Wes Tau!
Oleh : Dian Re
"Ma! Mama blokir kartu kredit aku?" Aku menyentak Mama yang sedang duduk di kursi membaca majalah.
Mama melirik kecil, tak menatapku sedikit pun.
"Iya," jawabnya singkat.
"Kenapa Mama blokir sih? Terus aku dapet uang jajan dari mana?" tanyaku kesal sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
Melihat respon Mama yang datar dan tak mempedulikanku, aku segera menghampirinya dan membanting majalah yang sedang ia baca.
"Mama dengerin aku gak sih?" aku berkata semakin keras. "Mama gak pernah dengerin aku! Mama selalu sibuk sama temen-temen mama yang sosialita itu! Keluar kesana kemari, yang arisanlah, party-partylah, apalah! Mama aja selalu ngabisin duit papa, masa aku gak boleh!"
"Diem kamu anak kecil!" kata Mama sembari berdiri mendekatiku. "Liat aja sendiri papamu itu! Pernah keliatan pulang ke rumah gak?"
Sekarang Mama tampak marah juga. Nafasnya menderu.
"Aku gak peduliii! Pokoknya jangan blokir kartu kreditku, Ma!" pintaku dengan keras.
"Dasar bocah! Papamu itu udah gak nafkahin Mama! Berbulan-bulan gak tau dimana rimbanya. Siapa bilang Mama ngabis-ngabisin uang papamu? Mama pakek uang Mama sendiri!" Mama membentakku. "Makanya kamu jadi bocah yang tau diri! Jangan bisanya ngabis-ngabisin duit mulu!"
Aku semakin kesal mendengar jawaban itu. Bagaimana bisa, aku yang hidup bergelimang kemewahan tiba-tiba harus 'berhemat'. Tidak ada dalam kamusku!
Mama mengeluarkan lembaran merah dari dompetnya. Tangannya menggapai tanganku dan menaruh uang itu di atas tanganku. Aku tersenyum lebar melihatnya. Ini yang kunanti-nanti.
"Buat sebulan! Kalo gak cukup, Mama gak mau tau!" ucap Mama sembari segera pergi berlalu.
Dengan senang hati kuhitung uang itu. "Apa? Cuma dua juta, Ma?" aku melongo. "Maaa, ini gak cukup, Maaa!" Aku pergi berlari mengejar Mama.
*
Benar-benar bangsat mamaku itu! Mana mungkin dua juta cukup untuk biaya hidupku selama sebulan. Dalam perjalanan pulang ke kos-kosan, aku terus memaki-maki mama. Aku butuh uang banyak. Aku sekolah di sekolah yang gak murahan. Isinya cuma orang-orang kaya dan elite. Setiap hari sepulang sekolah pasti nongkrong di mall atau kafe. Aku harus pakai barang bagus, bermerk, dan terbaru. Biar gak kalah dengan yang lain. Aku juga harus rajin perawatan ke salon. Wajib ini. Bagiku kecantikan adalah segala-galanya. Dua juta? Gak cukup!
Saat berjalan menuju kamar kos yang tinggal beberapa langkah, aku melihat mobil mewah turun di depan rumah kos. Tak lama kemudian turun seorang wanita dari dalamnya. Ternyata wanita itu Vanya! Temen deketku.
"Chelsea!" Vanya menyapaku dari jauh.
Aku hanya melambaikan tangan. Vanya membalikkan badan sejenak mengobrol dengan laki-laki di dalam mobil lalu mobil itu segera pergi. Kemudian Vanya menghampiriku.
"Baru nyampek, Chel?" tanya Vanya.
"Iya, nih," jawabku singkat. "Eh, siapa tuh yang di mobil? Bagus banget mobilnya. Mobil mahal!"
"Haha," Vanya tertawa singkat,"Itu om gue. Nganterin gue."
"Gilak! Kaya ya om lu," kataku.
Vanya hanya meringis lalu segera pergi ke dalam kamar kos yang terletak di sebelah kamarku.
*
Esoknya sepulang sekolah aku berencana pergi ke mall seperti biasa. Aku mengajak Vanya. Tapi dia menolak.
"Aku ada janji nih, acara keluarga," kata Vanya.
"Oke deh kalo gitu," jawabku sedikit kecewa.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Aku dan Vanya menoleh ke mobil yang berhenti di seberang jalan.
"Itu gue udah dijemput om gue. Duluan ya!" kata Vanya sambil berjalan meninggalkanku. Aku melambaikan tangan padanya.
Gila! Sekarang mobil omnya Vanya sudah ganti lagi. Warnanya berbeda dengan mobil yang kemarin. Saat Vanya membuka pintu mobil, aku melihat sedikit wajah laki-laki di dalam mobil itu.
"Kok wajahnya beda dengan om yang kemarin?" ucapku dalam hati. "Ah, mungkin aku yang gak jelas ngeliatnya."
*
Aku mengitari mall dengan wajah muram. Banyak hal menggoda di sekelilingku. Barang-barang mewah dan bermerk. Ah, sungguh memilukan hatiku.
Separuh uang dari mama kemarin sudah habis. Separuh lagi kalau aku habiskan, makan apa aku besok? Ah, rasanya benar-benar ingin merutuki mama dan papa.
Aku berhenti di depan sebuah etalase yang menjual jam tangan mahal. Uangku tidak cukup untuk membelinya. Aku hanya melihatinya dari luar.
Lalu sebuah tangan yang besar memegang pundakku.
"Lagi apa, Non?" Seorang pria berjas dan berdasi hitam menyapaku. Tampaknya orang kaya. Berusia sekitar 35-an. Perutnya buncit dan kulitnya sedikit kecoklatan.
"Gak apa-apa, Pak," jawabku sambil menunduk.
Lalu pria itu menghampiri penjual jam tangan tadi. Dia mengeluarkan uang dan membawa sebuah jam tangan itu pergi ... mendekatiku.
"Buat kamu," pria itu mengulurkan bungkusan berisi jam mahal itu padaku. Aku agak terkejut hingga melongo beberapa saat.
"Kok diam aja? Mau enggak?" tanya pria itu sambil tersenyum.
Aku menunduk. Ragu dan takut. Tanpa seizinku, pria itu menarik tanganku dan menyerahkan jam tangan itu di tanganku.
"Jarang-jarang loh om baik hati," katanya,"Yuk, temenin om jalan-jalan."
*
Hari-hari berikutnya akhirnya aku sering berjalan-jalan dengan Om Doni, pria yang membelikanku jam tangan. Awalnya aku agak takut saat berjalan dengannya, tapi karena dia sering membelikanku ini itu aku jadi suka padanya. Walaupun secara fisik dia bukan tipeku. Pun dia tidak bisa dibilang tampan. Setiap jalan-jalan bersamanya aku pasti diberi uang. Dengan begitu aku masih bisa terus ke salon, nongkrong di mall, dan beli barang-barang mahal.
"Om Doni, aku udah pulang nih. Udah di depan sekolah. Jemput aku ya, Om," kataku di telpon.
"Iya, sayang. Om hampir sampek nih," balas Om Doni dari kejauhan.
"Jalan, yuk, Chel!" tukas Vanya tiba-tiba dari belakang, membuatku hampir jantungan.
"Aduh, aku gak bisa, Van," jawabku.
Akan bahaya sekali kalau Vanya tahu aku akan jalan-jalan sama Om Doni. Terlebih sebentar lagi aku akan dijemput Om Doni. Vanya tidak boleh tahu hal ini. Sangat memalukan jika aku ketahuan jalan-jalan sama om-om yang perutnya gendut dan tua.
"Kenapa Chel?"
"Gue ... gue ... gue mau bersihin kos!" kataku sekenanya.
"Hah?" Vanya memasang wajah heran. "Lo? Bersihin kos? Yakin?"
"Iya, soalnya kos gue kotor banget. Kan jijik. Kulit gue ink gabisa sama debu. Jadi harus bersih," kataku mengada-ada.
Tin tin! Terdengar dari seberang jalan suara klakson mobil. Aku menoleh, oh tidak! Om Doni! Dia melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Beruntung saat itu Om Doni mengenakan kaca mata sehingga Vanya tidak bisa melihat dengan jelas wajah Om Doni dari jauh. Om Doni pun tampaknya tak begitu fokus pada sosok Vanya di sisiku.
"Lo kenal dia Chel?" tanya Vanya padaku.
Aku kebingungan mendengar pertanyaan Vanya. "Eng enggak! Gak kenal! Mungkin dia jemput anaknya di sini! Udah ah, gue balik ke kos dulu."
Aku pergi meninggalkan Vanya dan Om Doni pulang ke kos. Tak peduli bagaimana bingungnya Om Doni.
*
"Iya, Ommm. Om jangan muncul pas ada temenku deh. Bisa gawat kalo mereka tauuu! Aku gak mau reputasi baikku hancur, Om! Aku ini tenar di sekolah, Om. Kalau semua orang tau bisa malu aku. Mau taruh dimana mukaku!" kataku panjang lebar saat makan bareng Om Doni di kafe esok harinya.
"Oke deh. Mendingan kamu pindah kos aja, Chel. Nanti Om siapin apartemen yang lebih bagus buat kamu," balas Om Doni sambil meraba tanganku.
"Apartemen, Om? Ihhh, Om Doni baik bangettt!" Aku memeluk Om Doni.
Om Doni menarik daguku ke wajahnya dan berkata,"Iya, biar kita lebih bebas."
*
Aku segera pindah ke apartemen yang diberi Om Doni. Apartemennya lebih besar dan mewah. Ini apartemen mahal. Aku dan Om Doni menjadi sering menghabiskan waktu bersama di tempat itu. Kadang Om Doni tidak pulang.
Setelah seharian suntuk di dalam apartemen, aku mengajak Om Doni keluar. Kami jalan-jalan ke mall sambil beli ini-itu lagi. Apapun yang aku minta pasti diberi.
Mendadak suasana girang itu menjadi tegang. Dari kejauhan aku melihat Vanya. Dia pun melihatku.
"Chelsea!" Vanya memanggilku.
Aduh, mati aku!
"Om, ayo pergi dari sini cepet! Ayo!" Aku menarik tangan Om Doni dan berjalan cepat menjauhi Vanya.
"Ada apa sih?" Om Doni tampak kebingungan.
"Udah, ayo, Om!"
Biar pun aku berjalan begitu cepat, Vanya tak kalah cepat. Ia berlari menghampiri aku dan Om Doni. Tangannya menarik pundakku dari belakang. Akhirnya mau tidak mau aku menoleh ke belakang. Ah, sial.
"Chel, ngapain sih lari-lari! Capek tau!" kata Vanya dengan nafas ngos-ngosan.
"Lho, Vanya!" sahut Om Doni, terperangah melihat Vanya.
"Om kenal Vanya?" tanyaku penuh keheranan.
"Lho, kamu sama Om Doni, Chel?" Pertanyaan Vanya makin membuatku bingung.
Aku semakin gugup dan bingung. Pokoknya aku tidak boleh ketahuan. Aku berbohong saja.
"Iya.... Kenalin, Van. Ini paman aku dari jauh," kataku dengan terbata-bata.
"Hahaha," Vanya terbahak-bahak agak lama. "Tenang aja kali, Chel!"
Dahiku mengernyit. Apa maksudnya itu?
"Aku juga udah pernah kok sama Om Dani," kata Vanya sambil cengengesan. "Angela, Giselle, Dewi, Vera, Joy, sama beberapa yang lain juga udah pernah kok! Ya kan, Om Doni?"
Om Doni hanya tersenyum simpul.
Aku lega, lalu terbahak-bahak.
Dampit, 16 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar