Senin, 25 September 2017

Rayuan Pulau Kelapa

Sekitar tahun 90-an saya melancong nengok kawan saya Roem Topatimasang melintas dan tinggal sementara waktu di Pulau Kei Maluku Tenggara, yang jaman dulu dikenal penghasil Kopra. setelah pulang Jogja, Cak Nun saya kasih oleh-oleh cerita dan dia tulis di Harian Surya, koran, satu-satunya selain Suara Karya yang pada saat itu sampai di Pulau Kei

Sunyi Kopra di Pulau Kei

SEJAK dulu di tempat kami tanaman kelapa sudah menjadi tanaman perdagangan utama rakyat. Namun anehnya, saat ini justru sangat berkurangperhatian orang terhadap peremajaan tanaman kelapa, sehingga lama-lama produksi kopra menurun. Saya heran. Semula saya menyangka para petani kopra ini pemalas, tetapi kemudian saya ketahui tidak...,” tulis seorang sahabat dari Pulau Kei, Maluku, yang kemudian menuturkan hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya terhadap alasan sikap para petani di sana.

Kata “kopra” membuat saya terasing. Saya kenal kata itu terutama ketika belajar Ilmu Bumi di Sekolah Dasar. Selebihnya saya “buta huruf”. Apa itu kopra? Kalau kopral saya lebih kenal dan terkadang berurusan. Kalau keproh itu kea- daan badan hasil mandi setahun sekali pada awal Suro. Kalau koprol itu kebiasaan saya sejak kecil sebagai olahragawan, juga ketika rakyat dilatih perang menjelang revolusi ‘65 dan saya ikut latihan tiarap dan teknik koprol.

Akan tetapi, mungkin kita bisa bicara dulu tentang “rakyat malas”.

Saya punya teman penyair yang langsung naik pitam kalau mendengar atau membaca tulisan yang menuduh rakyat kita malas. Terutama orang Jawa: itu yang paling sering dituduh malas. Utamanya lagi Jawa Tengah. Kerja memperbaiki jalan, datang pukul sepuluh pagi, kerja lamban beberapa jam, diselingi duduk berjongkok sambil merokok baas buus, meskipun kalau ditanya ternyata punya enam anak.

Para kaum progresif yang mendambakan efektivitas dan percepatan tinggi pembangunan selalu getol menuduh rakyat malas. Golongan intelektual juga memberi stabilo untuk menegaskan penilaian tentang kemalasan rakyat. Pokoknya, rakyat itu—di mata pendekar-pendekar modernisme—tampak malas, bodoh, statis, naif, dan tidak potensial terhadap kemajuan dan lepas landas.

Maka, televisi mengajari cara bercocok tanam atau mengurus apotek hidup. Pokoknya, ahli pertanian mengajari petani. Dan, koran-koran juga kalau membutuhkan pendapat tentang pertanian, tidak pernah mewawancarai petani karena hanya percaya kepada pakar pertanian. Kasihan rakyat, tubuh penuh lumpur, keringat terperas selaut, ratusan tahun lamanya, tidak pernah dianggap sebagai subjek pertanian. Pendek kata, dalam alam modernisasi ini rakyat tidak dipercayai, dianggap bodoh, tidak mampu, lemah, malas, dan sebagainya.

“Siapa omong bahwa rakyat kita malas?” penyair saya itu berang. “Sejak pukul satu lewat tengah malam, ibu-ibu di Srandakan, Bantul, sudah menyiapkan dagangannya yang kemudian mereka panggul di punggung lalu jalan kaki dua puluh kilometer ke Pasar Kota Yogya, berjualan sampai jauh siang untuk memperoleh seribu-dua ribu rupiah. Orang-orang perkasa semacam ini dituduh malas oleh orang-orang yang kerjanya duduk di kursi menghadapi meja, memangku sekretaris, dan mengetik satu jam dalam sehari dan memperoleh ratusan juta rupiah...”

Tentu saja saya yang bagian ngerem-erem hatinya.

Ya, pokoknya manusia itu ada yang rajin, ada yang malas. Kalau yang terjadi adalah gejala kemalasan sosiologis, barangkali ada mekanisme atau pola sistem yang menjadi sumbernya. Para penyembuh korban narkotika di pesantren lama-lama bisa malas menangani pasien-pasiennya dari kota dan menggerutu, “Mereka merusak generasi muda, kita yang harus menyembuhkannya, sambil mereka menuding-nuding bahwa kita ini orang tradisional, orang kuno, tidak modern!”

Kaum petani kopra di Pulau Kei, Maluku, juga menjadi malas meremajakan usaha ekonomi kopranya karena suatu alasan yang berasal dari sistem makro, ketika lokus kegiatan ekonomi mereka hanya terletak sebagai pelengkap penderita.

Sahabat kita itu mendapatkan jawabannya dari sejumlah petani: “Untuk apa saya meremajakan kelapa kalau hanya akan merugi? Mekanisme pasaran kopra tidak menentu dan selalu cenderung merugikan petani. Untuk menanam kelapa butuh waktu sangat lama, perawatannya makan biaya. Jadi, untuk apa kami bengong menunggu saat-saat rugi? Jadi, lebih baik kami menanam jenis tanaman lain yang mungkin menguntungkan, sementara tenaga kami bisa juga dihemat untuk mengerjakan usaha-usaha sampingan yang lain...”

Tidak usah menjadi sarjana ekonomi untuk memiliki kesanggupan mengantisipasi komoditas apa yang sebenarnya nanti menguntungkan. Secara alamiah mereka juga mengerti bahwa semestinya mereka bertanya kepada Badan Tata Niaga Kopra yang seharusnya berkewajiban melindungi para petani. Sederhana saja: petani itu rakyat, rakyat itu pemegang kewenangan tertinggi atas Tanah Air, sehingga kepada kepentingan merekalah segala langkah pembangunan ini sepantasnya diarahkan.

Akan tetapi, sudahkah, atau akankah, badan tata niaga yang terdiri atas unsur pemerintah dan asosiasi pengusaha kopra itu mengorientasikan diri kepada kaum petani?

Saudara-Saudara, inilah jenis pertanyaan naif seorang manusia agraris bodoh macam saya kepada manusia-manusia modern kapitalis yang tidak bodoh dalam menyerap dan mengisap apa saja untuk keuntungan primordial dagangnya. “Kepintaran manusia adalah kebodohan dalam memproses diri menjadi manusia.”

Akan tetapi, kebodohan petani kopra adalah apabila mereka menanam kopra. Berbeda dengan sarjana pertanian yang tidak akan bercocok tanam, melainkan menjadi raja-raja atau punggawa dari kaveling-kaveling kerajaan pertanian tempat petani menjadi kawula.

Petani adalah objek pertanian, pakar pertanian adalah subjek utama pertanian, meskipun mereka tidak bisa membedakan antara nangka dan cempedak. Sarjana pertanian adalah aktor utama urusan pertanian, meskipun tangan mereka belum pernah memegang ani-ani atau sabit.

Sudahkah badan atau lembaga kopra itu mewakili suara petani? Adakah kepentingan petani hadir sebagai bagian dari negosiasi tatkala harga dan mekanisme pasar kopra ditentukan?

Akan tetapi, para petani kopra di Pulau Kei, Maluku, tidak bisa menunggu datangnya jawaban atas pertanyaan semacam itu baru kemudian makan siang bersama sanak familinya. Sekarang juga mereka harus makan, beli sabun cuci, dan membersihkan WC. Tak bisa menunggu hasil perjuangan nasional. Maka, mereka harus kerja keras sekarang juga: berangkat kerja ke ladang dari pukul enam pagi hingga senja menjelang. Supaya, dalam seminar-seminar nasional dan internasional mereka dituduh bodoh dan pemalas. Sementara, sebagian diberi kostum sebagai pemberontak atau anggota bekas partai terlarang—yakni ketika mereka melakukan hal kecil yang hukumnya agak “haram” secara politik, yakni “mempertanyakan kebijakan”.[]

Emha Ainun Nadjib
Harian Surya, Senin 11 Januari 1993
Doc.PROGRESS

Bubuy Bulan

BUBUY BULAN

Bubuy bulan-bubuy bulan sanggray bentang

Panon poe-panon poe disasate

Unggal bulan-unggal bulan abdi teang

Unggal poe-unggal poe oge hade

Situ Ciburuy laukna hese dipancing

Nyeredet hate ningali ngeplak caina

Duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing

Nyeredet hate ningali sorot socana

*Pembahasan:*

Bubuy bulan = bulan di bubuy, maksudnya bulan adalah Rasullullah Saaw, seperti lagu Thola’al Badru Alaina artinya telah datang bulan purnama kepada kami. Bulan purnama disini adalah Rasullullah saaw. Jadi arti bulan dalam lagu “Bubuy Bulan” adalah ajaran Rasullulah saaw.

*Bubuy disini adalah perumpamaan dari pembumi hangusan ajaran rasulullah.*

Sanggray Benthang=
bintang di sangray,bintang adalah perlambang dari Ahlul Bait Rasulullah saaw,seperti dalam hadits: "Bintang-bintang adalah penunjuk bagi pelaut agar tidak tersesat,dan ahlul baitku adalah bintang-bintang bagi umatku, yang bila berpegang pada mereka niscaya akan selamat dunia akhirat.

Namun dalam lagu ini para ulama terdahulu mau menunjukkan kepada kita betapa ajaran Rasulullah saaw yang telah diteruskan kepada ahlulbaitnya sebagai wasi’ atau penjaga agama rasul telah di “sangray”,

*maksudnya telah dikhianati dengan cara yang kejam,*

Panon poe,panon poe disasate=
matahari disate berkali-kali (sasate mengandung arti pengulangan), matahari mengandung arti para ulama yang menyampaikan ajaran Rasul dan ahlul baitnya, cahayanya memancar keseluruh umat memberikan penerangan-penerangan yang dengan cahayanya manusia dapat membedakan mana yang baik dan buruk bagi kehidupan mereka di dunia dan akhirat, namun matahari-matahari ini di sasate,

yang mengandung arti dibantai, dibunuh dengan kejam dan licik, agar ajarannya hilang dari muka bumi,
tujuan pembantaian para ulama ini adalah demi langgengnya kekuasaan atau demi tujuan politik, dan hal ini berlangsung sejak wafatnya rasulullah saaw,
*dengan puncak kesadisan yang tidak ada bandingnya dalam peradaban manusia,* *ketika cucu Rasullullah saw dan keluarga rasulullah yang lain dibantai dengan sadis.*

Peristiwa karbala dan peristiwa-peristiwa pembantaian yang lain kepada pecinta keluarga rasul, menyebabkan terjadinya hijrah besar-besaran untuk menyelamatkan agama rasul dan keluarganya, dan Nusantara adalah salah satu tempat hijrah mereka,
itulah sebabnya selama 600 tahun ajaran rasullullah berkembang pesat dinegara ini, sampai datangnya musuh-musuh Allah yang berkedok ulama, karena hasadnya mereka membumihanguskan ajaran rasul, yang diwariskan kepada ahlulbaitnya dan disampaikan oleh para ulama pecinta ahlul bait, para ulama ini dibantai,kitab-kitabnya dibumihanguskan, untuk menghilangkan ajaran rasul.

pesan inilah yang disampaikan pada 3 baris pertama lagu BubuyBulan,

pada baris ke tiga lebih ditekankan pada sosok seorang ulama,yang syahid dibantai,
ulama ini mempunyai gelar Syamsuddin=mataharinya agama=panon poe=matahari.

Kesedihan yang luarbiasa dahsyat ia alami atas kejadian tersebut, kesedihan yang ia tuangkan dalam syair-syair berikut;
Unggal bulan-unggal bulan, abdi teang=
setiap ada bulan saya mencari,

Unggal poe, unggal poe = tiap siang saya juga mencari

Ogek hade= pencarian tersebut sama bagusnya, kegiatan mencari dan pencarian disini melambangkan ikhtiar dan do’a melindungi sisa-sisa dari pembantaian dan usahanya mencari pengganti gurunya yang syahid tersebut, ikhtiar dan do’a tersebut bagusnya dilakukan malam hari,

Kalimat ini bisa jadi suatu pemberitahuan atau bahasa rahasia,untuk berguru dimalam hari dalam rangka ikhtiar mencari ilmu dan melindungi sisa-sisa pembantaian tersebut,dalam hal ini mungkin anak atau keluarga dari ulama tersebut.

Namun lebih bagus juga (ogek hade) bila siang hari pun melakukan usaha yang sama.

Situ ciburuy,laukna hese’dipancing=
kalimat ini lebih kepada keterangan tempat dan waktu,
ditekankan pada kata situ ciburuy=
tempat dan lauk yang berarti sengkalan, sistem penanggalan yang diajarkan oleh para wali,

ikan disini berarti tahun: bagian-bagian ikan dibaca dari atas kebawah =
dari kepala ke ekor: kepala;1, badan;1 sirip;2 ekor;1 =1121,
berarti kejadian ini terjadi pada tahun 1121 di situ ciburuy atau puncak pembantaian terjadi pada 1121,600 tahun setelah pemerintahan ahlul bait yang adil makmur merata dinusantara.

Nyaredet hate=
sedih susah ngenes, pilu,sakit hati yang luar biasa tapi tak ada yang bisa diperbuat,

Ningali ngeplak cai na=
melihat darah
(ulama yang menjadi gurunya)ditumpahkan dengan sengaja

Ngeplak =
air dalam jumlah besar ditumpahkan secara sengaja

Cai =dalam bahasa sastra sunda bisa berarti darah atau air,

Duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing =
siapakah itu yang hadir setiap pagi,

Nyaredet hate;
mengiris hati
(melihat yang hadir tiap pagi itu, mengingat kejadian diatas,
peristiwa ketika gurunya syahid bergelimang darah)

Ningali sorot socana = melihat sorot matanya (yang tegas),

sorot matanya yang tegas itu lah yang mengingatkan si penembang syair ini teringat akan gurunya yang selama ini ia selalu berusaha mencari gantinya malam dan siang.

sorot socana; pandangan mata yang tegas, lawannya cai socana; pandangan mata yang lembut.

*sumber belum diketahui ..

KARBALA

Diriwayatkan , Suatu Hari Nabi Zakaria as memohon kepada Allah mengajarkan nama nama lima Manusia suci.

Malaikat Jibril pun turun dan mengajarkan nama nama tersebut. Setiap kali nabi Zakaria menyebutkan nama Muhammad, Ali, Fatimah dan Hasan, kesedihannya pun hilang. Akan tetapi ketika nama Husein disebutkan hatinya sedih dan menangis.

Nabi Zakaria as berkata :

"Ya Allah rahasia apakah yang tersembunyi? Setiap kusebut nama 4 orang suci ini pikiranku tenang dan kesedihanku hilang. Namun ketika kusebut nama Husein aku menangis dan meratap?

Allah mengabarkan kepadanya tentang peristiwa yang bakal menimpa al-Husein dan berfirman:

"KAF Ha YA 'AIN SHAD
KAF artinya Karbala (kota Karbala di Iraq)
HA artinya halakal 'itrah (terbantainya keluarga suci Nabi Muhammad SAW)
YA artinya Yazid bin Mu'awiyah.
'Ain artinya 'Athsyal husein (dahaga al-Husein)
SHAD artinya Shabruhu (kesabaranya al-Husein)"

Mendengar wahyu ini, nabi Zakaria as tidak keluar dari mesjidnya selama tiga hari dan memberikan perintah agar tak seorangpun menemuinya. Beliau menangis dan meratap.

Ungkapan beliau dalam mengingat musibah itu adalah: "Ya Allah apakah makhluk termulia-Mu, putranya mengalami musibah seperti ini? Apakah musibah ini yang akan menimpa mereka? Apakah Ali dan Fatimah berduka cita seperti ini?

Ya Allah, karuniakan kepadaku seorang putra yang membahagiakan hatiku di masa tuaku, serta jadikanlah dia sebagai pewaris dan penggantiku. Setelah engkau karuniakan anak itu padaku, timpakan padaku musibah, sebagaimana yang dialami kekasih-Mu Muhamad sehubungan dengan putranya".

Allah menganugrahkan Nabi Yahya as kepada Nabi Zakaria as. Dia pun mengalami musibah kehilangan anaknya. Masa kehamilan Nabi Yahya as sama seperti kehamilan Imam Husein as, 6 bulan.
Nabiyullah Yahya syahid dengan disembelih.

Sumber :

(360 Fadhail Mashaib wa Karamat-Fathimah Zahra; hal 412-414(420 halaman)
Karya Abbas Azizi.

Lik Ganep Lik Ganjil #7

Lik Ganep Lik Ganjil #7

" ketipak- ketipak -- ndibleng-ndibleng......ketipak-ndibleng...ndibleng.....ketipak-pak ndibleng.    wuahaa ha ha ha ha ha....ndibleng, ndibleng........ndibleng-ndibleng----------ketipak. ndibleng ndibleng ndibleng....wuaahaa ha ha ha ha.....ha ha ha ha......."

Plataran rumah model kampungan dengan dinding dinding anyaman bambu.

Kali kecil berikut sekawanan bebek dan angsa.

Pohon bendho ukuran raksasa menaungi batu batu nisan kuburan desa.

Pada sore yg hampir merapat senja.

Panggung alam mementaskan teater,  " Siwa Reja ngudang cucu "

" ya  --  mbah Reja lazlm dipanggil dengan sebutan  "wa" .   siwa yg artinya pak dhe."

Irama akapela berpadu dengan tawanya yg khas, orang desa kami menyerupakan tawa wa Reja dengan ringkikan burung puter.

Membopong cucu, mengayun  ---  tiga lankah kedepan, selangkah mudur sambil mengayun  dalam kesimbangan yg  sempurna. Puja puji dan kata kata harapan terlontar diiring derai tawa dan musik akapela.

Tak ada raut wajah melankolia pada lelaki perawakan kecil ini.  "Sosok tunaNetra manusia puisi. "

bersambung....

Wahyu Sunarto 25.09.2017

Lik Ganep Lik Ganjil #6

Lik Ganep Lik Ganjil #6

Sejenak mengenang mendiang mbah Reja Kewuh.

Entah kisah apa nanti yg bisa saya ungkap,   kehidupan sering berakhir pada sebuah misteri dengan sekian banyak pertanyaan yg tak menemu jawab.

bersambung...

Wahyu Sunarto 21.09.2017

Lik Ganep Lik Ganjil  #5

Lik Ganep Lik Ganjil  #5

Sambil menyilakan dua kakinya diatas kursi mas Al menyela rentetan kata kata lik Ganep. 

" Whooii... panjenengan memang Iyeess,  tak kalah dengan dosen filsafat di kampus  saya. "

" jabang bayi !  Tobil anak kadal ---- denbaguse Al pengkal njaran !  Kepiye nasibmu gus ? "  Lik Genep nggablog ngoyok-oyok  punggung mas Al dan lanjut cerita.

" Aja ngenyek pean gus !  Mbok-cilikmu ini sudah bayak makan garam,  nglakoni urip lebih dari setengah abad.  Sinau dipaksa dihajar kahanan, kesandung kejungkel- jungkel ing-rata   kebentus ing-awangawang.   Bagaimana itu --- kesandung dijalan yg mulus dan rata, kebentur oleh angan-angan ?

Berbeda dengan dosenmu,  duduk di kursi empuk katakatanya dibayar.  Ndak sama dengan bulikmu berani cerita karna menjalani. "

Barangkali lik Ganep tak kuasa menyampaikan ungkapan yg tersimpan dalam benaknya.  " Tutur kata adalah tentang bagaimana kau menjalani kehidupan.  Kalau katakata hanyalah sekedar kata dan cara hidup adalah soal yg lain, kau sesungguhnya hanyalah orang munafik yg menularkan kebohongan."

Mbah Karsa terkekeh ringan, entah berapa kali beliau menyeruput isi cangkir teh sambil menyimak perbincangan lik Ganep dan mas Al.  Tak ada kebahagian melebihi  seorang kakek yg dimanjakan oleh kecerdasan anak cucunya.

Jam dinding yg lekap di tembok menunjukan waktu semakin larut.    Entah kapan  kehadiran ----  "Kaki Emong Nini Emong  kang momong jabangbayine Gajil Peparinge Gusti "   berkenan menerima sesaji mbah Karsa.  Nasi tumpeng berikut ubarampe sudah nampak pucat layu.  Malam mengantarkan sunyi,  angkup si bunga pohon nangka berdering dering,  derit batang bambu merintih disahut jeritan burung malam.

Saatnya manusia merehatkan sejenak kelima indranya mengetuk pintu ruang hening. Atau memilih kematian dan  mengubur akal.

bersambung....

Wahyu Sunarto 19.09.2017

Minggu, 24 September 2017

AMPLOP ABU - ABU (GUS MUS)

AMPLOP ABU ABU
oleh: KH. A. Mustofa Bisri-

Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu, jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan.Di bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah, memenuhi permintaan mengisi pengajian.

Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Israk Mikraj. Bulan Sya’ban,dalam rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalamrangka Nuzulul Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal –bi-Halal.

Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.

Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.

Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku, anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak.

Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsungkeluar lagi dari kuping kiri.Tak membekas.

Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.

Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.

Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri pengajian” itu.

Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.

Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya dalam memperbaiki mental masyarakat? Tapi baiklah.

Biarkan aku bercerita saja tentang penglamanku.

Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin bersalaman denganku.

Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi ke tanganku.

Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam temple itu.

Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu juga.

Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yangbersih dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang.

Dia selalu hanya mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa.Aku tak habis pikir, bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.

Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian yang dilaksanakan di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa?

Darimana dia mendapat informasi?

Atau dia selalu membuntutiku?

Tidak mungkin. Musykil sekali.

Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.

Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap pihak –pihak yang memberi amplop.

Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop-amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.

“Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan kepadamu?” aku bertanya kepada isteriku.

“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”

“Coba kau bawa kemari semua!"

Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.

“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang disodorkan isteriku.

Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.

“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.

Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu yang kucari, lima buah jumlahnya.

“Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu? Hanya lima?”

“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.

“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.

Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.

Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.

“Ada apa, Pak?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di sampingku.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggaldi lima amplop itu.

Kemudian membaca apa yang tertulisdi masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.

Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya.Amplop pertama kubaca:

“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.

”Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri? Cilegon, 11 Juli 2001.

”Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.

”Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!). Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.

Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.

”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.

Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.

Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.

Ah.Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.

Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.

Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.

Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.

“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanyaku pada isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.

“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu?
Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah.

Malah semuanya masih saya simpan.”“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.

“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”

“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaianku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.

Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,

“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.

“Lihat kemari, Pak!”

Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.

Masya Allah.

Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.

Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya

Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.

Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.

Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!). Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.

”Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera namadan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”

Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.

Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.

SubhanAllah!
_________________________
Disadur dari buku beliau,-
[22/9 14:30] (Copas) **

Senin, 18 September 2017

Lik Ganep Lik Ganjil  #4

Lik Ganep Lik Ganjil  #4

"Walaah mbah Karsa itu lho.....apa lagi itu alif bengkong ?"

Mbah Karsa terkekeh memamerkan pipi kanan kirinya yg tak lagi disangga gigi gigi. Raut wajah sepuhnya mengingatkan pada sebuah photo  seorang tokoh pergerakan dari India Mahatma Ghandi.

Tiba tiba dari bilik samping, lik Ganep keluar sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir teh dengan gerak cekatan ia sajikan diatas meja dimana mbah Karsa dan mas Al  sedang asik mengobrol.  Perempuan dengan sosok tubuh dan raut wajah bergestur lumayan cadas.

Sontak ia menanggapi pertanyaan mas Al sambil ikut duduk nimbrung ;   " o...alaah gus !  Pean itu dari indhil-indhil mondhok dipesantren, sekarang  ondhol-ondhol makan bangku kuliah    masa  " alif bengkong "  saja tidak paham.

Alif bengkong itu huruf alif yg tegak lurus keatas namun sejatinya bisa ditekuk lipat sampai berlapis bersyaaf-syaaf,  jadi yo tidak kaku kaku amat.  Artinya suatu hal itu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, jarakpandang, cara pandang, bahkan dari lapis-lapis tingkat kesadaran yg berbeda. Untuk tegasnya misal tentang tuhan,  benarkah kalau Tuhan sangar dan sekaku yg diterangkan orangorang yg menguasai majlis-mimbar keagamaan.    Jangan-jangan   GustiAllah iku mahaAsyik. "

bersambung.....

Wahyu Sunarto 17.09.2017

Minggu, 17 September 2017

Lik Ganep Lik Ganjil  #3

Lik Ganep Lik Ganjil  #3

Bancakan Weton.

Mas Al Ghazali, putra dari pak kepala dukuh desa kami, seorang MTA alias mahasiswa tingkat akhir fakultas teologi sebuah universitas ternama di Jogja.  Sering kali meluangkan waktu duduk sarasehan dengan mbah Karsa Sentana untuk berbagi pemikiran dan ngangsu-kaweruh.  Dari bab bertani, menderes manggar sampai proses pembuatan gula kelapa.  Sekali dua juga membahas soal tradisi leluhur.

Seperti kali ini malem jum'ad legi, mbah Karsa mengadakan bancaan weton untuk Lik Ganjil kembaran Lik Ganep yg merantau jauh di  pedalaman Sambas menunaikan baktinya sebagai guru di sebuah SD negeri.

" bancaan sinten mbah ? "  begitu tanya mas Al yg sudah tak asing dengan serangkai sesaji di atas sebuah lincak bambu dalam bilik rumah mbah Karsa. Tumpeng kecil berikut uraban tujuh macam sayur sayuran, tujuh telor ayam kampung rebus, 7 macam bubur dlm takir kecil, tujuh macam jajanan pasar, tak ketinggalan kembang setaman.

mbah Karsa bertutur dengan nastiti;

" Likmu Ganjil minta kiriman doa, akhir akhir ini banyak siswa yg diwulang di sekolahnya agak dendeng dan silih berganti ijin karna sakit bahkan bulan ini ia kehilangan dua siwanya yg meninggal karena serangan demam. "

" hal seperti itu kan tidak semata urusan lik Ganjil to mbah ?  Tugas guru kan mengajar ? "

"Betul nakmas,   tapi ini hal tanggungjawab hamemayu. Memohon keselamatan bagi orang orang yg berhak  memperoleh asuhan dan pengayoman kemudian barulah diri sendiri merasa tentram."

" anu mbah.... mohon sekali waktu  panjenengan medar bab sesaji ini mbah ! "

Mbah Karsa menghela nafas, tubuhnya yg sedikit bungkuk karna usia ditariknya ke belakang bersandar ke sebuah korsi rotan.
Sorot matanya menajam seperti hendak membelah langit langit rumahnya yg dianyam dari batang bambu.

"Apa kira-kira nakmas Al masih mempercayai hal hal seperti ini ? Sekolah nakmas sudah tinggi, bab agama jauh lebih  maju  daripada mbah    yg alif bengkok saja tidak paham? "

to be....sesokmaning.

Wahyu Sunarto 17.09.2017

Kamis, 14 September 2017

Like Genep Lik Ganjil #2

Lik Ganep Lik Ganjil #2
Oleh Wahyu Sunarto

"What's in a name ?  That wich we call a rose by any other name whould smell as sweet. "

Begitu perkataan William shakaspeare, apalah arti sebua nama.  Mawar akan tetap beraroma wangi walau kau sebut dengan nama yg lain.

Berlaku sebaliknya    Kang Tarjo yg " royal wadon "   tak akan serta merta bermental pejuang ulung sekelas proklamator hanya dengan mengganti julukannya dengan nama Sukarno.

Begitu pula dengan  Ghendenk Al Ghazali, menghapus kata "Ghendenk" dari   struktur namanya  tidak lantas membuatnya mampu menulis karya sekelas kitab Ihya Ulumuddin. Paling poll yg sanggup ia tulis, ya bab bab dari mazab BH-iyah.  Mengulas mengulik berkelit berkelindan hanya pada persoalan merk, warna dan ukuran Bh tanpa tahu mengerti apalagi pahamrasa ISInya.

"Kembang setaman,bubur abang, bubur putih, bubur abangputih, jenang baro-baro."

Biarlah William Shakespeare punya pendapat demikian tentang sebuah nama yg didukung seribu dan segenap fakta.  Lain ladang beda belalang,   mbah Karsa Sentana memiliki semesta yg berbeda. Seperangkat sesaji wajib disiapkan untuk sebuah nama,  baginya nama adalah pengharapan dan Doa.

to be cont......

By. Wahyu Sunarto 14.09.2017

Like Genep dan Lik Ganjil #1

Lik Ganep dan Lik Ganjil
Oleh Wahyu Sunarto

Lebih baik sahaya kisahkan mulai malam ini, kata Gus Jogja tak baiklah menunda nunda menulis. Mumpung ada bisikan dari sang Ghost yg masuk mengusik kepala, bisa bisa klo ditunda keburu kembali di bawa kabur dan kisahkisah akan pulang kajati balik ke asal.

Ganep Kersane Hyang Widi,  kelayak memanggil dengan sapaan akrab Lik Ganep.   Ganjil Peparinge Gusti, orang orang didesaku akrab memanggilnya Lik Ganjil.

Keduanya saudara kembar dampit, Lik Ganep lahir sebagai perempuan sedang Lik Ganjil tentu lanang tulen. Putra putri dari mbah Karsa Sentana seorang kuncen sebuah pohon Bendho yg dikeramatkan didesa kami.

Lik Ganep yg lahir beberapa jam terlebih dahalu harus mengalah  rela menjadi saudara muda yang memanggil mas kepada lik Ganjil yang lahir belakangan.  Tentu ini soal tradisi dan perlu uji medis untuk validasi usia mereka siapa yang sesungguhnya lebih tua untuk menentukan siapa kakak siapa adik.  Tradisi sebaiknya jangan cari gampangnya dan abai soal hakasasi.

Lik Ganjil lahir dengan cacat fisik bawaan, tak seperti umumnya bayi yang lain dengan jari tangan berjumlah lima bayi Ganjil berjari tangan empat.  Pada kesepakatan bilangan matematika, empat adalah bilangan genap dan lima adalah ganjil.  Entah kenapa pula mbah Karsa menamai bayi berjari tangan empat dengan nama Ganjil Kersane Gusti. "Kelak bagaimana kalau si Ganjil mulai belajar matematika? "

Ganep Peparinge Hyang Widi, bayi perempuan yg lahir normal seperti kalayak.  Dewasanya nanti tentu ia akan bandingkan jumlah jari tangannya yg berjumlah lima dengan jari tangan kembarannya yg empat biji dan sewaktu waktu menghubungkan dengan namanya.

bersambung......

By : Wahyu Sunarto 13.09.2017

Senin, 11 September 2017

MINORITAS MELAWAN MAYORITAS

VONIS MEDIS ITU NGGAK 100%, WALAU PROSENTASENYA SAMPAI 99%, TETAP MASIH ADA 1% KEPASRAHAN PADA TUHAN

"Mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang"

Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar tujuh puluhan- spesialis penyakit...

“Silakan duduk,” sambut dr.Paulus.
Aku duduk di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis identitasku di kartu pasien.

“Apa yang dirasakan, Mas?”

Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.

“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”

“Tapi buat puasa kuat ya?”

“Kuat, Pak.”

“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”

Aku terbengong, menunggu penjelasan.

“Asam lambung itu,” terang Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”

“Maksudnya, Pak?”

“Orang puasa ‘kan malamnya wajib niat to?”

“Njih, Pak.”

“Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”

“Iya, ya, Pak,” aku manggut-manggut nyengir.

“Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”

Aku melongo lagi.

“Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.

Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah distabilo hijau.

“Coba baca, Mas: ‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.

“Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”

“Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya.”

“Ooo, gitu ya Pak,” sahutku baru menyadari.

“Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”

Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.

“Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?”

“Iya, Pak.”

“Itu salah kaprah.”

“Maksudnya?”

“Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”

“Haah?”

“Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap, minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih lemas.”

“Tapi ‘kan pasien harus bedrest, Pak?”

“Ya ‘kan bisa di rumah.”

“Tapi kalau nggak pakai infus ‘kan lemes terus Pak?”

“Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas.”

Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.

“Dulu,” lanjut Pak Paulus, “Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito.
Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.

Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat bulan.”

“Lalu, Pak?” tanyaku antusias.

“Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.

Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?’

Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.

Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”

“Waah.. Lalu, Pak?”

“Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.”

Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.

“Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.
Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.

Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”

“Orangnya masih hidup, Pak?”

“Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu.”

“Wah, wah, wah..”

“Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”

“Lhoh, njenengan pernah Pak?”

“Iya.
Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.

Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.

Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa pulang setelah dua bulan.”

Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu drastis.

Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!

“Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.

Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.

Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.

Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.”

Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku.

“Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.

Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.

Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak pula. Serba salah kita.

Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”

Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.

“Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.

Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”

“Hasilnya, Pak?”

“Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.

Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”

“Sembuh, Pak?”

“Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.

Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.

Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut..”

Takjub, tentu saja.

Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.

Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.

Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.

Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.

Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.

Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.

Riyadhoh pun dimulai. Ia lalui hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.

Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.

Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.

Bacin, mirip bangkai tikus,kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.

Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.

Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!

Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.

Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.

Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.

“Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.

Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.

Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.”

Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.

Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.

Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.

Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.

Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.

Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.
Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.

“Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,

“Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”

Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.

“Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.

Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.”

Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat segala. Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang umur’.

“Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah untuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur. Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.

Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali.”

Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.

“Puasa?”
“Ya!”
“Senin-Kamis?”

“Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.

Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.”

Lagi-lagi,aku manggut-manggut.

Tak asing dengan teori ini.

“Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.

Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat,nggak usahlah. Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.

Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.

Penyakit apapun itu! Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.

Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada itu.”

Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.

“Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.

Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.

Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”

Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disangoni berbagai macam jenis obat pun keliru.

Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada ?;kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.

Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.

Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.

“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.

Dan jujur saja, aku pulang dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan saudara-saudaranya.

Terima kasih Pak Paulus***

Kadipiro Yogyakarta, 2016

( Nardi Wijaya - Sang Pemimpi)
Sumber by : Atlantis Indonesia***

Selasa, 05 September 2017

The Other by Ali Antoni

Seperti biasa, kita pakai status ini saja buat belajar bersama. Biar ndak kebanyakan postingan. Malam ini kita coba buka ttg Rohingnya dr sudut pandang yg berbeda dgn siang, atau dgn yg biasa sy tulis.

Kalau berdasarkan keilmuan, saya ttp meyakini bahwa tragedi Rohingnya adalah perkara the other, dia berbeda dengan kita (bg warga Myanmar yg lain).

Penentu beda itu bisa agama, bisa ras, bisa bahasa, dsb.

Faktor adanya kandungan minyak, dan sda lain, itu sbg bonus tambahan adanya konflik.

Jika di bawah tanah mrk hanya batu, ttp konflik terjadi.

Karena Rohingnya beda.

Hal ini terjadi juga di Palestina, Papua dan bbrp tempat lainnya.

Lantas apa ada solusinya?

Ada, pertama mrk warga Rohingnya hrs punya negara sendiri. Merdeka spt Timor Leste.

Atau angkat kaki dr sana.

Hanya itu saja, selama mrk masih disana dan tdk punya negara sendiri, selama itu pula mrk diinjak2 diusir2 spt Syiah Sampang, atau Adam dan Hawa dr surga.

Karena Adam berasal dr tanah, beda dgn makhluk surga lainnya, nar dan nur.

Sontak seluruh warga surga protes ketika Adam jadi.

Karena Adam beda.

The other.

Hrs ada masalah!!!!

Spt keturunan Arab dan China di sini, tdk sedikit yg tak suka pd turunan dua etnis ini.

Mau lulusan apa pun, ttp mrk yg tak suka pada keturunan Arab dan China selalu ada.

Krn Arab dan China the Other di sini.

Spt kasus Madura dan Sampit.

Madura the other bg warga lokal. Perkara Madura menguasai pasar modal di sana, itu bumbunya.

Satu lg, kasus mertua vs menantu. Banyak konflik, itu pun krn mrk banyak yg menganggap the other, bukan orang dr keluarga kita, diam2 di bawah sadarnya spt itu.

Lantas bgmn mengatasi konflik identitas ini?

Jawabannya simpel : enggak bisa!!!

Konflik2 ini hrs terjadi, salah satu syarat api yg hrs trus nyala di bumi.

Lalu bgmana klo kita yg mengalami konflik tersebut?

Jawabannya :

1. Lakukan negoisasi
2. Jk tak bisa negoisasi, terpaksa lakukan subversi, bisa lewat jalan dominasi, atau berstrategi..

Kalau masih mau diteruskan ya bersiasatlah, apapun itu....

Sebab perkara konflik identitas ini spt kita menyatukan lagi keramik yg pecah.

Jk bisa, tetap ada retakan dimana2.

##