Selasa, 28 Maret 2017

Pantat Inul adalah Wajah kita semua

Oleh : Emha Ainun Nadjib*

Di wilayah kerajaan dangdut, Inul adalah warganya sang Raja Dangdut, atau mungkin lebih intim kalau kita sebut anaknya Rhoma Irama. Ia berada dalam asuhan, ayoman, dan perlindungan bapaknya. Kalau si anak benar, bapak mensupport-nya. Kalau anak salah, bapak mengingatkannya. Kalau anak jaya, bapak bergembira. Kalau anak terpuruk, bapak menolongnya.

Apalagi ternyata anak-anak lain sebenarnya juga melakukan hal yang sama dengan Inul. Penyanyi-penyanyi dangdut yang lain, baik yang tampil di televisi, dan apalagi yang di luar itu-sejak Inul terkenal, setengah mati mencari pola-pola
joget yang diperkirakan bisa bersaing melawan Inul, yang produknya sama sekali tidak kalah sensual dibanding Inul.

Kosmos dangdut berguncang oleh kehadiran Inul. Konstelasi pentas dangdut berubah total oleh adanya Inul. Inul menjadi bintang gemintang dan yang lainnya menjadi figuran. Keindahan musikalitas dangdut menjadi sekunder karena yang primer adalah fenomena budaya ngebor yang dilansir oleh Inul.

Ngebor menantang lahirnya ngecor, ngezor, ngelor, ngedor… atau apapun.
“Ngebor” adalah “avant-garde” budaya dangdut.  Sesungguhnya apa yang dilakukan Inul adalah angka 9 dari 1,2,3… 6,7,8 yang sebelumnya secara bertahap dicapai oleh dinamika musik dan budaya dangdut.

Joget ngebor Inul adalah garda depan dari perkembangan panjang budaya joget dangdut. Ia bukan anak jadah. Ia anak yang normal, relevan, dan bahkan setia serta kreatif terhadap aspirasi budaya joget dangdut. Kalau Anda perhatikan atmosfer pentas dangdut, orang yang cerdas bahkan berani memastikan bahwa yang semacam Inul itu akan pasti lahir, lambat atau cepat.

Tidak ada yang aneh dengan Inul karena budaya joget yang berkembang dalam kultur dangdut memang sangat akomodatif terhadap jenis kultur semacam ini. Dan, mohon maaf, Pak Haji sejak awal kebangkitan dangdut memang tidak antisipatif terhadap fenomena ini. Pak Haji secara tidak sengaja ikut memupuknya sehingga mengherankan kalau seakan-akan sesudah hadirnya Inul beliau baru tahu tentang budaya goyang aurat dalam pentas dangdut.  Sudah lama Pak Haji terlibat dalam atmosfer goyang semacam itu dan tidak tampak merasa risi olehnya.

Awal tahun 1980-an saya pernah menulis tentang pentas dangdut yang diawali dengan tuturan ayat Quran atau hadis Nabi kemudian musik berbunyi dan penyanyinya menggoyang aurat, depan maupun belakang. Inul bahkan hanya mengolah aurat belakang, tidak terlalu membuat kaum lelaki pingsan sebagaimana kalau yang digoyang adalah bagian depan-yang biasanya dikomposisikan dengan mikrofon yang disodorkan tepat di depan kemaluan si penyanyi.

Sejak puluhan tahun lalu masyarakat terheran-heran oleh paradoks antara syair dakwah dangdut dengan praktik budaya joget dangdut. Pak Haji seakan-akan baru hari ini menjumpai fenomena itu. Dan, para pejoget dangdut yang lain seakan-akan suci dari tradisi budaya joget Inul.

Rekapitulasi nilai budaya dangdut Maka, yang saya bayangkan adalah sang Raja atau si bapak dangdut memanggil anak garda depan itu. Ia panggil juga semua anaknya yang lain.

Mungkin dinasihatinya, atau diajak berdiskusi, berunding, bersama-sama memproses dialog menuju keputusan bersama yang mewakili citra seluruh keluarga-kalau memang semua memandang bahwa atmosfer dunia dangdut harus mengalami perubahan.  Katakanlah mereka berpendapat bahwa perlu ada semacam rekapitulasi nilai budaya dangdut.

Kalau ternyata si anak bersikap egois, tidak bisa melakukan moderasi atau persuasi sama sekali, maka bapak dan seluruh keluarga tidak punya kemungkinan lain kecuali bersikap memisahkan diri dari si anak.

Saya tidak berada di Indonesia ketika kasus Inul-Rhoma ini meledak, juga tatkala saya menulis ini. Dengan demikian, saya tidak tahu persis bagaimana kronologinya. Tidak tahu apakah sudah terlebih dulu ada proses dialog masyarakat
dangdut dengan Inul, ataukah tiba-tiba saja masyarakat mendengar sikap Pak Haji Rhoma dan masyarakat dangdut terhadap Inul.

Tiba-tiba saja Rhoma dan masyarakat dangdut adalah sebuah pihak, dan Inul adalah pihak yang lain.  Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka kayaknya di sini letak ketergesaan dan kekurangarifan Pak Haji. Di dalam wilayah internal kerajaan dangdut, Inul tidak memperoleh hak runding, hak islah, hak mempertahankan pendapat, dan hak mendapatkan bimbingan.

Fokus gugatan bukan Inul Kekurangarifan yang lain adalah bahwa Inul dijadikan fokus jihadnya Pak Haji. “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk tergesa-gesa”, Allah berfirman. Dan, Pak Haji sungguh tergesa-gesa.

Kalau ada makanan beracun, Pak Haji, jangan melotot hanya pada makanan itu.  Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja yang nanti akan bergoyang kalau kita banting-banting itu makanan beracun.

Bahkan, Pak Haji, kalau ada sepiring nasi beracun, apakah nasi itu harus kita buang beserta piringnya sekalian, ataukah kita cari cara untuk membersihkan piring dan nasi dari racun sehingga yang kita musuhi dan buang hanyalah
racunnya?

Maka, sekali lagi, kalau ada makanan beracun, jangan sampai konsentrasi terhadap racun kalah besar dibanding perhatian terhadap makanannya.

Yang harus didiskusikan oleh Raja dan masyarakat dangdut bukan Inul, melainkan fenomena jogetnya. Bukan figurnya, melainkan keseniannya. Bukan orangnya, melainkan kriteria nilainya.
Sejak umur 10 tahun, di sekitar pertengahan tahun 1980-an, dari daerah Japanan, Jawa Timur, Inul sudah mulai show dan sudah dikenal banyak orang keistimewaannya dalam menggoyang badan dengan fokus pantatnya.   Kalangan-kalangan masyarakat kelas bawah di berbagai wilayah di Jawa Timur sudah tidak “pangling” dengan goyang Inul.

Dan, semua aktivitasnya itu relatif tidak mendapat halangan apa-apa. Karena latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyarakat kita pada dasarnya tidak pernah memiliki kesungguh-sungguhan atau konsistensi substansial untuk menyikapi gejala apa pun; kemaksiatan, pencurian, korupsi, perjudian, pelacuran, atau apa pun saja-meskipun secara teoretis itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka anut.

Ketidaksungguhan itu maksudnya begini: ya menyembah Allah, tapi juga mengingkari-Nya. Ya mencintai-Nya, tapi juga menyakiti hati-Nya.

Shalat juga, tapi beli togel juga. Puasa Ramadan juga, tapi minum arak rajin juga. Naik haji juga, tapi puncak ibadah di Mekkah itu tidak dijamin pasti menghalanginya melakukan pencurian, kecurangan, menyakiti orang lain, berselingkuh, merendahkan orang kecil, mengoordinir pencurian kayu hutan, menyantet kompetitornya dalam memperebutkan jabatan, melakukan penindasan dan kezaliman, dan berbagai macam perilaku yang membuat Allah sakit hati.

Jangan korupsi, kecuali saya kecipratan

Kita adalah masyarakat yang melarang siapa pun melakukan korupsi, kecuali kita ikut kecipratan. Kita tidak ikhlas ada KKN, kalau kita tidak dilibatkan di dalamnya. Korupsi tidak haram asalkan yang melakukan adalah keluarga kita
sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita.

Meniduri pembantu rumah tangga itu zalim dan dosa besar, tetapi kalau yang Melakukan adalah tokoh kita sendiri, maka wajib kita tutupi, kalau perlu anak hasil perzinahan itu kita upayakan penanganan dan penampungannya.

Bagi kita, yang dimaksud tokoh adalah orang yang kita dorong, kita perjuangkan, dan kita bela untuk menjadi pemimpin nasional karena kalau berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat proyek, bisa
makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat ini-itu.

Calon presiden adalah orang yang kalau dia menjadi presiden kita harapkan memberi keuntungan kepada kita. Sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada golongan kita, ormas/orpol kita, kelompok kita: kalau terpaksanya tidak bisa maksimal, ya, yang penting bisa memberi keuntungan bagi kita pribadi dan
keluarga kita.

Calon presiden itu boleh pelawak, boleh malaikat, boleh orang dungu, boleh setan, boleh siapa saja, asalkan menguntungkan kita. Yang dimaksud kita, tidak harus kita bangsa Indonesia, bahkan tak harus kita segolongan, yang penting kita sendiri ini, seorang saja pun, mendapat keuntungan.  Dan yang dimaksud keuntungan, sederhana saja: uang sebanyak-banyaknya. Dengan atmosfer nilai semacam itu, fenomena Inul tidak a-historis dan bukan sesuatu yang istimewa.  Perampok dan pengemis  Kalau ada rezim korup, kita akan memperjuangkan satu di antara tiga kemungkinan. Pertama, kita tumbangkan rezim itu agar kita bisa menggantikannya melakukan korupsi. Atau kedua, kita tekan rezim itu pada level yang kita mampu, agar supaya mereka tidak egoistik dalam melakukan pencurian uang negara dan harta rakyat. Mereka harus berbagi dengan kita, korupsi dalam koordinasi dengan kita, berkolusi dalam jaringan dengan kita.  Kemungkinan ketiga, kalau kita tidak memiliki “bargaining power” apa-apa untuk melakukan negosiasi, maka kita upayakan cara-cara untuk mengemis.  Tentu saja kalau bisa jangan sampai tampak mengemis, kita bisa hiasi dan tutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh nasionalisme.  Penduduk Indonesia ada dua. Perampok dan pengemis. KTPnya ganti setiap diperlukan. Kalau sedang berkuasa, merampok. Kalau tak berkuasa, mengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah tema dan komitmen, atas nama dinamika demokrasi.  Inul tidak termasuk penduduk yang bisa merampok atau mengemis dalam konteks itu. Ia hanya punya kemampuan menggoyang pantat, dan ia tidak mengerti hubungan antara goyang pantat dengan peta nilai apapun-filosofi, moral, akhlak, akidah atau apapun-kecuali logika bahwa kalau ia mau bergoyang maka ia menerima honor sekian rupiah. Dengan atmosfir nilai semacam itu, fenomena Inul bukanlah sesuatu yang aneh dan mengherankan.  Togel dan istikamah  Aa Gym bertanya kepada Inul, “Apakah Mbak Inul tidak pernah berpikir bahwa yang Mbak Inul lakukan itu bisa merusak moral generasi muda bangsa kita?” Inul menjawab dengan penuh kejujuran: “Alhamdulillah nggak….”  Nuansa jawabannya seperti seorang pembeli nomor judi undi yang menjual sepedanya untuk memborong angka 97 (sembilan tujuh), karena ia mendapat ramalan 79 (tujuh sembilan) kemudian ia mistik otak-atik menjadi 97 (sembilan tujuh). Padahal, yang kemudian keluar adalah 79 (tujuh sembilan) persis seperti angka ramalan. Ia sudah telanjur jual sepeda…. Istrinya marah habis. Seorang sahabatnya memberi nasihat: “Makanya orang hidup itu harus istikamah, jangan plintat-plintut. Kalau sudah 79 ya 79, jangan dibolak-balik. Iman harus teguh….”  Inul tidak merasa melakukan apa pun yang berkaitan dengan kerusakan moral masyarakat. Sehingga kalau ada pengadilan moral, Inul ada di urutan sangat belakang. Urutan terdepan adalah orang yang mengerti moral namun mengkhianatinya, orang yang memahami hukum tapi melanggarnya, yang mengerti menjadi wakil rakyat artinya adalah mewakili kepentingan rakyat namun sibuk dengan kepentingan diri dan golongannya.  Sama dengan Sumanto, ia sekadar kanibal kelas teri. Ia beraninya hanya makan mayat, itu pun nenek-nenek. Itu pun sesudah si mayat ada di kuburan baru ia mencurinya. Sumanto tidak berani makan daging rakyat sebagaimana banyak pengurus negara.Pantat Inul dan perilaku Sumanto, secara kualitatif, adalah wajah kita semua.  Membayar untuk dipantati  Mohon maaf harus saya kemukakan bahwa Pak Haji Rhoma perlu memastikan di dalam kesadarannya bahwa beliau hidup di negara yang politiknya secular dan perekonomiannya industri, dan kebudayaan berada di bawah otoritas dua kekuasaan itu.  Siapa pun yang tidak setuju atas kenyataan itu bisa memilih satu di antara tiga kemungkinan. Pertama, melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan. Kedua, menciptakan lingkaran “negeri” sendiri untuk menerapkan prinsip-prinsip nilainya di wilayah-wilayah nilai yang memungkinkan, tanpa harus menabrak konstitusi negara. Ketiga, melakukan sejumlah kompromi terbatas berdasarkan prinsip persuasi dan strategi sejarah berirama.  Sebagai orang yang hidup dengan pandangan agama, Pak Haji bisa mengambil wacana sujud shalat untuk menilai Inul. Tuhan menyuruh Muslim bersujud.  Dalam sujud pantat kita letakkan di tataran tertinggi, sementara wajah di level terendah.  Wajah itu lambang eksistensi kita, icon kepribadian kita, dan display dari identitas kita. Kalau bikin KTP tidak dengan foto close up pantat, melainkan wajah.  Ritus sujud menjadi semacam metode cermin untuk menyadari terus-menerus bahwa kalau tidak hati-hati dalam berperilaku, manusia bisa turun martabatnya dari wajah ke pantat. Ketika bersujud yang diucapkan oleh orang shalat adalah “Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi”. Jadi jelas sujud itu memuat substansi martabat atau derajat manusia hidup.  Pak Haji cemas karena sekarang orang bukan hanya tidak takut martabat kepribadiannya merosot. Orang bahkan mendambakan pantatnya Inul, dan membayar untuk dipantati Inul.  “Market” dangdut tanpa sensualitas  Tetapi itu wacana agama. Itu urusan orang beragama. Sekularisme dan industrialisme tidak relevan terhadap martabat, derajat, akhlak dan akidah.  Tidak ada agenda di dalam sekularisme dan industrialisme yang menyangkut itu semua.  Ini negara sekular, Pak Haji. Jangankan joget Inul: berzinah pun tak apa-apa. Boleh atau tidak menjadi kafir tak ada undang-undangnya.  Bersikap munafik juga boleh-boleh saja. Negara ini tidak keberatan kalau kita mengkhianati Tuhan. Tuhan bukan subyek utama. Tak ada Tuhan pun negara ini tak keberatan. Dan Pak Haji tak usah menangis, tinggal mengambil satu di antara tiga kemungkinan sikap yang tertuang di atas.  Industri tidak berpikir baik atau buruk, akhlaqul karimah atau sayyiah.  Industri tidak ada kaitannya dengan Tuhan, surga dan neraka.  Industrialisme bekerja keras dalam skema laku atau tak laku, marketable atau tidak marketable, rating tinggi atau rendah. Bad news is good news. Kalau yang laku ingus, jual ingus. Kalau yang ramai di pasar adalah Inul, jual Inul.  Dan Pak Haji adalah figur yang juga sangat marketable-industrial selama ini.  Sekarang Pak Haji harus membuktikan kesaktian bahwa musik Pak Haji akan tetap marketable meskipun minus joget dan sensualitas.  Pak Haji, ada saat-saat di mana ternyata yang enak adalah orang yang tidak laku seperti saya.  Ya Allah, reformasi masih gagal, petani makin sengsara, buruh menderita, krisis nasional tak kunjung berakhir, pemilu demi pemilu tidak menambah keselamatan bangsa, berbagai problem besar belum mampu kami atasi-dan hari ini aku harus menulis tentang pantat, ya Allah….  

_ean_
Sumber by : wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar