Senin, 21 Mei 2018

Ngaji Kitab Suci #5

Ngaji Kitab Suci #5

Terdapat perbedaan pendapat tentang siapakah yang pertama kali membuat tulisan Arab.

Ada yg berpendapat Ismail bin Ibrahim.

Ada pula yg mengatakan sebuah kaum dari Arab, 'Aribah yang singgah pada kabilah 'Adnan bin Ad.

Ada pula yg bilang berasal dari penduduk Al Anbar, yg beroleh ajaran yg berujung pada Al Juljan bin Al Muhim, sekretaris nabi Hud, khusus untuk menuliskan Wahyu dari Allah.

Diperkirakan seabad sebelum kedatangan Islam, orang-orang Hijaz telah belajar baca-tulis di Siria (pada suku Himyar) dan Irak (pada Suku Hirah dan Anbar). Hal ini dikarenakan hubungan dagang yang terjalin diantara mereka. Sehingga melahirkan tokoh-tokoh yang dikenal mempunyai keahlian baca-tulis Arab, seperti Bisyir Bin Abdul Malik Al-Kindi yang bersahabat dengan Harb Bin Umayyah yang mempunyai keahlian sama, yang kemudian menikah dengan keturunan Umayyah dan mulai mengajarkan baca tulis kepada pemuda-pemuda Quraisy.

Pada akhir abad ke-6 Memasuki awal abad ke-7 M, mulai banyak orang Islam yang pandai baca-tulis, khususnya di kalangan pemudanya. Karena adanya program pemberantasan buta huruf yang dicanangkan oleh Rasul Muhammad.

Tawanan-tawanan non Muslim yang tidak membahayakan Islam, sebagian dibebaskan, khususnya mereka yg mempunyai kemampuan baca-tulis. Tiap satu orang tawanan diharuskan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang Islam sampai mahir.

Pada awalnya, huruf-huruf hijaiyyah belum bertitik, apalagi berharokat, juga hampir seperti aksara Jawa, masih banyak kata-kata yang bersambung.

Pemberian harokat, mulai dibuat pada awal abad ke-7 M, pada masa pemerintahan Muawiyah.

Perkaranya karena banyak orang yg salah dalam membaca Al Qur'an.

Orang yg ditunjuk utk mengurus hal ini adalah Ziyad Bin Abi Sufyan meminta kepada seorang ahli Bahasa Arab, Abu Aswad Al-Duali untuk menciptakan syakal untuk mempermudah membaca Al-Quran agar tdk lagi salah baca.

Tanda baca diciptakan berupa titik-titik. Semisal, titik satu disebelah kiri huruf berarti dhammah (u), seperti tulisan(ط) maka dibaca thu. Titik satu tepat di atas huruf berarti fathah (a). Titik satu tepat di bawah huruf seperti kasrah (i). Bila titik didobelkan (dua titik) maka fungsinya menjadi tanwin (un, an, in).

Selanjutnya, pada pemerintahan Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M) seorang gubernur bernama Al-Hajjaj Bin Yusuf Al-Tsaqafi meminta Nasr Bin ‘Ashim dan Yahya Bin Ya’mar untuk memberi tanda pada huruf-huruf sama bentuknya tapi berbeda ejaan.

Nasr dan Yahya selanjutnya menciptakan tanda berupa garis-pendek yang diletakkan di atas atau di bawah huruf. Garis pendek itu bisa satu, dua atau tiga. Misalnya, ba’, diberi satu garis pendek di atas huruf, tsa’, diberi tiga garis pendek di atas huruf, dan seterusnya.

Bila garis-pendek berjumlah tiga, maka satu diletakkan di atas dua garis pendek berjajar. Garis-pendek berfungsi untuk membedakan huruf ini justru dibuat dengan tinta sama dengan tinta untuk menulis huruf, hitam. Tanda titik dan garis-pendek tetap dipakai selama pemerintahan Bani Umayyah sampai awal pemerintahan Abbasiyah ±685-750 M.

Setelah beberapa waktu, aturan penandaan titik dan garis pendek mengalami perubahan.

Munculnya keluhan dari para pembaca Al-Quran mengenai banyaknya tanda harus disandang huruf-huruf dalam ayat Al-Quran malah dianggap menyulitkan.

Kesulitan ini menggerakkan seorang ahli tata Bahasa Arab (nahwu/sintaksis), Al-Khalil Bin Ahmad mengadakan perubahan.

Al-khalil membalik fungsi tanda-baca tanda-baca diciptakan Abu Aswad dan Nasr-Yahya.

Titik-titik awalnya merupakan harakat sekarang dijadikan tanda untuk membedakan huruf yang berbentuk sama namun berbeda ejaan. Dan untuk tanda baca (syakal/harakat) al-Khalil mengambil dari huruf-huruf yang menjadi sumber bunyi (huruf vokal). Alif sebagai sumber bunyi ‘a’. Ya’ sebagai sumber bunyi ‘I’. Wawu sebagai sumber bunyi ‘u’. Kepala kha’ sebagai tanda mati (sukun).

Tanda-tanda ciptaan Al-Khalil banyak yang menjadi dasar untuk tanda-tanda dalam tulisan Arab sampai sekarang.

*AA*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar