Senin, 21 Mei 2018

Ngaji Kitab Suci #5

Ngaji Kitab Suci #5

Terdapat perbedaan pendapat tentang siapakah yang pertama kali membuat tulisan Arab.

Ada yg berpendapat Ismail bin Ibrahim.

Ada pula yg mengatakan sebuah kaum dari Arab, 'Aribah yang singgah pada kabilah 'Adnan bin Ad.

Ada pula yg bilang berasal dari penduduk Al Anbar, yg beroleh ajaran yg berujung pada Al Juljan bin Al Muhim, sekretaris nabi Hud, khusus untuk menuliskan Wahyu dari Allah.

Diperkirakan seabad sebelum kedatangan Islam, orang-orang Hijaz telah belajar baca-tulis di Siria (pada suku Himyar) dan Irak (pada Suku Hirah dan Anbar). Hal ini dikarenakan hubungan dagang yang terjalin diantara mereka. Sehingga melahirkan tokoh-tokoh yang dikenal mempunyai keahlian baca-tulis Arab, seperti Bisyir Bin Abdul Malik Al-Kindi yang bersahabat dengan Harb Bin Umayyah yang mempunyai keahlian sama, yang kemudian menikah dengan keturunan Umayyah dan mulai mengajarkan baca tulis kepada pemuda-pemuda Quraisy.

Pada akhir abad ke-6 Memasuki awal abad ke-7 M, mulai banyak orang Islam yang pandai baca-tulis, khususnya di kalangan pemudanya. Karena adanya program pemberantasan buta huruf yang dicanangkan oleh Rasul Muhammad.

Tawanan-tawanan non Muslim yang tidak membahayakan Islam, sebagian dibebaskan, khususnya mereka yg mempunyai kemampuan baca-tulis. Tiap satu orang tawanan diharuskan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang Islam sampai mahir.

Pada awalnya, huruf-huruf hijaiyyah belum bertitik, apalagi berharokat, juga hampir seperti aksara Jawa, masih banyak kata-kata yang bersambung.

Pemberian harokat, mulai dibuat pada awal abad ke-7 M, pada masa pemerintahan Muawiyah.

Perkaranya karena banyak orang yg salah dalam membaca Al Qur'an.

Orang yg ditunjuk utk mengurus hal ini adalah Ziyad Bin Abi Sufyan meminta kepada seorang ahli Bahasa Arab, Abu Aswad Al-Duali untuk menciptakan syakal untuk mempermudah membaca Al-Quran agar tdk lagi salah baca.

Tanda baca diciptakan berupa titik-titik. Semisal, titik satu disebelah kiri huruf berarti dhammah (u), seperti tulisan(ط) maka dibaca thu. Titik satu tepat di atas huruf berarti fathah (a). Titik satu tepat di bawah huruf seperti kasrah (i). Bila titik didobelkan (dua titik) maka fungsinya menjadi tanwin (un, an, in).

Selanjutnya, pada pemerintahan Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M) seorang gubernur bernama Al-Hajjaj Bin Yusuf Al-Tsaqafi meminta Nasr Bin ‘Ashim dan Yahya Bin Ya’mar untuk memberi tanda pada huruf-huruf sama bentuknya tapi berbeda ejaan.

Nasr dan Yahya selanjutnya menciptakan tanda berupa garis-pendek yang diletakkan di atas atau di bawah huruf. Garis pendek itu bisa satu, dua atau tiga. Misalnya, ba’, diberi satu garis pendek di atas huruf, tsa’, diberi tiga garis pendek di atas huruf, dan seterusnya.

Bila garis-pendek berjumlah tiga, maka satu diletakkan di atas dua garis pendek berjajar. Garis-pendek berfungsi untuk membedakan huruf ini justru dibuat dengan tinta sama dengan tinta untuk menulis huruf, hitam. Tanda titik dan garis-pendek tetap dipakai selama pemerintahan Bani Umayyah sampai awal pemerintahan Abbasiyah ±685-750 M.

Setelah beberapa waktu, aturan penandaan titik dan garis pendek mengalami perubahan.

Munculnya keluhan dari para pembaca Al-Quran mengenai banyaknya tanda harus disandang huruf-huruf dalam ayat Al-Quran malah dianggap menyulitkan.

Kesulitan ini menggerakkan seorang ahli tata Bahasa Arab (nahwu/sintaksis), Al-Khalil Bin Ahmad mengadakan perubahan.

Al-khalil membalik fungsi tanda-baca tanda-baca diciptakan Abu Aswad dan Nasr-Yahya.

Titik-titik awalnya merupakan harakat sekarang dijadikan tanda untuk membedakan huruf yang berbentuk sama namun berbeda ejaan. Dan untuk tanda baca (syakal/harakat) al-Khalil mengambil dari huruf-huruf yang menjadi sumber bunyi (huruf vokal). Alif sebagai sumber bunyi ‘a’. Ya’ sebagai sumber bunyi ‘I’. Wawu sebagai sumber bunyi ‘u’. Kepala kha’ sebagai tanda mati (sukun).

Tanda-tanda ciptaan Al-Khalil banyak yang menjadi dasar untuk tanda-tanda dalam tulisan Arab sampai sekarang.

*AA*

Minggu, 20 Mei 2018

JIBRIL DATANG TERLAMBAT HARI INI

JIBRIL DATANG TERLAMBAT HARI INI

__

"Airaaa... Airaaaa...."

"Iya Mak..."

"Itu sudah adzan kamu tidak dengar?!"

"Iya, ini Aira sudah wudlu Mak,,"

"Sikunya sudah basah?!"

Aira tidak menjawab, hanya tersenyum kecut.

"Kebiasaan! Ulangi lagi wudlu-mu Nak! Tidak sah kalau sholat jika sikumu kering!"

Aira melangkah lagi ke tempat wudlu. Tanpa mengulangi dari awal, hanya membasuh bagian yang kering, Aira langsung masuk ruang sembahyang yang kecil di samping sisi rumah kayu orang tuanya.

Ibunya sudah menunggu dengan mukena yang kumal dan tak tersentuh panas setrika.

Selesai sholat, Aira yang biasanya semangat lanjut bermain, terdiam.

"Ada apa?! Mau minta uang jajan? Mak enggak punya, tunggulah sampai sabtu nanti..."

Aira tidak menjawab, air matanya berkaca-kaca.

"Kenapa? Fitri mengejekmu lagi?!"

Aira tetap tidak menjawab.

"Nak, jawab! Ada apa? Kamu lapar? Masih ada nasi sisa kemarin kalau mau makan. Tapi Mak tidak punya lauk. Sabtu Mak janji beli ikan asin kesukaanmu di pasar. Om Ijal baru bisa kasih gaji nanti Sabtu."

Aira makin sesenggukan.

"Kamu kenapa Nak, jangan bikin Mak makin bingung?!"

"Aira kangen Bapak, Mak..."

"Iya Aira, Mak juga sama, biasanya mau puasa gini, Bapakmu bersih-bersih rumah. Semua dilap, di cat ulang, seolah malaikat Jibril mau datang."

"Depan rumah juga Mak, Bapak buat pagar baru dari bambu, tanam bunga ini itu, dan aku selalu menggangunya Mak, dan Mak selalu marah, teriak Airaaa jangan ganggu Bapakmu, kapan selesai kalau seperti itu..."

"Dan kau Aira, tidak mau dengar kata Mak, kau terus rusuhi Bapakmu, dan berlari ke sana sini, bernyanyi, dan teriak-teriak..."

"Sampai teriakanku hilang ya Mak, seiring dengan kepergian Bapak..."

"Sudahlah Nak, jangan terus kau kenang, mungkin Bapakmu sudah tewas dimakan hiu atau paus!"

"Memang paus makan orang Mak?!"

"Bisa jadi Nak, itu coba kau lihat kisah Nabi ditelan paus!"

"Tapi bapak bukan Nabi, Mak! Tak mungkin ia telan, ikan hanya menelan Nabi saja Mak!"

"Sok tau kau Aira, bisa jadi Bapakmu kawin lagi dengan wanita yang lebih muda entah di seberang sana!"

"Kawin lagi?"

"Iya Aira, kau harus tau, sebagian lelaki di dunia ini sangat kejam kelakuannya terhadap perempuan!"

"Iya Mak, tapi Bapak bukan salah satu dari mereka!"

"Usiamu masih muda Nak,,"

"Tapi tidak terlalu bodoh untuk tau hal ini bagi anak perempuan berusia 12 tahunan Mak..."

"Kau keras kepala seperti Bapakmu!"

"Karena aku adalah anaknya Mak!"

"Sudah! Cukup! Jangan kau ulangi lagi, Bapak macam apa, dua tahun tidak pulang?!"

"Bapak pasti pulang Mak!"

"Dengan istri mudanya tadi, dan dengan seorang bayi tanda cinta mereka selama ini?!"

"Tidak Mak!"

"Lantas?!"

"Dengan Jibril Mak..."

"Apa kau bilang Aira?! Heh, jaga mulutmu!"

"Aku semalam bermimpi, dan aku melihat Bapak..."

"Itu hantu Bapakmu!"

"Tidak, itu Bapakku asli, dia menatapku..."

"Kau terbawa rindu Aira..."

"Ya, jika saja aku tak melihat malaikat di samping Bapak!"

"Aira, itu pertanda bahwa Bapakmu sudah mati..."

"Mak, aku mengenal sorot mata orang mati atau tidak, di alam mimpi..."

"Aira, cukup, khayalanmu bisa membuat Mak banyak berharap nanti. Sudah cukup Mak selama ini hanya bertemu khayalan-khayalan semu..."

"Ini bukan khayalan Mak..."

"Omong kosong, apapun itu, tidak membuat Bapakmu kembali ke sini..."

"Ia akan datang Mak..."

"Ya, hantunya!"

"Tidak, sungguh Bapak akan datang!"

Mak tidak menjawab, ia melepas mukenanya, dan tanpa menghiraukan perkataan Aira yang terus meyakinkan bahwa suaminya akan kembali ke rumah, Mak melanjutkan kerjaannya di dapur.

Aira duduk terpekur.

Khayalan atas kerinduan pada Bapak melintas terus di ingatan.

Sampai satu suara menghilangkan lamunan Aira.

Pintu rumah di ketuk seseorang.

Dengan malas Aira beranjak.

Dan ketika pintu dibuka, Aira terbelalak, nafasnya sesak dan nyaris pingsan, sebelum dengan cepat, si lelaki itu memeluk tubuh Aira.

Mak yang menyusul ke pintu depan, juga berdiri kaku tak bisa bergerak.

Bapak pulang hari itu.

Masih dengan pakaian yg sama, koyo di kening belum lepas, dan rambut yg juga tak berubah.

Sang Bapak tak kalah merasa heran, ia melihat rumahnya lebih kusam, berat Aira bertambah, dan istrinya tampak sangat lelah.

Padahal ia hanya pergi semalam meninggalkan rumah.

Seperti biasa, melaut dan pagi terlambat merapat.

##

Ali Antoni,
Jogjakarta, 20 Mei 2017.

ENIGMATIC OUTSTANDING

Ada potongan naskah dalam sebuah film klasik yg saya suka, bunyinya spt ini :

"Berikan pertunjukkan yg menarik pada mereka, dan jangan buat mrk beranjak pada kursinya. Kasih hiburan, kesenangan, keadaan yg mencekam, hip hip hura, dan kasih mereka musik yg membuat mrk terhanyut, larut, dan bikin mereka tenggelam, merasa terlibat langsung dalam pertunjukkkan.

Dan ketika acara selesai, hipnotis mereka, dan dengarlah mrk berteriak lantang ;

we want more...

we want more...

we want more...

Lalu, klap!!!!

Akhiri arena dengan paksa, maka mrk akan terus berteriak dalam hati mrk, sampai mrk pulang, dan tidur dalam kelelahan.

Sementara itu, di balik layar arena, kau dan semua kru bisa memilih, mau menghabiskan pesta di sisa malam, atau memilih beristirahat untuk membuat keseruan lagi di kota sebelah."

##

ALI ANTONI

(ENIGMATIC OUTSTANDING)

Ngaji Kitab Suci #4

Ngaji Kitab Suci #4

Sejarah kata 'Allah'.

Dahulu, istilah dewa atau zat yang disembah manusia dalam bahasa Arab disebut ilah.

Beberapa teori mengatakan bahwa kata Allah berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan Ilah (dewa).

Kata Allah di kalangan para penutur bahasa Arab, adalah kata yang umum - untuk menyebut Tuhan, terlepas dari agama mereka, termasuk penganut Yahudi dan Kristen.

Kata Allah sudah digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk kepada Zat Sang Maha Pencipta.

Jauh sebelumnya di Mesopotamia di mana rumpun Semitik bermula, orang-orang sudah mengenal nama El atau Il sebagai nama dewa tertinggi.

Khusus untuk Nusantara, dalam batu bersurat Prasasti Terengganu pada tahun 1326M atau 1386M yaitu peninggalan tertua umat Islam di tanah Melayu yang dipercaya sebagai awal masuknya agama Islam di sana, kata Allah disebut sebagai Dewata Mulia Raya.

Hal itu ditengarai bahwa kata “Dewata Mulia Raya” lebih bisa diterima di kalangan masyarakat Melayu waktu itu sebagai kata yang mengacu kepada Zat Yang Mahakuasa Pencipta langit dan bumi.

Secara khusus, Allah menegaskan namaNya secara resmi di dalam Al Qur'an :

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

"Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku.

Surat Thaha, ayat 14.

*Ali Antoni*

Sabtu, 19 Mei 2018

Ngaji Kitab Suci #3

Ngaji Kitab Suci #3

Kitab Al Qur'an yg selama ini kita baca, ternyata memiliki sejarah yg rumit, dalam penyusunannya utk dibuat dalam bentuk kitab.

Pada zaman awal Islam, Rasulullah menunjuk bberapa sahabat, menjadi juru tulis, setiap wahyu datang. Mereka menuliskannya di lembaran kulit hewan.

Tulisan yg dibuat, langsung dalam pengawasan Rasulullah.

Diantara sahabat itu adalah Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit.

Disamping sahabat2 yg ditunjuk, sahabat lain pun ikut menulis.

Terserak mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang.

Belum dalam bentuk kitab utuh, sampai Rasul wafat.

Ayat2 Al Qur'an turun tdk berurut spt yg ada dalam kitab sekarang. Susunannya yg dimulai dr Al Fatihah sampai Al Ikhlas, itu disusun oleh Allah langsung, dan Jibril rutin membacakannya pada Rasul setiap Ramadhan tiba.

Banyak penghafal Al Qur'an zaman Nabi, dan mereka menyodorkan secara rutin hapalan tersebut, diantaranya :
Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud.

Zaid bin Tsabit ra. adalah orang yang terakhir kali membacakan Al-Qur’an dihadapan Nabi.

Sampai kemudian masuk zaman Abu Bakar.

Terjadilah peperangan Yamamah yang pada tahun 12 Hijriyah - melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an.

Dalam peperangan ini tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an gugur.

Umar bin Khatab merasa sangat khwatir melihat kenyataan ini, ia mengajukan usul kepada Abu Bakar agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an segera.

Awalnya Abu Bakar menolak keras, karena Rasulullah tidak melakukannya.

Umar terus mendesak, ia takut kalau nanti para penghafal Al Qur'an  wafat semua, sementara belum disalin menjadi satu lembaran utuh, maka ditakutkan Al Qur'an akan berbeda2 isinya.

Abu Bakar sepakat, beliau menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengurusi hal ini.

Sama dengan Abu Bakar, Zaid menolak keras awalnya, sebab Rasulullah tdk melakukannya.

Dijelaskan Abu Bakar, Zaid pada akhirnya sepakat.

Semua tulisan dikumpulkan oleh Zaid.

Sahabat satu ini bekerja sangat hati-hati. Satu ayat, harus ada lebih dari satu bukti, dan disaksikan oleh lebih dr satu orang yg mendengar langsung ayat tersebut dr Rasulullah.

Padahal Zaid sendiri adalah penghafal langsung yg diawasi Rasul.

Ia juga yg mencatat.

Ada satu bukti kehati2an Zaid, satu ayat terakhir surah At-Taubah hanya dimiliki Abu Khuzaimah Al-Anshari, tdk ada catatan yang didapatkan pada orang lain.

Zaid tetap bersikeras mencari catatan lainnya, padahal ayat tersebut, Zaid hapal, sahabat lain juga hapal dan memang sesuai wahyu yg diajarkan Rasul.

Namun krn bukti catatan hanya satu, Zaid tdk langsung menyalinnya. Ia berusaha keras, sampai ayat tersebut disalin juga oleh yg lain.

Kerja ini tuntas, semua ayat tertulis, dan lembaran2 yg sudah utuh itu disimpan oleh Abu Bakar, lanjut ke Umar, dan terakhir dipegang oleh Hafsah, anak perempuan dari Umar.

Masuk ke zaman Usman.

Kala itu pecah perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu adalah Huzaifah bin al-Yaman. Di sana ia dapatkan banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.  Masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan ini Huzaifah segara menghadap Usman.

Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.

Agar konflik tdk berlarut, dan makin luas, Usman mengirimkan utusan kepada Hafsah, agar puteri Umar itu mau meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.

Hafsah sepakat.

Lalu Khalifah Usman memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Said bin ‘As  dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam.

Usman memerintahkan pada ketiga sahabat itu untuk menyalin menjadi satu mushaf, kemudian diperbanyak, dan disebar ke berbagai wilayah Islam.

Dan bentuk penulisan2 lain dimusnahkan, agar tdk terjadi perbedaan.

Sampai sekarang, Al Qur'an bisa terus terjaga dan tidak ada perubahan, bahkan satu ayatpun. Sebab Allah sendiri yg langsung menjaga kemurnian ayat2Nya ini, sesuai dengan surat Al-Hijr, ayat 9.

**

Jumat, 18 Mei 2018

Ngaji Kitab Suci #2

Ngaji Kitab Suci #2

Al Qur'an sebagai kitab suci, memiliki banyak kandungan yg penuh ilmu.

Semua keilmuan, apapun yg anda punya, bisa anda jadikan dasar dlm menggali Al Qur'an : sastra, ekonomi, politik, hukum, budaya, sampai biologi, sosiologi, dsb bisa anda pakai utk mempelajari Al Qur'an - kitab penghulu kitab ini.

Sebelum kita masuk lebih jauh, kita coba mengenal dasar dulu.

Sudah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur'an diturunkan tdk mak bleg semua ayat, melainkan bertahap.

Secara tempat turunnya, ada dua ; sebelum hijrah yg disebut Makkiyah - dan sesudah hijrah, atau ayat2 Madaniyah.

Hal yg paling dasar sbg pembeda, ayat2 Makkiyah, terkumpul dalam surat2 yg pendek. Berbeda dgn Madaniyah, yg tidak terlalu banyak menggunakan  pemisah, dan pemisahnya selalu panjang.

Selain itu ayat2 Makkiyah, lebih terkesan sastrawi, penuh dengan syair dan ungkapan perasaan.

Mengapa demikian?

Besar kemungkinan krn masyarakat Arab Quraisy waktu itu sedang demam2nya akan syair.

Dan banyak mrk terkejut pada Al Qur'an, krn struktur dan polanya yg indah, dan susah bg mrk untuk membuktikan bahwa Al Qur'an adalah karya manusia. Ada riwayat yg menceritakan, ketika mereka mencoba membuat ayat2 tandingan, tp malah ditertawakan sesama mereka.

Ayat yg menjelaskan kemurnian kitab suci ini bisa dilihat pada QS. As Sajdah: 2, Al An’am: 114, dan QS. An Nahl: 102.

Selain itu, surat Makkiyah belum banyak berisi tentang aturan, hukum, juga masih sedikit isi tentang aturan amal ibadah.

Surat2 Makkiyah juga tidak mengandung ayat ayat yg berisi dialog dan perdebatan dengan Kaum Yahudi dan Nasrani - yg banyak ditemukan pada ayat ayat Madaniyah.

Mungkin krn gesekan dengan dua kaum senior itu lebih terasa pasca hijrah.

Mengenai perbedaan karakter Makkiyah dan Madaniyah, Aisyah istri Rasulullah, lewat Bukhari, berkomentar :

"Ayat-ayat yang pertama turun berupa bait-baik, di dalamnya diterangkan surga dan neraka. Dan ketika manusia berbondong-bondong masuk Islam, turunlah ayat halal dan haram. Andaikata ayat pertama yang turun adalah ‘Janganlah kalian meminum khamr’, niscaya mereka akan berkata ‘Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya’. Dan kalau saja ayat pertama yang turun adalah ‘Janganlah kalian berzina’, niscaya mereka akan berkata ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.’ "

Di sini kita belajar, bahwa proses itu tidak instant, manusia tdk siap utk berubah secara frontal, habitus menguasai manusia sampai ke bawah sadarnya, makanya Al Qur'an turun tdk langsung mengajarkan perintah dan larangan.

*Ali Antoni*

Kamis, 17 Mei 2018

Ngaji Poso sopo Ali Antoni

Ngaji Kitab Suci #1

Karena ini bertepatan dengan hari pertama Ramadhan, kita singgung tentang puasa yg ayatnya sangat populer : Al Baqarah 183.

Puasa juga punya sejarahnya, tdk langsung spt apa yg kita jalani skrg, mulai sahur sampai maghrib datang.

Uniknya, ummat Yahudi juga pernah diwajibkan berpuasa saat bulan Ramadhan, tapi mereka rubah, hanya satu hari saja, dan mereka anggap itu hari tenggelamnya Fir'aun, mereka sengaja membuat hoax, padahal mrk tau Fir'aun tenggelam pada hari 9 Dzulhijjah, bukan bulan Ramadhan.

Sementara Nasrani pun pernah kebagian wajib puasa Ramadhan juga, hingga suatu waktu Ramadhan datang bersamaan dgn bulan yg panas, sehingga rahib2 mereka menggeser ke bulan semi, tidak panas dan dingin. Dan sebagai wujud pengganti penebus dosa krn telah menggeser bulan, rahib2 mereka menambahkan 10 hari puasa.

Dalam agama Islam, puasa pertama kali disyariatkan pada tahun ke dua hijriyah, 1,5 tahun pasca Rasul hijrah, di hari 10 Sya'ban. Setelah kegundahan Rasul disetujui Allah, kiblat dipindahkan dr Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Awalnya sempat puasa dimulai dari setelah Isya' sampai datang Isya' lagi.

Sebelum datang syariat yg dikabarkan pd 10 Sya'ban itu, puasa ummat Islam pasca Pewahyuan, sudah ada, dan berlangsung pada bulan Asyura', ini sudah jd kebiasaan ummat Quraisy, sebelum datangnya Islam.

Setelah ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan, puasa Asyura' dihilangkan.

Lantas apa perbedaan  puasa versi Islam dengan puasa2 sebelumnya, selain menahan makan minum?

Sahur, disinilah letak bedanya.

Puasa2 sebelumnya, tdk ada sahur.

Juga pada masa Islam datang, ummat Islam diperbolehkan memilih bebas mau berpuasa atau membayar fidyah.

Jejak sejarah ini bisa dilihat di Al Baqarah 184-185.

Pernah pula zaman awal Islam, ada aturan, jika tertidur sebelum datangnya waktu berbuka sampai berbuka tiba, maka orang tersebut tidak boleh makan dan minum sampai satu hari setelahnya, disaat datang waktu berbuka lagi.

Sampai suatu hari, seorang sahabat bernama Qois bin Shirmah Al Anshory pingsan krn tidak kuat menjalani hal itu, barulah hukum puasa berubah, boleh makan dan minum juga bercinta di malam harinya.

**

Ali Antoni

Rabu, 16 Mei 2018

Marhaban Ya Ramadhan

WEKA EXPRESS  mengucapkan ;

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1439 Hijrah.

Mohon maaf atas semua kesalahan.
Semoga ibadah kita diterima Allah swt

Weka family

Senin, 07 Mei 2018

Mengenang Hari Lahir Yusuf Bilyarta (YB) Mangun Wijaya 6 Mei 1929

Seperti Remaja pada umumnya, Yusuf Bilyarta (YB) Mangun Wijaya yang akrab dengan panggilan Romo Mangun juga bermimpi masuk Perguruan Tinggi, apel pacar malam Minggu, jadi orang kaya, punya rumah mewah, mobil bagus, istri cantik, piknik dan sebagainya.

Setamat Sekolah Menengah Atas (SMA), setelah revolusi kemerdekaan pecah membuat YB. Mangun Wijaya harus mupus segala angan-angannya. Ternyata kekejaman dalam peperangan yang menelan banyak korban mewarnai catatan berharga dalam hidupnya. Sebagai tentara yang bergabung dalam TKR, ia mengalami berbagai pertempuran antara lsin di Magelang, Ambarawa, Mranggen, Semarang.

Perang membawa catatan baru dan mampu menghapus angan-angan diusia remaja Mangunwijaya. Di sisi lain perang menghantam hati nuraninya. Ia menyadari justru setelah usai perang kemerdekaan—selama bergerilya yang menghidupinya; yang memberi makan, minum, yang menimba air, yang menyediakan tempat untuk menginap, bahkan yang melindungi dari musuh adalah penduduk desa yang notabene adalah rakyat kecil. “Jadi kami yang bersenjata tanpa ada perkecualian, yang menghidupi dalam arti yang harafiah itu penduduk desa. Rakyat kecil itulah yang sesungguhnya menjadi korban, pokoknya merekalah yang paling menderita. Jika Belanda datang tentara lari ke sana ke mari untuk menghindar—rakyatlah yang akhirnya kena tembak, granat, di bom, diperkosa”.

Mengapa nurani mudah terusik manakala menyaksikan peristiwa yang menimpa wong cilik, peristiwa-peristiwa yang tidak menghargai wong cilik? YB. Mangunwijaya lahir 6 Mei 1929 putra pertama dari seorang guru SD, Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan ibunya juga seorang guru sangat sadar bahwa perang yang menelan banyak korban rakyat kecil ternyata belum cukup, belum apa-apa—justru lebih sulit berjuang di zaman pembangunan ini yang realitanya masih rakyat kecil juga yang harus banyak berkorban (baik korban kesejahteraan berbentuk materi maupun kesejahteraan yang menyangkut kemerdekaan hidup mereka). Itulah yang mendorong YB. Mangunwijaya selepas SMA memilih hidup sebagai Pastur. “Mengapa saya memilih menjadi Pastur, karena saya beragama Katholik—seandainya saya beragama Islam mungkin akan memilih pesantren. Sebab bagi saya di situ adalah tempat yang paling dekat dengan rakyat kecil. Menjadi Pastur paling tidak 80% berurusan dengan wong cilik entah di kota, entah di desa. Kebetulan keinginan saya itu jadi pastur di pelosok desa—di Gunung Kidul, apa di Menoreh, di Boro, apa di gunung. Tetapi karena Gereja ada aturan disiplin seperti militer—jadi saya tidak bisa seenaknya, sesuka hati memilih tempat sendiri”. Tutur Romo Mangun.

Selesai dari seminari Institut Filsafat & Teologi Seminarium Maius Saneti Pauli di Kentungan Yogyakarta (1959). Setelah dikukuhkan sebagai Pastur, Romo Mangun ditugaskan Gereja untuk meneruskan belajar arsitektur ITB dan selanjutnya meneruskan studi Rheines Westaelische Technische Hochscule, Aachen, Jerman Barat bidang arsitektur tata kota dan daerah. Secara otodidak, selama di Jerman Romo Mangun memanfaatkan kesempatan untuk belajar Kebudayaan, sejarah, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme dan sebagainya (1966). “Semula arsitektur itu bukan cita-cita saya, namun karena tugas Gereja. Saya pikir arsitektur juga tidak hanya milik orang kaya, orang kecil juga berhak, maka ya saya jalani saja”.

Ucapan Romo Mangun komitmennya terkait arsitektur terhadap wong cilik terbukti. Romo Mangun dan kawan-kawan memiliki perhatian terhadap rakyat kecil menata Kali Code yang semula kumuh menjadi perkampungan asri—apakah itu merupakan tindakan besar? Ternyata Romo Mangun merendah: “apa yang saya dan kawan-kawan lakukan di Code (1981)  hanya upaya alternatif menghadapi penggusuran. Warga Code memang kebanyakan hidup dari sampah,tetapi mereka bukan manusia sampah. Seperti cerita Sukrosono dan Sumantri dalam pewayangan. Sumantri yang gagah perkasa suatu ketika harus meminta bantuan adiknya Sukrosono, untuk membangun taman bagi putri raja. Namun setelah maksudnya tercapai, Sumantri lupa diri. Sukrosono yang tampangnya jelek itu diusir, bahkan kemudian dibunuh. Rakyat, dalam banyak hal, ibarat lalat yang mesti diusir kalau kelihatan memalukan”, ungkapnya.

Pemukiman kumuh di tepian Kali Code—yang membentang di tengah Kota Yogyakarta—menjadi pilihan Romo Mangun untuk terjun langsung. Alasannya sangat sederhana. “Ketika itu dunia mahasiswa, teknokrat, ilmuwan, para priyayi, apalagi jendral-jendral amat jauh dari masyarakat”. Ujarnya. Tahun 1966 setelah selesai studinya di Jerman, selain menjadi Pastur di Jetis dan Salam—Magelang, Romo Mangun juga mengajar di Jurusan Teknik arsitektur Universitas Gajah Mada (UGM). Namun pada akhirnya memilih sayonara, keluar dari UGM. “Bagaimana ya, saya tidak menyalahkan UGM, tapi kenyataannya kampus kan milik orang kaya, orang besar. Toh banyak orang berbondong-bondong antri bekerja di lapangan kampus. Maka saya memilih keluar saja, saya meminta Gereja, kembali bekerja langsung pada rakyat kecil”.

Romo Mangun tergolong bukan Pastur seperti pada umumnya, ia Pastur dengan sejumlah predikat. Selain menjadi Rokhaniawan Katholik, Romo juga seorang arsitek. Diantara karya-karyanya antara lain Gedung Bentara Budaya Jakarta, rumah kediaman Arif Budiman di Salatiga, gedung Gereja Katolik di Klaten, Salam, Jetis, dan sebagainya. Rancangan arsitektur karya Romo Mangun biasanya berciri khas dari bahan baku kayu dan bambu, yang diakuinya arsitektur berkepribadian Nusantara. Romo juga seorang novelis. Novel-novelnya antara lain : Romo Rahadi, Burung;burung Manyar, Roro Mendut, Gendok Duku, Lusi Lindri, Durga Umayi, dan lain-lain. Romo juga rajin menulis esai di berbagai media massa, Puntung-puntung Roro Mendut, bahkan esainya yang berjudul Sastra dan Religiusitas memperoleh hadiah pertama dari Dewan Kesenian Jakarta (1982). Burung-burung Manyar –s- alah satu karya yang diakui sebagai karya terbaik, bahkan meraih penghargaan South East Asian Award (1983) di Bangkok. Dan burung-burung Manyar satu satunya novel yang telah diterjemahkan berbagai bahasa : Jepang, Perancis dan Inggris. Selain itu Romo juga menulis buku-buku Fisika Bangunan, Tehnologi dan Dampak Kebudayaan (dua jilid), Wastucitra, dan lain-lain.

Menulis bagi Roma Mangun, semacam luapan manakala hati dan pikiran tengah berjubal-jubal oleh persoalan, fenomena, informasi, ide akan lahir dengan sendirinya. Tentu ilham juga diserap dari berbagai peristiwa yang terjadi ,membaca yang tersirat dibalik kejadian ataupun omongan orang. Semua itu selanjutnya diekspresikan dalam tulisan, itupun tidak selamanya lancar. Sering juga di tengah-tengah menulis—tiba-tiba macet.Menurut pengakuannya, menulis dilakukan sejak anak-anak. Dalam dunia kepenulisan juga merupakan upaya Romo Mangun dalam rangka membela kaum papa. Sebab kemiskinan itu bukan hanya karena orang miskin itu tidak punya duit, atau orang miskin itu malas, kaum miskin itu bodoh. Namun kemiskinan itu sesungguhnya terjadi akibat dari sistem struktur, opini publik, dan kebudayaan. Maka dalam proses kepenulisan Romo Mangun selalu mengarah kepada persoalan-persoalan struktural, sistem berbangsa, bermasyarakat, bernegara, dan kebudayaan.

Sesungguhnya Romo Mangun mampu menulis makalah-makalah yang sifatnya ilmiyah, tetapi dia sadar bahwa masyarakat yang ada bukan dari budaya artikel. “Budaya masyarakat kita ini masih budaya dongeng, cerita, bukan budaya makalah atau budaya artikel. Yang hendak membaca artikel hanyalah orang-orang tertentu saja. Jadi kalau mau dongeng atau cerita kita bisa bicara langsung dengan rakyat”. Pengakuan Romo. Sastra baginya juga harus memihak untuk katakanlah ikut memperbaiki struktur-struktur yang ada ini. Maka dalam novel-novelnya kebanyakan adalah novel epik, novel berbangsa dan bernegara.

Basis dunia kepenulisan Romo Mangun seperti yang diakuinya yakni dari kependidikan non formal dan informal. Berasal dari pergaulan, dari omongan orang, membaca, pengalaman bergaul dari penduduk asli. Mulai belajar sastra pertama-tama ia membaca karya-karya H.B Yasin (Buku Sastra dan esai yang diterbitkan tahun 1950). Romo Mangun juga belajar dari buku-buku sastra yang mendapat nobel dari Swedia, Jerman, Prancis, Rusia dsb. Dia mempelajarinya sastra yang mendapatkan nobel itu seperti apa, dia gali dengan telaten bertahun-tahun dan dijadikannya acuan dalam menulis terutama ketika menulis novel.

Ada hal mendasar yang mendukung Romo Mangun mampu berproses sendiri terutama dalam dunia sastra, yaitu faktor bahasa. “orang itu sering tidak paham kesaktian yang terkandung dalam bahasa. Bahasa merupakan satu perkara dengan dunia pemikiran dan cita rasa. Jika orang itu kacau pikirannya, bahasanya juga kacau. Bahasa dan hidup, dunia pemikiran dan dunia rasa itu satu. Nah…kita bisa saksikan, karena pendidikan bahasa dalam sistem sekarang ini kurang, maka cara mereka berfikir juga kacau, caranya menghayati, merasakan juga ikut kacau. Apalagi sekarang ini bahasa tidak pernah dianggap, tidak masuk hitungan. Jaman sekarang yang penting adalah matematika, fisika, dsb. Seperti di negara-negara maju. Jangan dikira majunya itu karena matematika, fisika….BUKAN!!! Ya betul dia pelajari matematika, fisika serta ilmu-ilmu pasti lainnya itu dipelajari, namun yang dinomor satukan tetap—yang disebut HUMANIORA yakni: Bahasa, filsafat, cara berfikir. Anak-anak SMA generasi Soekarno-Hatta sudah tahu apa itu Plato. Jadi anak-anak generasi Soekarno-Hatta yang paling beruntung. Jangan lupa Republik Indonesia ini merdeka sampai diakui oleh dunia internasional itu karena pemikiran dan memakai bahasa, bukan memakai bedil (senapan). Orang sering mengira bahwa negara kita merdeka itu karena bedil, itu tidak betul. Coba, seandainya Soekarno-Hatta tidak mampu diplomasi, juga seandainya Sutan Sjahrir dulu di PBB tidak mampu membela Rakyat Indonesia di Dewan Keamanan, kabeh arep ngopo…? nggowo bedil? Tidak bisa……jadi bahasa membawa orang bagaimana cara berfikir, cara bertanya, cara memandang hidup dan realitas. Orang-orang yang memimpin dunia itu orang-orang bahasa, nah..kalau matematika dan fisika itu pelaksana, bukan pengarah, pemikir. Misalnya membuat jembatan, ngobati wong, bikin jalan, dsb—jadi tukang, pelaksana. Maka kalau seperti sekarang ini SMA bagian bahasa dihapus karena dianggap paling rendah. Ini pertanda zaman sedang menuju kemana? Ini indikator yang jelas,” ungkap Romo Mangun. Jika kita amati setiap aktifitas, baik dalam bidang arsitektur maupun dunia sastra dengan karya-karya kemanusiaan lainnya pada akhirnya integral pada satu muara, yakni komitmen Romo Mangunwijaya terhadap rakyat kecil. Kita bisa simak pada peristiwa yang menggegerkan dari peristiwa Code sampai Kedung Ombo.

Dari lembah Code yang menggegerkan (1989), Romo Mangun pindah ke Grigak—Gunung Kidul, kawasan yang kering dan tandus. Beliau nekad, mendirikan gubuk di atas tebing tepi laut selatan. Dua tahun di sana bersama penduduk setempat membangun benteng untuk menahan air laut yang merusak sumber air bersih penduduk.

Disaat-saat Romo terserang stroke jantung, oleh dokter dilarang pergi jauh, bekerja keras—persis tengah ramai masalah pembebasan tanah dan munculnya berbagai masalah kasus di Kedung Ombo, mengusik hati nuraninya terpanggil untuk membantu penduduk. “Ternyata masalahnya sama saja: ya lakon sumantri dan Sukrosono itu”.  Menurut Romo Mangun yang mengaku hanya sekadar menjadi Palang Merah. Di Kedung Ombo, Romo lebih menitikberatkan pada persoalan-persoalan pendidikan anak, disamping membantu orang-orang tua mereka dari sekadar memberikan obat-obatan sampai membuat perahu.

Apa yang mendasar yang dia lakukan sebetulnya bukan merupakan hal baru,juga bukan sesuatu yang aneh-aneh. Dia mengakui apa yang dilakukan sebetulnya sama seperti yang tertuang dalam Mukadimah Undang-undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan bangsa. Ternyata generasi perintis itu sangat paham, bahwa bangsa kita bisa kacau disebabkan oleh pembodohan, kebodohan dan tidak tegas. Segala hal yang menyangkut kemerdekaan manusia hanya bisa diperoleh dengan kecerdasan, bukan senjata. Tetapi justru di Zaman sekarang ini upaya-upaya media untuk menuju kecerdasan sulit dilaksanakan. Maka di usia tuanya kalau masih diperbolehkan Romo YB. Mangunwijaya ingin mengonsentrasikan dirinya terutama dibidang mencerdaskan anak-anak. Karena penyakit yang mendasar sekarang ini dikarenakan anak-anak tidak dicerdaskan. Bisa melalui pendidikan, undang-undang, bisa melalui TV, media massa, teater, kesenian yang lain–pokoknya yang mengandung unsur mencerdaskan, dan Romo Mangun nampaknya lebih memilih di bidang sastra dan pendidikan anak-anak. Mengapa memilih dunia anak-anak? Karena anak-anak adalah penduduk Indonesia di abad ke-21.

“Semoga hidup saya berguna,” cetusnya serius. Karena itu Romo Mangun ingin menyerahkan jiwa raganya bagi manusia. Beliau berpesan bila meninggal dunia tidak ingin dikubur, tetapi raganya ingin diserahkan ke Fakultas Kedokteran UGM bagian anatomi. ”Ini sesuai dengan jalan hidup saya, biasanya yang dianatomi adalah penjahat, atau jenazah gelandangan yang tak berkeluarga. Seperti Yesus mati bersama para penjahat dan orang miskin ketika disalib, sayapun ingin mati dengan cara mereka, meski tidak disalib”

Toto Rahardjo 40-an Yogyakarta, April 1994
Sanggar Anak Alam Jogja Salam Yogya Orangtua Salam Eko Prawoto Ita Fatia Nadia
#YBMangunWijaya
https://www.salamyogyakarta.com/romo-mangun-belajar-dari-sukrosono/

Minggu, 06 Mei 2018

Untuk sobat Guruku

Ini kali pertama kali, kau tulis kata kalimat dalam keadaan sehat..

Tahun kemarin, dan tahun tahunnya yg kemarin kau berjuang dengan maut..

Aku tak mau ngucapin kata sampah itu yg cuma manis buih busa dimulut..

bla bla mbutt...!!

Cuma aku mau bilang gini ajach?!
Aku mesti sombong dulu!!

Semakin kubenci kesombongan itu semakin binal, semakin liar membakar diriku, kuterima ajah semua itu, biar tambah besar kepalan tinju tangan kiriku.

Ketka suatu saat butuh untuk kuangkat tinggi kelangit biar semuanya bisa melihat, itupun kalau terpaksa, meski hasrat hatiku berontak..

Jangan pernah buka topeng monyetmu..

Biarlah semua orang bisa puas terus menertawakanmu, dan kita mulai lagi babak baru permainan itu, dengan kerja karya nyata hingga keringat membakar semangat orang disekitarnya...

Biarkan saja selamanya orang-orang tak tau siapa dirimu, biar mereka semua hanya menikmati secawan anggur yg selalu memabukkan, haus, dahaga, yg tak berujung..

Hingga saatnya, tiba!!
Kita tost, pelan saja, ting.
sekali saja...

sebelum telat, selagi masih ada waktu istimewa..
sesegera es em es wa, gak transfer juga gpp!!

weka 07 mei 2018 36th hari Ali Antoni*

Ali Antoni 36th 1982-2018

Aku tumbuh besar dengan dikelilingi oleh orang2 yg mengejekku, tak masalah, tak membuatku menjadi seorang pengejek ganti.

Aku tak suka balas dendam, yg aku punya hanya cinta, kutebar terus tiap hari, kuajak orang2 mengoptimalkan akal sehat, kuajak siapapun sinau scr mendalam.

Sebagian mrk senang padaku, membantuku, sebagian lg makin marah, makin dendam, dan sebagian lagi justru melempariku dengan sampah.

Tak apa, sampah2 itu kupunguti, kupilah, ada yg kujual ada yg jd benda yg bisa dipakai lagi.

Mrk makin marah, aku tak marah.

Mereka makin mengejek, makin dendam, aku makin belajar sabar, dan makin menyembunyikan siapa aku.

Cukup satu topeng saja yg aku tunjukkan kpd mrk, sebab kalau tau mrk bisa menyesal dan menangis tak kunjung henti, krn sudah tau siapa aku.

Padahal itu topeng lain yg mrk temu.

Lalu siapa sejatinya aku?

Cuma bakul lemu yg besok ulang tahun, menunggu kado pesanan buku dan lukisan darimu.

Yogyakarta, 7 Mei 1982