dewi Sukesi. Saat itu, wejangan dilakukan di dalam sanggar pemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi saja.

begawan wisrawa dan dewi sukesi

Tapi, saat wejangan tersebut dimulai, para Dewa di Kahyangan marah terhadap Begawan Wisrawa yang berani mengungkapkan ilmu rahasia alam semesta yang selama ini merupakan ilmu yang di monopoli para dewa. Para Dewa sangat berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke manusia. Karena apabila hal itu terjadi, apalagi jika pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia akan menjadi makhluk sempurna dimata Penciptanya. Dewata tidak dapat membiarkan hal itu terjadi, karena manusia harus tetap pada kodratnya, yaitu makhluk yang harus menjalankan tugas dan amanah dengan membuktikan kemampuan sejatinya, yaitu berjuang keras menerima ujian hidup. Maka digoncangkanlah oleh mereka seluruh penjuru dunia. Bumi terasa mendidih, dan alam pun terguncang-guncang. Prahara besar melanda seisi alam. Apapun mereka (para dewa) lakukan agar ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jabarkan terang-terangan. Ingat! Sebelumnya ilmu itu hanya diturunkan kepada Begawan Wisrawa dengan catatan untuk disebarkan hikmahnya saja, bukan perkalimat yang ada dalam seratnya. Itupun tidak bisa semuanya sekaligus kepada satu orang.

Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh Dewi Sukesi dan itu tidak bisa lagi dihindari. Karena itu, agar tidak terungkap di alam manusia, maka Bhatara Guru langsung turun tangan dan berusaha agar ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para dewa. Sebagiannya saja boleh dimiliki oleh manusia.

Dengan niat tersebut, Bhatara Guru pun turun ke Bumi dan masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi. Dibuatnya Dewi Sukesi menjadi tergoda pada Resi Wisrawa. Dalam waktu singkat, Dewi Sukesi mulai tergoda untuk mendekati Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus menguraikan ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru terpental keluar dari raga Dewi Sukesi. Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja. Dipanggilnya Dewi Uma yang merupakan permaisurinya untuk ikut turun ke Bumi. Bhatara Guru lalu masuk (menyatu raga) dalam tubuh Begawan Wisrawa, sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.

Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan oleh Begawan Wisrawa, datanglah satu cobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang menyelundup masuk ke dalam tubuh sang Begawan dan Bhatari Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi membangkitkan nafsu keduanya. Godaan saat itu demikian dahsyatnya. Membuat kedua insan manusia ini lalu terserang api asmara dan keduanya dirangsang oleh nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin tinggi. Sehingga pada akhirnya, tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dan terjadilah hubungan badan yang nantinya akan membuahkan kandungan. Begawan Wisrawa lupa bahwa ia pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil dari anaknya saja. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum wejangan Sastra Jendra selesai, maka terjadilah hubungan intim terlarang antara Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Hal ini langsung merusak dan menodai kesucian dari ilmu Sastra Jendar Hayuningrat yang telah ia dapatkan.

Setelah berhasil menggagalkan untuk sempurnanya penjabaran ilmu Sastra Jendra, Bathara Guru dan Dewi Uma segera meninggalkan Bumi. Sadar akan segala perbuatannya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi menangis tersedu, menyesali yang telah terjadi. Namun segalanya sudah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan, bahkan ternodai perzinahan. Dan hasil dari segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah sebuah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka besar bagi dunia dikemudian hari. Tetapi apapun hasilnya harus dilalui. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi menjelaskan apa adanya kepada Prabu Sumali. Awalnya sang prabu sangat kecewa, tapi dengan arif ia bisa menerima kenyataan yang sudah terjadi. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi lalu dinikahkan, dan seluruh sayembara pun ditutup.

Jadi, dari kisah itu maka Begawan Wisrawa telah melanggar kesakralan ngelmu Sastra Jendra. Ia tidak kuat menahan nafsu syahwat kepada Dewi Sukesi. Dan akibat dari dosa-dosanya itu, maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni; Dasamuka/Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Sementara anak bungsunya kelak yang diberi nama Gunawan Wibisana lahir sempurna sebagai manusia. Itu bisa terjadi karena setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa melakukan penebusan dengan bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat kesungguhan tapa bratanya itu, maka lahir anak kedua, ketiga dan ke empat yang semakin sempurna. Laku hidup Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya itu, akhirnya menghasilkan anak-anak yang semakin sempurna dan menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yang tidak mudah, yakni Syariat, Tarikat, Hakekat, dan Makrifat.

Lebih jelasnya, ke empat anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda dan unik. Di antaranya:

1. Rahwana/Dasamuka (raksasa). Ia mempunyai perangai yang jahat, bengis, serakah dan angkara murka ini sebagai simbol dari nafsu lauwamah.

2. Sarpakenaka (raksasa wanita setengah manusia). Ia memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, senang mengumbar syahwat, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

3. Kumbakarna (raksasa). Ia mempunyai karakter raksasa yakni bodoh tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka yang serakah. Kumbakarna menjadi lambang dari nafsu amarah.

4. Gunawan Wibisana (manusia seutuhnya). Ia mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia selalu berpegang pada kebenaran dan rela meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah. Ia lalu mengabdi kepada Sri Rama untuk membela kebenaran. Karena itulah, ia pun menjadi perlambang dari nafsu mutmainah (nafsu yang baik).

Sementara itu, dari sifat-sifat anak Begawan Wisrawa di atas, maka kita pun diingatkan bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tatarannya. Yaitu:

1. Syariat : dalam falsafah Jawa syariat ini memiliki makna yang sepadan dengan Sembah Raga.
2. Tarikat : dimaknai sebagai Sembah Kalbu.
3. Hakikat : dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4. Makrifat : dalam falsafah Jawa makrifat ini merupakan tataran yang tertinggi karena sebagai Sembah Rasa atau sir (sirullah).

3. Lahirnya Rahwana (biang kehancuran dunia)
Berbulan-bulan di Lokapala, Prabu Danaraja menunggu datangnya sang ayah yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah mendengar kabar bahwa sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh ayahnya. Sampai suatu saat Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi sampai di Lokapala. Dengan sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah yang kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang itu tampak pudar. Melihat itu Danaraja merasa tak nyaman, kemudian bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya, Wisrawa menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan secara terus terang mengakui segala dosa dan kesalahannya. Namun kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang amat teramat fatal dimata Danaraja. Mendengar penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat kecewa dan marah besar. Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya itu tega melukai hati putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung. Danaraja lalu mengusir kedua suami-istri tersebut keluar dari negara Lokapala. Akhirnya dengan penuh duka, sepasang suami istri itu kembali ke negara Alengka.

Dalam perjalanan kembali menuju Alengka, Dewi Sukesi yang sudah mulai hamil itu tidak dapat berbuat banyak. Tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga tampak kuyu dan pucat. Setelah berbulan-bulan menempuh perjalanan yang melelahkan, tiba saatnya untuk melahirkan. Di tengah hutan belantara, Dewi Sukesi tak kuasa lagi menahan lahirnya sang bayi. Akhirnya lahirlah jabang bayi itu dalam bentuk gumpalan daging, darah dan kuku. Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa sangat terkejut. Gumpalan itu bergerak keluar dari rahim sang ibu menuju ke dalam hutan. Kesalahan fatal dari dua orang manusia itu menyebabkan takdir yang demikian buruk terjadi. Gumpalan darah itu bergerak dan akhirnya menjelma menjadi seorang putra bayi laki-laki raksasa sebesar bukit. Tapi untunglah akhirnya ia bisa mengecilkan tubuhnya seukuran manusia biasa.

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya pada kehendak Sang Penguasa Alam. Anak pertamanya itu lahir ditengah hutan diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar, auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam mengiringi kelahiran bayi yang kemudian diberi nama Rahwana. Dengan kepasrahan yang mendalam, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi membawa anaknya itu ke Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu raksasa yang baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi membesarkan anak mereka itu dengan setulus hati dan rasa cinta.

Singkat cerita, satu persatu anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi pun lahir. Mereka melahirkan tiga anak lagi. Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana pun tampak semakin perkasa dan menonjol di antara kedua adik-adiknya. Kelakuannya pun kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma sebagai raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka selalu mencari pria, siapa saja, dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Tapi berbeda dengan kedua saudaranya, ia justru memiliki sifat dan pribadi yang baik. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri Kumbakarna.

rahwana 1

Menyaksikan hal itu, perasaan gundah dan sedih menggelayut relung hati Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang ke empat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau rakseksi?

Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Begawan Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, lalu ber-semedhi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati yang kini menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat kesempurnaan, Begawan Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk melakukan semedhi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Tuhan. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya ber-semedhi, doa permohonan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi pun diterima oleh Tuhan. Setelah bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada (dunia) dan menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi.

Dengan menitisnya Resi Wisnu Anjali, maka lahirlah dari kandungan Dewi Sukesi seorang bayi laki-laki yang berwajah sangat tampan. Dari dahinya memancar cahaya keputihan dan sinar matanya sangat jernih. Sebagai seorang brahmana yang sudah mencapai tatanan kesempurnaan, Begawan Wisrawa dapat membaca tanda-tanda tersebut, bahwa putra bungsunya itu kelak akan menjadi seorang satria yang cendekiawan serta berwatak arif bijaksana. Ia kelak akan menjadi seorang kesatria yang berwatak brahmana. Karena tanda-tanda tersebut, Begawan Wisrawa memberi nama putra bungsunya itu dengan nama Gunawan Wibisana. Dan karena wajahnya yang tampan dan budi pekertinya yang baik, Wibisana menjadi anak kesayangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dengan ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berwujud raksasa, Kumbakarna memiliki watak dan budi pekerti yang luhur, yang selalu berusaha mencari kesempurnaan hidup.

4. Akhir hidup yang tragis dari sang Begawan
Nun jauh di negara Lokapala, Prabu Danaraja masih memendam rasa amarah dan dendam yang sangat mendalam kepada ayahnya. Hingga detik itu, dia masih tidak dapat menerima perbuatan ayahnya yang dianggapnya telah mengkhianati dharma bhakti-nya sebagai anak. Sang Begawan sebagai ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah dengan tulus murni memberikan cinta dan kehormatan pada ayah kandungnya. Dan rasa itu benar-benar tak dapat ia tahan lagi, hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang sudah tidak bisa ditawar. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh bala tentara kerajaan Lokapala untuk menyerang kerajaan Alengka. Ia memimpin pasukan besar dan berusaha untuk bisa membunuh ayahnya sendiri yang menurutnya sudah tidak memiliki kehormatan. Alengka dan Lokapala akhirnya bentrok dalam perang besar. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana, yang ditujukan hanya untuk membalaskan dendam seorang anak kepada ayahnya.

perang tanding

Melihat itu, Begawan Wisrawa tidak bisa tinggal diam. Dalam hati ia berkata; “Ribuan nyawa prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang telah penuh dengan dosa”. Wisrawa pun segera turun ke tengah pertempuran dan menghentikan semuanya. Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya sendiri. Dengan mata penuh dendam, Danaraja lalu mengibaskan pedangnya ke tubuh Begawan Wisrawa. Darah pun mengucur deras, sang Begawan roboh di tengah-tengah para prajurit kedua negara. Sang Begawan bisa saja menghindar, tapi ia rela dibunuh oleh anaknya itu. Dan karena olah batinnya yang kuat, ia pun sudah tahu bahwa sudah saatnya ia harus meninggalkan dunia ini.

Melihat Begawan Wisrawa tewas dalam peperangan melawan Prabu Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk balas dendam. Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh Dewi Sukesi. Kepada ke empat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti yang bernama Rawarontek. Untuk dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Danaraja, terlebih dulu mereka harus pergi bertapa, mohon anugerah Tuhan agar diberikan kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja.

Dan berangkatlah mereka melaksanakan perintah ibunya itu. Selanjutnya, memang benar dikemudian hari Rahwana dan ketiga saudaranya itu bisa mendapatkan ilmu yang luarbiasa. Bahkan Rahwana sendiri mendapatkan ilmu yang sangat sakti dari Bhatara Brahma. Dengan ilmu itu Rahwana seolah-olah tiada tandingannya di muka Bumi. Akibatnya, ia semakin sombong, berperilaku biadab, senang berperang dan merebut istri orang. Hingga pada akhirnya ia harus menerima balasan yang setimpal oleh Sri Rama karena telah menculik istrinya, yaitu Dewi Sinta. Pada saat itu, kerusakan telah terjadi dimana-mana. Sebagai bukti nyata akan adanya dampak buruk bila ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disalah gunakan.

5. Kesimpulan
Sesungguhnya, inti dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat itu adalah untuk bisa menemukan dan menyatu kembali dengan Diri Sejati. Di antara cara yang bisa di lakukan adalah dengan melakoni tujuh tahapan tirakat hidup. Itu pun harus selalu dilakukan oleh seseorang, tanpa mengenal usia, kedudukan dan golongan. Dan yang tersebut di atas baru ada 6 tahapannya saja. Berarti masih ada satu tahapan lain yang belum disebutkan. Pertanyaannya adalah apakah tahapan yang terakhir itu?

Dari kisah Begawan Wisrawa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tahap terakhir yang di maksud adalah perbuatan kita itu sendiri selama hidup – disini berarti harus baik dan benar. Ini sebagai pembuktian rahasia alam jagad, dimana segala rasa ada disitu. Dan setiap orang itu harus selalu berpegang teguh pada kebenaran dan kepasrahan total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, keseimbangan dapat ditemukan bila manusia mampu memahami hakekat hidup dan keberadaannya di dunia ini. Menjalani segala aktivitas kehidupan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Menyadari bahwa hidupnya tidak berlangsung selamanya, sehingga harus dihiasi dengan kebaikan dan kemanfaatan. Pun, memahami bahwa tujuan akhir dari perjalanan hidup itu adalah kembali kepada Sang Pemilik Hidup untuk mempertanggungjawabkan segala tingkah polah semasa di dunia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sementara itu, kisah hidup Begawan Wisrawa adalah satu takdir yang ditetapkan oleh Tuhan agar menjadi pelajaran bagi siapapun, bahwa ilmu itu tidak cukup hanya sebatas dihapal saja, tetapi harus dipraktekkan dengan benar secara terus menerus. Tanpa hal itu, setinggi apapun ilmu yang dikuasai akan menjadi sia-sia. Seseorang harus tetap patuh pada aturan yang ada, jangan melanggar walaupun sedikit hanya demi mengikuti keinginan orang lain. Atau jangan pula mencoba-coba dan mendekati sesuatu yang kelak bisa mendatangkan malapetaka. Lebih baik menghindar saja dan tetap teguh dalam kebenaran.

Ya. Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah puncaknya ilmu Jawa. Karena disini secara lengkap ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu berarti wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau suksma sejati. Sehingga orang yang mendapatkan wejangan itu akan mendapat kesempurnaan, karena bisa menuntaskan ilmu Sedulur Papat Limo Pancer tingkat akhir.

Secara harfiah arti dari Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah berasal dari kata “Serat” yang berari ajaran, “Sastra Jendra” yang berarti ilmu mengenai raja, “Hayuningrat” yang berarti kedamaian, “Pangruwating” yang berarti memuliakan atau merubah menjadi baik, dan “Diyu” yang berarti raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan berarti harfiah raja, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yaitu mampu menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari semua kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau mengubah keburukan menjadi kebaikan. Artinya; bahwa Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu disini adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah keburukan dan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastra Jendra adalah ilmu makrifat yang menekankantentang sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan semua orang.

Untuk itu, Suksma Sejati itu ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan. Suksma sendiri tak berbeda dengan saat kedatangannya waktu dahulu (dari alam kelanggengan/keabadian), menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, sehingga persatuan kawula (hamba) dan (Pencipta) bisa terjadi. Dan manusia itu bagaikan wayang, sedangkan Tuhan adalah Dalang yang memainkan segala gerak gerik lakon cerita dan berkuasa atas segalanya – antara perpaduan kehendak. Dunia ini merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan cerita kehidupan makhluk. Bila seseorang mempelajari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, berarti ia harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya. Selain itu, ia juga harus dapat menguraikan tentang sejatining urip (sejatinya hidup), sejatining Panembah (sejatinya pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga dengan “innalillahi wa inna illaihi rojiuun“, kembali ke sisi Tuhan dengan tata cara hidup yang layak. Dan semua itu untuk mencapai budi pekerti yang suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan dari Sang Guru Sejati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

6. Penutup
Ya. Dari semua uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa sasaran utama mengetahui ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu adalah untuk mencapai kesempurnaan diri menuju ke kesempurnaan Tuhan. Dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut dengan “Kasidaning Parasadya atau pati prasida“, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. Karena ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu seolah-olah bisa menjadi jalan tol dalam menuju kesejatian dan kesempurnaan.

Untuk itu, bagi mereka yang mengamalkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, ia dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” utama yang berisi rapalan mantra dari Tuhan. Dengan rapal atau mantra itu, orang akan memahami isi indraloka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan menemukan Diri Yang Sejati; Dzat Yang Maha Esa dan bersifat gaib. Karena manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya, dan setelah berhasil ia kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa itu. Ini diistilahkan sebagai wujud dari Jumbuhing kawulo Gusti (hubungan serasi hamba dan Tuhan) atau Manunggaling kawulo Gusti (manunggalnya hamba dan Tuhan). Dimana hal ini tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci (sebagai lambang Tuhan). Saat itu pula Bima bisa menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri, karena ia telah mengenali hakekat dari Tuhannya.

Itulah inti sari dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dimana ilmu ini adalah sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia. Karena ilmu yang diperoleh dari laku makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang bisa dicapai dengan akal. Karena itu, marilah kita berusaha untuk bisa mencapainya, atau setidaknya terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa demi keselamatan dunia dan akherat.

Catatan: Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, dan nilai yang bersifat metafisis dan universal dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.

Sumber resmi :
https://oediku.wordpress.com/2016/03/15/ilmu-sastra-jendra-hayuningrat-puncak-ilmu-jawa/
Jambi, 15 Maret 2016

Referensi:

* Kisah Pedalangan

* https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jendra_Hayuningrat

* https://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/puncak-ilmu-kejawen/