Senin, 25 September 2017

Rayuan Pulau Kelapa

Sekitar tahun 90-an saya melancong nengok kawan saya Roem Topatimasang melintas dan tinggal sementara waktu di Pulau Kei Maluku Tenggara, yang jaman dulu dikenal penghasil Kopra. setelah pulang Jogja, Cak Nun saya kasih oleh-oleh cerita dan dia tulis di Harian Surya, koran, satu-satunya selain Suara Karya yang pada saat itu sampai di Pulau Kei

Sunyi Kopra di Pulau Kei

SEJAK dulu di tempat kami tanaman kelapa sudah menjadi tanaman perdagangan utama rakyat. Namun anehnya, saat ini justru sangat berkurangperhatian orang terhadap peremajaan tanaman kelapa, sehingga lama-lama produksi kopra menurun. Saya heran. Semula saya menyangka para petani kopra ini pemalas, tetapi kemudian saya ketahui tidak...,” tulis seorang sahabat dari Pulau Kei, Maluku, yang kemudian menuturkan hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya terhadap alasan sikap para petani di sana.

Kata “kopra” membuat saya terasing. Saya kenal kata itu terutama ketika belajar Ilmu Bumi di Sekolah Dasar. Selebihnya saya “buta huruf”. Apa itu kopra? Kalau kopral saya lebih kenal dan terkadang berurusan. Kalau keproh itu kea- daan badan hasil mandi setahun sekali pada awal Suro. Kalau koprol itu kebiasaan saya sejak kecil sebagai olahragawan, juga ketika rakyat dilatih perang menjelang revolusi ‘65 dan saya ikut latihan tiarap dan teknik koprol.

Akan tetapi, mungkin kita bisa bicara dulu tentang “rakyat malas”.

Saya punya teman penyair yang langsung naik pitam kalau mendengar atau membaca tulisan yang menuduh rakyat kita malas. Terutama orang Jawa: itu yang paling sering dituduh malas. Utamanya lagi Jawa Tengah. Kerja memperbaiki jalan, datang pukul sepuluh pagi, kerja lamban beberapa jam, diselingi duduk berjongkok sambil merokok baas buus, meskipun kalau ditanya ternyata punya enam anak.

Para kaum progresif yang mendambakan efektivitas dan percepatan tinggi pembangunan selalu getol menuduh rakyat malas. Golongan intelektual juga memberi stabilo untuk menegaskan penilaian tentang kemalasan rakyat. Pokoknya, rakyat itu—di mata pendekar-pendekar modernisme—tampak malas, bodoh, statis, naif, dan tidak potensial terhadap kemajuan dan lepas landas.

Maka, televisi mengajari cara bercocok tanam atau mengurus apotek hidup. Pokoknya, ahli pertanian mengajari petani. Dan, koran-koran juga kalau membutuhkan pendapat tentang pertanian, tidak pernah mewawancarai petani karena hanya percaya kepada pakar pertanian. Kasihan rakyat, tubuh penuh lumpur, keringat terperas selaut, ratusan tahun lamanya, tidak pernah dianggap sebagai subjek pertanian. Pendek kata, dalam alam modernisasi ini rakyat tidak dipercayai, dianggap bodoh, tidak mampu, lemah, malas, dan sebagainya.

“Siapa omong bahwa rakyat kita malas?” penyair saya itu berang. “Sejak pukul satu lewat tengah malam, ibu-ibu di Srandakan, Bantul, sudah menyiapkan dagangannya yang kemudian mereka panggul di punggung lalu jalan kaki dua puluh kilometer ke Pasar Kota Yogya, berjualan sampai jauh siang untuk memperoleh seribu-dua ribu rupiah. Orang-orang perkasa semacam ini dituduh malas oleh orang-orang yang kerjanya duduk di kursi menghadapi meja, memangku sekretaris, dan mengetik satu jam dalam sehari dan memperoleh ratusan juta rupiah...”

Tentu saja saya yang bagian ngerem-erem hatinya.

Ya, pokoknya manusia itu ada yang rajin, ada yang malas. Kalau yang terjadi adalah gejala kemalasan sosiologis, barangkali ada mekanisme atau pola sistem yang menjadi sumbernya. Para penyembuh korban narkotika di pesantren lama-lama bisa malas menangani pasien-pasiennya dari kota dan menggerutu, “Mereka merusak generasi muda, kita yang harus menyembuhkannya, sambil mereka menuding-nuding bahwa kita ini orang tradisional, orang kuno, tidak modern!”

Kaum petani kopra di Pulau Kei, Maluku, juga menjadi malas meremajakan usaha ekonomi kopranya karena suatu alasan yang berasal dari sistem makro, ketika lokus kegiatan ekonomi mereka hanya terletak sebagai pelengkap penderita.

Sahabat kita itu mendapatkan jawabannya dari sejumlah petani: “Untuk apa saya meremajakan kelapa kalau hanya akan merugi? Mekanisme pasaran kopra tidak menentu dan selalu cenderung merugikan petani. Untuk menanam kelapa butuh waktu sangat lama, perawatannya makan biaya. Jadi, untuk apa kami bengong menunggu saat-saat rugi? Jadi, lebih baik kami menanam jenis tanaman lain yang mungkin menguntungkan, sementara tenaga kami bisa juga dihemat untuk mengerjakan usaha-usaha sampingan yang lain...”

Tidak usah menjadi sarjana ekonomi untuk memiliki kesanggupan mengantisipasi komoditas apa yang sebenarnya nanti menguntungkan. Secara alamiah mereka juga mengerti bahwa semestinya mereka bertanya kepada Badan Tata Niaga Kopra yang seharusnya berkewajiban melindungi para petani. Sederhana saja: petani itu rakyat, rakyat itu pemegang kewenangan tertinggi atas Tanah Air, sehingga kepada kepentingan merekalah segala langkah pembangunan ini sepantasnya diarahkan.

Akan tetapi, sudahkah, atau akankah, badan tata niaga yang terdiri atas unsur pemerintah dan asosiasi pengusaha kopra itu mengorientasikan diri kepada kaum petani?

Saudara-Saudara, inilah jenis pertanyaan naif seorang manusia agraris bodoh macam saya kepada manusia-manusia modern kapitalis yang tidak bodoh dalam menyerap dan mengisap apa saja untuk keuntungan primordial dagangnya. “Kepintaran manusia adalah kebodohan dalam memproses diri menjadi manusia.”

Akan tetapi, kebodohan petani kopra adalah apabila mereka menanam kopra. Berbeda dengan sarjana pertanian yang tidak akan bercocok tanam, melainkan menjadi raja-raja atau punggawa dari kaveling-kaveling kerajaan pertanian tempat petani menjadi kawula.

Petani adalah objek pertanian, pakar pertanian adalah subjek utama pertanian, meskipun mereka tidak bisa membedakan antara nangka dan cempedak. Sarjana pertanian adalah aktor utama urusan pertanian, meskipun tangan mereka belum pernah memegang ani-ani atau sabit.

Sudahkah badan atau lembaga kopra itu mewakili suara petani? Adakah kepentingan petani hadir sebagai bagian dari negosiasi tatkala harga dan mekanisme pasar kopra ditentukan?

Akan tetapi, para petani kopra di Pulau Kei, Maluku, tidak bisa menunggu datangnya jawaban atas pertanyaan semacam itu baru kemudian makan siang bersama sanak familinya. Sekarang juga mereka harus makan, beli sabun cuci, dan membersihkan WC. Tak bisa menunggu hasil perjuangan nasional. Maka, mereka harus kerja keras sekarang juga: berangkat kerja ke ladang dari pukul enam pagi hingga senja menjelang. Supaya, dalam seminar-seminar nasional dan internasional mereka dituduh bodoh dan pemalas. Sementara, sebagian diberi kostum sebagai pemberontak atau anggota bekas partai terlarang—yakni ketika mereka melakukan hal kecil yang hukumnya agak “haram” secara politik, yakni “mempertanyakan kebijakan”.[]

Emha Ainun Nadjib
Harian Surya, Senin 11 Januari 1993
Doc.PROGRESS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar