Senin, 24 September 2018

NAGA DI TANAH JATAYU (Cerita fiksi)

NAGA DI TANAH JATAYU

"Bunuh keduanya!! " perintah Indra kepada kedelapan Sempati-nya.
"Stop " Isyana berusaha menghentikan kedelapan Gardapathi adiknya.
" Aku tak ingin melukai kalian " tambahnya.
"Apalagi yang kalian tunggu? Tolol!. Atau kalian ingin bernasib seperti dua Sempati bodoh ini " ujar Indra menghardik kasar sembari menunjuk jasad dua Sempatinya yang telah tewas.
Ahirnya, kedelapan Sempati yang tersisa langsung menyerang Isyana menggunakan
astra -senjata- masing-masing. Dikarenakan Sempati bukanlah pemantra yang handal, mereka lebih memilih bertarung menggunakan
astra.

Dengan tangan kiri merapal Ajian Tameng Bayu untuk melindungiku dan mengembalikan kibasan sastrikha -pedang- para Sempati, Isyana merapal Ajian Bayusastrikha untuk menyerang balik para Sempati. Akibatnya dua orang Sempati sekaligus jatuh tersungkur dengan kaki, tangan dan sayap terpenggal.

"Maaf, aku terpaksa melumpuhkan kalian " ujar Isyana.
Serangan keenam Sempati yang tersisa semakin gencar. Dari berbagai arah mereka menyerang Isyana. Dari kiri, kanan, dari depan, belakang bahkan dari atas, namun Isyana selalu berhasil mengelak dan melindungiku.
Sembari menangkis dan sesekali membalas serang para Sempati pengeroyoknya, Isyana memintaku melata menjauhi medan pertarungan menuju Dwarapratala . Sedikit demi sedikit, di bawah perlindungan Isyana. akhirnya kami mencapai sebuah tepian jurang yang dasarnya tak nampak, inilah
Dwarapratala. Di sini, tanahnya masih mau tunduk dan patuh padaku,
"Hiat " seorang Sempati melompat mengayunkan sastrikha -nya ke arah kepala Isyana. Dengan sedikit gerakan mengelak, Isyana berhasil menghindar, dan Sempati ini pun ku sambut dengan Ajian Tapak Bhumi , membuatnya terpental ke belakang beberapa tombak, lalu tersungkur tak sadarkan diri.
"Lumayan " ujarku dalam hati. Penyerang kami kini tinggal lima Sempati dan Indra seorang.
"Cukup ! Mudur kalian " tiba-tiba Indra berteriak.
"Kanda, maaf, benar katamu tadi, tak ada gunanya kita menumpahkan darah sesama Jatayu hanya karena naga brengsek ini ".
"Aku bersedia melepaskannya, dan juga memafkan kesalahanmu membelanya dengan satu syarat "
"Apakah itu Dinda?" tanya Isyana Penasaran.
"Berikan statusmu sebagai Garudasutha padaku dan serahkan cangkang telurmu ".
Isyana terlihat ragu.
"Tenang saja, ini hanya kugunakan sebagai jaminan bahwa kau tak akan menentangku kelak, saat aku telah menjadi Garudasutha".
"Ayolah, kita kan bersaudara, dan aku mohon maaf atas ketidaksabaranku tadi " bujuk Indra pada Isyana.
"Hmm..Baiklah, sekembalinya kita ke Sembhalun, akan ku sampaikan pada ayah kita, bahwa aku mundur sebagai Garudasutha dan memilih manjadi pandita, sehingga engkau akan ditunjuk untuk menggantikanku ".
"Dan ini..., cangkang telurku. Berjanjilah bahwa kau akan menjaganya baik-baik, agar tak ada yang menyalahgunakannya " pinta Isyana sembari memberikan cangkangnya.
"A ku bersumpah atas nama ayah kita, akan kujaga cangkangmu, sebagaimana aku menjaga cangkangku sendiri" Indra bersumpah pada kakaknya.
"Baiklah Saka, mari kuantar kau menemui keluargamu "
"Tapi..kisanak, tidakkah engkau takut memasuki dunia kami, musuhmu ?" tanyaku meragukan ajakannya.
"Untuk apa aku takut? Toh aku tak berbuat jahat padamu " jawabnya.
Disaat Isyana membimbingku melata menyusuri pinggirian Dwarapratala, tanpa kami sadari, kelima Sempati yang tersisa membidikkan sayakha- nya padaku sedangkan Indra merapal Ajian Bayusayakha Mukti , dengan cangkang Isyana sebagai mata panahnya.
"Panah mereka! "
Terlambat bagi kami berdua, di saat Isyana terkonsentrasi menghalau sayakha dari para Sempati, Bayusayakha Mukti milik Indra melesat deras ke arahku. Dengan segera, Isyana membopongku lalu mengepakkan sayapnya. Namun sayang, cangkang Isyana melesat mengoyak pundak kiri Isyana dan menancap tepat di jantungku. Kami berdua pun terjatuh melayang ke dalam Dwarapratala, dan byuuuur.... tercebur ke dalam Telaga Dhanu , tepat di tengah-tengah Sarpaloka, pemukiman utama Naga Akasha . Aku tak sadarkan diri.
********
Kini, ratusan saka sejak terpanah, aku melangkah menyusuri tepian Telaga Dhanu , dadaku yang terkoyak telah tertutup, dan bukan oleh penutup biasa, melainkan cangkang milik Isyana. Menurut cerita ayah dulu, saat itu jantungku telah hancur oleh cangkang Isyana, dan tak mungkin tertolong lagi. Demikian juga dengan Isyana, pundaknya yang terkoyak mengakibatkan sayap kirinya terkulai mati dan darah mengucur dengan derasnya tanpa henti, yang cepat atau lambat akan membunuhnya.
Dengan sisa tenaganya, Isyana mencabut cangkangnya dari dadaku, menyayat dadanya sendiri hingga terbuka, memandang sekilas pada ayah dan kakekku lalu merapal Ajian Lebur Bayu Sakheti . Ayah dan kakek faham apa maksud Isyana, dan bersama-sama merapal Ajian Lebur Bhumi Sakheti . Isyana merenggut jantungnya sendiri, memotong urat-urat sekitarnya dengan cangkangnya lalu meletakkannya dalam dadaku, setelah terlebih dahulu merenggut jantungku yang hancur. Kemudian menutup lubang di dadaku dengan cangkangnya.
"Dengan mengalirnya darah Jatayu dalam tubuhnya, Anantasaka akan hidup kekal".
"Tapi, kumohon pada kalian berdua, ingatkan ia bahwa jantung dan cangkangku ini hanya titipan, hingga suatu saat kelak, keturunanku, Garuda Isyana terakhir datang memintanya kembali " ucapnya sebelum akhirnya Muksa , musnah menjadi debu keemasan, terurai terbawa angin.
Dan disinilah aku menanti, selama ratusan saka, menunggu keturunan terakhir Garuda Isyana, yang menurut ramalan akan membebaskan bangsa Naga.

NOTE: cerita ini diikutsertakan dalam lomba penulisan cerpen Fiksi Fantasi Fantasi Fiesta 2011

"NAGA DI TANAH JATAYU - Halaman 6 - Wattpad" https://www.wattpad.com/1616338-naga-di-tanah-jatayu/page/6

Sabtu, 22 September 2018

The Wisdom of mBah Nun

Berguru pada siMbah

Ratusan atau bahkan ribuan kali berbagai kegiatan Maiyah memunculkan hai-hal fenomenal dan luar biasa, yg membuat kita semua bergembira, bersyukur & meyakini bahwa Allah sungguh-sungguh sedang memperjalankan kita semua.

Maiyah itu urusan besar & mendasar, yg secara nilai ia akan terus mengaliri waktu dgn daya tawar terhadap kenyataan-kenyataan besar yg berskala kemasyarakatan, kebangsaan & kemanusiaan universal.

Perjuangan Maiyah bertahun-tahun telah membuktikan awal dari fenomenologi gerakanya, alternatif formula sosialnya, keunikan & keluasan pandangan-pandangan ilmunya, yg secara keseluruhan terbukti merupakan tawaran yg tidak bisa diremehkan terhadap masa depan kehidupan umat manusia.

Maiyah akan bergulir merambah zaman & masa depan, serta berusia jauh lebih panjang dari setiap pelakunya. Pekerjaan sejarah Maiyah adalah energi nilai sejarah yg tak bisa diperbandingkan dgn yg selama ini di lakukan oleh lembaga-lembaga sejarah, institusi-institusi sosial ataupun arus-arus kebudayaan.

Mungkin pelaku-pelaku rintisan Maiyah tidak atau sepenuhnya belum menyadari bobot yang sesungguhnya dari Maiyah. Mungkin juga berbagai tantangan sulitnya menanamkan nilai Maiyah dalam berbagai lapangan kehidupan sosial, membuat para pelakunya terjatuh-jatuh dan kehilangan peluang untuk mendalami dan menakar seberapa mendasar nilai Maiyah di dalam rentang-rentang peradaban manusia.

Terdapat kerikil-kerikil kecil di jalanan maiyah, lobang-lobang yg memerosokkan, gesekan atau tabrakan di sana sini, dismanajemen & kegamangan formula atau ketidakyakinan atas maiyah itu sendiri. Para pejuang maiyah sangat mungkin melakukan blunder, salah langkah, bertindak tidak akurat, mengambil keputusan yg kurang proposional, dan lain sebagainya, Itu semua wajar karena memang selalu demikianlah yg dialami oleh para pelopor & perintis nilai dalam sejarah yang manapun.

Di dalam posisi & keadaan seperti itu, yg harus dijaga adalah jangan sampai pelaku maiyah merasa menemukan kehancuran hanya karena terserimpung oleh problem-problem kecil, kemudian kehilangan keluasan perspektif maiyah. Jangan sampai para pelaku maiyah terhenti langkahnya karena tidak berani menghadapi sesuatu yg harus dihadapinya. Jangan sampai merasa selesai perjuanganya karena soal-soal kecil yg sesungguhnya juga bisa diatasi cukup dgn langkah-langkah kecil. Sebab Maiyah akan terus mengaliri waktu hingga keabadian.

Kutipan ; "The Wisdom of mBah Nun - Mutiara Ilmu Maiyah Nusantara"

PERUPA ALI ANTONI

Curcol pagi

Beberapa kawan pernah mau mampir ke rumah saya, alasannya, mau liat studio lukis atau galeri karya2 lukis yg ada.

Lalu semua saya jawab, "Saya ndak punya studio, melukis cuma di teras kecil, apalagi galeri, semua lukisan saya selalu terjual habis, pagi bikin sore laku, siang bikin malam sold out, sehingga tak ada stock lukisan."

Ini jawaban tdk bohong.

Saya memang melukis cuma di teras, dan tak ada stock sama sekali.

Saya agak malu dikit aslinya, sbg pelukis tp tak punya karya banyak di rumah.

Prinsip saya lukisan memang harus lepas, entah bagaimanapun caranya.

Dijual, diberikan, dijadikan hadiah, dsb.

Agar jejak waktu yg saya buat menyebar.

Makanya alangkah eman klo anda tdk mengoleksinya, mumpung murah saat2 ini.

Dan pasti berubah harganya puluhan tahun nanti, itu klo dilihat dr segi investasi.

Belum lg nilai historisnya, aspek sosialnya, krn dr sana, banyak dana jatah buku gratis berasal. Disamping bantuan kawan2.

Saya sendiri enak, tdk ngeluarin apa2 kcl energi dan ide.

Mengapa sy tdk mau bersikap spt seniman profesional?

Satu, saya bukan seniman.

Dua, saya tdk bisa profesional.

Dua kata itu terlalu mewah.

Saya ngeri disebut seniman, penulis, sastrawan, penyair, perupa, dan tetek nenen lainnya.

Meskipun jejak2 saya masih ada.

Mencari di google, perupa ali antoni, atau penyair ali antoni, masih mudah ditelusuri, tp saya tinggal itu semua.

Menjadi cuma sekedar bakul onlen kecil2an, tp bisa menyebar ribuan buku gratisan, serta ribuan lukisan murah, itu lebih membuat hidup saya tdk sok.

Krn potensi sombong, sy punya banyak.

Cerdas, penyair, pelukis, kurang apalagi, bisa jd orang kemaki kapan saja.

Tapi tidak sajalah.

Bahkan tetangga2 saya tdk tau posisi saya, mereka kira saya cuma bakul buku, dgn hobi menggambar, dan itu lebih menyenangkan.

Semakin orang tdk tau siapa kita, semakin membuat kita bahagia.

Diejek, bertemu kawan lama, dikira tdk berkembang, direndahkan, bahkan ada yg mengira saya masih jd guru honor, membuat saya bertemu mrk tdk susah nyetel tingkah.

Itu karenanya semua kawan lama saya di fb ini saya hapus semua, paling menyisakan lima orang saja, agar mrk tidak tau proses saya.

Ketika orang berlomba bergaya, saya memilih direndahkan saja.

Lebih enak, lebih bahagia.

Jumat, 21 September 2018

SUBALTERN

Ø Pengertian Subaltern
Istilah subaltern mula-mula digunakan dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia Antonio Gramsci sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas mereka juga tidak memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan.
Menurut Gayatri Chakravorty Spivak subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka.

Ø Gagasan dan Konsep yang Melahirkan Subaltern
Kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai gagasan dan konsep yang membentuknya. Berikut ini beberapa gagasan dan konsep tersebut:
a.       Teori Poskolonialisme
Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat.

b.      Identitas dan Politik Identitas
Manusia sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia dilekatkan berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya eksistensi sosial. Pada dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas erat hubungannya dengan “perbedaan”.

Ø Kaum-kaum Subaltern
Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari pandangan kita. Pandangan yang dicanangkan kaum dominan menjadikan kaum subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan tindakan yang tidak menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu lingkungan sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern seperti buruh, petani, waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya. Berikut ini bebrapa contoh dari mereka:
a.       Buruh
Pengaruh kapitalisme yang mendunia, kaum buruh menjadi kelompok yang menjadi sasaran hegemoni dari kelas atas yaitu majikan dan kaum elit. Pandangan umum mengenai kaum buruh merupakan kelompok kelas bawah yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam segi ekonomi, mereka tergolong lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan diri. Adanya diskriminasi yang mereka alami seperti upah rendah dan tunjangna yang sangat minim.
Sebagai kaum subaltern perjuangan kaum buruh untuk menuju kehidupan yang lebih baik, mereka membentuk sarikat sebagai bentuk representasi untuk berelasi dengan kaum elit. Serikat buruh ini merupakan suatu bentuk kesamaan rasa dalam memperjuangkan perbaikan yang menyeluruh untuk segala aspek kehidupan, terutama persoalan ekonomi.

b.      Waria
Kaum waria dapat digolongkan sebagai kelompok kelas bawah yang mengalami penekanan dan diskriminas dari kelas dominan. Terpinggirnya waria dari ranah publikberkaitan dengan identitas transeksual yang dimilikinya yang belum mendapat pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Kondisi sosial masyarakat saat ini hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan.
Budaya dominan masyarakat yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan menyebabkan kaum waria mengalami diskriminasi dalam kelompok masyarakat. Diskriminasi yang dialami kaum waria berhubungan erat dengan stereotype dari masyarakat umum bahwa kaum waria dekat dengan hal negatif. Dalam hal ini penyimpangan seksualitas, penderita HIV/AIDS dan  juga digolongkan sebagai komunitas yang memiliki tingkat pendidikan rendah yang tidak mempunyai ketrampilan selain berdandan. Kaum waria sebagai subaltern dipahami dengan melihat pendiskriminasian dari kelompok masyarakat lain.
Diskriminasi dalam kaum waria terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya. Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan kelompok lain. Posisi waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini mengalami diskriminasi dalam akses administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Misalnya dalam pembuatan KTP sebagai bentuk pengakuan menjadi warga negara Indonesia, KTP juga menjadi prasyarat untuk mengakses hak-hak politik dan sebagai alat untuk mengakses pelayanan publik lainnya. Sering mengalami kesulitan dalam pembuatannya, mulai dari prasyarat yang dibutuhkan seperti Kartu Keluarga (yang jarang dimiliki oleh Waria yang tereksklusi dari keluarganya), penegasan identitas waria dalam KTP (karena hanya terdapat dua jenis kelamin pilihan kelamin yakni laki laki dan perempuan), juga dalam foto yang digunakan dalam KTP (waria harus berfoto dengan wajah “aslinya”
sebagai laki-laki). Belum adanya pengakuan dari pemerintah ini yang membatasi waria untuk menegaskan identitasnya.
Waria sebagai subaltern tidak memiliki  kemampuan untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting dalam mewujudkan pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha merubah paradigma negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam kehidupan sosial. Upaya dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai aktivitas diskusi baik formal maupun non formal dengan masyarakat luas, dan juga melalui media tulisan untuk membuat suatu wacana. Selain elite waria, akademisi juga berperan dalam merepresentasikan identitas waria dengan melakukan penelitian dan kajiannya yang berpengaruh pada identitas waria.
Kaum subaltern yang tereksklusi ini, dapat memberi pengaruh dan tekanan pada elit. Seperti contoh pada kalangan waria yang seharusnya mendapat pengakuan dalam ranah pemerintah ini, memerlukan pembuatan suatu kebijakan untuk kalangan waria, agar tidak tereksklusi dalam ranah publik. Kaum subaltern juga bisa menjadi kelompok penekan terhadap suatu kebijakan pemerintahan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kalangan ini. Meski terdapat kalangan yang memilih dalam ranah yang berbeda dalam lingkup dominan, bukan berarti perbedaan tersebut menempatkan mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik. Apalagi dengan adanya perbedaan bentuk perlakuan pada kalangan ini yang cendrung diskriminatif sungguh membuat hak-hak mereka menjadi tidak terekonstruksi secara nyata.

c.       Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa di Indonesia yang tidak mempunyai cukup ruang untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebudayaannya. Di Indonesia sendiri terdapat dikotomi warga negara berdasarkan perbedaan etnik. Dikotomi pribumi dan non-pribumi menjadi persoalan etnis dan pada gilirannya menyebabkan permasalahan identitas. Tionghoa selalu dicitrakan sebagai pendatang sehingga identitas non-pribumi selalu dilekatkan kepadanya, sebagai penguasa ekonomi, dan memiliki identitas homogen. Citra ini dibentuk oleh kaum dominan dan ditumbuhkan secara terus menerus. Identitas mereka sering didefinisikan secara paksa oleh kaum dominan, terlebih lagi negara yang demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya berperan menjalankan politik identitas. Tidak hanya pergulatannya dalam identitas bangsa tetapi juga berhadapan dengan struktur dan budaya lokal.

Salah satu kasus subaltern :
“Persoalan Perempuan Seni Tradisi”
Meneliti kehidupan perempuan seni tradisi hampir dipastikan akan menemui dua persoalan besar. Pertama, seni tradisi yang menempati posisi tidak menguntungkan, khususnya jika dibandingkan dengan kehadiran jenis seni lain yang sifatnya lebih popular. Seni tradisi yang sedari awal munculnya selalu mengandalkan apresiasi, interaksi, dan keterlibatan penonton serta seluruh pelaku tradisi kesenian itu kini tidak lagi demikian. Entah sejak kapan, tetapi tampaknya belum terdapat satu hasil penelitian yang cukup konkret menggambarkan terpisahnya seni tradisi dari penonton dan pelaku tradisinya.
Kedua, perempuan seni tradisi itu sendiri. Dalam berbagai konteks, perempuan seni tradisi selalu bertarung bukan hanya untuk bertahan dari gempuran kuasa patriarki dan tudingan negatif dari publik melainkan juga upaya keras untuk mendapatkan penghasilan ekonomi sebagai cara bertahan hidup. Saat ini jamak ditemukan perempuan seni tradisi yang harus hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, meskipun masih ada juga yang hidup dalam kondisi ekonomi berkecukupan. Tetapi hal ini tentu berbeda ketika sebelum 1990-an seni tradisi masih menjadi idola dan ruang bagi pelepasan hasrat masyarakat.
Ketika melihat fakta di lapangan tentang perempuan seni tradisi masa kini yang kontras antara apa yang mereka tunjukkan di panggung dengan kehidupan keseharian, maka apa yang seketika terbetik dalam benak peneliti dan perasaan apa yang muncul saat itu? Apa yang terbetik dalam benak dan apa yang dirasakan oleh peneliti inilah yang sangat memengaruhi hasil sebuah karya penelitian. Seorang perempuan peneliti yang peka terhadap kehidupan perempuan akan menghasilkan karya yang berbeda jika dibandingkan dengan peneliti lain yang tidak peka dengan persoalan perempuan, entah disebabkan karena dirinya laki-laki yang memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan perempuan atau karena penggunaan sudut pandang yang berbeda pula.
Perempuan seni tradisi senantiasa berada pada dua wilayah, yaitu wilayah panggung pertunjukan yang selalu menampilkan glamoritas, kecantikan, kepiawaian menari, dan peristiwa lain yang serba indah dan wilayah keseharian yang cukup kompleks. Di wilayah panggung pertunjukan, perempuan seni tradisi selalu dipuja oleh penonton karena keindahan suara, kecantikan wajah, dan kepiawaian tariannya. Tidak jarang, pujaan itu semakin menghentak ketika para perempuan seni tradisi itu begitu handal bertarung tari dengan laki-laki.
Sementara dalam kehidupan keseharian, perempuan seni tradisi berhadapan dengan lingkungan sosialnya yang memiliki cara pandang yang beragam. Sebagian masyarakat yang begitu kuat konstruksi keagamaannya sudah hampir dipastikan memosisikan perempuan seni tradisi sebagai perempuan penjaja maksiat. Pengakuan beberapa penari seni tradisi di berbagai tempat tentang sikap miring para agamawan cukup mencerminkan adanya stigma itu. Sebagian laki-laki juga tidak sedikit yang memandang perempuan seni tradisi sebagai perempuan “murah” yang mudah diajak melakukan transaksi seksual. Belum lagi dengan tudingan perempuan lain terhadap perempuan seni tradisi yang dianggap suka merebut suami orang dan menghancurkan rumah tangga perempuan lain.
Di sisi lain, komoditasi seni tradisi melalui pariwisata baik dengan alasan untuk mendapatkan penghasilan daerah maupun penguatan identitas budaya lokal juga berimplikasi serius bagi kehidupan perempuan dan seni tradisi itu sendiri. Karena komoditasi hanya fokus pada upaya eksotisasi seni tradisi, bukan pada penguatan apresiasi masyarakat terhadapnya. Belum lagi jika meninjau keterlibatan pihak pengusaha yang jeli memanfaatkan kekuatan seni tradisi untuk industri, maka semakin menambah kompleks persoalan yang menggelayuti kehidupan perempuan seni tradisi.
Dalam melihat dan memahami kenyataan seperti ini, peneliti sudah sepatutnya jeli untuk melihat keterkaitan berbagai peristiwa yang terjadi. Apropriasi, atau yang secara sederhana dipahami sebagai peleburan perasaan antara peneliti dengan persoalan yang ditelitinya merupakan bagian mendasar yang turut memengaruhi hasil akhir penelitian itu. Maka sangat maklum jika kemudian banyak ditemui karya penelitian atau liputan jurnalistik tentang perempuan yang lebih dominan unsur emosionalitasnya ketimbang pemaparan dan analisis data atau peristiwa yang lebih “pas” dan “koheren”. Hal ini bukan berarti bahwa apropriasi itu tidak penting, justru ia sangat perlu untuk menumbuhkan “kejujuran” menangkap sisi kebersamaan dan mengungkap persoalan yang dihadapi perempuan.
Perempuan seni tradisi masa kini memang akan selalu berada pada posisi gamang karena mereka harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan dan hiruknya derap modernitas yang gegap. Semuanya tidak mungkin ditampik. Di sinilah arti penting penelitian di wilayah perempuan marjinal dimana ia tidak cukup berkutat pada keluhan tentang penindasan terhadap mereka, tetapi perlu juga menguak sisi perlawanan yang bisa menjadi asa untuk mengarungi kehidupan dengan lebih tegar.

KELOMPOK MARGINAL

Ø Klarifikasi atas Istilah Kelompok Marginal
Tidak ada definisi tunggal tentang siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun, terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama. Orang miskin biasanya masuk dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. Sekalipun banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana, kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau “kemiskinan”.

Ø Contoh kelompok marginal
·        Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok pedagang asongan di sebuah terminal terkadang ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.
Sebagai akibat kebijakan perda ini, pendapatan pedagang asongan merosot hingga separuh. Para pedagang asongan, mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak mempercayai wakil terpilih mereka.
Walaupun pedagang asongan merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba diam-diam memasuki area-area terlarang dan coba menjajakan dagangan mereka (yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan. Upaya terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas terminal membawa sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang.

·        Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di kota besar sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas.
Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah kota menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi tetapi setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.
Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi ini cenderung meningkatkan level kompetisi di antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat.
Menanggapi kondisi ini, perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dala

Tuntutan kelompok-kelompok marginal.
Kelompok Marjinal percaya bahwa dalam banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.
Seperti dapat dipelajari dari pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3) kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kota. Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.

Senin, 17 September 2018

Bukan Sekedar Patah Hati. Oleh : Dian Re dolob

Bukan Sekedar Patah Hati
Oleh : Dian Re
(Base on true story gengz dgn sedikit perubahan)

"Kalau aku besar nanti, aku mau cari ibu," kata Mas Syamsudin saat kami asyik menggambar orang-orangan di tanah.

Aku melihat wajahnya. Dia tampak tersenyum bahagia. Di tanah itu ia menggambar sesosok wanita cantik, barangkali ibunya.

"Dunia ini besar, Mas!" sahutku sembari melanjutkan gambaranku di tanah yang entah apa itu. "Kau mau cari dimana itu ibumu?"

Sebenarnya aku tidak yakin dengan impian saudaraku itu. Dia tak tahu kemana ibunya pergi, dimana alamatnya, atau bagaimana rupanya. Bagiku yang kanak-kanak ini, mustahil sekali!

"Ya pokoknya nanti aku akan cari ibuku," Mas Syamsudin berujar sambil berdiri memandang langit biru. "Kalau aku sudah besar dan bekerja, aku akan mengelilingi dunia untuk mencari ibuku! Itu cita-citaku!"

Mata Mas Syamsudin berbinar-binar. Senyumnya lebar. Dia tampak bahagia dan berhasrat ketika membicarakan ibunya. Sosok yang sekali pun tak pernah ditemuinya.
*
Waktu berlalu, kami sudah dewasa. Mas Syamsudin tidak melanjutkan ke SMA karena masalah biaya.

Suatu waktu dia pernah bilang kepadaku,"Aku rindu masa-masa sekolah. Masa yang sangat menyenangkan. Aku ingin sekolah lagi, tapi gaada biaya."

Wajahnya itu sendu dan kuyu. Raut kecewa tampak jelas di matanya. Ah, orang-orang kecil memang harus siap kecewa setiap waktu.

Saat dia berkata seperti itu; hari itu angin tak begitu kencang. Aku jadi teringat kami bertiga--aku, Mas Syamsudin, dan seorang saudari lain yang saling bertetangga--sudah hidup bertahun-tahun tanpa sosok bernama ibu.

Beruntung sekali Mas Syamsudin gemar memasak. Ketika ada hajatan di kampung, Mas Syamsudin pasti membantu memasak. Sehingga kalau memasak untuk dirinya dan ayahnya, dia tidak keberatan. Dulu dia juga pernah bilang ingin menjadi chef. Walaupun karena hobbinya itu dia malah sering dibully dan sering direndahkan. Bahwa laki-laki harus ke kebun membawa arit. Belajar nguli dan tukang-menukang. Sedang perempuan di dapur dan sumur. Aku tak mengerti seperti apa perasaannya saat dikata-katai begitu.

Esoknya setelah pembicaraan kami berdua, Mas Syamsudin pergi ke kota untuk bekerja. Dia mengikuti salah seorang paman kami yang sukses dalam bisnisnya. Paman kami berjualan bakso. Hampir sekitar lima belas tahun paman membesarkan bisnisnya dengan sangat susah payah, akhirnya sekarang bisnisnya terus lancar. Mobilnya sudah tiga dan salah seorang anaknya akan menjadi PNS.

Lama kami tak berjumpa. Sekitar beberapa tahun. Mas Syamsudin agak berubah. Sekarang rambutnya dicat pink dan ungu. Dia sering jalan-jalan di sekitar kota. Nongkrong di kafe atau sekedar nampang di mall. Aku lihat dari foto di fesbuknya.

Hal yang serupa tak kujumpai saat dia pulang ke kampung. Rambutnya tidak berwarna pink dan ungu. Badannya agak kurus dan gelap. Dan, hal aneh yang kusadari, wajahnya selalu murung dan kadang aku memergokinya menangis.

Saat pergi ke kali aku melihatnya duduk di dalam rumah dengan bertopang dagu. Melamun. Bersedih.
Suatu ketika saat aku lewat di depan rumahnya, Mas Syamsudin sedang mencabut rumput. Jelas-jelas aku melihatnya menunduk memandangi rumput sambil berurai air mata.

Beberapa minggu lamanya aku melihat Mas Syamsudin terus larut dalam kesedihan. Akhirnya aku mendengar kabar dari keponakanku yang dekat dengan Mas Syamsudin. Biang dari segala luka-lukanya selama ini.

Begini kata keponakanku itu :

Saat bekerja dengan paman, Syamsudin meminta bantuan ke paman untuk mencarikan ibunya. Selain orang kaya, paman juga sangat tahu identitas ibu Syamsudin dan segala cerita tentang keluarga Syamsudin.

Singkat cerita Syamsudin diantar paman dan keluarga paman ke rumah ibu Syamsudin. Mereka menaiki mobil menuju daerah sekitar pinggiran Lamongan.

Syamsudin melihat burung berpacu dari dalam kaca mobil. Di seberang sana ada pegunungan hijau yang tampak bersahaja. Walau langit di atas agak abu-abu karena musim hujan, dalam batinnya terbit matahari baru. Semangat dan gairah tak perlu diundang, sebab ia lahir dari sel darahnya sendiri. Salah satu daerah di Lamongan terkena banjir, menurut berita; sedangkan Syamsudin kebanjiran suka cita.

Sekarang mereka sudab tiba di kediaman ibunya. Syamsudin dan paman sekeluarga turun dari mobil. Betapa tidak karu-karuan hati Syamsudin. Antara begitu gembira dan gugup karena akan menemui pujaan hatinya.

Dia melihat rumah ibunya itu, rumah yang sederhana. Tidak terlalu mewah dan juga tak terlalu jelek. Paman mengetuk pintu rumah tersebut.

Beberapa lama kemudian muncul seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Matanya dan mata paman saling bertemu. Sekilas ia menatap juga pada mata bibi. Mata yang tak asing. Mata yang menguakkan kenangan berdarah-nanah.

"Sutiyem! Ini aku Bejo dan Siti!" kata Paman Bejo.

Wanita bernama Sutiyem, yang tidak lain adalah ibu Syamsudin, menyilakan mereka semua masuk dan duduk di dalam. Sutiyem melihat beberapa wajah yang tak pernah dilihatnya, anak-anak Paman Bejo dan seorang lagi yang sepertinya pernah dilihatnya.

Syamsudin tak melepas pandangnya dari Sutiyem itu. Saat dia duduk, berdiri, atau berbalik, ia melihatnya dengan saksama dan penasaran. Dia sangat ingin tahu apakah Sutiyem inilah ibunya.

"Paman, Paman! Itu ibuku? Dia ibuku?" tanya Syamsudin antusias saat Sutiyem ke dapur membuat teh.

"Iya, Le.... Itu ibumu. Senang kamu?" tanya Paman Bejo.

Syamsudin mengangguk keras-keras,"Iya!"

Sutiyem datang membawa nampan berisi teh dan kue. Di belakangnya muncul seorang lelaki yang kemudian menyalami tamu-tamu yang tak dikenalnya itu. Sutiyem duduk di sebelah lelaki itu.

"Njenengan dari mana, Pak?" lelaki itu bertanya.

"Dari Lumajang ini, Pak," jawab Pak Bejo. "Lho, njenengan ini suaminya Sutiyem toh?"

"Enggih, saya suaminya," katanya.

"Lho, Yem, kowe iki rabi gak undang-undang aku, Yem," timpal bibi, istri paman.

Wanita bernama Sutiyem itu hanya tersenyum simpul dan menunduk. Bibi melihat gestur tidak nyaman dari tubuh Sutiyem. Seolah tak senang dikunjungi mantan kakak iparnya. Mungkin peristiwa belasan tahun lalu masih segar dalam ingatan Sutiyem. Sedangkan bagi paman dan bibi semua itu hampir terkubur.

"Anakmu berapa sekarang, Yem?" lanjut bibi.

"Tiga, Mbak," jawab Sutiyem singkat.

Suasana hening sejenak. Di sini semua saling tidak mengenal dan asing. Hanya dada Syamsudin yang bergemuruh hebat. Matanya hampir lepas menatap Sutiyem.

"Yem, ini yang perempuan-perempuan anakku. Dian dan Rahma," Paman Bejo mulai berbicara dengan serius dan mantap. "Kalau yang laki-laki ini, cobalah kamu ingat-ingat. Kamu tahu siapa dia?"

Sutiyem memandangi anak lelaki yang barusan ditunjuk Paman Bejo, Syamsudin. Wajahnya mewarisi wajah mantan suaminya dulu. Hanya saja hidungnya lebih mancung dan kulitnya agak gelap.

"Mata dan hidungnya ... seperti milikku," gumam Sutiyem dalam hati. "Apa mungkin ... dia ...."

"Ibu, aku anakmu!" tukas Syamsudin dengan senyum sangat lebar dan mata terpejam.

Sontak Sutiyem langsung berdiri dan terkesiap. Benar, anak ini adalah anak laki-laki bajingan itu! Sutiyem tak bisa terima. Memorinya bersama mantan suaminya tak bisa dihapus begitu saja. Melihat Syamsudin, dia seperti melihat bajingan itu lagi! Darahnya memanas dan didih setiap mengingatnya.

"Ngapain kamu di sini!" Sutiyem membentak sangat keras.

Bibi berdiri dan menggapai tangan Sutiyem,"Yem, iki anakmu, Yem!"

Sutiyem menghalau gapaian tangan Bibi Siti dengan kasar. "Aku gak pernah punya anak dari bajingan itu, Mbak!"

Suami Sutiyem kebingungan dan mencoba menenangkan istrinya yang tiba-tiba kalap. Dulu dia pernah mendengar sedikit cerita tentang mantan suami Sutiyem. Sungguh tak disangka-sangka sekarang ia bertemu anak dari hasil Sutiyem dan mantan suaminya.

"Arek iki salah opo, Yem! Seng salah iku bojomu! Gudug arek iki!" Paman Bejo ikut berdiri.

Syamsudin kebingungan melihat reaksi ibunya. Mengapa ibunya tidak bahagia dengan kehadiran dirinya? Malah marah-marah dan histeris.

Matahari di langit pecah. Baranya menembus kulit dan dada Syamsudin. Banyak aroma luka berterbangan dari Sutiyem, seorang wanita yang begitu tabah dan kuat.

"Pokoknya aku gak mau tau, Mbak Siti! Dia bukan anakku!" ucap Sutiyem sambil menunjuk wajah Syamsudin.

Mendengar itu Syamsudin menangis. Hatinya teriris-iris. Bayangan tentang ibu yang selama ini dipikirkannya sirna. Ibu yang baik, yang mau membelai rambutnya, mau menyiapkan sarapan, mau mendengar cerita tentang gadis yang disukainya, dan semuanya; wanita itu tidak ada. Yang ada hanya seorang Sutiyem yang tidak mau mengakui hubungan darah yang mereka miliki, wajahnya merah padam, dan matanya berair karena marah.

"Gendeng kowe, Yem! Iki anakmu! Awakmu seng ngelairno!" Bibi membentak Sutiyem dan mengguncang-guncang tubuhnya.

"Sudah, Mbak! Sudah! Pergi kalian dari sini! Aku gak mau tau," kata Sutiyem bersamaan saat air matanya pecah. Dia tidak sanggup lagi menahan perih di dadanya mengingat mantan suaminya.

"Ma, sabar sik tah lah! Semua bisa dibicarakan baik-baik," kata suami Sutiyem.

Sutiyem hampir rubuh tak kuat menyangga tubuhnya. Ia terhuyung hendak menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti karena--

"Bu, peluk aku saja!" kata Syamsudin yang beruraian duka. "Kalau Ibu tidak mau melihatku lagi, peluk aku sekali saja kemudian aku akan pergi!"

Syamsudin berharap sekali saja inginnya ini dikabulkan. Seumur hidup hanya ibu yang ia harap dan puja. Ratusan waktu merindui wanita yang tak ada satu pun kenangan tentangnya. Segala hari dilewati untuk hari ini. Hari bertemu ibu.

Sutiyem acuh. Ia terus berjalan menuju kamar meninggalkan Syamsudin yang semakin remuk.

Beberapa jam Syamsudin dan yang lain menunggu Sutiyem keluar dari dalam kamar. Syamsudin terus-menerus menangis. Dia terus menggumam bahwa dia ingin dipeluk ibu. Hatinya hancur. Sangat hancur.

Hari sudah hampir sore. Sutiyem tak juga mau keluar. Suami Sutiyem dengan lembut mempersilakan tamu-tamunya untuk pulang dan menemui Sutiyem lain waktu. Suasana sudah buntu dan ribut. Entah dengan apa lagi semua harus dihadapi.

Akhirnya, dengan menanggung nyeri yang abadi, Syamsudin pergi dari tempat itu. Pasrah merasai luka yang sudah di puncaknya. Begitulah akhirnya buat Syamsudin. Sepilu ini. Sepahit ini
*

Ketika Mas Syamsudin lahir, Sutiyem merawatnya dengan sepenuh hati. Ayah Mas Syamsudin bekerja serabutan. Penghasilannya tak seberapa, Sutiyem menerima apa adanya. Ayah Mas Syamsudin tidak memiliki rumah. Ia masih menumpang di rumah adiknya, Bibi Siti. Sutiyem tak pernah protes.

Saat itu usia Mas Syamsudin masih belum sampai dua tahun. Ia menaiki sepeda roda tiga dan berkeliling-keliling di ruang tamu. Mas Syamsudin kecil begitu gembira. Karena terlalu gembira, Mas Syamsudin jatuh tersungkur ke tanah. Dengan sigap Sutiyem meraihnya. Tapi, melihat hal itu ayah Mas Syamsudin marah besar. Tanpa basa-basi Sutiyem dipukul habis-habisan. Pipi dan kepalanya remuk semua dengan tangan ayah Mas Syamsudin yang kekar. Sutiyem hanya bisa menangis dan pasrah.

Keributan selalu terjadi di rumah Bibi Siti karena ulah ayah Mas Syamsudin. Sedari pacaran dulu Sutiyem paham karakter lakinya ini. Tetapi dia tidak sanggup meninggalkannya karena sangat mencintainya. Dia berusaha mempertahankan rumah tangga mereka. Sebisa mungkin mulutnya terkunci tidak mengumbar-umbar kebusukan suaminya di hadapan siapapun.

Sutiyem yang pendiam dan penurut itu terus mencoba bertahan. Namun, apa daya. Sutiyem hanya perempuan biasa yang tak kuat dipukul setiap hari. Kesabaran dan harapannya dulu berubah menjadi amarah dan kebencian. Sutiyem yang sabar dan penurut akhirnya marah dan berontak. Tanpa membawa apapun, kecuali trauma mendalam tentang rumah tangga, Sutiyem kabur dari rumah meninggalkan anaknya yang baru berusia dua tahun lebih sedikit. Hatinya sudah bulat dan penuh oleh trauma itu. Ia berusaha melupakan semua kesakitannya itu.

Itulah sebagian kisah keluarga Mas Syamsudin yang kudapatkan dari tetangga-tetangga.
*
Di akhir malam tanpa bintang, saat aku menemaninya duduk di pelataran rumah yang dingim dan gelap, Mas Syamsudin angkat suara.

"Akhirnya aku punya kenangan tentang ibuku. Seseorang yang tinggi dan kurus. Hidungnya mancung. Matanya lebar seperti mataku.

Selama ini dia hanya mimpi bagiku. Sejak kecil hingga dewasa aku selalu memimpikannya. Aku pernah mencoba menemuinya dalam kenyataan.

Dia adalah perempuan yang tidak mau mengakui darahnya dalam tubuhku. Dia menolak keberadaanku. Dia membenci aku. Sedikit pun aku tidak tahu apa salahku," Mas Syamsudin berkata terbata-bata menahan tangis.

"Aku tidak tahu bagaimana rasanya dicium ibuku, tapi aku tau rasanya tidak diinginkan ibuku sendiri. Diacuhkan orang yang melahirkan aku."

Dadaku sesak. Tanpa terasa aku juga menangis untuknya.

"Aku tidak tahu, mengapa orang lain memiliki ibu.... Tapi, Tuhan tidak menciptakan seorang ibu untuk aku," lanjut Mas Syamsudin dengan tangis yang semakin parau. Aku segera memeluknya dan menghamburkan tangis di dadanya. Takdir macam apa yang meliputi saudaraku itu.

Dengan nada rendah dan hampir tak sampai dia bergumam,"Tidak ada ibu untukku...."

Dampit, 17 September 2018

Minggu, 16 September 2018

“Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004

Gus Jakfar
Ahad, 08 April 2012 03:14
Cerpen Oleh A. Mustofa Bisri

Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara.

"Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.

"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."

***

Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."

"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'

'Kiai Tawakkal.'

'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.

'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.

'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.


Rembang, Mei 2002

A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis.

“Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004

Gus Jakfar Ahad, 08 April 2012 03:14 Cerpen Oleh A. Mustofa Bisri Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu. "Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." "Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." "Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi." "Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." *** Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" "Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." "Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut. Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau." "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja. "Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk." 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' "Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu." "Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!" "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka." "Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang." "Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan". "Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk." "Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah." 'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya." "Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak' Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini." "Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. Rembang, Mei 2002 A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis. “Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004

Senin, 10 September 2018

Wes Tau Cerpen Dian Re dolob

Wes Tau!
Oleh : Dian Re

"Ma! Mama blokir kartu kredit aku?" Aku menyentak Mama yang sedang duduk di kursi membaca majalah.

Mama melirik kecil, tak menatapku sedikit pun.

"Iya," jawabnya singkat.

"Kenapa Mama blokir sih? Terus aku dapet uang jajan dari mana?" tanyaku kesal sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai.

Melihat respon Mama yang datar dan tak mempedulikanku, aku segera menghampirinya dan membanting majalah yang sedang ia baca.

"Mama dengerin aku gak sih?" aku berkata semakin keras. "Mama gak pernah dengerin aku! Mama selalu sibuk sama temen-temen mama yang sosialita itu! Keluar kesana kemari, yang arisanlah, party-partylah, apalah! Mama aja selalu ngabisin duit papa, masa aku gak boleh!"

"Diem kamu anak kecil!" kata Mama sembari berdiri mendekatiku. "Liat aja sendiri papamu itu! Pernah keliatan pulang ke rumah gak?"

Sekarang Mama tampak marah juga. Nafasnya menderu.

"Aku gak peduliii! Pokoknya jangan blokir kartu kreditku, Ma!" pintaku dengan keras.

"Dasar bocah! Papamu itu udah gak nafkahin Mama! Berbulan-bulan gak tau dimana rimbanya. Siapa bilang Mama ngabis-ngabisin uang papamu? Mama pakek uang Mama sendiri!" Mama membentakku. "Makanya kamu jadi bocah yang tau diri! Jangan bisanya ngabis-ngabisin duit mulu!"

Aku semakin kesal mendengar jawaban itu. Bagaimana bisa, aku yang hidup bergelimang kemewahan tiba-tiba harus 'berhemat'. Tidak ada dalam kamusku!

Mama mengeluarkan lembaran merah dari dompetnya. Tangannya menggapai tanganku dan menaruh uang itu di atas tanganku. Aku tersenyum lebar melihatnya. Ini yang kunanti-nanti.

"Buat sebulan! Kalo gak cukup, Mama gak mau tau!" ucap Mama sembari segera pergi berlalu.

Dengan senang hati kuhitung uang itu. "Apa? Cuma dua juta, Ma?" aku melongo. "Maaa, ini gak cukup, Maaa!" Aku pergi berlari mengejar Mama.
*
Benar-benar bangsat mamaku itu! Mana mungkin dua juta cukup untuk biaya hidupku selama sebulan. Dalam perjalanan pulang ke kos-kosan, aku terus memaki-maki mama. Aku butuh uang banyak. Aku sekolah di sekolah yang gak murahan. Isinya cuma orang-orang kaya dan elite. Setiap hari sepulang sekolah pasti nongkrong di mall atau kafe. Aku harus pakai barang bagus, bermerk, dan terbaru. Biar gak kalah dengan yang lain. Aku juga harus rajin perawatan ke salon. Wajib ini. Bagiku kecantikan adalah segala-galanya. Dua juta? Gak cukup!

Saat berjalan menuju kamar kos yang tinggal beberapa langkah, aku melihat mobil mewah turun di depan rumah kos. Tak lama kemudian turun seorang wanita dari dalamnya. Ternyata wanita itu Vanya! Temen deketku.

"Chelsea!" Vanya menyapaku dari jauh.

Aku hanya melambaikan tangan. Vanya membalikkan badan sejenak mengobrol dengan laki-laki di dalam mobil lalu mobil itu segera pergi. Kemudian Vanya menghampiriku.

"Baru nyampek, Chel?" tanya Vanya.

"Iya, nih," jawabku singkat. "Eh, siapa tuh yang di mobil? Bagus banget mobilnya. Mobil mahal!"

"Haha," Vanya tertawa singkat,"Itu om gue. Nganterin gue."

"Gilak! Kaya ya om lu," kataku.

Vanya hanya meringis lalu segera pergi ke dalam kamar kos yang terletak di sebelah kamarku.
*
Esoknya sepulang sekolah aku berencana pergi ke mall seperti biasa. Aku mengajak Vanya. Tapi dia menolak.

"Aku ada janji nih, acara keluarga," kata Vanya.

"Oke deh kalo gitu," jawabku sedikit kecewa.

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Aku dan Vanya menoleh ke mobil yang berhenti di seberang jalan.

"Itu gue udah dijemput om gue. Duluan ya!" kata Vanya sambil berjalan meninggalkanku. Aku melambaikan tangan padanya.

Gila! Sekarang mobil omnya Vanya sudah ganti lagi. Warnanya berbeda dengan mobil yang kemarin. Saat Vanya membuka pintu mobil, aku melihat sedikit wajah laki-laki di dalam mobil itu.

"Kok wajahnya beda dengan om yang kemarin?" ucapku dalam hati. "Ah, mungkin aku yang gak jelas ngeliatnya."
*
Aku mengitari mall dengan wajah muram. Banyak hal menggoda di sekelilingku. Barang-barang mewah dan bermerk. Ah, sungguh memilukan hatiku.

Separuh uang dari mama kemarin sudah habis. Separuh lagi kalau aku habiskan, makan apa aku besok? Ah, rasanya benar-benar ingin merutuki mama dan papa.

Aku berhenti di depan sebuah etalase yang menjual jam tangan mahal. Uangku tidak cukup untuk membelinya. Aku hanya melihatinya dari luar.

Lalu sebuah tangan yang besar memegang pundakku.

"Lagi apa, Non?" Seorang pria berjas dan berdasi hitam menyapaku. Tampaknya orang kaya. Berusia sekitar 35-an. Perutnya buncit dan kulitnya sedikit kecoklatan.

"Gak apa-apa, Pak," jawabku sambil menunduk.

Lalu pria itu menghampiri penjual jam tangan tadi. Dia mengeluarkan uang dan membawa sebuah jam tangan itu pergi ... mendekatiku.

"Buat kamu," pria itu mengulurkan bungkusan berisi jam mahal itu padaku. Aku agak terkejut hingga melongo beberapa saat.

"Kok diam aja? Mau enggak?" tanya pria itu sambil tersenyum.

Aku menunduk. Ragu dan takut. Tanpa seizinku, pria itu menarik tanganku dan menyerahkan jam tangan itu di tanganku.

"Jarang-jarang loh om baik hati," katanya,"Yuk, temenin om jalan-jalan."
*
Hari-hari berikutnya akhirnya aku sering berjalan-jalan dengan Om Doni, pria yang membelikanku jam tangan. Awalnya aku agak takut saat berjalan dengannya, tapi karena dia sering membelikanku ini itu aku jadi suka padanya. Walaupun secara fisik dia bukan tipeku. Pun dia tidak bisa dibilang tampan. Setiap jalan-jalan bersamanya aku pasti diberi uang. Dengan begitu aku masih bisa terus ke salon, nongkrong di mall, dan beli barang-barang mahal.

"Om Doni, aku udah pulang nih. Udah di depan sekolah. Jemput aku ya, Om," kataku di telpon.

"Iya, sayang. Om hampir sampek nih," balas Om Doni dari kejauhan.

"Jalan, yuk, Chel!" tukas Vanya tiba-tiba dari belakang, membuatku hampir jantungan.

"Aduh, aku gak bisa, Van," jawabku.

Akan bahaya sekali kalau Vanya tahu aku akan jalan-jalan sama Om Doni. Terlebih sebentar lagi aku akan dijemput Om Doni. Vanya tidak boleh tahu hal ini. Sangat memalukan jika aku ketahuan jalan-jalan sama om-om yang perutnya gendut dan tua.

"Kenapa Chel?"

"Gue ... gue ... gue mau bersihin kos!" kataku sekenanya.

"Hah?" Vanya memasang wajah heran. "Lo? Bersihin kos? Yakin?"

"Iya, soalnya kos gue kotor banget. Kan jijik. Kulit gue ink gabisa sama debu. Jadi harus bersih," kataku mengada-ada.

Tin tin! Terdengar dari seberang jalan suara klakson mobil. Aku menoleh, oh tidak! Om Doni! Dia melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Beruntung saat itu Om Doni mengenakan kaca mata sehingga Vanya tidak bisa melihat dengan jelas wajah Om Doni dari jauh. Om Doni pun tampaknya tak begitu fokus pada sosok Vanya di sisiku.

"Lo kenal dia Chel?" tanya Vanya padaku.

Aku kebingungan mendengar pertanyaan Vanya. "Eng enggak! Gak kenal! Mungkin dia jemput anaknya di sini! Udah ah, gue balik ke kos dulu."

Aku pergi meninggalkan Vanya dan Om Doni pulang ke kos. Tak peduli bagaimana bingungnya Om Doni.
*
"Iya, Ommm. Om jangan muncul pas ada temenku deh. Bisa gawat kalo mereka tauuu! Aku gak mau reputasi baikku hancur, Om! Aku ini tenar di sekolah, Om. Kalau semua orang tau bisa malu aku. Mau taruh dimana mukaku!" kataku panjang lebar saat makan bareng Om Doni di kafe esok harinya.

"Oke deh. Mendingan kamu pindah kos aja, Chel. Nanti Om siapin apartemen yang lebih bagus buat kamu," balas Om Doni sambil meraba tanganku.

"Apartemen, Om? Ihhh, Om Doni baik bangettt!" Aku memeluk Om Doni.

Om Doni menarik daguku ke wajahnya dan berkata,"Iya, biar kita lebih bebas."
*
Aku segera pindah ke apartemen yang diberi Om Doni. Apartemennya lebih besar dan mewah. Ini apartemen mahal. Aku dan Om Doni menjadi sering menghabiskan waktu bersama di tempat itu. Kadang Om Doni tidak pulang.

Setelah seharian suntuk di dalam apartemen, aku mengajak Om Doni keluar. Kami jalan-jalan ke mall sambil beli ini-itu lagi. Apapun yang aku minta pasti diberi.

Mendadak suasana girang itu menjadi tegang. Dari kejauhan aku melihat Vanya. Dia pun melihatku.

"Chelsea!" Vanya memanggilku.

Aduh, mati aku!

"Om, ayo pergi dari sini cepet! Ayo!" Aku menarik tangan Om Doni dan berjalan cepat menjauhi Vanya.

"Ada apa sih?" Om Doni tampak kebingungan.

"Udah, ayo, Om!"

Biar pun aku berjalan begitu cepat, Vanya tak kalah cepat. Ia berlari menghampiri aku dan Om Doni. Tangannya menarik pundakku dari belakang. Akhirnya mau tidak mau aku menoleh ke belakang. Ah, sial.

"Chel, ngapain sih lari-lari! Capek tau!" kata Vanya dengan nafas ngos-ngosan.

"Lho, Vanya!" sahut Om Doni, terperangah melihat Vanya.

"Om kenal Vanya?" tanyaku penuh keheranan.

"Lho, kamu sama Om Doni, Chel?" Pertanyaan Vanya makin membuatku bingung.

Aku semakin gugup dan bingung. Pokoknya aku tidak boleh ketahuan. Aku berbohong saja.

"Iya.... Kenalin, Van. Ini paman aku dari jauh," kataku dengan terbata-bata.

"Hahaha," Vanya terbahak-bahak agak lama. "Tenang aja kali, Chel!"

Dahiku mengernyit. Apa maksudnya itu?

"Aku juga udah pernah kok sama Om Dani," kata Vanya sambil cengengesan. "Angela, Giselle, Dewi, Vera, Joy, sama beberapa yang lain juga udah pernah kok! Ya kan, Om Doni?"

Om Doni hanya tersenyum simpul.

Aku lega, lalu terbahak-bahak.

Dampit, 16 September 2018