Senin, 17 September 2018

Bukan Sekedar Patah Hati. Oleh : Dian Re dolob

Bukan Sekedar Patah Hati
Oleh : Dian Re
(Base on true story gengz dgn sedikit perubahan)

"Kalau aku besar nanti, aku mau cari ibu," kata Mas Syamsudin saat kami asyik menggambar orang-orangan di tanah.

Aku melihat wajahnya. Dia tampak tersenyum bahagia. Di tanah itu ia menggambar sesosok wanita cantik, barangkali ibunya.

"Dunia ini besar, Mas!" sahutku sembari melanjutkan gambaranku di tanah yang entah apa itu. "Kau mau cari dimana itu ibumu?"

Sebenarnya aku tidak yakin dengan impian saudaraku itu. Dia tak tahu kemana ibunya pergi, dimana alamatnya, atau bagaimana rupanya. Bagiku yang kanak-kanak ini, mustahil sekali!

"Ya pokoknya nanti aku akan cari ibuku," Mas Syamsudin berujar sambil berdiri memandang langit biru. "Kalau aku sudah besar dan bekerja, aku akan mengelilingi dunia untuk mencari ibuku! Itu cita-citaku!"

Mata Mas Syamsudin berbinar-binar. Senyumnya lebar. Dia tampak bahagia dan berhasrat ketika membicarakan ibunya. Sosok yang sekali pun tak pernah ditemuinya.
*
Waktu berlalu, kami sudah dewasa. Mas Syamsudin tidak melanjutkan ke SMA karena masalah biaya.

Suatu waktu dia pernah bilang kepadaku,"Aku rindu masa-masa sekolah. Masa yang sangat menyenangkan. Aku ingin sekolah lagi, tapi gaada biaya."

Wajahnya itu sendu dan kuyu. Raut kecewa tampak jelas di matanya. Ah, orang-orang kecil memang harus siap kecewa setiap waktu.

Saat dia berkata seperti itu; hari itu angin tak begitu kencang. Aku jadi teringat kami bertiga--aku, Mas Syamsudin, dan seorang saudari lain yang saling bertetangga--sudah hidup bertahun-tahun tanpa sosok bernama ibu.

Beruntung sekali Mas Syamsudin gemar memasak. Ketika ada hajatan di kampung, Mas Syamsudin pasti membantu memasak. Sehingga kalau memasak untuk dirinya dan ayahnya, dia tidak keberatan. Dulu dia juga pernah bilang ingin menjadi chef. Walaupun karena hobbinya itu dia malah sering dibully dan sering direndahkan. Bahwa laki-laki harus ke kebun membawa arit. Belajar nguli dan tukang-menukang. Sedang perempuan di dapur dan sumur. Aku tak mengerti seperti apa perasaannya saat dikata-katai begitu.

Esoknya setelah pembicaraan kami berdua, Mas Syamsudin pergi ke kota untuk bekerja. Dia mengikuti salah seorang paman kami yang sukses dalam bisnisnya. Paman kami berjualan bakso. Hampir sekitar lima belas tahun paman membesarkan bisnisnya dengan sangat susah payah, akhirnya sekarang bisnisnya terus lancar. Mobilnya sudah tiga dan salah seorang anaknya akan menjadi PNS.

Lama kami tak berjumpa. Sekitar beberapa tahun. Mas Syamsudin agak berubah. Sekarang rambutnya dicat pink dan ungu. Dia sering jalan-jalan di sekitar kota. Nongkrong di kafe atau sekedar nampang di mall. Aku lihat dari foto di fesbuknya.

Hal yang serupa tak kujumpai saat dia pulang ke kampung. Rambutnya tidak berwarna pink dan ungu. Badannya agak kurus dan gelap. Dan, hal aneh yang kusadari, wajahnya selalu murung dan kadang aku memergokinya menangis.

Saat pergi ke kali aku melihatnya duduk di dalam rumah dengan bertopang dagu. Melamun. Bersedih.
Suatu ketika saat aku lewat di depan rumahnya, Mas Syamsudin sedang mencabut rumput. Jelas-jelas aku melihatnya menunduk memandangi rumput sambil berurai air mata.

Beberapa minggu lamanya aku melihat Mas Syamsudin terus larut dalam kesedihan. Akhirnya aku mendengar kabar dari keponakanku yang dekat dengan Mas Syamsudin. Biang dari segala luka-lukanya selama ini.

Begini kata keponakanku itu :

Saat bekerja dengan paman, Syamsudin meminta bantuan ke paman untuk mencarikan ibunya. Selain orang kaya, paman juga sangat tahu identitas ibu Syamsudin dan segala cerita tentang keluarga Syamsudin.

Singkat cerita Syamsudin diantar paman dan keluarga paman ke rumah ibu Syamsudin. Mereka menaiki mobil menuju daerah sekitar pinggiran Lamongan.

Syamsudin melihat burung berpacu dari dalam kaca mobil. Di seberang sana ada pegunungan hijau yang tampak bersahaja. Walau langit di atas agak abu-abu karena musim hujan, dalam batinnya terbit matahari baru. Semangat dan gairah tak perlu diundang, sebab ia lahir dari sel darahnya sendiri. Salah satu daerah di Lamongan terkena banjir, menurut berita; sedangkan Syamsudin kebanjiran suka cita.

Sekarang mereka sudab tiba di kediaman ibunya. Syamsudin dan paman sekeluarga turun dari mobil. Betapa tidak karu-karuan hati Syamsudin. Antara begitu gembira dan gugup karena akan menemui pujaan hatinya.

Dia melihat rumah ibunya itu, rumah yang sederhana. Tidak terlalu mewah dan juga tak terlalu jelek. Paman mengetuk pintu rumah tersebut.

Beberapa lama kemudian muncul seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Matanya dan mata paman saling bertemu. Sekilas ia menatap juga pada mata bibi. Mata yang tak asing. Mata yang menguakkan kenangan berdarah-nanah.

"Sutiyem! Ini aku Bejo dan Siti!" kata Paman Bejo.

Wanita bernama Sutiyem, yang tidak lain adalah ibu Syamsudin, menyilakan mereka semua masuk dan duduk di dalam. Sutiyem melihat beberapa wajah yang tak pernah dilihatnya, anak-anak Paman Bejo dan seorang lagi yang sepertinya pernah dilihatnya.

Syamsudin tak melepas pandangnya dari Sutiyem itu. Saat dia duduk, berdiri, atau berbalik, ia melihatnya dengan saksama dan penasaran. Dia sangat ingin tahu apakah Sutiyem inilah ibunya.

"Paman, Paman! Itu ibuku? Dia ibuku?" tanya Syamsudin antusias saat Sutiyem ke dapur membuat teh.

"Iya, Le.... Itu ibumu. Senang kamu?" tanya Paman Bejo.

Syamsudin mengangguk keras-keras,"Iya!"

Sutiyem datang membawa nampan berisi teh dan kue. Di belakangnya muncul seorang lelaki yang kemudian menyalami tamu-tamu yang tak dikenalnya itu. Sutiyem duduk di sebelah lelaki itu.

"Njenengan dari mana, Pak?" lelaki itu bertanya.

"Dari Lumajang ini, Pak," jawab Pak Bejo. "Lho, njenengan ini suaminya Sutiyem toh?"

"Enggih, saya suaminya," katanya.

"Lho, Yem, kowe iki rabi gak undang-undang aku, Yem," timpal bibi, istri paman.

Wanita bernama Sutiyem itu hanya tersenyum simpul dan menunduk. Bibi melihat gestur tidak nyaman dari tubuh Sutiyem. Seolah tak senang dikunjungi mantan kakak iparnya. Mungkin peristiwa belasan tahun lalu masih segar dalam ingatan Sutiyem. Sedangkan bagi paman dan bibi semua itu hampir terkubur.

"Anakmu berapa sekarang, Yem?" lanjut bibi.

"Tiga, Mbak," jawab Sutiyem singkat.

Suasana hening sejenak. Di sini semua saling tidak mengenal dan asing. Hanya dada Syamsudin yang bergemuruh hebat. Matanya hampir lepas menatap Sutiyem.

"Yem, ini yang perempuan-perempuan anakku. Dian dan Rahma," Paman Bejo mulai berbicara dengan serius dan mantap. "Kalau yang laki-laki ini, cobalah kamu ingat-ingat. Kamu tahu siapa dia?"

Sutiyem memandangi anak lelaki yang barusan ditunjuk Paman Bejo, Syamsudin. Wajahnya mewarisi wajah mantan suaminya dulu. Hanya saja hidungnya lebih mancung dan kulitnya agak gelap.

"Mata dan hidungnya ... seperti milikku," gumam Sutiyem dalam hati. "Apa mungkin ... dia ...."

"Ibu, aku anakmu!" tukas Syamsudin dengan senyum sangat lebar dan mata terpejam.

Sontak Sutiyem langsung berdiri dan terkesiap. Benar, anak ini adalah anak laki-laki bajingan itu! Sutiyem tak bisa terima. Memorinya bersama mantan suaminya tak bisa dihapus begitu saja. Melihat Syamsudin, dia seperti melihat bajingan itu lagi! Darahnya memanas dan didih setiap mengingatnya.

"Ngapain kamu di sini!" Sutiyem membentak sangat keras.

Bibi berdiri dan menggapai tangan Sutiyem,"Yem, iki anakmu, Yem!"

Sutiyem menghalau gapaian tangan Bibi Siti dengan kasar. "Aku gak pernah punya anak dari bajingan itu, Mbak!"

Suami Sutiyem kebingungan dan mencoba menenangkan istrinya yang tiba-tiba kalap. Dulu dia pernah mendengar sedikit cerita tentang mantan suami Sutiyem. Sungguh tak disangka-sangka sekarang ia bertemu anak dari hasil Sutiyem dan mantan suaminya.

"Arek iki salah opo, Yem! Seng salah iku bojomu! Gudug arek iki!" Paman Bejo ikut berdiri.

Syamsudin kebingungan melihat reaksi ibunya. Mengapa ibunya tidak bahagia dengan kehadiran dirinya? Malah marah-marah dan histeris.

Matahari di langit pecah. Baranya menembus kulit dan dada Syamsudin. Banyak aroma luka berterbangan dari Sutiyem, seorang wanita yang begitu tabah dan kuat.

"Pokoknya aku gak mau tau, Mbak Siti! Dia bukan anakku!" ucap Sutiyem sambil menunjuk wajah Syamsudin.

Mendengar itu Syamsudin menangis. Hatinya teriris-iris. Bayangan tentang ibu yang selama ini dipikirkannya sirna. Ibu yang baik, yang mau membelai rambutnya, mau menyiapkan sarapan, mau mendengar cerita tentang gadis yang disukainya, dan semuanya; wanita itu tidak ada. Yang ada hanya seorang Sutiyem yang tidak mau mengakui hubungan darah yang mereka miliki, wajahnya merah padam, dan matanya berair karena marah.

"Gendeng kowe, Yem! Iki anakmu! Awakmu seng ngelairno!" Bibi membentak Sutiyem dan mengguncang-guncang tubuhnya.

"Sudah, Mbak! Sudah! Pergi kalian dari sini! Aku gak mau tau," kata Sutiyem bersamaan saat air matanya pecah. Dia tidak sanggup lagi menahan perih di dadanya mengingat mantan suaminya.

"Ma, sabar sik tah lah! Semua bisa dibicarakan baik-baik," kata suami Sutiyem.

Sutiyem hampir rubuh tak kuat menyangga tubuhnya. Ia terhuyung hendak menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti karena--

"Bu, peluk aku saja!" kata Syamsudin yang beruraian duka. "Kalau Ibu tidak mau melihatku lagi, peluk aku sekali saja kemudian aku akan pergi!"

Syamsudin berharap sekali saja inginnya ini dikabulkan. Seumur hidup hanya ibu yang ia harap dan puja. Ratusan waktu merindui wanita yang tak ada satu pun kenangan tentangnya. Segala hari dilewati untuk hari ini. Hari bertemu ibu.

Sutiyem acuh. Ia terus berjalan menuju kamar meninggalkan Syamsudin yang semakin remuk.

Beberapa jam Syamsudin dan yang lain menunggu Sutiyem keluar dari dalam kamar. Syamsudin terus-menerus menangis. Dia terus menggumam bahwa dia ingin dipeluk ibu. Hatinya hancur. Sangat hancur.

Hari sudah hampir sore. Sutiyem tak juga mau keluar. Suami Sutiyem dengan lembut mempersilakan tamu-tamunya untuk pulang dan menemui Sutiyem lain waktu. Suasana sudah buntu dan ribut. Entah dengan apa lagi semua harus dihadapi.

Akhirnya, dengan menanggung nyeri yang abadi, Syamsudin pergi dari tempat itu. Pasrah merasai luka yang sudah di puncaknya. Begitulah akhirnya buat Syamsudin. Sepilu ini. Sepahit ini
*

Ketika Mas Syamsudin lahir, Sutiyem merawatnya dengan sepenuh hati. Ayah Mas Syamsudin bekerja serabutan. Penghasilannya tak seberapa, Sutiyem menerima apa adanya. Ayah Mas Syamsudin tidak memiliki rumah. Ia masih menumpang di rumah adiknya, Bibi Siti. Sutiyem tak pernah protes.

Saat itu usia Mas Syamsudin masih belum sampai dua tahun. Ia menaiki sepeda roda tiga dan berkeliling-keliling di ruang tamu. Mas Syamsudin kecil begitu gembira. Karena terlalu gembira, Mas Syamsudin jatuh tersungkur ke tanah. Dengan sigap Sutiyem meraihnya. Tapi, melihat hal itu ayah Mas Syamsudin marah besar. Tanpa basa-basi Sutiyem dipukul habis-habisan. Pipi dan kepalanya remuk semua dengan tangan ayah Mas Syamsudin yang kekar. Sutiyem hanya bisa menangis dan pasrah.

Keributan selalu terjadi di rumah Bibi Siti karena ulah ayah Mas Syamsudin. Sedari pacaran dulu Sutiyem paham karakter lakinya ini. Tetapi dia tidak sanggup meninggalkannya karena sangat mencintainya. Dia berusaha mempertahankan rumah tangga mereka. Sebisa mungkin mulutnya terkunci tidak mengumbar-umbar kebusukan suaminya di hadapan siapapun.

Sutiyem yang pendiam dan penurut itu terus mencoba bertahan. Namun, apa daya. Sutiyem hanya perempuan biasa yang tak kuat dipukul setiap hari. Kesabaran dan harapannya dulu berubah menjadi amarah dan kebencian. Sutiyem yang sabar dan penurut akhirnya marah dan berontak. Tanpa membawa apapun, kecuali trauma mendalam tentang rumah tangga, Sutiyem kabur dari rumah meninggalkan anaknya yang baru berusia dua tahun lebih sedikit. Hatinya sudah bulat dan penuh oleh trauma itu. Ia berusaha melupakan semua kesakitannya itu.

Itulah sebagian kisah keluarga Mas Syamsudin yang kudapatkan dari tetangga-tetangga.
*
Di akhir malam tanpa bintang, saat aku menemaninya duduk di pelataran rumah yang dingim dan gelap, Mas Syamsudin angkat suara.

"Akhirnya aku punya kenangan tentang ibuku. Seseorang yang tinggi dan kurus. Hidungnya mancung. Matanya lebar seperti mataku.

Selama ini dia hanya mimpi bagiku. Sejak kecil hingga dewasa aku selalu memimpikannya. Aku pernah mencoba menemuinya dalam kenyataan.

Dia adalah perempuan yang tidak mau mengakui darahnya dalam tubuhku. Dia menolak keberadaanku. Dia membenci aku. Sedikit pun aku tidak tahu apa salahku," Mas Syamsudin berkata terbata-bata menahan tangis.

"Aku tidak tahu bagaimana rasanya dicium ibuku, tapi aku tau rasanya tidak diinginkan ibuku sendiri. Diacuhkan orang yang melahirkan aku."

Dadaku sesak. Tanpa terasa aku juga menangis untuknya.

"Aku tidak tahu, mengapa orang lain memiliki ibu.... Tapi, Tuhan tidak menciptakan seorang ibu untuk aku," lanjut Mas Syamsudin dengan tangis yang semakin parau. Aku segera memeluknya dan menghamburkan tangis di dadanya. Takdir macam apa yang meliputi saudaraku itu.

Dengan nada rendah dan hampir tak sampai dia bergumam,"Tidak ada ibu untukku...."

Dampit, 17 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar