Minggu, 31 Desember 2017

MEROKOK UMUR PANJANG HATI SENANG

Sebuah Analisa Fakta : MEMBUNUH INDONESIA : KONSPIRASI DI BALIK IKLAN "ROKOK MEMBUNUHMU"

Mengapa ada Iklan "ROKOK MEMBUNUHMU", Namun Rokok masih di Produksi & Pabrik Rokok Tidak di Tutup?
Adakah agenda tersembunyi dari dinamika ini?
Taukah Anda Bahwa balik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek?

Pertarungan politik bisnis internasional menyebabkan Indonesia kehilangan kekayaan negeri sendiri. Sebab dulu, Indonesia yang pernah berjaya dengan penjualan minyak mandar kini telah diluluh lantakkan dengan bombardir minyak sayur.
Dulu Indonesia pernah jaya dengan minyak mandar atau lomo mandar, tapi dihancurkan dengan isu bahwa minyak mandar tidak baik untuk kesehatan oleh Amerika. Hal itu juga diberlakukan pada rokok kretek, lewat WHO, WTO dan pemerintahan Indonesia soal bahaya nikotin tinggi.
Matinya Kopra, gula, garam, jamu dan kretek menandai matinya komoditas nasional.Matinya sebuah kebudayaan lokal.

Tahukah Anda  tentang sentra produksi minyak kelapa di Mandar, Sulawesi Selatan?
Tahukah Anda tentang Pulau Selayar yang dahulu kala digelari pulau sejuta emas hijau?

Mungkin tak banyak yang tahu kalau di daratan Sulawesi di tahun 1960-an adalah hamparan pulau kelapa yang menjadi tambang hidup rakyat.
Kelapa sering disebut emas hijau berkibar-kibar di sepanjang jazirah Sulawesi, hingga tiba badai jatuhnya harga kopra dunia di tahun 1980. Ditambah dengan derasnya kampanye perang anti kelapa, benar-benar mengubur minyak kelapa. Pada tahun 90-an, negeri Uwak Sam, Amerika, getol mengampanyekan bahaya minyak kelapa bagi kesehatan. Sebagai gantinya diperkenalkanlah minyak kedelai yang lebih bersahabat dengan kesehatan.

Indonesia yang sudah berabad-abad menggunakan minyak kelapa akhirnya takluk juga. Pelan tapi pasti minyak kelapa dijauhi, membuatnya tak laku dan industri inipun gulung tikar. Hal yang sama terjadi pada gula. Tahun 1930-an, Indonesia produsen gula nomor dua dunia di bawah Kuba. Tapi sejak tuan International Monetary Fund (IMF) datang ke Indonesia tahun 1998, yang memaksa pemerintah melepas tata niaga, termasuk diantaranya gula, maka gula import membanjir.

Sejak itu pula tamatlah industri lokal syurga para semut itu. Sementara garam pernah berjaya di tanah air sendiri pada 1990-an. Kita bahkan mengekspor ke manca negara. Tapi sejak Akzo Nobel gencar kampanye garam yodium, pabrik-pabrik garam nasional bangkrut. Jamu juga mengalami nasib tragis. Posisinya sudah kian tersudut oleh obat farmasi modern. Herbal diragukan keampuhannya. Dukungan pemerintah juga minim. Jangan kaget temulawak dipatenkan oleh anak perusahaan LG, Korea Selatan.
Lagi dan lagi, pemerintah Indonesia menggunakan kacamata kuda dengan temuan baru yang dibungkus rapi dalam baju akademis dan kesehatan.

Kampanye intenasional disambut karpet merah, sementara industri lokal yang menjadi korban kampanye tak disokong baik itu kredit, subsidi, tekonologi, riset, proteksi harga dll.
Sementara industri tembakau lamban tapi pasti mengikuti jejak matinya kopra, gula, garam, jamu. Tembakau kini kian tersisih peredarannya seiring dengan aneka beleid baru yang membatasinya. Tak lama setelah Soeharto jatuh, medio 1999, menyeruaklah isu perlunya pembatasan kadar kandungan tar dan nikotin.

Dengan berlindung di balik isu kesehatan, beleid pembatasan tembakau akhirnya disahkan tahun 2009. Industri rokok kretek terpukul, sementara rokok putih diuntungkan. Dengan slogan "low tar, low nicotin", rokok kretek sempoyongan, sementara rokok putih yang menggunakan tembakau Virginia masih di atas angin, Padahal selama ratusan tahun rokok putih tak pernah bisa menggeser rokok kretek.

Dalam buku "Membunuh Indonesia. Konspirasi Global Penghancuran Kretek" diulas tentang adanya perang global melawan tembakau. Kampanye anti tembakau sesungguhnya bermula dari persaingan bisnis nikotin antara industri farmasi dengan industri tembakau di Amerika Serikat. Perusahaan farmasi berkepentingan menguasai nikotin sebagai bahan dasar produk Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Di dalam negeri ada dua sisi bertolak belakang. Di satu sisi kebijakan anti tembakau sukses besar. PP tembakau sudah direvisi berkali-kali, puluhan perda anti tembakau, UU Kesehatan dan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif sedang digodog, kawasan dilarang merokok, iklan rokok tak selonggar dulu.

Sementara di sisi lain impor tembakau meningkat tajam. Tahun 2003 sebesar 29.579 ton naik menjadi 35.171 ton di 2004. Hingga 2008 mencapai 77.302 ton. Dalam waktu lima tahun ada kenaikan 250 persen. Impor cerutu juga naik. Rata-rata kenaikan 197,5 persen per tahun. Tahun 2004 impor cerutu masih US$ 0,09 juta, di tahun 2008 naik menjadi 0,979 juta. Apalagi juga ada fakta raksasa rokok dunia masuk ke Indonesia.
Philips Morris mencaplok Sampoerna (2005) dan BAT mengakuisi Bentoel (2009). Perusahaan farmasi yang menjual terapi rokok juga kian populer di Indonesia. (Industri kretek yang masih berada di tangan pihak Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, Wismilak.)

Selamat datang penguasa rokok dunia, selamat tinggal industri rokok kretek yang megap-megap menjelang ajal kematian. Industri kretek dalam negeri yang memayungi hampir 30 juta orang yang bekerja di sektor ini.
Lambat tapi pasti rokok kretek menuju liang kematian yang sebelumnya telah ditempati kopra, gula, garam, jamu, dan puluhan lainnya.

Iklan "ROKOK MEMBUNUHMU" hadir Melalui Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012, spirit PP tersebut menghancurkan industri kretek nasional untuk digantikan oleh rokok putih milik Phillip Morris dan BAT, dll.

Kampanye " ROKOK MEMBUNUHMU" Di Sponsori oleh Bloomberg Initiative, sebuah lembaga berkedudukan di Amerika Serikat. Bloomberg Initiative mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori (Membiayai) ilmuwan, kaum profesional, lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.

Banyak pihak dipengaruhi dengan duit. Para pejabat di Departemen, tingkat menteri, di bawah menteri, gubernur, bawahannya, bupati atau wali kota dan bawahan mereka, semua menjadi korban yang berbahagia, karena limpahan duit yang tak sedikit jumlahya untuk masing-masing pihak. Mereka menjadi korban kecil, karena harus membuat aturan dan sejumlah larangan merokok, yang mungkin tak sepenuhnya cocok dengan hati nurani.

Tapi apa artinya hati nurani di jaman edan ini dibanding duit melimpah?
Para pejabat itu rela membunuh hati nurani mereka sendiri demi duit. Ada juga Gerakan Anti Rokok demi kesehatan lingkungan.
Tapi tak tahukah mereka, bahwa di balik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek?
Kretek kita sangat khas. Dan di negeri orang bule, kretek kita mengantam telak perdagangan rokok putih mereka. Kretek unggul.
Dan karena itu mereka berhitung bagaimana kretek bisa mereka caplok.

Berbeda dengan penemuan Prof Sutiman Bambang Sumitro dari Pusat Penelitian Peluruhan Radikal Bebas di Malang.
Setelah penelitian belasan tahun, salah satu bukti ilmiah yang ditemukan adalah, asap rokok memang mengandung zat merugikan, namun tak cukup kuat sebagai penyebab kanker.
Lebih jauh lagi, teori Prof Sutiman menyatakan, rokok menyebabkan kanker kebanyakan hanya hasil pengolahan data di rumah sakit, bukan di lapangan.
Jadi, asal ada pasien mengidap kanker, dan kebetulan dia merokok, serta-merta rokok lah yang dituding sebagai penyebab tunggalnya.
Variabel-variabel lain yang terkait dengan gaya hidup si pasien, semisal 'asupan' polusi asap kendaraan, konsumsi MSG, dan sebagainya, diabaikan. Metode semacam itu jelas melanggar kaidah eksperimen ilmiah.
Dengan teori baru hasil penelitian ilmuwan bangsa sendiri tersebut, menjadi cukup jelas lah kenapa di sekitar kita banyak perokok aktif yang tetap sehat sampai lanjut usia.

Banyak tokoh nasional yang perokok kretek tetap bugar dan produktif hingga usia senja. Sebut saja misalnya Haji Agus Salim, mantan Menteri Pendidikan Prof Fuad Hasan, penulis besar Pramoedya Ananta Toer, master menggambar Pak Tino Sidin, tokoh Muhammadiyah Prof Malik Fadjar, dan masih banyak contoh lain.

Mengapa Industri kretek menjadi sasaran Amerika?.

Karena Industri ini disasar karena sudah memberikan sumbangan berharga bagi struktur ekonomi Indonesia.
Kekuatan industri kretek itu setidaknya karena beberapa hal.
Pertama, tumbuh berkembang dan bertahan lebih dari satu abad tanpa ketergantungan modal pada negara,
Kedua,menggunakan hampir 100% bahan baku dan konten lokal.
Ketiaga, terintegrasi secara penuh dari hulu ke hilir dengan melibatkan tak kurang dari 30,5 juta pekerja langsung maupun tak langsung.
Keempat, industri melayani 93% pasar lokal. Dengan karakter sekokoh itu, tak ayal industri kretek menjadi salah satu prototipe kemandirian ekonomi nasional.
Kekuatan inilah yang diincar neo-kolonialis gaya baru ingin menguasai industri rokok, tapi dengan mematahkan ketangguhan industri kretek Indonesia. Caranya lewat kampanye ANTI ROKOK Sekarang ROKOK MEMBUNUHMU.

Sumber Info : Buku Membunuh Indonesia. Konspirasi Global Penghancuran Kretek
Penulis: Abhisam DM, Hasriadi Ary, Miranda Harlan
Penyunting: Abhisam DM
Penerbit: Kata Kata Terbit: Desember 2011


Banyaknya aturan antirokok di berbagai dunia menunjukkan adanya upaya konspirasi global yang ingin menguasai bisnis tembakau secara global.

"Konspirasi global ingin menguasai bisnis tembakau secara dunia, karena menarik industri tembakau ini," kata anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatullah di Jakarta, Kamis (13/9/2012).
Poempida mengungkapkan, ada politikus dan pengusaha dari Amerika Serikat (AS) yang banyak mengeluarkan dana untuk mengkampanyekan antirokok. "Banyak dana yang masuk juga ke DPR, apa keuntungannya? Karena dia punya perusahaan jasa informasi.
Jadi dengan melakukan kampanye ini, maka dia bisa mengontrol pasar dunia," ujarnya.
Dia mengatakan, saat ini industri rokok telah menyerap tenaga kerja yang sangat besar, dan memberi kontribusi besar terhadap APBN.
Sehingga membuat beberapa pihak tergiur untuk menguasai pasar tembakau.

Sedangkan anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka menambahkan, saat ini ada kepentingan asing dalam industri rokok.
Mereka ingin menghancurkan industri rokok nasional, sehingga bisa menjadikan Indonesia sebagai konsumen rokok.
"Saat ini industri tembakau kita sangat bagus. Asing tidak senang, mereka lebih senang kalau kita jadi konsumen dan tempatnya buruh dengan upah murah," tegasnya.

Sementara itu, penggiat ekonomi sekaligus Presidium Insitute Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng mengatakan, dominasi perusahaan besar soal tembakau sangat besar.
"Ketika dunia internasional industri tembakau berkembang pesat, tapi di dalam negeri itu ingin dihancurkan," kata Daeng. Menurutnya, hingga saat ini negara maju seperti Amerika dan Eropa masih mensubsidi pertanian tembakaunya. "Amerika banyak sekali, sampai ke asuransi gagal panen. Eropa juga mensubsidi tanaman tembakaunya. Di dalam negeri justru dimatikan dengan muncul peraturan pemerintah hingga perda," tandasnya.

Sumber Info : http://ekbis.sindonews.com/ read/672300/34/ ada-konspirasi-untuk-kuasai-ind ustri-tembakau

GEDORA

Gedora

tidurlah wahai luka
beri waktu perempuan itu
menemani gunung dan batubatu

sampai senja dipentaskan
burung burung berburu sarang angin
malam memeluk pekat berpuncak api

tidurlah wahai luka
beri waktu perempuan itu
sekian lelah ia lewati
tidak pada patah ia berhenti

berdiri
berlari
tinggalkan lampah lumpuhnya menuju laku

Candi 7 mei 17.
Mas Wahyu Sunarto

PARARATON

Salinan alih aksara SERAT PARARATON, masih dalam bahasa aslinya : Jawa Kuna. Pararaton sendiri merupakan penggabungan dua kata : Para dan Raton yang mempunyai arti Para Raja Penguasa, atau kitab yang menceritakan asal-usul atau silsilah Raja yang dimulai dari Raja Singhasari hingga Raja Majapahit.

Saya muat dalam dua bagian, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Jaya - Jaya - Wijayanti
Surabaya, 31 Desember 2015
DEDDY ENDARTO WILWATIKTA

P A R A R A T O N

Bagian I

Om awignam astu namas siddham.
Nihan katuturanira ken Angrok. Mulanira duk dinadeken manusa, hana anakira rangdyaning Jiput, lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañcananing hyan Suksma; sah sira saking Jiput, angungsi sira ring mandaleng Bulalak. Parabira sang abatur ing Bulalak sira mpu Tapawangkeng, agawe gopuraning açramanira, pinalampahan wedus bang sapalaki dening hyanging lawang. Lingira Tapawangkeng: “Nora olihing apeningan dadi agaweya papapatakaning awak, yan amatimatia janma, norana ta amutusakena papaloking caru wedus bang ika”. Dadi ta sang amegati apus angling, asanggup makacaruaning lawangira mpu Tapawangkeng, satya t sira, asanggup pinakacaru, marganira muliha maring Wisnubhuwana tumitisa mareng wibhawajanma, mareng madhyapada muwah, mangkana pamalakunira. Irika ta duk inastwan tumitisa denira mpu Tapawangkeng tinut i rasaning kapralinanira, amukti ta sira tumitisa denira mpu Tapawangkeng tinut i rasaning kapralinanira, amukti ta sira pitung mandala. Ri huwusnira pralina irika ta sira pinakacaru denira mpu Tapawangkeng. Telasira mangkana mur ta sira maring Wisnubhuwana, tan liñok ing rasaning sangketanira sang pinakacaru amalaku ta sira titisakena ri wetaning Kawi. Sira bhatara Brahma angilingilingi ta sira rowanganirayugaha, huwusing mangkana hana ta wong apangantenan hañar, sedeng akurenan sih, lanang aran sira Gajahpara, wadon aran sira ken Endok, angulahaken atatanen. Maring sawah ken Endok angirimi lakine Gajahpara, araning sawah nggenirangirim ring Ayuga, pradeçanira ken Endok aran ing Pangkur.

Tumurun sira irika bhatara Brahma asanggama lawan ken Endok, enggenirayuga ring Tegal lalateng, angenaken strisamaya sira bhatara Brahma: “Hayo kita asanggama lawan lakinta muwah, yan ko asanggamaha lawan lakimu, lakimu mati mwah kacacampuran mene yugamami iku; arane yugamami iku ken Angrok, iku tembe kang amuter bhumi Jawa.” Muksah sira bhatara Brahma. Sira ken Endok anuli maring sawah, katemu sira Gajahpara. Lingira ken Endok: “Kaki Gajahpara wruhanira yen ingsun rinowang asanggama denira hyan tan katinghalan ri Tegal ing lalateng, wekasira ring isun: hayo aturu lawan lakinta muwahmuwah, mati lakinta yan amaksakna aturu lawan kita, kalawan kacacampuran yuganingong iku”. Tumuli mulih sira Gajahpara, teka ring umah den-ajak aturu sira ken Endok, harep den-rowanga asanggama manih. Alumuh sira ken Endok ring ki Gajahpara. “Eh kaki Gajahpara pegat ingsun aomahomah lawan sira, awedi sun ing pangucap sang hyang, tanpaweh yan atemu manih lawan sira”. Lingira Gajahpara: “Nini angapaha, sun-kapakena, suka ingsun yen apegatana kalawan sira, dening renareni kang saking sira den-mulih manih nini maring sira, pomahomahingsun den-mulih manih maring ingsun.” Tumuli huwusing mangkana ken Endok mulih maring Pangkur sabrang lor, sira Gajahpara maler ing Campara sabrang kidul. Durung genep sapasar mati sira Gajahpara. Suraking wong angucap: “Kamakara panase rareng jero weteng iku, durung pira pepegatane ramane lanang wadon, tur wong-atuwane lanang mati.” Wekasan huwus genep leking rare metu rare lanang, binuñcal ing pabajangan denira ken Endok. Dadi hana wong amaling, aran sira Lembong, kasasar ing pabajangan tuminghal ing murub, pinaran denira Lembong, amiresep rare anangis, pinarekan denira Lembong, singgih kang murub rare anangis ika, sinambut ingemban bhinakta mantuk, denaku weka dera Lembong. Angrungu sira ken Endok yen sira Lembong angakuaku weka, ring rowange ki Lembong kang awerta, anengguh rare antuke amamanggih ring pabajangan, katon murub ing ratri. Tumuli pinaran denira ken Endok, singgih siranakira. Kecapira ken Endok: “Kaki Lembong manawa sira tan supeksa ring rare kang deniramanggih iku, anakingsun puniku, kaki; ayun sira kaki wikana purwakanipun, antukira bhatara Brahma asanggama kalawan isun puniku, hayo tanpamule sira ring rare puniku, upama ababu kakalih abapa tunggal samanipun rare puniku”. Mangkin sangsaya asih sira Lembong sasomah resep, wekasan atuha sakalawonlawon bhinaktanyamamaling denira Lembong. Awayah sapangon sira ken Angrok angering Pangkur. Telas pomahomahira ken Endok muwah sapomahomahira ki Lembong, henti tinotohaken denira Angrok. Wekasan sira angonngon ing siramandala ring Lebak, angon kebo sapasang; alama hilang mahisa kang denirangon ika, ingajen deramandala wolung ewu ring sapasang kebo, mangke ingumanuman sira ken Angrok dening rama-rena kalih: “Lah kaki isun anunggua kalih, lamun sira aja lungha, isun uga anunggonana ring siramandala ring Lebak”. Wesakan tan kedep lungha sira ken Angrok, kari sira ramanira kalih ring Campara mwang ring Pangkur.

Tumuli sira ken Angrok aysah umungsi ring Kapundungan, tanpawilasa kang kongsi pernahing angher. Wonten ta bobotoh saji saking Karuman, aran sira Bango samparan, alah atotohan denira malandag ing Karuman, tinagih tanpangemasi, sah sira Bango samparan saking Karuman ananakti maring Rabut jalu, angrengö ujar saking akaça kinon muliha manih maring Karuman, “hana anakmami anghuwusakena hutangta aran sira ken Angrok.” Sah sira Bango samparan saking Rabut jalu, lumampah saratri, dadi amanggih rare, kahitang widhining hyang denira Bango samparan, singgih ta sira ken Arok, bhinakta mantuk maring Karuman, ingaku weka denira Bango samparan. Anuli maring kabotohan, kapangghih sira malandang denira Bango samparan, linawan atotohan, alah sira malandang, pulih alahira Bango samparan, tuhu yan widhining hyang, mantuk sira Bango samparan, bhinakta mantuk sira ken Angrok denira Bango samparan. Sira Bango samparan sirawayuh angalap-du, sira Genuk buntu rabi tuha, sira Tirthaja rabi anom; hana anakira (rabi anom) pañji Bawuk, panggulu sira pañji Kuñcang, arinira pañji Kunal, sira pañji Kenengkung, wuruju wadon aran sira Cucupuranti. Sira ken Angrok ta sira ingaku anak ta denira Genuk buntu. Alawas sira haneng Karuman, tan apatut sira kalawan parapañji kabeh, donira ken Angrok sah saking Karuman. Tumuli sira ring Kapundungan amanggih sira raryangon anakira tuwan Sahaja, buyut ing Sagenggeng, aran sira tuwan Tita, apasanakan kalawan sira ken Angrok. Antyanta dening padasihsihan sira tuwan Tita kalawan sira ken Angrok. Ateher angher sira ring sira tuwan Sahaja, tan hana wiyatanira ken Angrok kalawan sira tuwan Tita, harep ta sira wikana ring rupaning aksara, mara sira ring sira Janggan ing Sagenggeng, ati amarajakaha, amalaku winarahan sastra. Ya ta winarahan sira ring rupaning aksara lawan panujuning swarawyañjanaçastra, sawredhining aksara, winarah sira ring rupacandra kapegataning tithi masa lawan sakakala, sadwara, pañcawara, saptawara, triwara, dwiwara, sangawara, wuku. Bisa sira ken Angrok kalawan sira tuwan Tita kalih sama winarahan ing sastra denira Janggan. Hana ta tatanemanira Janggan upacaraning natar, witing jambu olihira ananem; antyanta denipun awoh, tuhuning atub anedeng, pininghit tan ananing wineh angunduha, nora hana wani ameta wohing jambu punika. Lingira Janggan: “Lamun rateng jambu iku unduhen”. Dahat denira ken Angrok kapengin tumon ing wohing jambu punkia, maha kacitta wohing jambu punkia. Tekaning saratri, masa sireping wong aturu, sira ken Angrok sira aturu, mangke tang lalawah metu saking wunwunanira ken Angrok adulurdulur tanpapegatan, sawengi amangan wohing jambunira Janggan. Tumuli ring eñjang katinghalan agelar wohing jambu punika ring natar, pinupu dening pepedekira Janggan. Sira Janggan tumon wohing jambu rusak agelar ing natar, çoka sira Janggan, lingira Janggan ing parajaka: “Paran sangkane rusak jambu iku.” Sumahur pepedekira Janggan: “Pukulun rusak denin tampaking lalawah amangan jambu puniki”. Dadi ta sira Janggan angambil rwining pañjalin nggenira ñerung jambu punika tur deniratunggu sawengi. Sira ken Angrok malih aturu ring salu kidul, asandi(ng) kakawunganing alalang ring pernahira Janggan kadang amelit. Satinghalira Janggan mulat ing lalawah abebelek pangdudulur, metu saking wunwunanira ken Angrok, pada amangan wohing jambunira Janggan, apeseh twasira Janggan, kawalahan anggetak lalawah akeh amangan wohing jambunira, serngen Janggan, tinundung sira ken Angrok denira Janggan, akara madhyaning ratri patundungira Janggan. Kaget sira ken Angrok atangi pupungun sira, anuli metu, aturu ring palangalanganing jaba, wineton denira Janggan maring jaba katinghalan hana murub ing tengahing alalang, kaget sira Janggan angidepaken katunon, pinariksa kang katon murub, kapanggih ken Angrok kang murub ika, tinangi kinen mantuka ingajak aturua ring umah manih, tutut sira ken Angrok aturu ring patetengahan manih. Eñjang kinen angambila wohing jambu denira Janggan, suka sira ken Angrok, lingira: “Lah malar isun dadia wong, isun anahura hutang ring sira Janggan”. Agung sakalawonlawon sira ken Angrok, angon ta kalawan sira tuwan Tita, agawe ta sira dukuh, kapernah wetaning Sagenggöng, tegal ing Sañja, pinakanggenira angadangadanga wong malintang hawan lawan sira tuwan Tita rowangira.

Hana ta wong amahat ano ring alasing wong Kapundungan, anakanak wadon ahayu, milu maring alas, teka ginamelan denira ken Angrok rinowang asanggama ring alas, ya ta ring Adiyuga ngaraning alas. Mangkin mersah sira ken Angrok, wekasan sira analawa wong malintang hawan, ya ta kawerta tekeng nagareng Daha denira ken Angrok angrusuh, ya ta ingilangaken saking Tumapel denira sang akuwu aran Tunggul ametung. Sah sira ken Angrok saking Sagenggeng, angungsi ta sira maring Rabut gorontol. “Mogah ta kabebeng ring bañu kang angilangaken”, sotira ken Angrok: “mogah ta bañu metua saking tanhana, samangkana dadi kang tahun, tan hana keweh ring Jawa”. Mangkana lingira ken Angrok. Sah sira saking Rabut gorontol, angungsi sira ring Wayang, tegal ing Sukamanggala. Hana ta papikatan perit, irika ta sira anawala wong asedahan manuk, anuli sira maring Rabut katu. Kapihanan sira tumon ing katu sawaringin gönge, irika nggenira mesat angungsi ta sira ring Jun watu, mandalaning wong sampurna, angungsi ta sira mareng Lulumbang, angher ing wong amaradeça, wijiling wong ajurit, aran sira Gagak inget. Alawas angher irika anawala wong malintang hawan. Sah sira maring Kapundungan, amamaling sira ring Pamalantenan, kawruhan ta sira, binuru kakepang, tan wruh ta parananira angungsi, amamanek ta sira ring witing tal, ring pinggiring kali, karahinan ta sira, kawruhan yen amamanek ing tal, tinunggu dening wong Kapundungan ing sor, tinabuhan kajar. Tal punika winadung dening amburu ring sira. Samangka ta sira anangis, asasambat ing kang ayaçadharma ring sira, dadi sira amiresep çabda ring awangawang, kinon sira ameranga roning tal pinakahelaranira kiwa tengen margahanira anglayanga maring sabrang wetan, masa sira matia muwah, dadi amerang sira ron tal antuk kakalih, pinakahelarira kiwa tengen; angalayang sira mareng sabrang wetan, malayu angungsi ring Nagamasa, tinut sira binuru, angungsi ta sira maring mandaleng Oran, tinut binuru, malayu angungsi ring mandaleng Kapundungan, katemu atanem siramandala, ingalingan sira ingaku weka deniramandala, sira ken Angrok. Anakiramandala pada atanem, kehipun nenem. Katuju lungha atatawu kang tunggal, kari lilima; kang lungha ginanten atanema denira ken Angrok, teka kang amburu ring sira, tur angucap ring siramandala: “E kaki mandala, hana wong arusuh isun-buru, angungsi ingkene mahu”. Sumahur siramandala: “Kaki dayakanira tan tuhu aliñok ingsun kaki, yen norengkene; hananakingsun nenem, iki atanem genep nenem, wilangen uga denira, manawa lewih saking nenem, iki atanem genep nenem, wilangen uga denira, manawa lewih saking nenem, tuhu hana wong len ingkene”. Ujaring amburu: “Tuhu yen anakira mandala nenem, apan kang atanem iku nenem”. Les lungha kang amburu. Lingira mandala ring ken Angrok: “Lungha ta sira kaki, manawa mangsul kang amburu ring sira, manawahanamicara çabdaningsun, tanpantuk denira anungsi iringsun, lungha sira angungsi alas”. Ndan lingira ken Angrok: “Angher manih kang amburua”. Ya ta sangkane angalas ken Angrok, ring Patangtangan araning alas. Anuli sira ken Angrok angungsi ring Ano. Sah sira ring alas ing Terwag. Mangkin sangsaya mersah sira. Hana ta sira mandaleng Luki, angarepi welahan, mangkat sira amaluku pagagan, akarya pakacangan ambhakta sekuling rare angon mahisanira mandala, den-salahaken ing undungundung den-wadahi kele, katungkul sira mandala pijer amaluku pakacangan, ingundukundukan ingambil denira ken Angrok pinet sekule, nangken dina sira mangkana, kepwan sira mandala dening baryan dina kelangan seganing pangon, pangucapiramandala: “Paran sangkane hilang sekul iki”. Mangkin ta inginte sisingidan seganing pangonira mandala ring welahan, pangone den-kon amulukua, tando dateng sira ken Angrok saking jero alas paksanira ken Angrok angambila sekul punika. Sinapa deniramandala: “Kalingane sira kapo kaki ngamet segane pangon-ingsun iku nangken dina”. Sumahur ken Angrok: “Singgih kaki mandala, ingsun amet segane pangonira nangken dina wetning lapa-ingsun tanpamangan”. Lingira mandala: “Lah kaki datenga ring açramaningsun sira yen hana luwe, amalampaha sekul nangken dina, apan ingsun pratidina angadangadang tekahaning tatamu”. Teher ingajak sira ken Angrok dateng ing Batur denira mandala, sinwagatan sireng sekul ulam. Lingira mandala ring istrinira: “Nini bhatari ingsun amemekas ing sira, lamun ken Angrok maririkia, mon ingsun tan hana ring umah tuwi, kukurenen tumuli, amelasaken”. Ya ta ken Angrok katutur nangken dina teka, lunghanira saking rika ntapada, mulih sira mareng Kabalon, parabira sira mpu Palot, among dharmakañcana, aguru ta sira ring hyang buyut ing Kabalon, pangawaking dharmakañasiddhi, siddhisanidya, mantuk ta sira mpu Palot saking Kabalon amawa ta sira lakar, awrat limang tahil, areren ing Lulumbang, awedi sira mpu Palot muliha dewek mareng Turyantapada, rehing wonten wong kawerta anawala ring marga aran sira ken Angrok. Sira mpu Palot tan wruh ring patutunggalaning wong; ya ta katemu sira ken Angrok ring parerenan. Lingira sira ken Angrok ring sira mpu Palot: “Uduh dateng ing punendi rakaki pukulun”. Lingira mpu, sumahur: “alulungha ingsun kaki saking Kabalon, ayun mantuka mareng Turyantapada, awedi ingsun ring marga, anengghu hana wong anawala aran ki Angrok.” Mesem sira ken Angrok, lingira ken Angrok: “Lah pukulun, ranakira ya ngatera mantuk i rakaki, raputunira mene anglawana yen kapanggih wong aran ken Angrok puniku, lumaris ugi sira kaki mantuk mareng Turyantapada, sampun walang hati.” Kapihutangan sira mpu ring Turyantapada angrungu sanggupira ken Angrok. Satekanireng Turyantapada, ya ta winarahan dharmakañcana sira ken Angrok, enggal bisa, tan hana sor timbangana ring kaçaktinira mpu Palot. Neher ingaku weka sira ken Angrok denira mpu Palot, sangkaning açrameng Turyantapada ingaran ing mandaleng Bapa. Mangke polahira ken Angrok angaku bapa ring mpu Palot, hana po deni(ng) kakuranganira mpu Palot, ya ta karananira ken Angrok kinon marang Kabalon denira mpu Palot, kinonira amutusakena dharmakañcana, ring hyang buyut ing Kabalon, anguwusakena lakar katunanira mandaleng Bapa. Mangkat sira ken Angrok dateng ring Kabalon, tan kapihandel sira ken Angrok denira sang apalinggih ring Kabalon. Samangka ta serngen sira ken Angrok: “mogah hana embang ring panapen”. Sinduk denira ken Angrok malayu angungsi ring hyang buyut ing Kabalon, ingatagaken sira parakategan sahaneng Kabalon paraguruhyang tekaning kapuntan, sama medal amawa palugangça, amburu ring sira ken Angrok samamukul ing palugangça paksanira sang tyaga aminonanayun amatenana ring sira ken Angrok. Mogha angrugu ujaring akaça: “Hayo denira-pateni wong iku, sang tyaga, yugamami rare iku, tangeh gawene ring madhyapada.” Mangkana çabda akaça karungu denira sang tyaga. Ya ta tinulung ken Angrok anglilir kadi pralagi. Teher ken Angrok angenaken upata, lingira: “Tan hanaha tega ring wetaning Kawi tan siddhaning dharmakañcana.” Sah sira ken Angrok saking Kabalon, angungsi Turyantapada, sira mandaleng Bapa, siddha ring dharmakañcana. Sah sira ken Angrok saking mandaleng Bapa maring pradeçeng Tugaran. Nora ta wilasa sira buyuting Tugaran, rinusuhan wong Tugaran denira ken Angrok, ya ta ingemban ta gopala sinalahaken ing mandaleng Bapa, dadi kapanggih anakira buyuting Tugaran, ananem kacang ing pagagan. Mangke ta ikang rara rinowang asanggama denira ken Angrok, alalama kacang kakampilan, sangkaning kacang Tugaran wijne akulimis agung agurih. Sah sira saking Tugaran, mulih sira maring mandaleng Bapa muwah. Lingira ken Angrok: “Yen ingsun dadi wong adanaha pirak ring kaki mandaleng Bapa”. Kawerta sira ken Angrok ring nagareng Daha, yen arusuh asenetan ring Turyantapada, ingilangaken saking Daha, rinuruh dening wong saking Daha, lungha saking mandaleng Bapa, angungsi sira maring gunung Pustaka. Sah sira saking rika, angungsi ring Limbehan, wilasa sira buyuting Limbehan, inungsi sira ken Angrok, wekasan ananakti sira ken Angrok maring Rabut kedung Panitikan. Katurunan sira widhi, kinon mara ring Rabut gunung Lejar, ring dina Budha hireng ing Warigadyan, sira paradewa ahum akukumpul, mangkana lingira nini ring Panitikan: “Mami angrowangana asenetana kita bapa, tan hananing wruha, mami ta ananapua ring gunung Lejar sedenging dewa ahum kabeh.” Mangkana lingira nini Panitikan. Ya ta mara sira ken Angrok ring gunung Lejar. Katekan pwa Budha hireng ing Warigadyan, mara pwa sira ring paheman. Ya ta sira asenetan ing pawuhan ingurungan suket denira ranini Panitikan. Teher muni kang saptaswara genter pater lindu ketug kilat halisyus haliwawar, hudan salah masa, tanpantara teja wangkawa, ndan samangkana sira angrengö çabda tanpantara, humwang gumuruh, rasaning ahumaning watek hyang: “Ikang angukuhana ring nusa Jawa, yaya tandi mandala”. Mangkana ling sang watek dewata kabeh sama asalanggapan ujar: “Ndi kang yogya prabhua ring nusa Jawa”, patakoning watek hyang kabeh. Sumahur hyang Guru: “Wruhanta kabeh watek dewata, hana si yugamami, manusa wijiling wong Pangkur, ika angukuhi bhumi Jawa.” Samangka metu ta sira ken Angrok saking pawuhan, katinghalan sira dening watek hyang, sama kayogyan sang watek dewata, ya ta inastwaken sira bhiseka bhatara Guru, mangkana kastwanira de sang watek dewata, asurak asanggaruhan. Winidhyan sira ken Angrok angangkena bapa ring sang brahmana makanama sira danghyang Lohgawe, wahu teka saking Jambudwipa kinen apanggiha ring Taloka; samangkana mulaning brahmana hana ring wetaning Kawi. Duk maring Jawa tanpahawan parahu, atampakan roning kakatang telung tugel, mentas sira anuju pradeça ring Taloka, mider sira danghyang Lohgawe angulati sira ken Angrok. Lingira danghyang Lohgawe: “Hana rare adawa tangane, aliwat ing dekunge, tulise tangane tengen cakra, kang kiwa çangka, aran ken Angrok, katon ing pujamami, kadadinira bhatara Wisnu, pawarahira nguni duk ing Jambudwipa: eh danghyang Lohgawe wus mono denta muja ring Wisnuarccha, mami tan hana ring kene, ngong angjanma manusa maring Jawa, kita tumutureng mami, aran ingong ken Angrok, ulatana mami ring kabotohan”. Tando sira ken Angrok kapanggih ring kabotohan, winaspadaken singgih kang katon ing puja denira danghyang Lohgawe. Tumuli sira tinañan, lingira danghyang Lohgawe: “Iya sira kaki, aran ken Angrok, sangkaningsun wruh ing sira, katon ing puja deningsun”. Sumahur ken Angrok: “Singgih pukulun, ranakira aran ken Angrok.” Rinangkul sira denira sang brahmana. Lingira danghyan Lohgawe: “Ingsunaku anak sira kaki, ingsun-rowanng duk anastapa, ingsun-wong saparanira.” Sah sira ken Angrok saking Talokah, mara sira ring Tumapel, milu sira brahmana. Satekanira ring Tumapel kapanggih kaladeça, ati sira asesebana ring sang akuwu ring Tumapel, aran sira Tunggul ametung. Kapanggih sira sineba. Lingira Tunggul ametung: “Bhageya pukulun sang brahmana, saking punendi sira hañar katinghalan.” Sumahur sira dangyang Lohgawe: “Eh kaki sang akuwu, hañar saking sabrang ingsun, ati ingsun asewakaha maring sang akuwu ingsun kaki, lawan akonakoningsun anak puniki ayun sumewakaha ring sang akuwu”. Sumahur sira Tunggul ametung: “Lah suka ingsun sira danghyang yen sira santosa wontena ring siranakira”. Mangkana lingira Tunggul ametung. Alawas sira ken Angrok amaraseba ring sira Tunggul ametung, sang akuwu ring Tumapel. Dadi hana bhujangga boddhasthapaka ring Panawijen, lumaku mahayana, atapa ring setraning wong Panawijen, apuspata sira mpu Purwa. Sira ta anakputrinira, aran ken Dedes. Sir ata kawerta yen hayu, tan hana amadani rupanira yen sawetaning Kawi kasub tekeng Tumapel. Karungu denira Tunggul ametung, tumuli sira Tunggul ametung dateng ing Panawijen, añjujug maring dukuhira mpu Purwa, kapanggih sira ken Dedes, atyanta garjitanira Tunggul ametung tumon ing rara hayu. Katuju sira mpu Purwa tan hana ring patapanira, samangka ta ken Dedes sinahasa pinalayoken denira Tunggul ametung. Saulihira sira mpu Purwa saking paran tan katemu sirabakira, sampun pinalayoken denira sang akuwu ring Tumapel, tan wruh ring kalinganira, ya ta sira mpu Purwa anibaken samaya tan rahaju, lingira: “Lah kang amalayoken anakingsun mogha tan tutuga pamuktine matia binahud angeris; mangkana wong Panawijen asata pangangsone, mogha tan metua bañune bejine iki, dosane nora awarah iringsun yen anakingsun den-walating wong”. Mangkana lingira mpu Purwa. “Kalawan ta anakingsun marajaken karma amamadangi, anghing sotmami ring anakmami mogha anemwa rahayu den-agung bhagyane”. Mangkana sotira mahayana ring Panawijen. Satekanira ken Dedes ring Tumapel rinowang sapaturon denira Tunggul ametung, tan sipi sihira Tunggul ametung, wahu ngidam sira ken Dedes, dadi sira Tunggul ametung akasukan, acangkrama somahan maring taman Boboji, sira ken Dedes anunggang gilingan. Satekanira ring taman sira ken Dedes tumurun saking padati, katuwon pagawening widhi, kengis wetisira, kengkab tekeng rahasyanira, neher katon murub denira ken Angrok, kawengan sira tuminghal, pituwi dening hayunira anulus, tan hanamadani ring listu-hayunira, kasmaran sira ken Angrok tan wruh ring tingkahanira. Saulihira Tunggul ametung saking pacangkrama, sira ken Angrok awarah ing sira danghyang Lohgawe , lingira : “Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane, punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika yen ayu rika laksananipun”. Sumahur sira danghyang: “Sapa iku kaki”. Lingira ken Angrok: “Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun deningsun”. Lingira danghyang Lohgawe: “Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariçwari arane, adimukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu añakrawarti”. Meneng sira ken Angrok, ri wekasan angling: “Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun puniku rabinira sang akuwu ring Tumapel; lamun mangkana manira-bahud angeris sirakuwu, kapasti mati de mami, lamun pakanira angadyani”. Sahurira danghyang: “Mati, bapa kaki, Tunggul ametung denira, anghing ta ingsun ta yogya yan angadyanana ring kaharepira, tan ulahaning pandita, ahingan sakaharepira”. Lingira ken Angrok: “Lamun mangkana, bapa, ingsun amit ing sira”. Sumahur sang brahmana: “Maring punendi ta sira kaki”. Sumahur ken Angrok: “Ingsun dateng ing Karuman wonten bobotoh angangken weka iringsun, aran sira Bango samparan, asih iringsun; punika inksun-tarinipun kadi angyogyanana”. Lingira danghyang: “Rahayu yan mangkana, sampun ta, kaki, sira alawas ing Karuman”. Lingira ken Angrok: “Punapa karyaningsun alawasa”. Sah sira ken Angrok saking Tumapel, teka sireng Karuman, kapanggih sira Bango samparan. “Saking endi kawetunira, alawas tan mareringsun, kadi ring swapna ingsun atetemu lawan sira, alawas temen denira lungha”. Sumahur ken Angrok: “ Wonten ing Tumapel ingsun bapa, amaraseba ring sirakuwu. Sangkaningsun maring sira, hana rabinirakuwu, tumurun saking padati, kasingkab rahasyane, katon murub deningsun. Hana ta brahmana hañar angajawa, puspatanira danghyang Lohgawe, sirangaku weka ring ingsun, ingsun-takoni: punapa araning stri yen murub rahasyanipun. Lingira sang brahmana: uttama dahating stri yen mangkana, arane iku kang sinangguh stri ardhanariçwari ika, sulaksana temen, pan iku asing aderwe rabi, katekan dadi ratu añakrawarti. Ingsun ta, bapa Bango, kapening dadi ratu, harepingsun ki Tunggul ametung ingsun-patenana, rabine ingsun-alape, malar bapa, ranakira dadi ratu, amalaku ingsun pangadyanira bapa danghyang. Ujarira danghyang; kaki Angrok tan kawaça ring brahmana yan angajengana ring wong angalap rabining arabi, hingan sakaharepira piambek. Punika karananingsun maring bapa Bango, malaku adyanadyanira bapa ingsun-cidrane sirakuwu ring Tumapel, wyakti mati sirakuwu deningsun”. Sumahur sira Bango samparan: “Rahayu yen mangkana. Ingsun, kaki, angadyani, yen siraharep ambahud angeris ring sira Tunggul ametung, anghing ta sira kaki Angrok, sirakuwu teguh, manawi nora tedas yen derasuduka ring keris kurang yoninya. Hana mitraningsun pande ring Lulumbang, aran pu Gandring, yoni olih agawe keris, norana wong ateguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukaken, ika konen akarya duhung. Yen huwus dadikeris, nggenirañidra ring ki Tunggul ametung.” Mangkana wekasira Bango samparan ring ken Angrok. Lingira ken Angrok: “Amit ingsun, bapa, maring Lulumbang”. Sah sira saking Karuman, nuli maring Lulumbang, katemu sira Gandring anambut karya ring gusali, teka ken Angrok tur atakon: “Iya sira baya aran Gandring. Lah reko ingsun papawekena kerism huwusa limang wulan, agatana gawene deningsun”. Lingira mpu Gandring: “Sampun limang wulan punika, lamun sira ayun den-apened, manawi satahun huwus, enak rateng papalonipun”. Lingira ken Angrok: “Lah sarupane gugurindane, anghing den-huwus limang wulan“. Sah ken Angrok saking Lulumbang, maring Tumapel, kapanggih sira danghyang Lohgawe, atakon ing ken Angrok: “Paran sangkanira alawas ing Karuman”. Sumahur ken Angrok: “Sumelang manira, bapa, ring Lulumbang”. Samangka ta ken Angrok alawas apanganti ring Tumapel. Huwusing genep limang wulan, enget ing samayanira yen aken anggawe keris ring sira mpu Gandring. Mara sira ring Lulumbang, katemu sira mpu Gandring anggugurinda, aninigasi papalampahanira ken Angrok keris. Lingira ken Angrok: “Endi kenkenaningsun ring kaki Gandring”. Sumahur sira Gandring: “Singgih kang ingsun-gurinda puniki, kaki Angrok”. Pinalaku tininghalan pungan keris denira ken Angrok. Lingira asemu brndu: “Ah tanpolih deningsun akonkon ring sira ki Gandring, apan durung huwus gugurindane keris iki, lagi asebel, iki kapo rupane kang dera-lawas limang wulan lawase”. Apanas twasira ken Angrok, dadi sinudukaken ing sira Gandring keris antukira Gandring agawe ika. Anuli pinerangaken ing lumpang çela pambebekan gurinda, belah aparo; pinerangaken ing paronira Gandring, belah apalih. Samangka sira Gandring angucap: “Ki Angrok, kang amateni ring tembe keris iku, anak-putunira mati dene kris iku, olih ratu pipitu tembe keris iku amateni. Wusira Gandring angucap mangkana, mati sira Gandring. Samangka ta arupa analahasa sira ken Angrok patinira Gandring. Lingira ken Angrok: “Lamun ingsun dadi wong tumusa ring anakputune apande ring Lulumbang”. Teher mantuk sira ken Angrok maring Tumapel. Hana kakasihira Tunggul ametung, aran Kebo hijo, apawong sanak asihsihan lawan ken Angrok. Satinghalira Kebo hijo ring sira ken Angrok anungkelang duhung hañar, adanganañ cangkring katut rinipun tanpagagala wungkul, aremen sira Kebo hijo mulat. Angucap ing ken Angrok: “He, kaka, sunsilihe kerisira iku”. Sinungaken denira ken Angrok, ingangge denira Kebo hijo tumuli, wetning resepira tumon; alawas ingangge denira Kebo hijo duhung saking ken Angrok punika, nora hana wong Tumapel tan sapeksaha yen sira Kebo hijo anungkelang duhung hañar. Mogha ta mangke duhung punika minaling denira ken Angrok, kena dening amalingi. Teher ken Angrok kala ratri anuli maring dalem pakuwon, duweg sireping wong, katuwon denira dinuluraning widhi, anuli mareng paturonira Tunggul ameung, tan kawara lakunira, sinuduk sira Tunggul ametung denira ken Angrok, terus prananira Tunggul ametung mati kapisanan. Keris antukira Gandring agawe kinatutaken minaha. Mangke huwus rahina kawaswasan duhung tumanem ing jajanira Tunggul ametung, tinenger dening wong kang wruh kerisira Kebo hijo, kang inganggo sabran dina. Pangucaping wong Tumapel kabeh: “Ki Kebo hijo kalingane kang añidra ring sira Tunggul ametung, apan sawyakti kerise katut ing jajanira sang akuwu ring Tumapel.” Samangka sira Kebo hijo sinikep dening kadang-wargganira Tunggul ametung, tinewek ing keris antukira Gandring akarya punika, mati ki Kebo hijo. Hana ta anakira Kebo hijo, aran Mahisa randi, alara patining bapa, ya ta winilasan kinatik denira ken Angrok, atyanta welasira ring Mahisa randi. Mogha hyang dewa sirandandani, tuhu yan kramanira ken Angrok ring sira ken Dedes, alama akakarepan, tan hananing wong Tumapel wani angucapa satingkah-polahira ken Angrok, mangkana sakadang-warganira Tunggul ametung meneng tan hana wenang angucapa, ya ta apanggih ken Angrok lawan ken Dedes. Sampun ta sira abobot tigang lek katinggal denira Tunggul ametung, kaworan denira ken Angrok, atyanta denira silihasih sira ken Angrok lawan ken Dedes, alawas papanggihira. Genep leking rare mijil anakira ken Dedes lanang, patutanira Tunggul ametung, ingaranan sang Anusapati, papañjinira sang apañjinira sang apañjy Anengah. Alama sira papanggih ken Angrok kalawan ken Dedes, malih aputra ken Dedes lawan ken Angrok, mijil lanang, aran sira Mahisa wong ateleng, mwah ari denira Mahisa wong ateleng lanang aran sang apañji Saprang, aranira pañji Saprang lanang aran sira Agnibhaya, arinira Agnibhaya wadon aran sira dewi Rimbu, papat patutanira ken Angrok lawan ken Dedes. Hana ta binihajinira ken Angrok anom, aran sira ken Umang, sira ta apatutan lanang ta binihajinira ken Angrok anom, aran sira ken Umang, sira ta apatutan lanang aran sira pañji Tohjaya, arinira pañji Tohjaya lanang aran sira pañji Sudhatu, arine pañji Sudhatu lanang aran sira twan Wregola, arine twan Wregola istri aranira dewi Raambi. Kwehing putra 9, lanang 7 wadon 2. Telas purwa wetaning Kawi, kaputer sawetaning Kawi, sama awedi ring sira ken Angrok, mahu ariwariwa ayun angadega ratu, wong Tumapel sama suka yen ken Angrok angadega ratu, Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Dangdang gendis angandika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: “E, ki parabhujannga çewa-sogata, paran sangkanira nora anembah ring ingsun, apan ingsun saksat bhatara Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking nagareng Kadiri: “Pukulun tan wonten ing kinakina bhujangga anembahi ratu.” Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Dangdang gendis: “Lah manawa kang ring kuna nora anembah, kang mangko ta ingsun sembahen denira, manawa sira tan wruh ring kaçaktiningsun mangko sun-wehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Dangdang gendis angadegaken tumbak, landeyanipun tinañcebaken ring lemah, sira ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: “Lah parabhujangga delengen kaçaktiningsun.” Sir ata katon acaturbhuja, atrinayana, saksat bhatara Guru rupanira, winidhi anembaha parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harep anembaha tur mersah pada angungsi maring Tumapel asewaka ring ken Angrok. Samangka mulaning Tumapel tan ahidep ing nagareng Daha. Tumuli sira ken Angrok inastwaken prabhu ring Tumapel, araning nagara ring Singasari, abhisekanira çri Rajasa, bhatara sang Amurwabhumi, ingastryan dening bhujangga sewa-sogata kang saking Daha, makadi sira dangyang Lohgawe sira asangkapani, kuneng kang asih awelas ring sira ken Angrok ing kina duk sira sedeng kasyasih, pada ingundang kabeh, tinulung denira winales pawilasane, makadi sira Bango samparan, tan ucapen siramandaleng Turyantapada, lawan anaking apande wesi ring Lulumbang, aran pu Gandring, satuse apande ring Lulumbang luputeng saarik purih, satampaking wulukune wadung-pacule. Hana anake ki Kebo hijo den-pada kawewenangane lawan anake pu Gandring. Hana anakira bapa danghyang (Lohgawe) aran wangbang Sadang, patutanira lawan wong Wisnu, temokena kalawan anakira bapa Bango kang aran Cucupuranti, mangkana rasaning andika sang Amurwabhumi. Atyanta kretaning nagaraning Singhasari, paripurna nirwighna. Alawas karengö wertanira ken Angrok yan huwus pangadeg ratu, kahatur ing siraji Dandang gendis yen sang Amurwabhumi harep amerepa maring Daha. Andikaniraji Dandang gendis: “Sapa ta angalahakena ring nagaraningsun iki, manawa kalah lamun bhatara Guru tumurun saking akaça, sugyan kalaha”. Ingaturan sira ken Angrok, yan siraji Dangdang gendis angandika mangkana. Lingira sang Amurwabhumi: “E parabhujangga sewa-sogata kabeh, astokena ingsun abhiseka bhatara Guru”. Samangka ta mulanirabhiseka bhatara Guru, ingastwaning bhujangga brahmana resi. Tur sira anuli anglurug maring Daha. Karenge deniraji Dangdang gendis yen sang Amurwabhumi ring Tumapel anekani andon maring Daha. Lingiraji Dangdang gendis; “Alah ingsun sedenge ki Angrok winonging hyang”. Samangka ta sañjata-ing Tumapel acucuh lawan sañjata Daha, aprang loring Ganter, apagut sama prawira, anglongi linongan, katitihan sañjata Daha. Ariniraji Dangdang gendis moktah bamakreti ksatriya raden Mahisa walungan, lawan mantrinira prawira aran Gubar baleman; moktahning arinira Dangdang gendis mwah wadwa pinakatihati sira Gubar baleman kalih karebat dening wado Tumapel, amah gunung denipun aprang. Samangka ta wado Daha kapalayu, apan kang pinakadining prang sampu kawenang. Irika ta sañjata Daha bubar tawon, pungkur wedus, dahut payung, tan hana pulih manih. Samangka ta siraji Dangdang gendis murud saking paprangan, angungsi maring dewalaya, gumantung ing awangawang, tekaning undakan, pakatik, juru payung lawan amawa tadah sedah, tadah toya, panglante, sama milu angawangawang. Prasiddha kalah ring Daha denira ken Angrok. Lawan sira rayinira (sang Dangdang gendis) dewi Amisani, dewi Hasin, dewi Paja, mangkin sama katuran yan siraji Dangdang gendis alah aprang, karengö wonten ing dewalaya gumantung ing awangawang, mangke ta sira twan dewi katiga muksah lawan kadaton pisan. Irika ta sira ken Angrok huwus ing jayasatru, mulih maring Tumapel, kaputer bhumi Jawa denira. Sakala pañjenengira huwus kalah ing Daha 1144. Alawas hana werta sang Anusapati, anakira Tunggul ametung, ataken sira ring pamongmong: “Awedi manira dening sira rama-pakanira”, aturing pamongmong: “aron pakanira matura ring sira ibu pakanira”. Tan suddhanira Nusapati ataken ing siebunira: “Ibu ingsun ataken ing sira punapa kalinganira bapa yen tuminghal ing isun, pahe tinghalira kalawan sanakingsun kabeh, tan ucapen lawan putranira ibu anom, mangkin pahe tinghalira bapa”. Tuhu yan samasanira sang Amurwabhumi. Sahurira ken Dedes: “Kaya dudu kang angandeli, yen sira kaki ayun wruha, sira Tunggul ametung arane ramanira; katinggal ingsun tigang çaçih, ya ta ingsun ingalap denira sang Amurwabhumi”. Lingira Nusapati: “Kalingane, ibu, dudu bapaningsun sang Amurwabhumi, punapa ta ibu pademira bapa”. “Sang Amurwabhumi, kaki, amateni”. Meneng sira ken Dedes, arupa kaluputan dening awerta sajati ring siranakira. Lingira Numsapati: “Ibu, woten duhungira bapa antukipun Gandring akarya, ingsun-tedanipun ibu”. Sinungaken denira ken Dedes. Sang Anusapati amit mantuk maring kamegetanira. Wonten ta pangalasanira ring Batil, inundang denira Nusapati kinon amatenana ken Angrok, sinung duhung antukipun Gandring akrya, nggenipun amatenana ring sang Amurwabhumi, ingebang wong Batil denira Nusapati. Mangkat wong Batil maring dalem kadaton, kapanggih sang Amurwabhumi sedengira anadah, teher sinuduk sira deing wong Batil. Duk sira kacurna Werhaspati Pon ing Landep; masanira anadah sande jabung, sambun surup prabangkara amasang sanda. Sambuning lina sang Amurwabhumi, malayu wong Batil, angungsi sang Anusapati, matur wong Batil: “Sampun moktah sira rama-pakanira den-manira“. Neher sinuduk wong Batil denira Nusapati. Ujaring wong Tumapel: “Ah bhatara sirengamuk dening pangalasaning Batil, sira Nusapati angembari amuk”. Ri linanira sang Amurwabhumi i çaka 1169. Sira dhinarmeng Kagenengan.

Sumber : Mas Deddy Endarto WILWATIKTA*

Sabtu, 30 Desember 2017

LGBT

LGBT

Kaum Luth a.s termasuk kaum yang banyak dikaruniai kelebihan. Mereka suka bersatu dan bergotong royong, dan biasa berangkat kerja sama–sama,

meninggalkna istri dan anak-anak mereka di rumah.

Iblis tidak menyukai hal itu dan banyak upaya yang dilakukannya, tapi kurang berhasil.

Sungguh sulit menyesatkan kaum suka persatuan.

Akhirnya dia mendapat ide. Setiap kali mereka pulang kerja, hasil kerjanya dirusak dan dihancurkan oleh si terkutuk Iblis.

Esok harinya mereka bertanya siapa gerangan yang merusak pekerjaan meraka, membuat hari-hari mereka sia-sia, dan memperlambat produksi.

Kerja mereka menjadi tidak efektif. Mereka kesal sekali, sehingga mereka sepakat bahwa jika si pelaku tertangkap, akan dijatuhkan hukuman berat.

Pada hari-hari berikutnya Iblis menjelmakan dirinya menjadi seorang anak muda yang manis sekali tampangnya.

Ketika kaum Luth pergi kerja keesokan harinya, mereka melihat anak itu dan menyadari bahwa anak itulah pelakukanya.

Maka, langsung saja mereka kejar dan tangkap anak itu. Dan setelah anak itu mengakui perbuatanya, mereka memberi hukuman mati kepada anak yang berwajah manis dan menawan itu.

Sambil lebih jauh, mungkin agar ketahuan siapa orang tua atau kerabatnya, atau supaya diadili lebih dahulu, mereka memutuskan untuk mengurung anak itu menggilir orang untuk menjaganya.

Malam itu juga, ketika sudah memasuki waktu tidur, si anak itu (Iblis) pura-pura sedih dan meratap. Karena terganggu, dan mulai merasa kasihan, si penjaga menghampirinya sembari bertanya. “Ada apa denganmu?”

“Ayahku selalu memelukku saat aku hendak tidur,” jawabnya.

Si penjaga menjadi tidak tega. Akhirnya dia katakan, “Ya sudah, sini aku peluk”. Ketika sudah di peluk, si anak (Iblis) membuat gerakan-gerakan yang membangkitkan syahwat orang itu, terus menerus hingga hasratnya sudah terlihat, si anak mengajarkan apa yang harus dilakukannya, sampai akhirnya perbuatan sodomi pertama dalam sejarah peradaban manusia pun terjadi.

Pagi harinya, ketika dia bangun, anak itu sudah tidak ada. Orang itu pun menceritakan segala yang terjadi dengan berapi-api, dan mencotohkannya. Teman-temannya menjadi penasaran, hingga akhirnya mereka saling mencoba melakukannya juga.

Akhirnya, hari demi hari, kerusakan moral itu menyebar luas dan menjadi kebiasaaan.

Iblis adalah yang pertama mengajarkan, lalu diteruskan oleh orang yang menggaulinya itu. Tidak puas dengan itu, Iblis harus menyelesaikan misinya.

Dia sekarang menjelma sebagai seorang wanita dan pergi memengaruhi kaum wanita sambil mengabarkan,

“sesungguhnya laki-laki kalian sudah saling suka sama suka, kalian sudah tidak dibutuhkan lagi.”

Iblis itu lalu mengajarkan hal baru kepada kaum wanita, sehingga mereka saling mencukupi satu dengan lainnya.

Dari seringnya hal itu sampai akhirnya tanpa rasa malu, mereka melakukanya secara terang-terangan.

Bahkan kalau ada musafir dari kota lain, mereka rampok dan tega memerkosanya.

Allah Swt. Mengutus Nabi Luth a.s bertahun-tahun beliau berusaha menyadarkan dan mengembalikan mereka kepada yang benar, tetapi mereka menutup telinga dan hati, bahkan menganggap Luth sebagai pengganggu gaya hidup mereka.

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, tatkala dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengejakan perbuatan Fahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seoarang pun sebelumnya? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (QS Al-A’raf [7] 80:81)

Ketika mereka merasa bahwa Luth terlalu sering mencampuri urusan-urusannya, mereka memutuskan untuk mengusir Luth beserta para pengikutnya.

Dan jawaban kaumnya tiada lain hanya berkata, “usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.” (QS Al-A’raf [7]: 82)

Bersambung........

Imam Hussein

Balasan Cinta Imam Hussein Kepada Seorang Penggembala

Suatu waktu dalam perjalanannya Imam Hassan as tersesat dan salah jalan. Setelah mencari-cari jalan dan dalam kondisi lapar dan haus beliau akhirnya bertemu dengan seorang gembala.

Penggembala membawa Imam Hassan as ke rumahnya dan menyambutnya dengan baik.

Keesokan harinya penggembala tersebut menunjukkan jalan kepada Imam Hassan as dan mengucapkan selamat jalan.

Kepada penggembala Imam Hassan as berkata, “Semoga Allah memberkatimu dan memberkati hidupmu. Kapan saja kamu ke Madinah, silahkan ke rumahku, insyaallah aku akan membalas kebaikanmu.”

Waktu berjalan dan suatu hari penggembala itu pergi ke Madinah bersama majikan dan domba-dombanya.

Ketika mereka sampai di koto kebetulan Imam Hassan as sedang berada di luar kota.

Jd Ketika penggembala mencari-cari rumah Imam Hassan matanya tertuju pada Imam Hussein as.

Ia berpikir bahwa Imam Husein as adalah orang yang menjadi tamunya malam itu. Oleh karena itu, ia berkata kepada Imam Hussein, “Wahai Tuan! Saya adalah penggembala yang menjamu anda malam itu…”

Imam Hussein as tahu bahwa penggembala itu salah sangka. Tapi Imam Hussein as tidak mengatakan sesuatu apapun kepadanya. Sebaliknya beliau berkata dengan penuh kasih sayang, “Hai pemuda, di mana tempat tinggal majikanmu? Tunjukkan ciri-cirinya kepadaku!”

Kemudian beliau berkata kepada salah satu pembantunya, “Pergilah ke majikan pemuda ini dan undang dia menemuiku!

Pembantu Imam Hussein as mencari majikan penggembala itu dan membawanya kepada Imam Hussein as. Imam Hussein as berkata kepada majikan tersebut, “Hai kisanak, kamu punya berapa domba? Majikan itu menjawab, “Tiga ratus domba.”

Imam Hussein berkata, “Aku siap membeli semua dombamu sekaligus penggembalamu ini.”

Majikan itu menerima dan menjual penggembala dan seluruh dombanya kepada Imam Hussein as. Kemudian Imam Hussein as berkata kepada penggembala tersebut, “Sekarang kamu bebas dan semua domba ini adalah milikmu. Pergilah bersama mereka kemana saja kamu mau.”

Penggembala terheran-heran melihat sikap Imam Hussein as.

Ia bertanya kepada Imam, “Apa makna di balik semua kedermawanan ini?”

Imam Hussein as berkata, “Semua ini sebagai balasan bagi kasih sayang yang telah kau lakukan kepada saudaraku Imam Hassan as.”

Jumat, 29 Desember 2017

Lungguh, Udut dan Ngoopi

To be continue ‼

Aku sugeh pengalaman "ngeree", nek sugeh bondho terus terang hurung nate kecuali mung ghoib alam ngimpi.

Tapi dari banyaknya problem dan masalah iku aku dadi jeli, teliti menginvertore situasi kondisi dan potensi tersisa yg kumiliki.

Semua teks itu semua sudah aku kontekstualkan dilapangan dengan maksimal sampe-sampe seng tukang warung apall nek aku arep utang rokok utilan ora deng nek oleh yo bungkusan.

Hebatt, beliaunya "weruh" sak durunge winarah

Embuh #utegku seng sowak iki, wes biarlah semua akan menjadi masa lalu cerita indah buat anak putu.

to be continue....

Lungguh, Ngrokok dan Ngopi yang awalnya cuma sebatas "Ritual" itu kini sudah menjadi peristiwa prosesi "Spiritual".

Jangan cuma pernah percaya pada photo Selpie, bisa jadi ini cuma pemblauran dan penisbian dari situasi kondisi dan kenyataan riel yg sebenarnya.

\M/

Tetap jaga nyala 🔥 nya k∆w∆π‼

SANTRI DAN KIAI PETANI ALI ANTONI

ALI ANTONI
.
tak perlu bicara Socrates
atau berteori soal kataknya
Aristoteles
bermain pikiran sederhana
padi tak tumbuh dari bibit ganja
katanya
menjadi hal baik, menjadi harapan
tanpa banyak cangkeman

apa kau takut tak makan?
apa kau takut tak punya uang?
apa kau takut sendirian?
apa kau takut kesepian?
siapa yang tidak?

menggambarkan seseorang dengan teks
seperti bermain kubik, warna-warni
satu sisi warna, membosankan
kenapa tak kau bakar saja isi kepalamu?
mulai tidur panjang, bermimpi, bangun
lalu membaca perenungan panjang
'Buku Santri dan Kiai Petani'
atau jika mau bayar kopi tanpa BLBI
main-mainlah ke Jogja, bertemu Ali Antoni.

Jakarta'29/12/2017

Kamis, 28 Desember 2017

Episentrum #5

Episentrum #5

Ada perbedaan antara kata2 elit dengan orang2 elit.

Banyak orang elit yg tak menguasai kata2 elit.

Begitupun kata2 besar dengan orang besar itu juga beda.

Orang2 besar sangat jarang umbar kata besar.

Terlebih cendekiawan, sebutlah dua ; prof. Hamka, prof. Quraish Shihab, belum pernah sekalipun saya mendengar atau membaca satu kalimat saja yg bombastis dr mereka berdua.

Tak ada 'quantum' pada kata2 mereka.

Efek wow tak lahir dr orang2 besar, efek wow selalu timbul dr orang2 bermulut besar, atau berperut besar cem aku ini lay, hahaha :D

By Ali Antoni

Episentrum #4

Markonah episentrum #4

Pagi ini saya dapat 'hidayah' banyak dr Tuhan. Biasanya sibuk jualan, khusus pagi ini kita belajar, biar dunianya seimbang.

Ada wayahnya cari duit, dan ada wayahnya buang duit.

Uang itu dibuang, bukan disayang.

Kalau kita nabung, itu kita bukan sedang menyimpan uang. Sebab uang itu sejatinya hanya materi, sementara manusia ini makhluk materi sekaligus makhluk imateril.

Jasmani iya, rohani kentu jelas.

Jadi, proses menabung itu td sesungguhnya yg disimpan adalah hope, angan2 alias fantasi.

Orang ekonomi bisa bilang itu value.

Value itu absurd juga, ndak ada value klo ndak ada masyarakat elit. Ini kata bersifat cair. Value itu kudunya konsisten, tp kenyataannya value itu sangat gampang dimainkan yg pegang kendali, yg mampu menghegemoni.

Gak paham?

Gpp, asal jgn jd laskar termos, aman :p

By Ali Antoni

Episentrum #3

Markonah episentrum #3

Lebih kocak lagi ada buku yg berjudul quantum ikhlas.

Hihi, hebat bgt manusia bisa ikhlas dgn cara quantum.

Wong dodolan kie jan, ikhlas dgn quantum itu istilah yg paradox, tetep wae bisa digabung, dan hal ini menciptakan pseudo fantasi spiritual.

Dan bicara agama, semakin menyenangkan, konon agama adalah jalan dimana kita mencari kebenaran, tapi ironinya, justru banyak pseudo yg ditawarkan oleh para juru agama.

Kenapa saya pakai istilah pseudo?

Krn klo vulgar, sy bisa digebuk orang2 termos.

Disinilah otak ples akal itu perlu dimainkan. Sebab kalok pake kata ilmiah, mrk para termos itu bingung dan gak bisa marah. Krn gak mudeng.

Jadi tau kan, orang gampang ngamuk itu pasti orang2 goblok!!!

Ciyee, aku sok pintar kie, uhuk, bakulan keminter kie yo ali antoni, bakul asu!!!

Hahaha 😂

By Ali Antoni

Episentrum #2

Markonah episentrum #2

Sangat menggemaskan ketika mendengar para pakar bilang, misal ; fenomena pemanasan global ditandai dengan anomali pola cuaca.

Itu hoax sodara2.

Pemanasan global itu cuma istilah gawe2, untuk jualan. Biar programnya bisa dijual. Adanya kutub mencair, itu biasa aja, siklusnya, nanti beku lagi. Tenang aja.

Kedua, cuaca tidak bisa terjadi anomali, istilah ini, krn mrk gagap pola aja. Anomali itu hanya untuk perilaku manusia.

Secara gampang, istilah anomali muncul, krn manusia tak mampu membaca kedinamisan alam.

Sebab walau katanya manusia itu khalifatullah fil ardhi, mrk sering lolos dan tak kuasa 'melawan ardhi saat sedang chaos'.

Ini kalau diterusin jd panjang, dan bisa bikin kita ketawa ngakak, dapuran kek kita kok disebut khalifatullah fil ardhi.

So, istilah ini bukan utk ol pepel, yu kenow wot ai min lah, klo gak kenow ya gpp, wajar, bukan khalifatullah kok!!!

^_^

By Ali Antoni

Episentrum #1

Markonah episentrum #1

Sesungguhnya tidak ada quantum pada semesta ini. Yang kita kira quantum itu cuma harmoni alam raya. Chaos cosmos itu bahasa manusia, sementara universe ya gitu2 aja dr awal dulu, polanya selalu seimbang, terjaga.

Lantas mengapa ada istilah quantum?

Sebab kata ini dihasilkan oleh para ahli yg membuat skala terbatas, dan semesta ini tidak terbatas dalam batasanNya.

Dan ironisnya kata quantum skrg malah jd istilah recehan buat para motifaktor jualan.

##

By Ali Antoni

Minggu, 24 Desember 2017

NATAL SEBAGAI KELAHIRAN

Memaknai Natal Sebagai Kelahiran.

Keinginan untuk selalu berpihak pada kebenaran tak menyediakan ruang sedikitpun disisi kesalahan itu cuma buallan. Omong besar yg sulit dibuktikan dengan kenyataan kecuali pidato dimimbar ceramah dan waktu memberikan pembekalan. Terus kalau gak ngomong begitu lalu mau menyampaikan apa? Lha wong dari dulu ya memang begitu-begitu tak membawa dampak kongkrit dalam hidup keseharian.

Cita cita, keinginan dan harapan semua manusia itu memang baik. Dan pada dasarnya semua baik. Tapi terus berhenti dan diam di sebatas angan pikiran dan sampai saat ini sulit menjadi kenyataan.

Demi keadilan agar tidak terjebak pada keberpihakan semestinya manusia lebih mengutamakan yg minoritas yg terdesak, terjebak pada kesulitan sehingga tak mampu berkelit pada lahirnya sebuah kesalahan-kesalahan. Bukanya empati yg terjadi akan tetapi badai hinaan, cercaan dan caci makian yang semakin menambah tersudut dipojokan kesunyian, sendirian.

Kalau cuma sebatas lewat kata, aku sudah berhenti pada apapun dan siapapun untuk berharap. Karena lewat kata yg dirangkai dengan indah oleh manusia, hanyalah dijadikan alat untuk memuaskan segala keinginan dan kepentingan yg tak berujung, sampai diliang lahat sekalipun.

Natal sebagai Kelahiran seperti memberi ruang celah sedikit dan sempit untuk dimaknai akan munculnya, tumbuhnya sesuatu yg baru yang suatu saat nanti akan menjadi yg besar. Telah kuluruhkan segala sesuatu yg ada dalam diriku sesuatu yg hanya akan menutup sesuatu yg akan muncul dalam kelahiran hal baru apapun saja meskipun diluar jangkauan apapun perangkat yg ada dalam diri kita.

Dengan membuka ruangan satu dan menutup ruangan lainnya dan begitupun sebaliknya atau jika memang mampu diam, walau itu agak gak mungkin dilakukan manusia.

"Kematian satu adalah kelahiran bagi yang lain serta Kelahiran satu adalah kematian bagi yang lain juga"

Begitulah adanya kehidupan ini, terserah bagaimana engkau akan menyikapi serta memaknainya. Semuanya sah sah ajah, asalkan bisa menempatkan presisi koordinat pada frekvensi yang benar-benar pada pusat semesta. Jangan pernah memilih dalam situasi dan kondisi tak bisa memilih, lebih baik jalani apa adanya walau pahit, dengan kesadaran makna sebuah kelahiran semoga bisa menerimanya dengan lapang dada terbuka. Tentang apapun hal dan permasalahan hidupmu kelahiran ini bisa berlaku.

"Aku memang tak ada.

Dan tak perlu diada-adakan.

Biar tetap dirahasiakan‼"

#weka #makna #kelahiran #malam_25_2017

Jumat, 22 Desember 2017

PRINSIP HIDUP

HARGAIN BERAPA MAS‼

Mahalnya harga sebuah kejujuran
Di jaman seperti ini, manusia lebih mengutamakan bungkus di banding isi
Mengutamakan kemasan kemewahan duniawi.

Uang, pangkat, derajad dan jabatan lebih berharga di banding harga diri
Sulit membedakan mana roti dan mana tai

Padahal kebahagian sejati itu bersemayam di dalam hati

Kebahagiaan sejati ada di dalam diri sendiri dan sangat privasi

Tak kan ada satupun orang bisa memprediksi isi kedalaman hati

Tingginya gunung bisa di daki
Dalamnya samudera pun bisa di selami

Manusia hanya mampu menerka
Manusia hanya mampu mengira

Entahlah....‼

Sampai kapan fenomena peradaban ini kan terus bertahan?

Kucari terus dan kutanyakan selalu pada keheningan, pada kesunyian, sampai mata ini terpejam.

Kelelahan, setelah seharian lontang - lantung, kecas keciss....ududdan.

Jum'at pahing 23 Desember 2016

#presisi

KONSEP

*Tajuk Ngopi Gayeng WEKA*
^^^^°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°^^^^^

*Pojok 28 Desember 2017*

Ass wr wb.

Laporan Hasil Ngopi Gayeng dg Bp Hadi dan team BRI ngawi di WEKA hari ini, ada beberapa konsep yg mesti kita jalankan untuk realisasi paguyupan kita akhir tahun ini untuk acuan program konsep di tahun 2018 yang akan datang.

Pak Heru bersama Mas Edwin, cherming dan WEKA, punya tanggung jawab dan tantangan yg besar untuk mewujudkan semua konsep dan program yg lebih menitikberatkan pada aksi kongkrit dilapangan/event yang akan coba kita lakukan awal perdana di WEKA sekitar awal bulan Desember tahun ini.

*Dari hasil shareng tipis2 tadi karena keterbatasan waktu dan jadwal yg padat ada beberapa gambaran konsep untuk acara perdana untuk kita pecahkan bersama*

Dan untuk menyukseskan semua program tersebut kita perlu menyatukan menyatukan misi visi langkah kita bukan cuma 1-3 thn tapi langkah 5-10th kedepan meski ada planing kita dari sekarang.

Inovasi mesti harus kita lakukan, perubahan sikap midset dan cara berfikir kita hari ini akan sangat kesulitan untuk menyiasati perubahan percepatan dunia teknologi IT kedepan.

*Pemenang dan yg akan menguasai lapangan/bisnis kedepan adalah pemodal yg kuat dan orang yg mau berserikat berkumpul dan berkelompok*

Maka dari itu paguyupan kita ini adalah ajang sekaligus peluang untuk kita berkreasi dan mengembangkan potensi diri kita untuk maju sukses bersama beriringan dg usaha kita masing2.

Butuh suport bersama untuk ajang perdana yg kebetulan di WEKA, yg nantinya bukan tidak mungkin kita lakukan bersama sama di tempat rekan yg lain.

Maka dari itu yg wajib dan mesti di pahami dari kita mulai detik ini adalah,, ini permainan kolektivitas, bukan individual,, siapapun yg bikin gol tak jadi soal yg terpenting dan utama adalah team utama kita menang.

*Kesuksesan acara di WEKA nanti itu adalah kepuasan kita bersama kemenangan team kita semua*

Maka dari ini yg perlu disadari Kita bareng2 bersama melepaskan pakaian ego kita masing2 demi kebersamaan dan Kekeluargaan paguyupan.

Meskipun secara struktural p heru sebagai ketua,, kita bersama punya tugas dan andil yg sama besar untuk mengali ide potensi dan gagasan untuk kita realisasikan bersama tentunya jika ada problem dan hambatan di tengah jalan Bp Hadi dan Team dr BRI siap menjadi konsultan teman *Ngopi gayeng* yg asyik untuk mendiskusikan dan memecahkan semua permasalahan kita bersama.

*siap sedia setiap saat ngopi gayeng*

Mudah2an hasil pertemuan di *kita ini/paron* akan mendapatkan *Konsep* yg saya dan pak Heru bawa menghadap ke Binca Ngawi sesuai dengan pesan dari bp Hadi tadi selesai diskusi *Ngopi Gayeng*

Wassallam.

Beranda WEKA 28 Desember 2017

BOLA BALI

BOLA-BALI

Iklim dan kompetisi hidup yg sedang kita semua alami saat ini sebenarnya tak ada istimewanya, tak ada menarik-menariknya.

Lha wong kita hidup ini, tidak butuh ranking dan peringkat kompetisi. Elek apik, menang kalah, seneng susah urip tetep dilakoni.

"Menang yo ora kondang tapi nek kalah yo wirang tur ngisin-ngisini tenan urip iki"

Pemahaman di tingkat dan tahapan-tahapan ini abstrak, substansinya bukan lagi di hasil akhir tapi terletak pada mekanisme prosesnya yang notabene satu dengan yg lain berbeda, dan tidak bisa kita hakimi menuruti selera dan cita rasa kita.

Makin kesini rasanya semakin gila ajach! 
Lha mau gimana, ketika kata menjadi puncak senjata untuk menebas satu dengan yg lainnya, maka sampai kapan akan ada ujungnya!

"Bola-bali" kita selalu dituntut untuk selalu Ngemong serta mengayomi tanpa harus memilih dan banyak syarat, memahami yg satu denga lain tanpa harus berhitung seperti mesin kalkulator.

Wajar jika kita sering lupa, karna banyaknya peristiwa yg harus kita rekam dan kita simpan. Meskipun kita sadar hidup semestinya tak seribet-senjlimet itu, tapi kita lebih suka menikmati segala yg serba wahh dan berlebihan.

Yoch kui Bola bali dikandani :

"menang ora kondang kalah menanggung wirang".

Kembali pada bagaimana sikap diri menyikapi ombang-ambing daya gravitasi bumi.

#weka #modus #bakulan 18.12.2017

Kamis, 21 Desember 2017

BAKULAN WEKA

ANTARA LUNGGUH, NGROKOK DAN NGOPI‼

Banyak perkembangan yang terjadi, hari ini saja tak bisa kita prediksi.

Apalagi hari yang akan datang, bias, semakin gelap jika tak mau mempelajari polanya.
Peristiwa hari lalu terus kita urai dan evaluasi sampai terkadang muncul rasa ketakutan, gamang untuk kembali spekulasi.

Tapi yang pasti sampai hari ini terus terulang terjadi adalah duduk, ngerokok ditemani secangkir kopi.

Meski berulang terjadi sehari tiga kali, ritual itu selalu kunikmati dengan sekhusuk hati.

Minimal setiap datang pembeli, aku tak perlu acting sok ramah, karena insting dan naluri itu sudah otomatis terjadi dari dalam diri.

Hanya itulah yang tersisa sebagai modal pengabdian dan pelayanan bagi kaum bakulan, selain berusaha menswasanakan terus menerus rasa aman dan rasa nyaman bagi semua pelanggan.

Satu satunya senjata sekaligus pusaka yg kudapatkan selama hampir tigapuluh tahun malang melintang di alam perbakulan.

Banyak sekali teori yang berbeda dengan praktek dilapangan, walaupun begitu asal tak bosan dan mau sinau semua itu takkan jadi hambatan.

Yang pasti pesen wong tuwo dulu :

"Lhee mumpung iseh nom, seng pinter sekolah ben pinter besok megawe bayare gede ngo celeng-celeng ngo sangu pensiun dini nek wes tuwek ben uripe ayem",... itu kelihatannya gak ada riel dan realitanya.

Hidup ini lebih pada bagaimana kita menampung banyak konflex dan masalah yang kesemuanya butuh management cara dan system mekanisme bagaimana kita menerimanya. Bukan yg lain seperti yg seribet bayang dan angankan.

Selagi kita mampu menjadi samudera yg luas yang banyak menampung apa saja hidup jadi lebih simple dan sederhana.

#modus #wong #bakulan #weka

Senin, 11 Desember 2017

MODUS BAKULAN

Begitu banyak kata yg ingin kuungkap, malah tak satupun kata yang dapat terucap. Biarlah hanya ilustrasi visualisasi lewat gambar edit photo vidieo yg bicara swasana malam yg istimewa bersatu bersama sanak saudara penuh suka cinta.

Gebyar Hadiah Undian perdana Mandiri WEKA yg di undi malam minggu tgl 09 Des 2017 itu masih jelas membekas, menyisakan rasa kepuasan dan kebahagiaan yg tak bertepi.

Menepiskan segala keraguan, menisbikan segala rasa ketakutan. Respon dan animo pelanggan yg luar biasa awal hingga usai sangat diluar prediksi dan mampu meluluh lantahkan segala rasa ketidaknyamanan karena kurang pede alias minder, jujur takut tak mendapat respons. Eehh, malah aku kecele', respon sangat antusias dan luar biasa dari semua pelanggan-pelanggan  WEKA yg sudah kuanggap seperti keluarga.

Acara yg sangat sederhana sedari habis Isya' sampai jam sembilan hanya berisi pembagian hadiah utama dan lebih dari seratus hadiah hiburan khusus hanya bagi yg setia datang hingga usai acara. Hanya ada beberapa patah kata sambutan aturan pengundian dan sedikit jeda musik Via Valent dan Nella Kharisma.

Ucapan rasa terima kasih atas suport lahir bathin sepenuh jiwa buat kakak sekaligus kuanggap sebagai saudaraku Bp Mudasir Anami yg tak pernah bosan dan telaten membibingkku untuk kembali menemukan kepercayaan diriku. Tak bisa terukur dengan materi berapapun saja nilainya kekeluargaan yg sudah terbina diantara kita "Paguyupan SRC NGAWI LAMA", bersama sama dalam canda tawa, tegur sapa suka duka selalu berbagi bersama.

Tak lupa juga tentunya ucapan kebahagiaan atas kerjasamanya selama sekian dasawarsa yg indah. Spirit full spedd Bp Maskun Nuridin dan HMS. Serasa bertemu dan bermuara berpacu terus dengan waktu yg tak pernah layu dikenang waktu. Dalam tantangan iklim kompetisi yg hebat penuh intuisi dan semangat. Sampai kapanpun akan selalu dikenang, semuanya.

Banyak yg jadi bahan evaluasi untuk rencana kedepan yg masih membentang luas penuh tantangan dan ancaman untuk dijinakkan dengan cinta, kelembutan, kesabaran dan penuh kasih sayang. Dan tentunya WEKA juga akan selalu siap menjadi "Mesin Perang" kapanpun dibutuhkan, selalu siap sedia setiap saat, untuk menciptakan iklim kompetisi yg kondusif fair play "Win-win solusion".

Peluang itu tak banyak, peluang itu kecil, sempit dan sangat sedikit bahkan mungkin tak pernah ada dan datang selama : "Kita tak mampu menembus lapisan labirin persepsi-persepsi bayang-bayang keragu-raguan, ketakutan diri kita sendiri".

"Potensi itu akan muncul jika kita mampu melampaui persepsi itu sendiri, jadilah diri sendiri untuk melahirkan pionner sejati"

Jangan takut salah, janganlah takut gagal‼

Darinyalah, kita dipaksa Untuk berproses dan belajar kenyataan kisah hidup yg apa adanya yg tak kita dapatkan dalam sekolah, telenovela, sinetron dan film-film India.

#WEKA SENIN 11 Desember 2017

Sabtu, 09 Desember 2017

CIRIGA BANGET

#Rongewunembelas2016
*
"CURIGA BANGET..!!"
*
Karna terlalu seringnya di bohongi, di khianati, di sakiti, di manfaatkan oleh orang lain atau apapun saja yang menurut pertimbangan akal dan logikanya yang selalu di rugikan, orang jaman sekarang sangat sulit percaya pada yang lain. Hilang semua obyektifitas dan tak membekas sama sekali naluriahnya sebagai manusia, semua gara-gara Agama yang bernama Globalisasi.. "Gathellisasi"..!!

Tak peduli teman, saudara apalagi orang lain, makin sikat habis kalau berhubungan dengan materi, tak sedikitpun ada belas kasihan. Walaupun dalam keseharian 'dia' adalah tokoh keagamaan yang sangat berpengaruh akan tetapi semua itu hanyalah topeng untuk menutupi 'Rai-ne' yang sebenarnya kelakuan dan tabiatnya tak berbeda dengan hewan. Dia lupa bahwasanya puncak hidup itu adalah "Kemanfaatan bagi orang lain".

"Mahalnya harga sebuah kejujuran yang akhir-akhir ini sulit kita temukan dan jumpai dalam hidup keseharian". Manusia semakin kehilangan jati dirinya, semakin jauh dari Tuhan-Nya Akal, pikiran, hati dan Tuhan-Nya Langit dan Bumi.

Tapi, jangan berkecil hati sekarang semuanya terserah sampeyan kAwAn, mau pilih dan ikut yang mana konsekwensinya sudah jelas bukan, "DiSini" ada pemaksaan,  Tak kan pernah bisa dan mampu siapapun saja merubah apa yang ada di dalam diri-MU, apa yang menjadi kemauan-MU kecuali diri-Mu sendiri.
#
Sudahlah yang terjadi biarlah terus terjadi toh 'Tuhan tak pernah menuntut apapun, walau Gusti Alloh ora sare', tetap saja setiap pagi mentari bersinar terus menyinari bumi. Tak ada dendam dan kebencian sedikitpun yang Tuhan ajarkan pada hamba-Nya, selalu penuh kasih, tulus dan tanpa pamrih. Kita manusia di beri otoritas dan berdaulat untuk menjadi diri-Nya sendiri, "Nikmat mana lagi yang engkau dustakan..!!".

Sudahlah, berhentilah menghujat dan selalu menyalahkan terus orang lain. Anggap saja mereka semua sudah dewasa, bijak dan arif dalam menentukan arah dan jalan hidupnya. Apapun jalan dan pilihan hidupnya marilah kita kasihi dan hargai sebagaimana 'Ibu mengasihi anak-anaknya'.

Adapun untuk diri pribadi sekarang jadi lebih mudah dan sederhana, kalau mau menanan kebaikan, menanamlah dari sekaran, kalaupun tidak "Diamlah" jangan menambah banyak permasalahan..!!!

foto :#Mirahsugandi  #gadisbali
Nardi Wijaya - Waro' Kaprawiran Ngawi

Jumat, 01 Desember 2017

ARJUNA SASRABAHU (Wayang)

Kisah Arjunasasrabahu

Kisah Sejarah wayang

Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.

Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.

Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.

Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.

Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya.

Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.

Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.

Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.

Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.

“Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”

Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.

Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.

Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.

Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.

Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.

Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.

Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah
tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.

Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga.

Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri.

Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya.

Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.

Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).

Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.

Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.

Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.

Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai.

“Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.

Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.

Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.

Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita.

Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.

Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala Marica. “Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.

“… Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.”

“Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!” kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya.

“Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Rahwana lantang. Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.

Rahwana bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu Wisabajra, Prabut Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka Sumekar, mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana. Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan
tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya
mati juga di medan perang.

Mengetahui beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak satupun para senapati perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan Patih Suwanda, akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga. Perang tanding pun berlangsung dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu Bisawarna), raja negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama putra resi Wisrawa.

Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya.

Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la, berkesimpulan, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek.

Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru.

“Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Berilah kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan tandinganmu !” kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.

“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.

‘Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang.” kata Bhatara Narada.

“Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !” kata Prabu Arjunasasrabahu.

“Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu. Tapi ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !” kata Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk membatalkan perang.

Perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang “Garuda Nglayang” sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporak porandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.

Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu.

Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu (batang kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus prajurit Maespati.

Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung hawa dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis gumpalan-gumpalan api Rahwana.

Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam senjata tajam. Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan lawannya. Menghadapi serangan Rahwana yang demikian ganas dan mengerikan, Prabu

Arjunasasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.

Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa.

Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la segera melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata ciptaan Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu melepaskan senjata Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh Rahwana. Dalam keadaan berkeping-keping serpihan Rahwana jatuh ke tanah. Peristiwa pun terulang kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.

Menghadapi kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu Arjunasasrabahu. la segera bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah meniadi brahalasewu- Raksasa hampir sebesar gunung, berkepala seratus dan bertangan seribu, di mana masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Melihat tubuh raksasa yang demikian besar dengan bentuk yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil ketakutan. Cepat ia terbang melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan awan, sambil berterjak minta tolong.

Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana.

Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.

Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun saat tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat, menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu.

“Cucu Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah Ulun telah berjanji tidak akan membunuh Rahwana,” kata Bhatara Narada. Mendapat teguran Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu menyudahi triwikramanya, kembali kewujud aslinya. “Hamba tidak akan membunuh Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk menyiksa dan menghajarnya sebagai
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.

“Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun janjikan kepada dewata!” kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa.

Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati.

Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.

Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya.

Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh Patih Suwanda.

Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang harus melakukan bela pati.

Kata-kata Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh
mayat-mayat wanita cantik.

Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan.

Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.

Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia
sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.

Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun.

Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya
terhadap Marica.

Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.

“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.

“Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan berikan padaku?”
kata Prabu Arjunasasrabahu.

“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!” kata Brahmana Pulasta.

Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan fobat
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.

Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.

Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.

“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri — nama kecil Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.

Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati.

Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.

Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara Maespati.

Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono).

Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.

Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati.

Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.

Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa
yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.

Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana.

“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu. “Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab Ramaparasu. “Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata Arjunasasrabahu.

“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.

“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.

“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”

“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?”

“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu tegas.

“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.

“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu penuh keyakinan.

Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.

Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.

Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”

Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas. Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.

“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.

Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : “Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”

Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: “Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! ” Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu.

Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat ribu orang
itu, nangis bersama-sama.

Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi
Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).

Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri.

Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia pewayangan. Ironis memang!.

Categories: Arjunasasrabahu