Senin, 03 Desember 2018

ARJUNA SASRABAHU (Wayang)

ARJUNA SASRABAHU

(Kisah Arjunasasrabahu)

Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.

Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.

Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.

Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.

Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya.

Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.

Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.

Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.

Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.

“Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”

Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.

Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.

Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.

Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.

Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.

Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.

Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah
tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.

Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga.

Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri.

Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya.

Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.

Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).

Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.

Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.

Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.

Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai.

“Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.

Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.

Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.

Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita.

Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.

Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala Marica. “Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.

“… Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.”

“Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!” kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya.

“Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Rahwana lantang. Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.

Rahwana bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu Wisabajra, Prabut Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka Sumekar, mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana. Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan
tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya
mati juga di medan perang.

Mengetahui beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak satupun para senapati perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan Patih Suwanda, akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga. Perang tanding pun berlangsung dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu Bisawarna), raja negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama putra resi Wisrawa.

Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya.

Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la, berkesimpulan, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek.

Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru.

“Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Berilah kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan tandinganmu !” kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.

“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.

‘Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang.” kata Bhatara Narada.

“Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !” kata Prabu Arjunasasrabahu.

“Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu. Tapi ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !” kata Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk membatalkan perang.

Perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang “Garuda Nglayang” sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporak porandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.

Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu.

Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu (batang kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus prajurit Maespati.

Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung hawa dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis gumpalan-gumpalan api Rahwana.

Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam senjata tajam. Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan lawannya. Menghadapi serangan Rahwana yang demikian ganas dan mengerikan, Prabu

Arjunasasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.

Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa.

Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la segera melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata ciptaan Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu melepaskan senjata Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh Rahwana. Dalam keadaan berkeping-keping serpihan Rahwana jatuh ke tanah. Peristiwa pun terulang kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.

Menghadapi kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu Arjunasasrabahu. la segera bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah meniadi brahalasewu- Raksasa hampir sebesar gunung, berkepala seratus dan bertangan seribu, di mana masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Melihat tubuh raksasa yang demikian besar dengan bentuk yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil ketakutan. Cepat ia terbang melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan awan, sambil berterjak minta tolong.

Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana.

Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.

Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun saat tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat, menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu.

“Cucu Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah Ulun telah berjanji tidak akan membunuh Rahwana,” kata Bhatara Narada. Mendapat teguran Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu menyudahi triwikramanya, kembali kewujud aslinya. “Hamba tidak akan membunuh Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk menyiksa dan menghajarnya sebagai
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.

“Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun janjikan kepada dewata!” kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa.

Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati.

Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.

Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya.

Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh Patih Suwanda.

Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang harus melakukan bela pati.

Kata-kata Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh
mayat-mayat wanita cantik.

Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan.

Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.

Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia
sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.

Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun.

Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya
terhadap Marica.

Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.

“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.

“Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan berikan padaku?”
kata Prabu Arjunasasrabahu.

“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!” kata Brahmana Pulasta.

Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan fobat
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.

Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.

Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.

“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri — nama kecil Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.

Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati.

Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.

Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara Maespati.

Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono).

Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.

Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati.

Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.

Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa
yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.

Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana.

“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu. “Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab Ramaparasu. “Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata Arjunasasrabahu.

“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.

“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.

“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”

“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?”

“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu tegas.

“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.

“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu penuh keyakinan.

Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.

Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.

Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”

Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas. Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.

“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.

Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : “Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”

Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: “Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! ” Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu.

Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat ribu orang
itu, nangis bersama-sama.

Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi
Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).

Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri.

Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia pewayangan. Ironis memang!.

Categories: Arjunasasrabahu
#sejarah_lakon_wayang

Senin, 24 September 2018

NAGA DI TANAH JATAYU (Cerita fiksi)

NAGA DI TANAH JATAYU

"Bunuh keduanya!! " perintah Indra kepada kedelapan Sempati-nya.
"Stop " Isyana berusaha menghentikan kedelapan Gardapathi adiknya.
" Aku tak ingin melukai kalian " tambahnya.
"Apalagi yang kalian tunggu? Tolol!. Atau kalian ingin bernasib seperti dua Sempati bodoh ini " ujar Indra menghardik kasar sembari menunjuk jasad dua Sempatinya yang telah tewas.
Ahirnya, kedelapan Sempati yang tersisa langsung menyerang Isyana menggunakan
astra -senjata- masing-masing. Dikarenakan Sempati bukanlah pemantra yang handal, mereka lebih memilih bertarung menggunakan
astra.

Dengan tangan kiri merapal Ajian Tameng Bayu untuk melindungiku dan mengembalikan kibasan sastrikha -pedang- para Sempati, Isyana merapal Ajian Bayusastrikha untuk menyerang balik para Sempati. Akibatnya dua orang Sempati sekaligus jatuh tersungkur dengan kaki, tangan dan sayap terpenggal.

"Maaf, aku terpaksa melumpuhkan kalian " ujar Isyana.
Serangan keenam Sempati yang tersisa semakin gencar. Dari berbagai arah mereka menyerang Isyana. Dari kiri, kanan, dari depan, belakang bahkan dari atas, namun Isyana selalu berhasil mengelak dan melindungiku.
Sembari menangkis dan sesekali membalas serang para Sempati pengeroyoknya, Isyana memintaku melata menjauhi medan pertarungan menuju Dwarapratala . Sedikit demi sedikit, di bawah perlindungan Isyana. akhirnya kami mencapai sebuah tepian jurang yang dasarnya tak nampak, inilah
Dwarapratala. Di sini, tanahnya masih mau tunduk dan patuh padaku,
"Hiat " seorang Sempati melompat mengayunkan sastrikha -nya ke arah kepala Isyana. Dengan sedikit gerakan mengelak, Isyana berhasil menghindar, dan Sempati ini pun ku sambut dengan Ajian Tapak Bhumi , membuatnya terpental ke belakang beberapa tombak, lalu tersungkur tak sadarkan diri.
"Lumayan " ujarku dalam hati. Penyerang kami kini tinggal lima Sempati dan Indra seorang.
"Cukup ! Mudur kalian " tiba-tiba Indra berteriak.
"Kanda, maaf, benar katamu tadi, tak ada gunanya kita menumpahkan darah sesama Jatayu hanya karena naga brengsek ini ".
"Aku bersedia melepaskannya, dan juga memafkan kesalahanmu membelanya dengan satu syarat "
"Apakah itu Dinda?" tanya Isyana Penasaran.
"Berikan statusmu sebagai Garudasutha padaku dan serahkan cangkang telurmu ".
Isyana terlihat ragu.
"Tenang saja, ini hanya kugunakan sebagai jaminan bahwa kau tak akan menentangku kelak, saat aku telah menjadi Garudasutha".
"Ayolah, kita kan bersaudara, dan aku mohon maaf atas ketidaksabaranku tadi " bujuk Indra pada Isyana.
"Hmm..Baiklah, sekembalinya kita ke Sembhalun, akan ku sampaikan pada ayah kita, bahwa aku mundur sebagai Garudasutha dan memilih manjadi pandita, sehingga engkau akan ditunjuk untuk menggantikanku ".
"Dan ini..., cangkang telurku. Berjanjilah bahwa kau akan menjaganya baik-baik, agar tak ada yang menyalahgunakannya " pinta Isyana sembari memberikan cangkangnya.
"A ku bersumpah atas nama ayah kita, akan kujaga cangkangmu, sebagaimana aku menjaga cangkangku sendiri" Indra bersumpah pada kakaknya.
"Baiklah Saka, mari kuantar kau menemui keluargamu "
"Tapi..kisanak, tidakkah engkau takut memasuki dunia kami, musuhmu ?" tanyaku meragukan ajakannya.
"Untuk apa aku takut? Toh aku tak berbuat jahat padamu " jawabnya.
Disaat Isyana membimbingku melata menyusuri pinggirian Dwarapratala, tanpa kami sadari, kelima Sempati yang tersisa membidikkan sayakha- nya padaku sedangkan Indra merapal Ajian Bayusayakha Mukti , dengan cangkang Isyana sebagai mata panahnya.
"Panah mereka! "
Terlambat bagi kami berdua, di saat Isyana terkonsentrasi menghalau sayakha dari para Sempati, Bayusayakha Mukti milik Indra melesat deras ke arahku. Dengan segera, Isyana membopongku lalu mengepakkan sayapnya. Namun sayang, cangkang Isyana melesat mengoyak pundak kiri Isyana dan menancap tepat di jantungku. Kami berdua pun terjatuh melayang ke dalam Dwarapratala, dan byuuuur.... tercebur ke dalam Telaga Dhanu , tepat di tengah-tengah Sarpaloka, pemukiman utama Naga Akasha . Aku tak sadarkan diri.
********
Kini, ratusan saka sejak terpanah, aku melangkah menyusuri tepian Telaga Dhanu , dadaku yang terkoyak telah tertutup, dan bukan oleh penutup biasa, melainkan cangkang milik Isyana. Menurut cerita ayah dulu, saat itu jantungku telah hancur oleh cangkang Isyana, dan tak mungkin tertolong lagi. Demikian juga dengan Isyana, pundaknya yang terkoyak mengakibatkan sayap kirinya terkulai mati dan darah mengucur dengan derasnya tanpa henti, yang cepat atau lambat akan membunuhnya.
Dengan sisa tenaganya, Isyana mencabut cangkangnya dari dadaku, menyayat dadanya sendiri hingga terbuka, memandang sekilas pada ayah dan kakekku lalu merapal Ajian Lebur Bayu Sakheti . Ayah dan kakek faham apa maksud Isyana, dan bersama-sama merapal Ajian Lebur Bhumi Sakheti . Isyana merenggut jantungnya sendiri, memotong urat-urat sekitarnya dengan cangkangnya lalu meletakkannya dalam dadaku, setelah terlebih dahulu merenggut jantungku yang hancur. Kemudian menutup lubang di dadaku dengan cangkangnya.
"Dengan mengalirnya darah Jatayu dalam tubuhnya, Anantasaka akan hidup kekal".
"Tapi, kumohon pada kalian berdua, ingatkan ia bahwa jantung dan cangkangku ini hanya titipan, hingga suatu saat kelak, keturunanku, Garuda Isyana terakhir datang memintanya kembali " ucapnya sebelum akhirnya Muksa , musnah menjadi debu keemasan, terurai terbawa angin.
Dan disinilah aku menanti, selama ratusan saka, menunggu keturunan terakhir Garuda Isyana, yang menurut ramalan akan membebaskan bangsa Naga.

NOTE: cerita ini diikutsertakan dalam lomba penulisan cerpen Fiksi Fantasi Fantasi Fiesta 2011

"NAGA DI TANAH JATAYU - Halaman 6 - Wattpad" https://www.wattpad.com/1616338-naga-di-tanah-jatayu/page/6

Sabtu, 22 September 2018

The Wisdom of mBah Nun

Berguru pada siMbah

Ratusan atau bahkan ribuan kali berbagai kegiatan Maiyah memunculkan hai-hal fenomenal dan luar biasa, yg membuat kita semua bergembira, bersyukur & meyakini bahwa Allah sungguh-sungguh sedang memperjalankan kita semua.

Maiyah itu urusan besar & mendasar, yg secara nilai ia akan terus mengaliri waktu dgn daya tawar terhadap kenyataan-kenyataan besar yg berskala kemasyarakatan, kebangsaan & kemanusiaan universal.

Perjuangan Maiyah bertahun-tahun telah membuktikan awal dari fenomenologi gerakanya, alternatif formula sosialnya, keunikan & keluasan pandangan-pandangan ilmunya, yg secara keseluruhan terbukti merupakan tawaran yg tidak bisa diremehkan terhadap masa depan kehidupan umat manusia.

Maiyah akan bergulir merambah zaman & masa depan, serta berusia jauh lebih panjang dari setiap pelakunya. Pekerjaan sejarah Maiyah adalah energi nilai sejarah yg tak bisa diperbandingkan dgn yg selama ini di lakukan oleh lembaga-lembaga sejarah, institusi-institusi sosial ataupun arus-arus kebudayaan.

Mungkin pelaku-pelaku rintisan Maiyah tidak atau sepenuhnya belum menyadari bobot yang sesungguhnya dari Maiyah. Mungkin juga berbagai tantangan sulitnya menanamkan nilai Maiyah dalam berbagai lapangan kehidupan sosial, membuat para pelakunya terjatuh-jatuh dan kehilangan peluang untuk mendalami dan menakar seberapa mendasar nilai Maiyah di dalam rentang-rentang peradaban manusia.

Terdapat kerikil-kerikil kecil di jalanan maiyah, lobang-lobang yg memerosokkan, gesekan atau tabrakan di sana sini, dismanajemen & kegamangan formula atau ketidakyakinan atas maiyah itu sendiri. Para pejuang maiyah sangat mungkin melakukan blunder, salah langkah, bertindak tidak akurat, mengambil keputusan yg kurang proposional, dan lain sebagainya, Itu semua wajar karena memang selalu demikianlah yg dialami oleh para pelopor & perintis nilai dalam sejarah yang manapun.

Di dalam posisi & keadaan seperti itu, yg harus dijaga adalah jangan sampai pelaku maiyah merasa menemukan kehancuran hanya karena terserimpung oleh problem-problem kecil, kemudian kehilangan keluasan perspektif maiyah. Jangan sampai para pelaku maiyah terhenti langkahnya karena tidak berani menghadapi sesuatu yg harus dihadapinya. Jangan sampai merasa selesai perjuanganya karena soal-soal kecil yg sesungguhnya juga bisa diatasi cukup dgn langkah-langkah kecil. Sebab Maiyah akan terus mengaliri waktu hingga keabadian.

Kutipan ; "The Wisdom of mBah Nun - Mutiara Ilmu Maiyah Nusantara"

PERUPA ALI ANTONI

Curcol pagi

Beberapa kawan pernah mau mampir ke rumah saya, alasannya, mau liat studio lukis atau galeri karya2 lukis yg ada.

Lalu semua saya jawab, "Saya ndak punya studio, melukis cuma di teras kecil, apalagi galeri, semua lukisan saya selalu terjual habis, pagi bikin sore laku, siang bikin malam sold out, sehingga tak ada stock lukisan."

Ini jawaban tdk bohong.

Saya memang melukis cuma di teras, dan tak ada stock sama sekali.

Saya agak malu dikit aslinya, sbg pelukis tp tak punya karya banyak di rumah.

Prinsip saya lukisan memang harus lepas, entah bagaimanapun caranya.

Dijual, diberikan, dijadikan hadiah, dsb.

Agar jejak waktu yg saya buat menyebar.

Makanya alangkah eman klo anda tdk mengoleksinya, mumpung murah saat2 ini.

Dan pasti berubah harganya puluhan tahun nanti, itu klo dilihat dr segi investasi.

Belum lg nilai historisnya, aspek sosialnya, krn dr sana, banyak dana jatah buku gratis berasal. Disamping bantuan kawan2.

Saya sendiri enak, tdk ngeluarin apa2 kcl energi dan ide.

Mengapa sy tdk mau bersikap spt seniman profesional?

Satu, saya bukan seniman.

Dua, saya tdk bisa profesional.

Dua kata itu terlalu mewah.

Saya ngeri disebut seniman, penulis, sastrawan, penyair, perupa, dan tetek nenen lainnya.

Meskipun jejak2 saya masih ada.

Mencari di google, perupa ali antoni, atau penyair ali antoni, masih mudah ditelusuri, tp saya tinggal itu semua.

Menjadi cuma sekedar bakul onlen kecil2an, tp bisa menyebar ribuan buku gratisan, serta ribuan lukisan murah, itu lebih membuat hidup saya tdk sok.

Krn potensi sombong, sy punya banyak.

Cerdas, penyair, pelukis, kurang apalagi, bisa jd orang kemaki kapan saja.

Tapi tidak sajalah.

Bahkan tetangga2 saya tdk tau posisi saya, mereka kira saya cuma bakul buku, dgn hobi menggambar, dan itu lebih menyenangkan.

Semakin orang tdk tau siapa kita, semakin membuat kita bahagia.

Diejek, bertemu kawan lama, dikira tdk berkembang, direndahkan, bahkan ada yg mengira saya masih jd guru honor, membuat saya bertemu mrk tdk susah nyetel tingkah.

Itu karenanya semua kawan lama saya di fb ini saya hapus semua, paling menyisakan lima orang saja, agar mrk tidak tau proses saya.

Ketika orang berlomba bergaya, saya memilih direndahkan saja.

Lebih enak, lebih bahagia.

Jumat, 21 September 2018

SUBALTERN

Ø Pengertian Subaltern
Istilah subaltern mula-mula digunakan dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia Antonio Gramsci sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas mereka juga tidak memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan.
Menurut Gayatri Chakravorty Spivak subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka.

Ø Gagasan dan Konsep yang Melahirkan Subaltern
Kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai gagasan dan konsep yang membentuknya. Berikut ini beberapa gagasan dan konsep tersebut:
a.       Teori Poskolonialisme
Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat.

b.      Identitas dan Politik Identitas
Manusia sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia dilekatkan berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya eksistensi sosial. Pada dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas erat hubungannya dengan “perbedaan”.

Ø Kaum-kaum Subaltern
Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari pandangan kita. Pandangan yang dicanangkan kaum dominan menjadikan kaum subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan tindakan yang tidak menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu lingkungan sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern seperti buruh, petani, waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya. Berikut ini bebrapa contoh dari mereka:
a.       Buruh
Pengaruh kapitalisme yang mendunia, kaum buruh menjadi kelompok yang menjadi sasaran hegemoni dari kelas atas yaitu majikan dan kaum elit. Pandangan umum mengenai kaum buruh merupakan kelompok kelas bawah yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam segi ekonomi, mereka tergolong lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan diri. Adanya diskriminasi yang mereka alami seperti upah rendah dan tunjangna yang sangat minim.
Sebagai kaum subaltern perjuangan kaum buruh untuk menuju kehidupan yang lebih baik, mereka membentuk sarikat sebagai bentuk representasi untuk berelasi dengan kaum elit. Serikat buruh ini merupakan suatu bentuk kesamaan rasa dalam memperjuangkan perbaikan yang menyeluruh untuk segala aspek kehidupan, terutama persoalan ekonomi.

b.      Waria
Kaum waria dapat digolongkan sebagai kelompok kelas bawah yang mengalami penekanan dan diskriminas dari kelas dominan. Terpinggirnya waria dari ranah publikberkaitan dengan identitas transeksual yang dimilikinya yang belum mendapat pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Kondisi sosial masyarakat saat ini hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan.
Budaya dominan masyarakat yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan menyebabkan kaum waria mengalami diskriminasi dalam kelompok masyarakat. Diskriminasi yang dialami kaum waria berhubungan erat dengan stereotype dari masyarakat umum bahwa kaum waria dekat dengan hal negatif. Dalam hal ini penyimpangan seksualitas, penderita HIV/AIDS dan  juga digolongkan sebagai komunitas yang memiliki tingkat pendidikan rendah yang tidak mempunyai ketrampilan selain berdandan. Kaum waria sebagai subaltern dipahami dengan melihat pendiskriminasian dari kelompok masyarakat lain.
Diskriminasi dalam kaum waria terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya. Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan kelompok lain. Posisi waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini mengalami diskriminasi dalam akses administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Misalnya dalam pembuatan KTP sebagai bentuk pengakuan menjadi warga negara Indonesia, KTP juga menjadi prasyarat untuk mengakses hak-hak politik dan sebagai alat untuk mengakses pelayanan publik lainnya. Sering mengalami kesulitan dalam pembuatannya, mulai dari prasyarat yang dibutuhkan seperti Kartu Keluarga (yang jarang dimiliki oleh Waria yang tereksklusi dari keluarganya), penegasan identitas waria dalam KTP (karena hanya terdapat dua jenis kelamin pilihan kelamin yakni laki laki dan perempuan), juga dalam foto yang digunakan dalam KTP (waria harus berfoto dengan wajah “aslinya”
sebagai laki-laki). Belum adanya pengakuan dari pemerintah ini yang membatasi waria untuk menegaskan identitasnya.
Waria sebagai subaltern tidak memiliki  kemampuan untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting dalam mewujudkan pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha merubah paradigma negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam kehidupan sosial. Upaya dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai aktivitas diskusi baik formal maupun non formal dengan masyarakat luas, dan juga melalui media tulisan untuk membuat suatu wacana. Selain elite waria, akademisi juga berperan dalam merepresentasikan identitas waria dengan melakukan penelitian dan kajiannya yang berpengaruh pada identitas waria.
Kaum subaltern yang tereksklusi ini, dapat memberi pengaruh dan tekanan pada elit. Seperti contoh pada kalangan waria yang seharusnya mendapat pengakuan dalam ranah pemerintah ini, memerlukan pembuatan suatu kebijakan untuk kalangan waria, agar tidak tereksklusi dalam ranah publik. Kaum subaltern juga bisa menjadi kelompok penekan terhadap suatu kebijakan pemerintahan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kalangan ini. Meski terdapat kalangan yang memilih dalam ranah yang berbeda dalam lingkup dominan, bukan berarti perbedaan tersebut menempatkan mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik. Apalagi dengan adanya perbedaan bentuk perlakuan pada kalangan ini yang cendrung diskriminatif sungguh membuat hak-hak mereka menjadi tidak terekonstruksi secara nyata.

c.       Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa di Indonesia yang tidak mempunyai cukup ruang untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebudayaannya. Di Indonesia sendiri terdapat dikotomi warga negara berdasarkan perbedaan etnik. Dikotomi pribumi dan non-pribumi menjadi persoalan etnis dan pada gilirannya menyebabkan permasalahan identitas. Tionghoa selalu dicitrakan sebagai pendatang sehingga identitas non-pribumi selalu dilekatkan kepadanya, sebagai penguasa ekonomi, dan memiliki identitas homogen. Citra ini dibentuk oleh kaum dominan dan ditumbuhkan secara terus menerus. Identitas mereka sering didefinisikan secara paksa oleh kaum dominan, terlebih lagi negara yang demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya berperan menjalankan politik identitas. Tidak hanya pergulatannya dalam identitas bangsa tetapi juga berhadapan dengan struktur dan budaya lokal.

Salah satu kasus subaltern :
“Persoalan Perempuan Seni Tradisi”
Meneliti kehidupan perempuan seni tradisi hampir dipastikan akan menemui dua persoalan besar. Pertama, seni tradisi yang menempati posisi tidak menguntungkan, khususnya jika dibandingkan dengan kehadiran jenis seni lain yang sifatnya lebih popular. Seni tradisi yang sedari awal munculnya selalu mengandalkan apresiasi, interaksi, dan keterlibatan penonton serta seluruh pelaku tradisi kesenian itu kini tidak lagi demikian. Entah sejak kapan, tetapi tampaknya belum terdapat satu hasil penelitian yang cukup konkret menggambarkan terpisahnya seni tradisi dari penonton dan pelaku tradisinya.
Kedua, perempuan seni tradisi itu sendiri. Dalam berbagai konteks, perempuan seni tradisi selalu bertarung bukan hanya untuk bertahan dari gempuran kuasa patriarki dan tudingan negatif dari publik melainkan juga upaya keras untuk mendapatkan penghasilan ekonomi sebagai cara bertahan hidup. Saat ini jamak ditemukan perempuan seni tradisi yang harus hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, meskipun masih ada juga yang hidup dalam kondisi ekonomi berkecukupan. Tetapi hal ini tentu berbeda ketika sebelum 1990-an seni tradisi masih menjadi idola dan ruang bagi pelepasan hasrat masyarakat.
Ketika melihat fakta di lapangan tentang perempuan seni tradisi masa kini yang kontras antara apa yang mereka tunjukkan di panggung dengan kehidupan keseharian, maka apa yang seketika terbetik dalam benak peneliti dan perasaan apa yang muncul saat itu? Apa yang terbetik dalam benak dan apa yang dirasakan oleh peneliti inilah yang sangat memengaruhi hasil sebuah karya penelitian. Seorang perempuan peneliti yang peka terhadap kehidupan perempuan akan menghasilkan karya yang berbeda jika dibandingkan dengan peneliti lain yang tidak peka dengan persoalan perempuan, entah disebabkan karena dirinya laki-laki yang memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan perempuan atau karena penggunaan sudut pandang yang berbeda pula.
Perempuan seni tradisi senantiasa berada pada dua wilayah, yaitu wilayah panggung pertunjukan yang selalu menampilkan glamoritas, kecantikan, kepiawaian menari, dan peristiwa lain yang serba indah dan wilayah keseharian yang cukup kompleks. Di wilayah panggung pertunjukan, perempuan seni tradisi selalu dipuja oleh penonton karena keindahan suara, kecantikan wajah, dan kepiawaian tariannya. Tidak jarang, pujaan itu semakin menghentak ketika para perempuan seni tradisi itu begitu handal bertarung tari dengan laki-laki.
Sementara dalam kehidupan keseharian, perempuan seni tradisi berhadapan dengan lingkungan sosialnya yang memiliki cara pandang yang beragam. Sebagian masyarakat yang begitu kuat konstruksi keagamaannya sudah hampir dipastikan memosisikan perempuan seni tradisi sebagai perempuan penjaja maksiat. Pengakuan beberapa penari seni tradisi di berbagai tempat tentang sikap miring para agamawan cukup mencerminkan adanya stigma itu. Sebagian laki-laki juga tidak sedikit yang memandang perempuan seni tradisi sebagai perempuan “murah” yang mudah diajak melakukan transaksi seksual. Belum lagi dengan tudingan perempuan lain terhadap perempuan seni tradisi yang dianggap suka merebut suami orang dan menghancurkan rumah tangga perempuan lain.
Di sisi lain, komoditasi seni tradisi melalui pariwisata baik dengan alasan untuk mendapatkan penghasilan daerah maupun penguatan identitas budaya lokal juga berimplikasi serius bagi kehidupan perempuan dan seni tradisi itu sendiri. Karena komoditasi hanya fokus pada upaya eksotisasi seni tradisi, bukan pada penguatan apresiasi masyarakat terhadapnya. Belum lagi jika meninjau keterlibatan pihak pengusaha yang jeli memanfaatkan kekuatan seni tradisi untuk industri, maka semakin menambah kompleks persoalan yang menggelayuti kehidupan perempuan seni tradisi.
Dalam melihat dan memahami kenyataan seperti ini, peneliti sudah sepatutnya jeli untuk melihat keterkaitan berbagai peristiwa yang terjadi. Apropriasi, atau yang secara sederhana dipahami sebagai peleburan perasaan antara peneliti dengan persoalan yang ditelitinya merupakan bagian mendasar yang turut memengaruhi hasil akhir penelitian itu. Maka sangat maklum jika kemudian banyak ditemui karya penelitian atau liputan jurnalistik tentang perempuan yang lebih dominan unsur emosionalitasnya ketimbang pemaparan dan analisis data atau peristiwa yang lebih “pas” dan “koheren”. Hal ini bukan berarti bahwa apropriasi itu tidak penting, justru ia sangat perlu untuk menumbuhkan “kejujuran” menangkap sisi kebersamaan dan mengungkap persoalan yang dihadapi perempuan.
Perempuan seni tradisi masa kini memang akan selalu berada pada posisi gamang karena mereka harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan dan hiruknya derap modernitas yang gegap. Semuanya tidak mungkin ditampik. Di sinilah arti penting penelitian di wilayah perempuan marjinal dimana ia tidak cukup berkutat pada keluhan tentang penindasan terhadap mereka, tetapi perlu juga menguak sisi perlawanan yang bisa menjadi asa untuk mengarungi kehidupan dengan lebih tegar.

KELOMPOK MARGINAL

Ø Klarifikasi atas Istilah Kelompok Marginal
Tidak ada definisi tunggal tentang siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun, terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama. Orang miskin biasanya masuk dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. Sekalipun banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana, kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau “kemiskinan”.

Ø Contoh kelompok marginal
·        Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok pedagang asongan di sebuah terminal terkadang ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.
Sebagai akibat kebijakan perda ini, pendapatan pedagang asongan merosot hingga separuh. Para pedagang asongan, mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak mempercayai wakil terpilih mereka.
Walaupun pedagang asongan merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba diam-diam memasuki area-area terlarang dan coba menjajakan dagangan mereka (yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan. Upaya terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas terminal membawa sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang.

·        Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di kota besar sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas.
Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah kota menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi tetapi setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.
Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi ini cenderung meningkatkan level kompetisi di antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat.
Menanggapi kondisi ini, perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dala

Tuntutan kelompok-kelompok marginal.
Kelompok Marjinal percaya bahwa dalam banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.
Seperti dapat dipelajari dari pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3) kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kota. Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.

Senin, 17 September 2018

Bukan Sekedar Patah Hati. Oleh : Dian Re dolob

Bukan Sekedar Patah Hati
Oleh : Dian Re
(Base on true story gengz dgn sedikit perubahan)

"Kalau aku besar nanti, aku mau cari ibu," kata Mas Syamsudin saat kami asyik menggambar orang-orangan di tanah.

Aku melihat wajahnya. Dia tampak tersenyum bahagia. Di tanah itu ia menggambar sesosok wanita cantik, barangkali ibunya.

"Dunia ini besar, Mas!" sahutku sembari melanjutkan gambaranku di tanah yang entah apa itu. "Kau mau cari dimana itu ibumu?"

Sebenarnya aku tidak yakin dengan impian saudaraku itu. Dia tak tahu kemana ibunya pergi, dimana alamatnya, atau bagaimana rupanya. Bagiku yang kanak-kanak ini, mustahil sekali!

"Ya pokoknya nanti aku akan cari ibuku," Mas Syamsudin berujar sambil berdiri memandang langit biru. "Kalau aku sudah besar dan bekerja, aku akan mengelilingi dunia untuk mencari ibuku! Itu cita-citaku!"

Mata Mas Syamsudin berbinar-binar. Senyumnya lebar. Dia tampak bahagia dan berhasrat ketika membicarakan ibunya. Sosok yang sekali pun tak pernah ditemuinya.
*
Waktu berlalu, kami sudah dewasa. Mas Syamsudin tidak melanjutkan ke SMA karena masalah biaya.

Suatu waktu dia pernah bilang kepadaku,"Aku rindu masa-masa sekolah. Masa yang sangat menyenangkan. Aku ingin sekolah lagi, tapi gaada biaya."

Wajahnya itu sendu dan kuyu. Raut kecewa tampak jelas di matanya. Ah, orang-orang kecil memang harus siap kecewa setiap waktu.

Saat dia berkata seperti itu; hari itu angin tak begitu kencang. Aku jadi teringat kami bertiga--aku, Mas Syamsudin, dan seorang saudari lain yang saling bertetangga--sudah hidup bertahun-tahun tanpa sosok bernama ibu.

Beruntung sekali Mas Syamsudin gemar memasak. Ketika ada hajatan di kampung, Mas Syamsudin pasti membantu memasak. Sehingga kalau memasak untuk dirinya dan ayahnya, dia tidak keberatan. Dulu dia juga pernah bilang ingin menjadi chef. Walaupun karena hobbinya itu dia malah sering dibully dan sering direndahkan. Bahwa laki-laki harus ke kebun membawa arit. Belajar nguli dan tukang-menukang. Sedang perempuan di dapur dan sumur. Aku tak mengerti seperti apa perasaannya saat dikata-katai begitu.

Esoknya setelah pembicaraan kami berdua, Mas Syamsudin pergi ke kota untuk bekerja. Dia mengikuti salah seorang paman kami yang sukses dalam bisnisnya. Paman kami berjualan bakso. Hampir sekitar lima belas tahun paman membesarkan bisnisnya dengan sangat susah payah, akhirnya sekarang bisnisnya terus lancar. Mobilnya sudah tiga dan salah seorang anaknya akan menjadi PNS.

Lama kami tak berjumpa. Sekitar beberapa tahun. Mas Syamsudin agak berubah. Sekarang rambutnya dicat pink dan ungu. Dia sering jalan-jalan di sekitar kota. Nongkrong di kafe atau sekedar nampang di mall. Aku lihat dari foto di fesbuknya.

Hal yang serupa tak kujumpai saat dia pulang ke kampung. Rambutnya tidak berwarna pink dan ungu. Badannya agak kurus dan gelap. Dan, hal aneh yang kusadari, wajahnya selalu murung dan kadang aku memergokinya menangis.

Saat pergi ke kali aku melihatnya duduk di dalam rumah dengan bertopang dagu. Melamun. Bersedih.
Suatu ketika saat aku lewat di depan rumahnya, Mas Syamsudin sedang mencabut rumput. Jelas-jelas aku melihatnya menunduk memandangi rumput sambil berurai air mata.

Beberapa minggu lamanya aku melihat Mas Syamsudin terus larut dalam kesedihan. Akhirnya aku mendengar kabar dari keponakanku yang dekat dengan Mas Syamsudin. Biang dari segala luka-lukanya selama ini.

Begini kata keponakanku itu :

Saat bekerja dengan paman, Syamsudin meminta bantuan ke paman untuk mencarikan ibunya. Selain orang kaya, paman juga sangat tahu identitas ibu Syamsudin dan segala cerita tentang keluarga Syamsudin.

Singkat cerita Syamsudin diantar paman dan keluarga paman ke rumah ibu Syamsudin. Mereka menaiki mobil menuju daerah sekitar pinggiran Lamongan.

Syamsudin melihat burung berpacu dari dalam kaca mobil. Di seberang sana ada pegunungan hijau yang tampak bersahaja. Walau langit di atas agak abu-abu karena musim hujan, dalam batinnya terbit matahari baru. Semangat dan gairah tak perlu diundang, sebab ia lahir dari sel darahnya sendiri. Salah satu daerah di Lamongan terkena banjir, menurut berita; sedangkan Syamsudin kebanjiran suka cita.

Sekarang mereka sudab tiba di kediaman ibunya. Syamsudin dan paman sekeluarga turun dari mobil. Betapa tidak karu-karuan hati Syamsudin. Antara begitu gembira dan gugup karena akan menemui pujaan hatinya.

Dia melihat rumah ibunya itu, rumah yang sederhana. Tidak terlalu mewah dan juga tak terlalu jelek. Paman mengetuk pintu rumah tersebut.

Beberapa lama kemudian muncul seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Matanya dan mata paman saling bertemu. Sekilas ia menatap juga pada mata bibi. Mata yang tak asing. Mata yang menguakkan kenangan berdarah-nanah.

"Sutiyem! Ini aku Bejo dan Siti!" kata Paman Bejo.

Wanita bernama Sutiyem, yang tidak lain adalah ibu Syamsudin, menyilakan mereka semua masuk dan duduk di dalam. Sutiyem melihat beberapa wajah yang tak pernah dilihatnya, anak-anak Paman Bejo dan seorang lagi yang sepertinya pernah dilihatnya.

Syamsudin tak melepas pandangnya dari Sutiyem itu. Saat dia duduk, berdiri, atau berbalik, ia melihatnya dengan saksama dan penasaran. Dia sangat ingin tahu apakah Sutiyem inilah ibunya.

"Paman, Paman! Itu ibuku? Dia ibuku?" tanya Syamsudin antusias saat Sutiyem ke dapur membuat teh.

"Iya, Le.... Itu ibumu. Senang kamu?" tanya Paman Bejo.

Syamsudin mengangguk keras-keras,"Iya!"

Sutiyem datang membawa nampan berisi teh dan kue. Di belakangnya muncul seorang lelaki yang kemudian menyalami tamu-tamu yang tak dikenalnya itu. Sutiyem duduk di sebelah lelaki itu.

"Njenengan dari mana, Pak?" lelaki itu bertanya.

"Dari Lumajang ini, Pak," jawab Pak Bejo. "Lho, njenengan ini suaminya Sutiyem toh?"

"Enggih, saya suaminya," katanya.

"Lho, Yem, kowe iki rabi gak undang-undang aku, Yem," timpal bibi, istri paman.

Wanita bernama Sutiyem itu hanya tersenyum simpul dan menunduk. Bibi melihat gestur tidak nyaman dari tubuh Sutiyem. Seolah tak senang dikunjungi mantan kakak iparnya. Mungkin peristiwa belasan tahun lalu masih segar dalam ingatan Sutiyem. Sedangkan bagi paman dan bibi semua itu hampir terkubur.

"Anakmu berapa sekarang, Yem?" lanjut bibi.

"Tiga, Mbak," jawab Sutiyem singkat.

Suasana hening sejenak. Di sini semua saling tidak mengenal dan asing. Hanya dada Syamsudin yang bergemuruh hebat. Matanya hampir lepas menatap Sutiyem.

"Yem, ini yang perempuan-perempuan anakku. Dian dan Rahma," Paman Bejo mulai berbicara dengan serius dan mantap. "Kalau yang laki-laki ini, cobalah kamu ingat-ingat. Kamu tahu siapa dia?"

Sutiyem memandangi anak lelaki yang barusan ditunjuk Paman Bejo, Syamsudin. Wajahnya mewarisi wajah mantan suaminya dulu. Hanya saja hidungnya lebih mancung dan kulitnya agak gelap.

"Mata dan hidungnya ... seperti milikku," gumam Sutiyem dalam hati. "Apa mungkin ... dia ...."

"Ibu, aku anakmu!" tukas Syamsudin dengan senyum sangat lebar dan mata terpejam.

Sontak Sutiyem langsung berdiri dan terkesiap. Benar, anak ini adalah anak laki-laki bajingan itu! Sutiyem tak bisa terima. Memorinya bersama mantan suaminya tak bisa dihapus begitu saja. Melihat Syamsudin, dia seperti melihat bajingan itu lagi! Darahnya memanas dan didih setiap mengingatnya.

"Ngapain kamu di sini!" Sutiyem membentak sangat keras.

Bibi berdiri dan menggapai tangan Sutiyem,"Yem, iki anakmu, Yem!"

Sutiyem menghalau gapaian tangan Bibi Siti dengan kasar. "Aku gak pernah punya anak dari bajingan itu, Mbak!"

Suami Sutiyem kebingungan dan mencoba menenangkan istrinya yang tiba-tiba kalap. Dulu dia pernah mendengar sedikit cerita tentang mantan suami Sutiyem. Sungguh tak disangka-sangka sekarang ia bertemu anak dari hasil Sutiyem dan mantan suaminya.

"Arek iki salah opo, Yem! Seng salah iku bojomu! Gudug arek iki!" Paman Bejo ikut berdiri.

Syamsudin kebingungan melihat reaksi ibunya. Mengapa ibunya tidak bahagia dengan kehadiran dirinya? Malah marah-marah dan histeris.

Matahari di langit pecah. Baranya menembus kulit dan dada Syamsudin. Banyak aroma luka berterbangan dari Sutiyem, seorang wanita yang begitu tabah dan kuat.

"Pokoknya aku gak mau tau, Mbak Siti! Dia bukan anakku!" ucap Sutiyem sambil menunjuk wajah Syamsudin.

Mendengar itu Syamsudin menangis. Hatinya teriris-iris. Bayangan tentang ibu yang selama ini dipikirkannya sirna. Ibu yang baik, yang mau membelai rambutnya, mau menyiapkan sarapan, mau mendengar cerita tentang gadis yang disukainya, dan semuanya; wanita itu tidak ada. Yang ada hanya seorang Sutiyem yang tidak mau mengakui hubungan darah yang mereka miliki, wajahnya merah padam, dan matanya berair karena marah.

"Gendeng kowe, Yem! Iki anakmu! Awakmu seng ngelairno!" Bibi membentak Sutiyem dan mengguncang-guncang tubuhnya.

"Sudah, Mbak! Sudah! Pergi kalian dari sini! Aku gak mau tau," kata Sutiyem bersamaan saat air matanya pecah. Dia tidak sanggup lagi menahan perih di dadanya mengingat mantan suaminya.

"Ma, sabar sik tah lah! Semua bisa dibicarakan baik-baik," kata suami Sutiyem.

Sutiyem hampir rubuh tak kuat menyangga tubuhnya. Ia terhuyung hendak menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti karena--

"Bu, peluk aku saja!" kata Syamsudin yang beruraian duka. "Kalau Ibu tidak mau melihatku lagi, peluk aku sekali saja kemudian aku akan pergi!"

Syamsudin berharap sekali saja inginnya ini dikabulkan. Seumur hidup hanya ibu yang ia harap dan puja. Ratusan waktu merindui wanita yang tak ada satu pun kenangan tentangnya. Segala hari dilewati untuk hari ini. Hari bertemu ibu.

Sutiyem acuh. Ia terus berjalan menuju kamar meninggalkan Syamsudin yang semakin remuk.

Beberapa jam Syamsudin dan yang lain menunggu Sutiyem keluar dari dalam kamar. Syamsudin terus-menerus menangis. Dia terus menggumam bahwa dia ingin dipeluk ibu. Hatinya hancur. Sangat hancur.

Hari sudah hampir sore. Sutiyem tak juga mau keluar. Suami Sutiyem dengan lembut mempersilakan tamu-tamunya untuk pulang dan menemui Sutiyem lain waktu. Suasana sudah buntu dan ribut. Entah dengan apa lagi semua harus dihadapi.

Akhirnya, dengan menanggung nyeri yang abadi, Syamsudin pergi dari tempat itu. Pasrah merasai luka yang sudah di puncaknya. Begitulah akhirnya buat Syamsudin. Sepilu ini. Sepahit ini
*

Ketika Mas Syamsudin lahir, Sutiyem merawatnya dengan sepenuh hati. Ayah Mas Syamsudin bekerja serabutan. Penghasilannya tak seberapa, Sutiyem menerima apa adanya. Ayah Mas Syamsudin tidak memiliki rumah. Ia masih menumpang di rumah adiknya, Bibi Siti. Sutiyem tak pernah protes.

Saat itu usia Mas Syamsudin masih belum sampai dua tahun. Ia menaiki sepeda roda tiga dan berkeliling-keliling di ruang tamu. Mas Syamsudin kecil begitu gembira. Karena terlalu gembira, Mas Syamsudin jatuh tersungkur ke tanah. Dengan sigap Sutiyem meraihnya. Tapi, melihat hal itu ayah Mas Syamsudin marah besar. Tanpa basa-basi Sutiyem dipukul habis-habisan. Pipi dan kepalanya remuk semua dengan tangan ayah Mas Syamsudin yang kekar. Sutiyem hanya bisa menangis dan pasrah.

Keributan selalu terjadi di rumah Bibi Siti karena ulah ayah Mas Syamsudin. Sedari pacaran dulu Sutiyem paham karakter lakinya ini. Tetapi dia tidak sanggup meninggalkannya karena sangat mencintainya. Dia berusaha mempertahankan rumah tangga mereka. Sebisa mungkin mulutnya terkunci tidak mengumbar-umbar kebusukan suaminya di hadapan siapapun.

Sutiyem yang pendiam dan penurut itu terus mencoba bertahan. Namun, apa daya. Sutiyem hanya perempuan biasa yang tak kuat dipukul setiap hari. Kesabaran dan harapannya dulu berubah menjadi amarah dan kebencian. Sutiyem yang sabar dan penurut akhirnya marah dan berontak. Tanpa membawa apapun, kecuali trauma mendalam tentang rumah tangga, Sutiyem kabur dari rumah meninggalkan anaknya yang baru berusia dua tahun lebih sedikit. Hatinya sudah bulat dan penuh oleh trauma itu. Ia berusaha melupakan semua kesakitannya itu.

Itulah sebagian kisah keluarga Mas Syamsudin yang kudapatkan dari tetangga-tetangga.
*
Di akhir malam tanpa bintang, saat aku menemaninya duduk di pelataran rumah yang dingim dan gelap, Mas Syamsudin angkat suara.

"Akhirnya aku punya kenangan tentang ibuku. Seseorang yang tinggi dan kurus. Hidungnya mancung. Matanya lebar seperti mataku.

Selama ini dia hanya mimpi bagiku. Sejak kecil hingga dewasa aku selalu memimpikannya. Aku pernah mencoba menemuinya dalam kenyataan.

Dia adalah perempuan yang tidak mau mengakui darahnya dalam tubuhku. Dia menolak keberadaanku. Dia membenci aku. Sedikit pun aku tidak tahu apa salahku," Mas Syamsudin berkata terbata-bata menahan tangis.

"Aku tidak tahu bagaimana rasanya dicium ibuku, tapi aku tau rasanya tidak diinginkan ibuku sendiri. Diacuhkan orang yang melahirkan aku."

Dadaku sesak. Tanpa terasa aku juga menangis untuknya.

"Aku tidak tahu, mengapa orang lain memiliki ibu.... Tapi, Tuhan tidak menciptakan seorang ibu untuk aku," lanjut Mas Syamsudin dengan tangis yang semakin parau. Aku segera memeluknya dan menghamburkan tangis di dadanya. Takdir macam apa yang meliputi saudaraku itu.

Dengan nada rendah dan hampir tak sampai dia bergumam,"Tidak ada ibu untukku...."

Dampit, 17 September 2018