Rabu, 27 Mei 2020

67TahunCakNun

Kado buat Sahan
#67tahunCN

Sebelum Tuan
diri ini hanya berupa
anai anai ditumbuk angin
utara selatan dikira barat
api duri dikira emas

Sampai puisi datang
Tuan beri segenggam
mantra Umbu berlanjut
masuk tersesap
membuka tabir hijab
dan nyangkut...

Mengeram, 
menyarang,
larut dalam darah
nyatu dalam tapak
dan larut dalam nafas

Layar ini sudah terkembang
sejak sauh awal kali diangkat
laju ombak ditembus
kadang pelan
kadang sesak
kadang cemas
kadang hening

Lebihnya hanya sunyi 
di sabhana ini...

*Kasihan, 27 Mei 2020.

Kamis, 21 Mei 2020

The Power of Proses #10

The Power of Proses #10

"Lho! kong mamang masih hirup, cena kamari nges di cincang2 jeng tukang begal motor titikungan caket tung2 lembur kadu kampeng?"

Cecar berbagai pertanyaan yg datang begitu sy ngampung ke lembur kadu jeruk, yg masuk wilayah kec menes kab pandeglang yg berbatasan langsung dengan kab serang. Dan gak lama berlangsung, pedukuhan kecil di lereng gunung sekitar 50kk, langsung keluar semua, termasuk bu lurah Rodiah, satu2nya kepala desa wanita di kab pandeglang. 

Karena binggung, seperti biasa saya langsung pesen kopi dan ambil satu batang rokok, satu dua hisapan untuk menenangkan diri baru mulai bertanya, ayak naon? Ada apa? Setelah cerita semua baru ngeh saya,, ohh!! Sekitar tahun 2000an, di sepanjang jalur pesisir pantai anyer - labuhan lagi rawan terorr pembegalan motor di tengah jalan. 

Setelah mendengar cerita panjang semua pelanggan2 saya cuma bilang gak tau? Dan gak ngerti apa2, karena memang gak mengalami peristiwa seperti yg di ceritakan. Tapi semakin sy ngomong gak tau apa2, banyak orang2 yg punya persepsi yg saktilah, yg hebatlah, orang jawa? Dan sy cuma bisa diam gak mungkin bisa lagi menjelaskan. 

Tetapi sy punya keuntungan "steril", setiap kali masuk ke wilayah yg rawan itu jadi aman. Jadi sebenarnya kalau kita bicara terror, horror, itu sebenarnya sudah sering terjadi dalam proses kehidupan sehari2, meski secara konteksnya beda tapi rasa kegelisahanya sama. Peristiwa horror dan rasa was2 inj juga di alami ketika peristiwa tsunami aceh 2006/2007 dulu. Letak Geografis Anyer yg di pesisir pantai yg menjadi tempat tinggal saat berita isyu tsunami susulan di sepanjang retakan lempeng sunda sedang ramai2nya di media dan berita semua tv swasta. 

Pernah saat itu mengalami simulasi pelatihan penanggulangan tindakan preventif pasca tsunami, suasana di pesisir pantai pasti merasakan dampak sosial keteganggan ini.  Belum lagi banyaknya industri berat pabrik di sepanjang jalan Cilegon - Anyer yg katanya dampaknya radiasinya bisa sampai Jakarta. Intinya semua informasi saat itu simpang siur banyak yg membuat tegang dan gak tenang yg lumayan mengganggu aktifitas harian. 

Setiap individu akan mendambakan ketenangan, kesuksesan dalam hidup, entah itu mencapai impian yang diinginkan seperti membeli mobil, rumah,atau membahagiakan orang tua, anak2 dan keluarga. 

Namun kesuksesan itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan saja, melainkan kesuksesan itu harus dibarengin dengan kerja keras dan do'a untuk meraihnya.

Konfik dan problem keteganggan dalam menjalani proses panjangnya wohhhh....gak bisa di ungkapkan dengan kata2, bikin sesak nafas di dada tenan rasanya. 

"Jihad perang paling besar itu bukanlah melawan orang lain, tapi musuh yg paling besar itu adalah ego di dalam diri sendiri!!"

Jangan pernah menyerah dan putus asa , teruslah berjuang dan berusaha sekuat tenaga, karena kamu akan merasakan indahnya kesuksesan dari hasil kerja kerasmu dan jangan lupa berdoa, semangat trs cek niat.

Karena yg Indah dan asyik di kenang dan di ceritakan itu masa2 susah, situasi yg sulit terjepit seolah2 sudah hbs harapan, tetapi dengan kekuatan dan pertolongan kebesaran serta kemurahanNYA kita bisa melampauinya. 

#CatatanSebuahProses \M/
WEKA Express 1989 -2020***

The Power of Proses #9

The Power of Proses #9

"Kalau kamu mau sukses dan punya kans untuk bisa lebih berkembang, mesti harus berani punya sikap dan tampil beda, keluar dari konvensional, jg cari yg aman dan mapan!!"

Pepatah jawa mengatakan : "ojo ubyak-ubyuk koyo manuk empret, jadilah burung elang, rajawali terbang ngembara kemana2 sendiri". Prinsip ini menjadi sikap dasar saya mulai buka usaha WEKA di kampung halaman. 

Selama 20th diperantauan sy banyak merekam dan mengamati setiap lewat di sepanjang jalan, di pasar2, di desa dan kota terus saya save dan simpan sebagai Investasi awal untuk menambah sugesti, motivasi dan afirmasi agar supaya energi hidup berjalan alami. Siapa tau suatu saat nanti bisa praktekin sendiri. 

Karena saya tau diri, ngukur kemampuan dan kekuatan modal yg di miliki sy mulai gerilya. Ibarat lampu listrik cuma 5watt, cuma mendrip2 sangat jauh dari lampu usaha yg lain dan sudah dulu berjalan yg sangat terang benderang, WEKA pilih ambil celah segment buka sampai malam. Ketika malam lampu2 yg terang benderang satu persatu mulai padam, otomatis lampu sy yg cuma 5watt jadi kelihatan. 

Dengan modal semangat sabar tekun telaten WEKA mulai buka habis subuh tutup jam 12 malam. Sy yg dasarnya hobbi melek malem, kebiasaan dari Anyer Banten, dan gak biasa tidur sore di bawah jam 12, seperti menemukan muara usaha yg gak jauh dr pola kebiasaan sehari2, malah dapat bonus bisa trs transaksi. 

Biasa setiap sesuatu yg baru selalu ada pro dan kontra, yg cocok dan seneng gak perlu di jelasin dan yg gak selaras dan gak suka juga gak butuh dijelaskan, dua2nya hanya buang2 energi dan sia2 saja, eman2 waktu bisa di manfaatin buat cari kesibukan yg lain.

Pola ini bukan pola baru gak di rantau apalagi di kampung halaman sendiri, lumayan sekali kalau sampai larut terbawa alur ritme polanya. 

Orang yg sudah cocok, serasi, selaras dengan kita gak di beri penjelasanpun akan baik2 saja, dan sebaliknya yg gak senada seirama yg akan terus fals dan sumbang nadanya. Hal ini sudah biasa maka mesti bisa jaga jarak untuk mencari titik presisi demi keseimbangan. Jangan sampai gagal fokus ke usaha karena hembusan angin yg memang sdh seyogyanya. 

Dari dulu, dari gemar baca buku dan sinau seketemunya sy banyak akal selalu di karuniai kaya akan sikap hidup dan cakrawala sudut pandang luas. Pernah di tegor orang "nyambut gawe ojo ngoyo, tor2an, awakke yo di openi!?", saya balas dengan senyun manis saja!!. 

Dan pikiranku melayang ke sopir kondektur bis malam, satpam dan karyawan di pabrik yg jaga dan kena sip malam, pasar2 di kota yg full 24jam, tapi hal ini gak bisa kuceritakan pada mereka yg tidak pernah keluar kota, jauh pernah tinggal di perantauan. Bahkan pernah ku shareng ke teman yg pernah diperantauanpun gak semua juga paham, mereka sdh terlalu asyik pergi kerja pagi pulang masuk rumah dan istirahat. 

Mungkin otak dan cara berfikirku yg salah!? 

"Tapi Gpp_lah, karena sadar dgn konsep sedari awal untuk bisa berkembang meski jeli dan cerdas kreatif melihat celah dan peluang!!"

Jujur mereka semua menang segalanya, modal, pengalaman, jam terbang, jaringan, tetapi saya punya modal nyali berani nekad!! 

Kopi dan gorengan, nyeduh mie instan dan tambal ban, serta terapi akupuntur selama 6bln menjadi catatan proses WEKA di semester pertama sebelum merambah ke dropping ke toko2_di semester berikutnya yg otomatis sy membutuhkan armada buat transportasi. 

#CatatanSebuahProses \M/
WEKA Express 2009 - 2020**

The Power of Proses #8

The Power of Proses #8

"Astrea grand '93 seharga, 3.4jt adalah awal prestasi yg sekaligus memupuk rasa percaya diri, meskipun itu sebenarnya alat, sarana untuk mempermudah transportasi!!"

Meski cuma mengendarai "pit onthel", tetapi 25 - 30kilo lebih sanggup kutempuh, saat itu. Karena itu satu2nya alat transportasi yg di miliki, dan rasanya juga asyik ajah goes sepeda berjam2, apalagi sambil balapan dhisek2an cepet2an pulang, dan nanti yg pulang duluan nunggu di base came warung kopi langganan.

Jujur saja kala itu untuk bicara motor, beneran belum sedikitpun terlintas di angan, mbayangin saja gak pernah, era 90an kala itu motor belum seperti jaman sekarang. Pernah suatu waktu sy cuma ndemek, megang joknya doang sudah di pelototin ma bapak "ora nduwe kebo rasah demek motor!!'

Kuno! Mungkin anak2 sekarang bilangnya, tetapi di jaman itu kasta dan status sosial masyarakat bisa di nilai dari penampilan dan cara bicaranya, kalau orang dengan pakaian bagus, mahal dan perlente sudah pasti anak orang yg mampu. Feodalisme di era itu mssih sangat kental, untuk ngomong dan bicara jelas belum sebebas jaman sekarang. 

Beda sekali dengan situasi saat ini, kita akan sangat sulit sekali mengidentifikasi teman dan kawan yg kita kenal di perantauan, kecuali sudah akrab dan sering shareng open, terbuka. Melas pokoke yg sekaligus di kemas dalam strategi bakulan ider keliling kampung, dan sy di untungkan dengan tradisi jawa yg unggah ungguh perkewuh serta penuh sopan santun. 

"Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu ternyata cuma ada di bangku sekolah!!"

Itulah kesan pertama saya masuk betawi, sy cuma benggong dan mlongo ajah, soalnya orang betawi ngomongnya sangat cepat, saya mikir ngijrah dulu maksudnya apa, baru ngeh,, oohh githu!! Belum lagi rata2 rasa kepercayaan diri masyarakat pinggiran kota besar pede sekali, kontras dgn kultur hidup di kampung. 

"Budaya dan pola itu pertama kali ku amati dan terus kupelajari di awal2 tinggal di perantauan". 

Padahal jujur saya sebenarnya sudah bisa mengukur, menyelami potensi yg sebenarnya seberapa, aslinya gak ada apa2nya dengan rata2 kawan di kampung, tapi yah itu tadi, sudah minder dulu, dan kalah sebelum bertarung, meski secara skill dan potensi sy unggul jauh. Pengalaman pertama ini terus kujadikan pelajaran dan bekal kehidupan.

Mental celana jeans dan jam tangan sudah menjadi kebanggaan jelas gak bisa di samakan  dgn situasi sekarang. Proses paling ceipat maendapatkan "tajin" akan sangat jauh dengan pola mendapatkan cepat saji serba instan. 

Hal ini jelas menjadi kegelisahan untuk mentransformasikan ke anak2, meskipun jelas anak2 gak akan bisa merasakan proses orang tua, karena otomatis fasilitas yg di peroleh orang tua otomatis akan di nikmati anak2nya. 

Pernah suatu waktu seminggu sebelum puasa jalan bareng keluarga ke Madiun, sepanjang perjalanan terjadi obrolan santai, sambil menikmati perjalanan bersama anak2. Istri nyletuk ngomong biasa seperti orang tua ke anaknya, nasehati ini itu dan lain sebagainya seolah2 tahu keadaan masa depan anak2nya, kemudian saya nyetuk gini ke istri : "Buk, lha wong awak'e dewe naik mobil apik bawa duit bareng anak2 saat ini lho apa pernah terpikirkan, apa pernah terbayangkan?!".

Istri diam!! 

Tak ada yg gak mungkin dalam dunia ini, tugas kita cuma ikhtiar, usaha menikmati hobbi dan profesi bidang masing2, adapun hasil akhir itu bukan wenang kita, semua mutlak hak Tuhan!!

Dan, kita semua sudah gugur kewajiban kalau sudah menjalankan hak serta kewajiban sebagai abdi, hamba bagi Tuhan Sang Maha Pencipta. "Jodoh, pati, rejeki Gusti kabeh seng maringi". 

#CatatanSebuahProses \M/
WEKA Express 1989 -2020***

The Power of Proses #7

The Power of Proses #7

"Kapan? saya bisa punya usaha sendiri, yang duit/uang mau nyamperin ke saya sendiri?!'

Dialog imajiner saya sendiri, waktu berangkat bakulan pada sebuah gubuk dengan atap kirai di tengah hutan sebelum nyampai kampung tujuan tapi hujan sudah keburu datang terpaksa berteduh, pikiran, angan2 melayang. 

Bukan seperti usaha yg selama ini, untuk menjemput rejeki saya mesti hrs mendatangi rumah ke rumah, kampung ke kampung, desa ke desa kalau musim hujan tiba banyak kendala di lapangan, jalan gunung naik turun, licin belum lagi tanah merah yg lengket. 

Bukan karena kurang bersyukur, tapi kegelisahanku ini terjadi secara alami dan secara naluri usaha mesti hrs berubah. Afirmasi sekitar 10th di Anyer kala itu semakin membuat malam2ku gelisah, tapi mesti mulai dari mana, saya benar2 gak tau jawabnya? 

Ngelmu iku, kelakone kanti laku.

"SUKSES, Tak butuh orang yang pintar, sukses itu hanya butuh orang yang tekun dan telaten, yang bisa fokus, sabar, tekun, telaten dan konsisten pada apa yang di kuasai sehingga bisa menjadi hobbi dan bisa nguripi". 

Secara pengetahuan dan logika pemikiran ini saya sangat paham, jelas dan detail sekali kata demi kata yg menjadi kalimat sugesti dan motivasi itu, tapi buat saya implementasikan dalam kehidupan sehari2, susahnya setengah mati, ketika anak nangis minta susu?, dan istri terpaksa "berbohong" ke tukang warung harus ngutang dgn alasan uang ketinggalan itu sudah cukup bukti bagi sy sebagai bpk, pemimpin dalam rumah tangga, meski sorenya pulang jualan langsung di bayar ke warung lagi. 

Ini pasti ada yg salah? ini pasti ada yg gak beres? dan ini jelas gak bener entah pada niatku, diriku, usahaku, tempat lokasi tinggalku dan semua itu semakin membuatku gelisah? 

Jujur meski cukup lama merantau, sampai total 20th kesadarannku tetap pengen pulang kampung? Tapi modalku apa? Meski mulai dari mana, hingga di medio 2007 itu saya buka toko WEKA, dengan modal awal 500an sisa dari pulang kampung pasca banjir Ngawi yg lumayan besar itu, karena Lebaran sy gak bisa pulang, karena keadaan, uang!!.

"Selama total 20th merantau itu 2X sy gak bisa pulang mudik Lebaran di kampung halaman, rasanya mbrebes mili tenan. Lebay, perasaanku beneran campur aduk gak karu2an!!"

Alhamdulillah sejak ada usaha tambahan, warung kecil2an dan sy tetap terus rutin juga bakulan pelan2 kehidupan mulai nyaman, agak mendinganlah, dari pada proses sebelumnya. Apalagi ada tukang Bata merah orang dari Bloro yg minta belanja harian kiriman. 

Waktu terus berjalan, celah peluang untuk WEKA berkembang mulai terbaca polanya, pilihannya mulai dilema, karena secara naluri saya teguh pilih untuk usaha di kampung. 

Hingga pada suatu malam dapat telpon dari kampung bapak sakit. Meski usaha sudah jalan tetap saja kehidupan masih pas2an, sy belum bisa menabung. Hampir seminggu penuh itu setiap malam selalu dapat telpon dari kampung, ketika bapak kambuh sakit. 

Hidup di perantauan makin gak tenang, pikiran fokus makin pecah, dan otomatis hidup dalam kebinggungan, kebimbangan itu makin membuatku semakin resah dan tambah gelisah. Hingga kesabaranku memuncak dan saya nekad memutuskan bali kampung!! 

Dengan mobil balen barang dari pasar buah cibitung di tahun 2009, saya pulkam ke Ngawi. Dengan niat mempertahankan spirit dan mental usaha di rantau saya mencoba nasib dan hari baru di kampung halaman. 

Hal tersulit untuk memutuskan pulkam adalah bagaimana cara mindset dan mental saya pulkam bukan sebagai pecundang tp pejuang!! 

#CatatanSebuahProses \M/
WEKA Express 1989 - 2020**

The Power of Proses #6

The Power of Proses #6

Kesuksesan sejati adalah sejauh mana engkau bisa memaksimalkan potensi apapun yg di miliki dengan sabar, tekun, tlaten apapun hasil akhirnya. Parameter sebuah sukses bukan cuma di hasil akhir, hasil itu cuma efeck dari menikmati proses dengan kesungguh2an. 

Tidak mungkin hidupnya akan payah apalagi susah, jikapun terjadi, prosesnya benar itu cuma soal waktu aja, kecuali ada niat yg salah.

Kalau selama hidup tidak pernah mengalami pait, cari duit sulit, gak mengalami caci maki, iri dengki serta berbagai fitnah kehidupan yg pada dasarnya adalah ladang tempat bercocok tanam, kapan akan bisa menuai masa panen? Bagaimana bisa hati2 dalam sikap hidup? Bagaimana bisa mensyukuri seberapapun rejeki hasil dari peras keringat sendiri? Dan banyak sekali hikmah yg bisa kita petik sebagai buah dari laku pengalaman kehidupan. Orang tua biasa menyebutnya "kawahcondrodimuko".

Rasanya hal ini sulit terjadi, tumbuh kesadaran, sikap kehati2an, tak mudah melampiaskan kesenangan, karena yg namanya hidup akan selalu terus butuh dinamika keseimbangan. Kecuali jika dapat warisan ini beda lagi, karena fiil ruh dari esensi proses ini gak bisa di beli. 

Terkadang hidup ini unik, di buru2, di kejar2 jumpalitan koyo "manuk branjangan", malah lepas, gak dapet dan njlalah tak kebagian jatah. Tetapi yg kerjanya "ora ngawakki", ora rekoso, ora mbanting tulang, boro2 sirah ngo sikil, sikil ngo sirah,, orah!!, yo ora adus kringet mrunthus kok malah berkah, ujug2 semua urusan selesai kabeh, utang2 lunas, tabungan yo ra sithik, mobil yo apik, semua ini sy mengalami. 

Tetapi yg namanya hidup itu parallel, sambung menyambung gak potong kompas berdiri sendiri satu dengan yg lain gak ada mata rantai. Yang namanya proses itu ajeg, lekken, tekun terus istiqomah ora pedot2, tidak putus2 dan gak ada kamus bosan. 

Mungkin pernah tau anatomi tubuh manusia, dengan seluruh sel dan jaringan syarat di sekujur badan itu selalu saling berkaitan. Dengan dominasi syarat di telapak kaki dan anatomi tubuh bagian kepala, teori akupuntur klasik. Mikro cismos, makro cosmosnya termasuk semesta dan gen leluhur nenek moyangnya, makanya secara logika doa ayah ibuk orang tua kita itu besar sekali tuahnya. 

Seperti waktu kecil dulu pertama kali belajar huruf2 dan angka2, betapa rumit dan njlimetnya di awal prosesnya, karena diulang2 terus, diulang2 lagi, diulang2 siang sore malam sampe pagi, sekarang kita semua sudah lancar baca dan tulis cuma dengan melihat sepintas saja dengan sangat cepat sdh paham semua. 

Dan kita sering mudah melupakan proses dasar lompatan perubahan yg terus terjadi terus menerus di segala bidang dan terjadi intens terus sepanjang tahun, bahkan sepanjang usia kehidupan wajib untuk terus sinau dan belajar menuntut ilmu. 

"Unikya, banyak hal yang dulu begitu sulit didapatkan, akhirnys kesampaian ketika lupa!!"

Ritme, tempo dinamika hidup mesti trs dijaga!! 

#CatatanSebuahProses \M/
WEKA Express 1989 - 2020***

The Power of Proses #5

The Power of Proses #5

Dijual murah gak payu, dijual mahal malah laku, pengalaman fenomenal paling gak masuk akal itu sempat mewarnai proses panjang kehidupanku yg banyak memberi warna warni dinamika mindset pola pikir usahaku. 

Salah satu bukti paling kentara tanda2 kalau tidak bersyukur adalah malas. Padahal selama proses panjang sy tidak punya rasa malas, tapi kenapa wes tak "rewangi kerjo sikil ngo sirah sirah ngo sikil", "budal isuk muleh begi" tetap wau hidupku pas2san, boro2 buat nabung buat biaya hidup harian saja wes klimpungan. 

Kegelisahan itu terus menghantui sepanjang waktu 20th diperantauan. "Opo wae omongane uwong di lakoni", penting ora nglanggar aturane negoro, ora nerak paugerane agomo. Poso mutih, ngrowot, senin kemis, poso weton sampai melek bengi trutukan turut pinggir kali, pinggir laut kabeh wes tak enyangi. Mulyo gelem wati yo wani tinimbang urip wes nibo nangi yoh iseh ngene2iki wae, hehe. 

Tinggal dalam lingkungan kontrakan yg rata2 guru pns, serta pegawai di proyek candra asri, pisita, mambruk, marbella, asahi dan krakatau steel yg berjejer di sepanjang kawasan industri Cilegon - Anyer, banyak memberi wawasan serta warna dinamika hidup yg plural. Belum lagi asal daerah mulai sunda, jawa, padang, sulawesi, ntt dan sumatra bener2 menjadi guru pengalaman yg berhaga paiitnya buat kehidupan saat itu. Hanya saya yg usaha!! 

Bagaimana tidak? Setiap tanggal muda mereka selalu borong ke Mall dan pulang selalu saja nenteng tas putih besar yg banyak setiap buka kunci "klotek", mau masuk rumah, sungguh menjadi penderitaan buat istriku yg cuma bisa ngintip dari ordeng jendela, sambil pikiran nglantur terbang kemana2. Dan, malemnya selalu cerita dan nuntut meski secara halus ke saya ; "kapan pak'e ais kita bisa belanja bawa tas gede seperti mereka?".

Pertanyaan itu gak pernah bs saya jawab!? Karena emang bukan untuk dijawab dengan kata, paling cuma bisa nglirik ke isi dompet kulit warna hitam yg isinya gak seberapa!!

Di angan sudah jelas tergambar : mana buat belanja, beras susu anak?, mana jatah buat belanja dagangan yg sudah mau habis? mana yg buat bayar uang kontrakan yg sudah mau jatuh tempo? mana buat bsyar listrik yg sudah lewat tgl 20? Dan banyak pertanyaan lain yg gak di undang muncul di depan angan pikiran. 

Satu yg mebuat saya kaya saat itu hanyalah kominitas, kawan dan teman yg sangat banyak hingga banyak saudara, meski tinggal di perantauan tetapi bagiku serasa berada dikampung halaman. Tapi untuk kegiatan sosial kemasyarakatan kemasyarakatan dan peegaulan saya palung jagonya. 

Selain bantu teman di Bakti sosial akupuntur setiap selasa dan kamis sore - malam, saya juga aktif untuk kegiatan komunitas catur percasi di Anyer, dan kontrakan saya sering jadi base camenya, maka jangan heran saben malam banyak berjejeran gelas kopi gratisan, dan itu terjadi berbulan2. Maka gak heran sy selalu terlubat untuk semua kegiatan catur kecamatan bahkan sampai porkab Serang. 

Banyak ilmu yg bisa saya petik dari hobi permainan bidak 32 biji dalam 64 petak tetapi sangat banyak variasi dan kombinasi pola yg tak mudah terbaca, menguasai pembukaan, penguasaan centrum di permainan tengah dan finishing di permainan akhir banyak sekali  memberikan pelajaran taktik dan strategi dan varian untuk pergaulan di komunitas Maiyah kedepanya, tak terpikirkan untuk pengrmbangan usaha saya WEKA Kedepannya, saat itu belum terbayangkan, semua nature. 

Belum lagi saya kenal "Agen Koran Anyer Asri Agency", Mas Didik orang dari wonosari Jogja yg sudah seperti keluarga  selain bisa memuaskan ambisi lama saya untuk belajar dan bisa baca2 banyak buku dan semua media. Maka tak ada satupun tulisan rutin Cak Nun yg terlewatkan di kolom rutin media harian Replubika, Kompas dan Majalah Tempo, Gatra semua menjadi oase dahaga niat hati sinau. 

Tak jarang saya ikut bantu kirim koran setiap pagi di sepanjang hotel dari Anyer sampai Carita Labuhan Pandeglang. Siangnya masih tetap aktifitas biasa bakulan cuma untuk nutup kebutuhan harian, meski cuma dapat uang sabun dari bantu ngirim koran sudah sangat senang bukan kepalang, karena orientasi investasi saya di proses itu bukan uang.

Yang ada dipikiranku saat itu saya harus sibuk, dan memanfaatkan di sela waktu untuk belajar terus sinau. Dan saya terus menunggu kapan punya moment dan ketemu timing waktu untuk Buka usaha, usaha dan usaha. 

Berpuluh2 tahun kutunggu2 terus kapan peluang itu meski secara kesadaran sudah ada tapi untuk merealisasikan butuh kesabaran. Padahal dunia yg selama ini yg saya geluti bakulan, untuk merubah arah dan mencari terobosan tak semudah membalikkan tangan. 

Hingga, akhirnya momentum itu tiba!! 

Pasca Banjir Ngawi 2007, setelah balik dari kampung dengan sisa uang 500ribu WEKA terlahir juga sebagai bayi baru di tahun itu. 

#CatatanSebuahProses \M/
WEKA Express 1989 - 2020***

The Power of Proses #4

The Power of Proses #4

"Mas besok2 sy jangan diajak ngobrol shareng diskusi lagi yg keq tadi, ngomongin duit ratusan juta 'koyo ndott ae', begitu kalimat nyocorku gak ketahan begitu sy diajak pulang!!"

Masih kuingat dan terekam sangat jelas mpe sekarang, peristiwa proses diperantauan disela2 aktifitas di Majlis Melek Malem di Anyer Banten, medio sekitar th 2000an.

Sejak mulai merintis usaha bakulan sekitar th '89 hingga 2009, belum pernah terjadi putaran uang nyampek ratusan juta dlm satu bulan, paling masih di kisaran 10jtan bahkan malah rata2 cenderung di angka 5jtaan. Era sekitar krisis '98 uang masih sangat beharga sekali nilainya. 

Uang kertas pecahan tertiggi masih 10ribu, harga rokok garpit, super, Samsoe masih dibawah seribu, sekitar 700-900an/bungkus. Harga BBM mengalami proses kenaikan dari 300-700-900 dan seribu sekian yg akhirnya menjatuhkan era Orba saat itu. Ongkos Bis ke Jakarta dari Ngawi - Madiun sekitar 5000an. Dan ongkos Angkot dari Bulan2 Bekasi ke Babelan, turun Warung Ayu sekitar 300an, sama awal ongkos angkot dari Cilegon - Anyer.

"Meskipun nilai uang masih kecil saat itu, setiap pulang dari rantau masih bisa di program untuk target hasil rupiahnya, gak seperti sekarang!?"

Misal untuk berangkat merantau monent ini sy target telur mlh dapet anak ayam, target anak ayam malahan dapet ayam Jago, tapi ya itu karena niat merantau mau usaha, cari hasil tau gak teman2, lebih dari 5th saya merasakan tidur di kontrakan samping kandang kambing. 

Balik ketema shareng malem itu sekitar th 2000an, bagaimana gak mumet ndasku, pecah poloku diajak ngobrol ngalorr - ngidull dengan BOSS2 yg biasa dapet tender Proyek perumahan, pemasangan instalansi Jaringan PLN yg sudah lintas antar pulau antar Propinsi. Saya seperti kambing congek yg cuma bisa "ndombllong doang", dan asyik dgn pikiran sendiri, mau nyrengkal asline tapi gak berani. 

Gak githu!! Setelah sekian lama sy nrocoss baru dibales temanku dlm perjalanan pulang sekitar jam 3mlm. Sesekali tour ke swasana baru Gpp, sopo tahu besok kita juga mengalami sendiri, "mungkin" kamu malah bisa melampau angka2 nominal Itu lanjutnya, kita jangan membatasi Rencana Tuhan sambungya. Saya cuma diam, mikir tenan, takut gak berani mengelak apalagi mengiyakan. 

Pernah juga suatu waktu saya di ajak ngopi di "Wisma Kompas Gramedia Karang Bolong", waktu itu ada tamu Supervisor Djarum dari Jakarta orang dari Kudus Jawa Tengah, saya di ajak gabung dan nibrung di situ. Karena di ceritakan latar belakang otodidak profesi bidang usahaku,oleh kawanku, lalu sy di cecar berbagai macam pertanyaan seperti wartawan oleh Spv Djarum itu? Ya, saya jawab dengan spontan dengan insting naluriku yg lebih banyak tumbuh dan berkembang di lapangan.

Satu kata yg masih kuingat dari orang itu "Sampeyan kelasnya sudah Supervisor ahli yg sangat detail dan jeli menguasai lapangan!!". Tahu gak, saat itu yah cuma berlalu begitu sajah karena kala itu saya beneran gak paham Supervisor itu apa?!, jiann apik tenan nek inget dan kelingan kisah proses panjang 20th di perantauan. Saat itu saya cuma bakulan titik. 

Dan baru medio sekitar tahun 2010an, setahun setelah saya pulkam buka WEKA, baru ngeh apa itu Supervisor, hehee. "Lak apik tho crito cah ndeso katrok seng ra tau makan bangku sekolahan". Dan gak sampe 2th omset WEKA kala itu sempat tembus 1 eM/bulan, omset ratusan juta itu menjadi hal yg biasa, meski mumet dan koplak polonya sama, karena usahaku saat itu semua dengan modal pinjaman. Dan baru sampai 5th usahaku jatuh terpuruk, menggelola aset dan uang banyak itu ternyata sangat tidak mudah!! 

Hampir 1 eM saya kelilit hutang, semua aset dan 2_mobil buat usaha serta 1 motor Beat hanyut terjual, utang masih menumpuk. Hari hariku serasa kiamat. Gelap sudah masa depan kehidupan, saya habis kala itu. 

Hitungan psikologi usaha 8th menekuni dunia usaha saya putus di tahun kelima, ibarat mobil mau menuju Jakarta baru nyampek Semarang sudah kehabisan bensin dan amunisi, maju terys remuk balik mundur hancur, simalakama.

"Medio sekitar thn 2014 - 2016, saya mulai aktif di SRC Comunity dan jadi Pengiat Simpul Waro Kaprawiran mewakili Ngawi, karena terdiri dari 4kora Madiun, Magetan, Ponorogo, Ngawi". 

Sebelumnya sekitar medio 2010an saya sering ke Mocopat Syafaat Jogja bareng temen Klaten yg kenal dari Anyer. Di tahun Itu juga saya ikut juga Silatnas Magelang dan pengalaman pribadi yg sangat monumental waktu ke Benawa Sekar 2014 Trowulan yg Sholawatan dalam linangan air hujan yg ingin kuulangi lagi swasana di Ikhtifalan Padhangmbulan tapi gak kesampaian, swasananya beda, gak sama. 

Hidup harus terus berjalan, apapun situasi dan kenyataan sedang terus saya perjuangkan untuk menemukan kesadaran, saya tanggung sendiri permasalahan, saya gak mau cari alasan sebagai kambing hitam. 

Saya lebih banyak diam, karena diamnya saja kala itu sudah banyak masalah, saya gak mau banyak omong karena akan nambah persoalan lagi yg baru, meski dikucilkan dari lingkungan. 

"Paitt, hidup menyandang pesakitan!!"

#CatatanSebuahProses \M/
Weka Expres 2009 - 2020"

The Power of Proses #3

The Power of Proses #3

Kembali membuka kisah lama, seperti mrengorek luka yg rasanya hingga kini masih terasa pedih dan nyeri di ulu hati. 

Tapi demi niat untuk berbagi spirit energi gpp mesti harus sy ceritakan ulang meski putus nyambung kenangan yg datang di angan2.

"Makrifat iku, blonjo sangu anak ora telat!!" 

Begitu pesan Mbahe yg hingga kini masih jelas kuingat, hingga menjadikan tunbuh rasa malu, isin ketika menghadapi titik2 masalah hidup terus sambat, paling poll bersandar sebentar di sini untuk ambil nafas : "menghibur diri dan terus membesarkanku hati!!". 

Seperti minum obat warung, analgesik itu sufatnya cuma pereda, belum menembus sampai symptom pokok permasalahan hidup, kalau gak cepet teruai dan tambah kusut otomatis hidup serasa saban hari kiamat. 

Dua hari ini sy agak serius grenengan sama siMbok, ngorek ngali kisah perjalanan panjang sejarah ortu dan simbahku bersama 6 saudara yg perempuan semua. Begitulah hidup selalu dalam kekurangan, kemiskinan untuk makan saja gak pernah kenyang, pasti sudah kebayang, jmn itu blm seperti sekarang. 

Tak puas hati terus kupancing2 lagi biar keluar kisah cerita kepahitan hidup yg bisa membuat ibu kuat dan berani menghadang jalan,, ehh malah gak ketekan karena keburu air mata yg berlinang mengenang masa kepahitan. 

Sy jadi iba, gak tega hati, ibuku satu2nya orang tua yg masih kupunya sedih nian tak terkira, apalagi ingat bapak yg sudah tenang di alam sana. Yang membuat orang2 dulu kuat itu rata2 mereka bisa melampaui masa2 sulit dan pahit yg sebenarnya mlh menempa mental karakternya bersama alam kehidupan. 

Gak dulu gak sekarang, yg namanya iri, dengki dan kecemburuan sosial itu sudah mengakar dan bersarang pada setiap duri manusia. Tinggal kitanya kuat menerima hantamanya atau menyerah pasrah pada keadaan. 

Selalu dan selalu, terus begitu!! 

Tiap orang sukses, setidaknya menurut saya, mereka "sekadar" menuturkan kisah hidupnya. 

Dan rumus mereka sama persis, ikut alur yg dikreasiNya..dan mengerjakan apa apa yg di dekatnya, di depan matanya, segala yang mungkin..yg bisa dikerjakannya.. 

Satu per satu ditekuninya. 
That's it. Itu "saja"

Simple?

*tidak punya rumus sukses yg njlimet!!

#CatatanProsesWekaExpress 89 - 2020*

The Power of Proses #2

The Power of Proses #2

Sejak kecil sy gak pernah punya cita2 bakulan, rata2 kebanyakan anak2 era 80an pengen jadi Pilot seperti pak Habibie, tapi kala itu sy punya cita2 sederhana jadi Guru, biar bs bg ilmu. 

Dengan Tiket Bis Tashima Rp.4500 terpaksa kutinggalkan kampung halaman karena keinginan sekolah gak kesampaian, bahkan ijazahku gak sempat kuurusi waktu itu, pikiranku sudah kalut dulu menatap hariku. 

Hari perdana, kedua, ketiga bakulan kulewati dengan lumayan mumet ndasku, sampai waktu adzan magrib tiba saya belum juga pulang, akhirnya disusul, dicari bapakku di ajak pulang : "Wes Magrib muleh, besok ditutukne eneh bakule!!" begitu yg masih terekam jelas di benakku.

Saat hari pertama itu sebenarnya tinggal 4biji, dan hari kedua tinggal 2biji, tapi pengenku saat itu harus habis, dan itu bisa terjadi di hari ketiga dst. Kesadaran itu terjadi secara alami gak pernah kursus dan tak pernah ikut seminar, satu2nya yg membuat semangat hanyalah gojlokan sesama teman2.

Pernah suatu ketika waktu balik ke Jakarta kehabisan ongkos, untuk naik angkot nego dulu ama abang sopir : "Bang ini lg kehabisan uang ikut naik angkot yah, ini cm bs bayar dengan sisa satu bungkus rokok, itupun saya lakukan sebelum naik kendaraan!!",  akhirnya di ajak naik mpe tujuan dan rokok di udut bareng sepanjang perjalanan. 

"Selalu ada kemudahan bahkan barengan dalam setiap kesulitan, begitu Pesan Mbahe yg terus di ulang2 setiap sinau bareng, Maiyahan" Dari pengalaman Maiyah ke Mbah Nun, bukan cuma satu dua tapi banyak yg sudah WEKA alami sendiri bukan cm katanya, jarene dalam kehidupan nyata keseharian teman2.

Bahkan karena sy "nakal" dan gak mudah puas alias "ngeyellan", keajaiban yg menurut logika proses panjang waktu itu "gak mungkin", banyak sekali yg sudah saya buktikan. Terlepas dr proses panjang kehidupan di lapangan dan teman2 yg sudah seperti saudara yg kujadikan guru laku kehidupan, Mas Ali Antoni jujur punya andil besar setia "ngancani", menemani proses di ujung tanduk pertaruhan nasib masa depan nasib serta garis tangan hidupku teman2!! 

Dan "mungkin" hal seperti ini gak banyak orang yg bisa mendapatkan "mestakung", semesta mendukung kemudahan dari alam. Dia (Ali) tlah menaikkan standar nilai esensi proses jalan hidupku teman2, lagi2' setiap kuceritakan, Ia cm sekedar ngancani, trs untuk jogo gedi dan cek niat trs, serta lbh banyak bersyukur. 

Bisa jadi dan tak menutup kemungkinan itu ada kawan yg iri tetapi semua itu tidak pernah sy ambil hati. Tugas sy yg utama ttp terus fokus ke keluarga dan usaha dulu sampai semua urusan hutang selesai semua, begitu salah satu pesennya yg sampai sekarang kusimpan dan kujadikan jimat panguripan. 

Pernah suatu ketika sy komplen dengan situasi dan keadaan dunia yg komplex dan semrawut semua teman2, begini jawabnya ; "misalnya sekarang lagi hujan yah mas, ngeh begitu jawab saya terus?  kalau sampeyan iso lewat dan gak kehujanan dan kebasahan lak yo wes tho mas!!",  begitu jawabnya. 

"Bagi Tuhan ada ada persoalan yg rumit, yg membuat ribet dan rumit itu pola pikir manusianya, terus nyalah2kan Tuhan!!"

Sy cm iya, iya sajah!! 😷

Meskipun dalam menjalani semua proses panjangnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Nek jareku bisa ya bisa, nek katamu gak bisa Tuhan ya mengamini sajah!! 

#CatatanSebuahProses \M/
#WekaExpres 2009 - 2020

The Power of Proses #1

The Power of Proses!! #1

Jujur, saya pernah merutuk2 masa lalu, karena keinginanku yg gak kesampaian waktu itu untuk melanjutkan sekolah, satu2nya cita2 kecilku hanyalah ingin di bekali ilmu, sebagai modal menyongsong hari2 tuaku. 

Hingga akhirnya terdampar 4th di Bekasi serta 16th di Anyer Serang Banten, sebelum akhirnya pulkam th 2009 ke Ngawi hingga kini. 

20th di perantauan, sy habiskan sekolahku lapangan, medan perang telah menempa mental dan karakterku karena kepepet keadaan, serta gak ada lagi pilihan. 

Meski butuh waktu puluhan tahun untuk merangkai kembali menemukan rasa percaya diri, proses terpaitt pertama yg tak mudah untuk kulalui. Pernah suatu hari ketika mudik pulang kampung sy terkurung di rumah sendiri. 

"Saya minder dan takut sekali gak berani meski cuma tiap pagi melihat teman2 sepantaran umurku yg selalu pakai seragam putih abu2!!"

Pernah juga kusalahkan ortu, terutama bapak yg keras kepala melarangku tuk sekolah, meski ibu dengan berat hati terus membujukku, membesarkanku tetap saja saya malu. Tapi karena aku tau keadaan ekonomi bpk ibuku kala itu, aku tak tega memaksakan karepku. 

Butuh kesadaran dan proses yg gak mudah teman2, supaya bisa mengambil hikmah dalam setiap situasi yg sulit dan rumit tapi yg jadi nilai plusku semua konflik kejiwaanku itu tak mempengaruhi proses usaha bakulan yg menjadi rutinitas hari2ku. Dan tak lupa di sela jeda waktuku aku buka akses seeta jaringan kawan2 baru sesama perantauan dan lingkungan tempat saya ngontrak rumah. 

Hobbiku sinau minat baca buku rupanya tersalurkan dengan cara yg beda tak terprediksikan oleh angan2ku. Kujadikan orang2 di sekitarku sebagai buku pustaka dan menjadi ruang kelas belajar langsung di alam. 

Panjang aslinya, jika cerita proses hidupku dan gak akan mungkin bisa kulupakan, karena semua itu sudah menjadi catatan sejarah yg telah terukir indah menjadi bagian hidupku yg sekarang ini teman2!! 

Apakah sekarang masih menyesal, merutuk2i nasib karena tak kesampaian pada keinginan dan cita2ku waktu jaman madih cilik dahulu?! 

Oohh,, No!!  I am fine en very2 good!! 

Justru sakniki saya sangat bersyukur sekali di beri serta dibekali kesempatan untuk melanglang buana di kampung orang, untuk menunjukkan exsistensi siape gw sekarang,.. 

Hehee.. 

Kalau gak begitu tak ada notes dalam proses panjang kehidupanku : 20th di perantauan, 4th jd Artis, 4th jd Atlit Catur Porkab Serang serta 12th bisa bakhti sosial Akupuntun dan pulang kampun bisa mandiri kewirausahaan!!. 

Begitulah hidup, semua orang bisa punya target, semua orang boleh punya cita2 dan harapan setinggi langit, tapi jangan lupa ada Tuhan yg akan slalu memberikan hal terbaik bagi kehidupan kita semua kawan!! 

Dalam situasi pandemi seperti ini WEKA lebih banyak bersyukur, karena sedari awal sudah terbiasa dalam kepahitan, kesulitan hidup hingga kapallan, susah seneng wes sego jangan!! Gak ada kamus hidup aleman. 

#ThePowerOfProses WEKA Express '89 - 2009
Rame gak berisik sepi tetap asyik!! \M/

Minggu, 03 Mei 2020

seri Corona 70

Warahmatullahi Wa’adzabuh
(Corona, 70) Emha Ainun Nadjib

Sekitar dua dekade terakhir ini kita mengeluh semakin banyak rahmat Allah yang menjadi adzab dalam kehidupan kita, meskipun memang demikian salah satu kemungkinan yang muncul dari malpraktik peradaban ummat manusia.

Gula dan rasa manis adalah konsumsi sehari-hari sejak berabad-abad silam, yang membuat minuman jadi enak dan membangun energi fisik. Bahkan Yogya semua makanan serba manis, termasuk gudeg. Tapi sudah cukup lama bertahun-tahun belakangan ini gula menjadi ancaman. Bahkan menjadi nama jenis sakit: sakit gula. Bersamaan dengan itu kita adalah bangsa pemakan nasi. Dulu waktu kanak-kanak saya tantang-tantangan untuk “gelut” atau berantem, kalimatnya “Ayo, podo-podo mangan segone, anggitmu gak wani ta aku…”

Sekarang makan nasi juga sampai batas ukuran tertentu menyebabkan sakit gula. Untung ada tradisi budaya penangkalnya secara tradisional: “poso”, “poso mutih”, atau berbagai jenis “tirakat”. Garam juga bikin darah tinggi. Konsumsi-konsumsi pokok manusia yang merupakan pengawal peradaban berabad-abad, sekarang menjadi ancaman.

Rokok kretek ditemukan untuk keperluan pengobatan, sekarang menjadi barang yang paling dikutuk dan dilarang. Akhirnya tak hanya gula, nasi, garam, rokok, sekarang yang baik-baik menjadi buruk, bahkan yang wajib-wajib menjadi haram. Belajar di kelas, jual-beli di warung, pengajian, kebaktian di Gereja, Jumatan,Taraweh bersama, Shalat Ied, bahkan silaturahmi, bersalaman tangan menjadi syubhat dan bahaya sehingga berposisi haram.

Sampai entah berapa lama, semua yang dulu merupakan rahmat dan kenikmatan, sekarang menjadi bala`, “tahdid” (ancaman) atau mushibah atau bahkan juga bisa dimaknai sebagai adzab. “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (An-Nahl). Manusia mendhalimi dirinya sendiri. Dan kalau Allah membiarkan semua atau sebagian manusia atau tidak melindunginya dari peradaban pendhaliman atas diri sendiri, apakah logikanya itu bukan adzab.

Mestinya sistem sosial, ideologi, negara, kebudayaan dan peradaban adalah proses transformasi mengubah “warahmatullah” menjadi “wabarakatuh.” Mengaplikasikan rahmat menjadi wujud berkah. Sekarang dunia memasuki situasi darurat di mana rahmat Allah menjadi “wa’adzabuh.” Semua karena ulah manusia sendiri.

“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud).

Oleh karena itu salah satu tema pembelajaran terpenting Sinau Bareng Jamaah Maiyah adalah kehati-hatian dan kewaspadaan yang sangat ketat terhadap ilmu atau kepandaian, kekuasaan atau kehebatan, kesaktian atau keampuhan diri — agar jangan sampai menjadi “sesembahan” hidup kita, sebagaimana para ilmuwan akademisi meyakini parameter ilmiah akademis adalah satu-satunya kebenaran, sebagaimana para penguasa yang percaya bahwa mereka benar-benar berkuasa. Jamaah Maiyah selalu memperbaharui kesadaran tentang ilmu paling mendasar dalam kehidupan: “la haula wa la quwwata illa billah”, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Dunia modern dan pelaku peradaban paling mutakhir sudah sangat terang-benderang terpeleset oleh pengetahuan yang licin itu dengan tradisi mungguh dan takabburnya.

Sekarang seluruh ilmuwan dunia didera situasi kelabakan oleh Covid-19. Dan yakinlah bahwa hampir tak ada satu pun di antara mereka yang kembali ke kesadaran dasar “la haula wa la quwwata illa billah”, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” itu. Di Lab-lab canggih dan mahal para ilmuwan sibuk ber-ijtihad dan ber-tajribah untuk mencari vaksin Corona. Ada ikhitiar mRNA-1273 dari Moderna, Ad5-nCoV dari CanSino Biologics, ChAdOx1 dari University of Oxford, BNT162 dari Pfizer dan BioNTech, INO-4800 dari Inovio Pharmaceuicals, Vaksin dari Novavax, Vaksin dari CureVac, Ii-Key peptide COVID-19 dari Generex Biotechnology, Oral recombinant COVID-19 vaccine dari Vaxart, Self-amplifying RNA vaccine dari Imperial College London, Plant-based COVID-19 vaccine dari Medicago, DNA-based vaccine for COVID-19 dari Takis Biotech, Vaksin dari Johnson & Johnson dan BARDA, Intranasal COVID-19 vaccine dari Altimmune. Para ilmuwan di mana saja, Amerika Serikat, China sendiri, Rusia, Australia, Inggris, bahkan di Kotegede.

Itu pun masih harus dibingkai oleh administrasi kekuasaan untuk menetapkan legal tidaknya sebuah hasil penelitian, masih “benere dewe”. Seorang Dokter mengatakan kepada saya, “dalam keadaan darurat seperti ini segala jenis penelitian yang berniat baik dan apalagi menghasilkan efektivitas penyembuhan bagi pasien Covid-19 mestinya diizinkan dan dibuka lebar”. Sebagaimana orang melakukan shalat, yang mengesahkan shalatnya biar Allah dan realitas hidupnya, bukan administrasi ulama, madzhab dan aliran kekuasaan atas suatu ilmu dan perilaku.

Tetapi batas akal sehat peradaban manusia belum sanggup membuka pintu itu. Mereka harus pegang ketat dan penuh disiplin batas yang mereka temukan, ketahui dan pahami. Sama dengan dokter atau rumah sakit tidak boleh membeli PCR sendiri, kecuali siap ditangkap karena melakukan sesuatu yang ilegal inkonstitusional. Besok-besok Malaikat Izrail harus punya SPN (Serfitikat Pencabutan Nyawa) warganegara dari Pemerintah Pusat. Tidak kebetulan Wakil Presiden kita diambilkan dari tokoh Ulama bahkan mantan Ketua MUI, sebenarnya itu diperlukan untuk menyusun teks sertifikasi untuk Malaikat Izrail. Kalau tidak, Izrail ditangkap POLSEK, POLRES atau POLDA bahkan MABES POLRI sekalian kalau diperlukan. Jadi siapa saja yang sewaktu-waktu didatangi oleh Malaikat Izrail, jangan mau dulu diambil nyawamu sebelum kau minta dari Malaikat Izrail lembar SPN-nya dari Pemerintah Pusat.

Memang kecenderungan manusia sangat tinggi untuk menjadikan dirinya sendiri, termasuk ilmu, pengetahuan dan kekuasaannya sebagai sesembahan yang dituhankan. Kita pikir dulu Fir’aun menuhankan dirinya sendiri memberi pelajaran bahwa kekuasaan itu berbahaya bagi manusia, “tend to corrupt”, berkuasa bisa menyebabkan ia melakukan korupsi. Tidak terbatas hanya pada maling uang dan anggaran. Tapi ternyata juga bisa korupsi ilmu, pengetahuan dengan legacy-nya. Kekuasaan dikorupsi menjadi penuhanan. Ternyata faktanya sekarang tidak hanya kekuasan, tapi juga kepandaian, kehebatan, bahkan kemasyhuran. Makanya Sinau Bareng Jamaah Maiyah selalu mengasah ingatan bahwa semua itu — kekuasaan, kepandaian, kehebatan, keterkenalan dll — tidak laku di hadapan Allah Swt. Balik ke “la haula wa la quwwata illa billah”.

Kembali ke “bahtsul ‘ilmi”, pencarian ilmu, “taharrul ‘irfan”, penelitian, pelacakan pengetahuan, “tajribah”, percobaan, atau secara keseluruhan kita sebut “ijtihad”, perjuangan akal pikiran, menurut Dokter yang saya sebut di atas, NKRI hanya punya tiga (3) Laboratorium yang memenuhi syarat untuk mekanisme penelitian Vaksin Corona. Tidak mungkin seorang dokter ilmuwan melakukan penelitian sendiri tanpa ada Lab yang memenuhi syarat. Meskipun ada etos kerja dan semangat meneliti yang mencukupi dari para Ulul Abshar kita, tetapi tidak ada “habitat” untuk melakukannya. Kalau para penderita trauma Corona, baik yang terjangkit atau belum atau tidak, memerlukan pengetahuan agak pasti tentang vaksin itu, paling cepat menunggu sampai September 2020.

Untuk Jamaah Maiyah, sambil menunggu para pejuang ilmu menghasilkannya, sementara saya sarankan memperbanyak rengeng-rengeng tembang “Turi-turi Putih”. Memperlakukan informasi dari Sunan Giri itu tidak hanya secara estetik, tapi juga menelusurinya sebagai pengetahuan dan ilmu. Maupun juga sebagai “hidayah” pada posisi “min haitsu la yahtasib”. Atau minimal memperbanyak makan pecel yang ada kembang Turinya, atau menjadikannya lalapan sehari-hari.

Tolong jangan terpengaruh oleh tafsir baku selama berabad-abad bahwa “putih” adalah kain kafan. Itu hak tafsir. Puncak kesadaran kehidupan adalah kematian. Tetapi kematian adalah kehidupan. *****

[Baca selengkapnya — https://bit.ly/3eD3bJC]

seri Corona 71

AMANAT PENDERITAAN CORONA
(Corona71) Oleh: Emha Ainun Nadjib 

Mungkinkah ada orang (manusia) yang bukan dokter atau iImuwan modern yang bisa menyembuhkan orang dari sakit Covid-19? Mungkinkah, entah tabib, entah dukun, entah tukang pijat, entah ahli herbal, entah “wong pinter” atau “wong tuwa”, tapi bukan dokter atau profesional modern yang bisa menyembuhkan pasien Corona? Andaikan mungkin, bagaimana prosedur untuk mengakui bahwa seseorang yang bukan dokter atau ilmuwan modern bisa menyembuhkan orang yang terjangkit SARS-Cov-2 atau virus dan penyakit apapun?

Siapa yang berhak mengakui, mengatakan dan menyatakan bahwa seseorang itu bisa mengantarkan orang sakit menjadi orang sembuh? Siapa pula yang berhak mengesahkan bahwa seseorang itu sudah sembuh atau masih sakit? Apakah engkau sudah sembuh kalau dokter mengatakan engkau belum sembuh? Siapakah di muka bumi, di abad 20-21 ini yang berkuasa atas sehat, sakit dan sembuh? Siapa atau institusi kekuasaan apa yang berhak menerbitkan Surat Keterangan Sakit atau Sembuh?

Dulu di zaman Kalingga, Ratu Saba, Kediri, Majapahit bahkan Mataram Islam, kalau ada penduduk sakit, ke mana dia berobat? Bangsa Jawa dan bangsa-bangsa lain di Nusantara tidak punya sejarah tentang penanganan kesehatan dan pengobatan orang sakit. Arya Penangsang yang ususnya ambrol oleh kerisnya sendiri karena Gagak Rimang kudanya yang tak terkendali karena bernafsu kepada kuda yang dinaiki oleh Raden Sutawijaya, tidak tertolong karena belum ada dokter bedah di Jipang atau Pajang ketika itu.

Baru ketika ada dokter orang Jawa dr. Mas Asmaoen di dekade akhir kolonialisme Belanda di Indonesia, orang sakit punya kemungkinan untuk dirawat dan diobati. Itu pun dr. Asmaoen praktiknya di Belanda, sesudah di Jerman, sehingga orang sakit di Pulau Jawa tidak bisa menemukan tempat praktiknya. dr. Marie Thomas, Dokter pertama bangsa Indonesia juga pernah ke Jakarta hanya mampir. Jadi penduduk Nusantara relatif baru mengenal pengalaman pengobatan pada tahun-tahun menjelang Kemerdekaan 1945.

Sungguh menderita suatu bangsa yang berabad-abad hidup dengan ratusan Raja berganti-ganti, tidak pernah mengalami pengobatan. Karena yang sekarang kita sebut pengobatan haruslah dokter pelakunya.

Atau tatkala Rasulullah Muhammad Saw mengalami demam panas luar biasa yang orang lain insyaAllah tak akan bertahan hidup gara-gara oleh seorang Ibu-ibu Yahudi disuguhi makanan kaki kambing depan kiri yang sudah dibubuhi racun – ke dokter siapa Kanjeng Nabi berobat? Meskipun Ibnu Sina atau Avicena dikenal sebagai cikal bakal Ilmu Kedokteran, tetapi kalau memakai mindset sakit-sehat sekarang ini, Ummat Islam juga selama berabad-abad tidak pernah mengalami pengobatan, meskipun mungkin mengalami kesembuhan. 

Profesi “Dukun” atau “Tabib” saat-saat ini adalah pelaku sosial yang sangat direndahkan martabatnya. “Dukun” adalah kosakata kutukan dan ejekan yang luar biasa merendahkan. Kasusnya bukan hanya kompetisi antar pekerja pengobatan yang secara mutlak dimenangkan oleh Dokter dan Ilmu Kedokteran. Kalau diteliti dan digali, ini juga kasus kekuasaan, politik ilmu, politik perekonomian, salah satu sisi kapitalisme modern, bahkan ini juga kasus teologi atau kasus Tauhid.

Kalau dalam sejarah Islam ada persaingan atau percaturan antar madzhab atau aliran penafsiran atas khasanah akar Islam yakni Al-Qur`an dan Hadits, maka dengan kasus terminologis yang sama sesungguhnya ilmu kedokteran modern adalah sebuah fiqih madzhab yang berkuasa mutlak di zaman modern. Tidak semua masyarakat dikuasai oleh fiqih madzhab modern ini, tetapi secara resmi masyarakat tidak akan pernah mengakui fiqih madzhab yang lain.

Saya selama berinteraksi dengan masyarakat, khususnya Jamaah Maiyah, sering diperlakukan sebagai semacam “Dukun”. Tetapi itu peristiwa budaya dan personal. Kalau diminta menandatangani Surat Resmi untuk mengakui saya sebagai “Pengobat”, insyaAllah tak akan ada seorang pun yang akan bersedia. Meskipun setiap malam di Maiyahan saya harus meniup (“Dukun Suwuk”) ratusan botol air, memeluk tubuhnya supaya ada transfer energi dan hidayah, menempeleng pipinya, mengethak (memukul dengan buku jari) kepalanya, atau meludahi mulutnya.

Dan saya juga tidak anti-dokter. Di Maiyah kita punya dokter-dokter mumpuni, bahkan tingkat internasional. Saya juga tidak pernah menolak diagnosis dan terapi mereka, demi silaturahmi dan penghormatan kepada niat baik dan hasil ijtihad ilmu mereka. Tahun 2003 saya diklaim hanya akan hidup paling lama 3,5 bulan lagi. Kemudian Allah mendadak menyembuhkan saya, dan teman-teman Dokter tidak mengingkari kesembuhan saya itu meskipun tidak ada penjelasan medis dari ilmu kedokteran mereka sampai hari ini.

Di luar itu, saya juga melihat bahwa teman-teman Dokter Modern itu sebenarnya di dalam diri mereka terdapat dimensi bahwa mereka juga “orang Indonesia” atau “Orang Jawa” atau “Orang Islam” serta dimensi-dimensi lain yang sebenarnya tidak kompatibel dengan dimensi “Dokter” mereka. Di dalam acara “Ijazah Maiyah I” yang diselenggarakan oleh Bangbang Wetan, seorang Dokter Maiyah yang menyerahkan kepada “Dukun” Delanggu berpidato: “Sesungguhnya beliau inilah pelaku mainstream pengobatan dan penyembuhan, sedangkan saya sebagai Dokter berposisi alternatif”.

Di Maiyah terdapat pola keluasan berpikir yang bisa “mendamaikan” potensi sentimen antara Ilmu Kesehatan Modern dengan yang tradisional. dr. Ade Hasman Bontang Kalimantan, aktivis IDI, pun menulis tantang hal-hal yang menyangkut “cara hidup sehat” saya, dengan sangat hati-hati dan bijaksana — karena harus melandasi isi bukunya itu dengan keluasan yang lembut dan kelembutan yang luas.

Tulisan ini juga tidak mengarahkan apapun untuk berpihak kepada yang mana. Kalau kita kembali ke deraan Covid-19 sekarang ini, yang justru sebaiknya dipaparkan adalah fiqih madzhab kedokteran itu pun cenderung diabaikan oleh langkah-langkah kekuasaan Pemerintah RI dalam menangani Covid-19. Jadi gampangannya, kekuasaan ilmu kedokteran modern di Indonesia kalah dari kekuasaan politik dan pamrih-pamrih ajaib para pejabat puncak NKRI. Sudah berkali-kali para dokter, secara personal maupun institusional mengeluhkan kenyataan bahwa Pemerintah RI kurang mempercayai para ahli di bidang yang mereka sedang tangani. Di tulisan sebelumnya sudah juga saya teruskan keluhan Dokter mengenai “politik PCR” dll.

Terakhir kita membaca uraian teman-teman Dokter:
“Lambannya proses pengujian sampel pasien oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan, masih menjadi persoalan serius yang dialami para dokter dan ahli biologi. Padahal proses itu bisa dipersingkat andai Kemenkes tidak mengeluarkan aturan berbelit pengujian sampel yang harusnya bisa keluar dalam waktu 1×24 jam.

Kelambanan ini juga diperparah dengan kapasitas pengujian dan uji sampel yang masih sangat terbatas. Imbasnya, para dokter di lapangan menanggung risiko karena mereka berada di garda terdepan penanganan wabah Covid-19. Kami mewawancarai para dokter dan ahli biologi untuk membedah problem penanganan Covid-19 di lapangan. Mereka mengeluhkan hal yang sama, yakni kurang efisiennya uji laboratorium yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Problem lain yang masih terjadi ialah minimnya transparansi data oleh pemerintah. Padahal, keterbukaan itu menjadi kunci para Dokter dan peneliti untuk bertindak mencegah penyebaran wabah.

Benarkah pemerintah benar-benar terbuka membuka data untuk mencegah penyebaran wabah virus Corona?”

Ini semacam bagian dari teks “Amanat Penderitaan Rakyat” karena Corona. Kita sebut gampangnya “Amanat Penderitaan Corona” saja, meskipun harus berpikir lipat, karena justru Corona sumber deritanya.

Sungguh malang nasib rakyat Indonesia. Mau bersikap seperti Shalawat Asyghil “Sibukkan orang dhalim dengan orang dhalim, ya Allah, keluarkan kami dari lingkungan mereka dengan selamat” — tidak bisa juga. Rakyat kena virus, kena dampak ekonomi, kena dampak kebosanan budaya, kena dampak disinformasi dari pihak yang berposisi bertanggung jawab kepada mereka.

Rakyat Indonesia mengalami bertubi-tubi tekanan, kebingungan, musibah, ketertindihan, keterjepitan, dan tetap saja tidak mau mendengarkan nasihat “hati-hati memilih pemimpin”. *****

[Baca selengkapnya —  https://bit.ly/2VKbs5N]

seri Corona 72

NABI KOK NEMBANG JAWA
(Corona 72) Oleh: Emha Ainun Nadjib

Tembang Tolak Bala? Apakah ada dalam Islam Tembang Tolak Bala? Apakah Rasulullah Saw pernah mengajarkan Tembang Tolak Bala?

Tidak. Rasulullah tidak pernah mengajarkan dan mencontohkan racikan makanan pecel, rawon atau soto Betawi. Yang diajarkan oleh Rasulullah dari Allah adalah makan “halalan thayyiban”. Makan yang aman di dalam hukum Allah dan memproduksi kemashlahatan. “Kulu wasyrabu wala tusrifu”. Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.

Rekomendasi “halalan thayyiban” itu kawin dengan “afala tatafakkarun”: tidakkah engkau menggunakan pikiranmu? Penggunaan pikiran berarti langkah pengolahan, pencarian dan kreativitas. Kreativitas kulinernya manusia Indonesia sudah sampai ke tempe dipenyet, es krim dibakar, ceker ayam dinikmati, jeroan ayam tidak dibuang sebagaimana di Amerika, Eropa dan Arab. Ijtihad “Afala ta’qilun” sudah sampai pada 26 jenis sambal, dari uleg sampai gandaria.

Soal “badogan” (konsumsi lidah dan perut) saja digulirkan oleh manusia sampai sejauh itu. Apalagi yang menyangkut kesehatan hidup mereka. Maka kaum Muslimin mengais-ngais apa saja yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya segala sesuatu yang kondusif dan produktif terhadap kesehatan hidupnya.

Hari-hari ini seluruh ummat Islam dan manusia di seluruh permukaan bumi sedang sangat membutuhkan kesehatan tubuhnya. Sedang njepiping amping-amping ngeri tersengggol oleh Covid-19. Kedokteran dan seluruh jajaran penguasa kehidupan di dunia mandeg pada adegan “Nabi Musa makan daun” dan habis-habisan meneliti “daun” apa yang bisa bikin Coronavirus kemleke`en, pingsan terus mati.

Untuk berlindung kepada Allah dari segala macam memala dan pageblug, kita cari, baca, dan wiridkan firman-firman-Nya yang berkaitan dengan ancaman yang mengepung kita. Jamaah Maiyah sudah punya sangu banyak soal itu.

Jamaah Maiyah sudah mengerti semua bahwa ketika Nabi Musa beserta rombongannya dikejar-kejar oleh pasukan Fir’aun, di tengah jalan beliau sakit perut. Tidak ada penjelasan detail di Bahasa Arab atau Inggris tentang yang diderita oleh Kanjeng Nabi Musa itu “mules” ataukah “sebah”, “suduken”, “mlilit”, dll. Bahkan antara “sakit”, “panas” dan “perih” saja cuma dibilang “hurt”, atau disebut sebabnya, “injured”, “ill”. Singkat kata Nabi Musa mengeluh kepada Allah dan Allah suruh Musa naik bukit, ada pohon ambil dan makan daunnya. Nabi Musa patuh. Baru mengunyah separuh daun, sakit perutnya sembuh. Nabi Musa turun gabung kembali ke gerombolannya. 

Kemudian setelah jalan beberapa puluh langkah beliau sakit perut lagi, beliau langsung naik lagi ke bukit dan ambil daun. Tapi sampai sekian lembar daun beliau makan, perut tak sembuh-sembuh juga. Nabi Musa protes kepada Allah dan Allah menjawab: “Yang pertama tadi kamu mengeluh kepada-Ku, yang kedua kamu langsung naik bukit ambil daun dan kamu makan. Siapa yang bilang daun bisa menyembuhkan penyakit?”

Ini perempatan jalan peradaban modern yang sedang kita jalani. Siapa bilang vaksin apapun bisa menetralisir Coronavirus? Mungkin akan ada yang sembuh, dan itu artinya adalah peran “sunnatullah” yang diberlakukan sejak Allah Kun Fayakun bikin alam. Tetapi momentum kesembuhan tetap di tangan Allah, sehingga mengeluhnya Nabi Musa kepada Allah lebih mujarab dibanding peranan daun. Sekarang ini cari kata atau kalimat dari WHO atau semua pemerintah negara-negara di seluruh dunia yang mengeluhkan hal Covid-19 kepada Allah. Semua wacana mengenai Tuhan dan peranan-Nya bukan hanya tidak menjadi bagian dari agenda peperangan ummat manusia melawan virus Corona, bahkan mungkin diam-diam diperolok-olokkan, diejek, diremehkan, dianggap kuno, direndahkan. “Maka mereka ditimpa oleh akibat dari kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh azab yang selalu mereka perolok-olokan.” (An-Nahl).

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am). Mungkin ini penjelasannya kenapa Jamaah Maiyah itu ghuraba`, kaum yang terasing. Atau memang mengasingkan diri sebagaimana Allah menyuruh.

Masalahnya Jamaah Maiyah bisa terdampak, terkena, keserempet oleh kedhaliman di area di mana mereka bertempat tinggal. Sayang seribu kali sayang Allah hobi banget menunda adzab atau memberi tangguh waktu kepada manusia yang menyakiti hati-Nya. “Dan sesungguhnya telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu kemudian Aku binasakan mereka. Alangkah hebatnya siksaan-Ku itu!” (Ar-Ra’d).

Maka jamaah Maiyah ndridil mewiridkan firman-firman baku dari Allah Swt, contoh-contoh dari Rasulullah Saw, atau mengembara ke sabana-sabana ijtihad perkawinan antara “halalan thayyiban” dengan “afala tatafakkarun” itu. Sampai akhirnya di sebuah petak savanna zaman, berjumpa Kenjang Sunan Kalijaga sedang ura-ura nembang syair Tolak Bala:

Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

Jamaah Maiyah menghayati itu dengan konsentrasi melotot batinnya ke Coronavirus, sambil menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ada ustadz-ustadz modern yang akan memarahinya, mengecamnya, mengkritiknya, bahkan mungkin mengutuknya: bid’ah, musyrik, kafir…. Karena jelas-jelas Kanjeng Nabi Muhammad Saw tidak pernah mengajarkan kalimat-kalimat itu, apalagi lagu-lagu tembangnya. Mana mungkin Nabi Muhammad nembang Jawa. ****

[Baca selengkapnya — https://bit.ly/3czYfmP]

seri Corona 73

CUMLÈRÈT TIBA NYEMPLUNG
(Corona 73) Oleh: Emha Ainun Nadjib 

Semua manusia di dunia saat-saat ini sangat bersatu, sangat kompak menderita mengurusi ikhtiar yang sama: bagaimana bisa secepatnya lolos dari derita Corona.

Seluruh penduduk dunia memfokuskan hatinya, pikiran dan tindakan perilakunya untuk menjawab pertanyaan yang sama: Covid-19.

Ibarat shalat berjamaah, ketika Iqamah atau tanda shalat segera didirikan, Imamnya belum datang. Pak Imam belum merasa bahwa “as-shalatu ‘ala waqtiha”, momentum untuk shalat sudah tiba. Sebaiknya segera berbaris dan memulai “takbiratul ihram”. Tetapi Pak Imam santai. Tatkala kemudian seharusnya shalat sudah memasuki raka’at kedua, baru Pak Imam nongol.

Maka kemudian shalat dilaksanakan dengan agak gugup-gugup. Sajadah untuk Pak Imam di tempat Imaman agak kurang mengakurasi ke 24,5 derajat condong dari barat ke utara. Banyak makmum di shaf-shaf depan juga sama santainya dengan Pak Imam. Sebagian yang lain sarungnya melorot. Bahkan ada yang kelupaan mengambil air wudlu.

Sekarang Jamaah sedang menjalani raka’at kedua, dan tak seorang pun tahu kapan tahiyat akhir di raka’at keempat akan terjadi. Jamaah Corona itu semua pelakunya, termasuk Imamnya, tidak punya pengetahuan tentang berapa lama shalat berjamaah mereka akan berlangsung.

Dan yang paling dahsyat dari Jamaah itu, juga jamaah-jamaah penderitaan di seluruh dunia, adalah bahwa tak seorang pun yang bertanya kepada Allah kapan kira-kira raka’at keempat nanti tiba pada “Assalamu’alaikum” menoleh ke kanan dan kiri. Semoga tidak ada perkara yang didesakkan di tengah shalat, misalnya nanti sehabis salam akhir jamaah boleh atau tidak bersalaman dengan saudara-saudara kiri kanannya.

Cara bersaudara, bentuk implementasi persaudaraan, budaya dan tata cara memelihara ukhuwah, tidak merupakan wilayah kreatif yang setiap orang bisa mengarang-ngarang sendiri. Semua secara detail harus meniru persis apa yang dulu dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau Rasulullah Saw tidak pernah bersalaman dengan jamaahnya sehabis shalat, ya para pengikut beliau tidak perlu mengarang-ngarang dan sok suci, sok akrab, sok arif dengan menginisiatifi budaya salaman sehabis salam terkahir shalatnya.

Alhamdulillah tema “kreativitas mu’amalah” seperti itu tidak muncul selama Corona mendera. Sekarang bahkan setiap orang hendaknya menghindari bersalaman dengan siapa saja, dan ini landasan empuk kenyal bagi Pak Ustadz untuk berfatwa “makanya jangan ngarang-ngarang salaman bakda shalat, sekarang Allah membuat kalian tidak berani salaman satu sama lain”.

Di raka’at kedua ini, jumlah penduduk Negeri kita yang terpapar Corona sebanyak 7.135, dari 260-an juta orang. Dibandingkan tetangga kita Kabupaten Singapura yang penduduknya hanya 6 juta lebih sedikit, kasus Coronanya mencapai 9.125. Aneh bin ajaib. Bayangkan prosentase keterpaparan Covid-19 di Singapura sekitar 0,15% sedangkan Indonesia hanya 0,00269%. Rakyat Indonesia pasti sakti mandraguna, sejak lama sudah punya herd immunity atau communal immunity. Mungkin ada yang pakai Aji Lembu Sekilan. Atau Covid-19 ngerti ketika akan menyantuh darah daging jenis manusia Nusantara yang aneh. Ataukah Pemerintah belum tahu persis berapa sebenarnya jumlah kasus Corona yang menimpa rakyatnya? Karena belum tuntas melakukan sesuatu yang seharusnya sudah dilakukan untuk mengetahui korban Corona rakyatnya sepersis mungkin? 

Kalimat-kalimat di atas, tolong diamati: adalah pertanyaan. Bukan kritik. Bukan kecaman. Apalagi hoax. Hoax haruslah pernyataan, bukan pertanyaan.

Di Yogya sudah ditabuh berdengung-dengung Gong Tolak Bala. Para pelaku kebatinan sudah melakukan berbagai upacara untuk maksud serupa. Para ulama, kiai dan santri sudah shalat malam, wiridan dan apa pun saja yang menurut kepercayaan rohaniyah mereka bisa membuat pageblug tidak menimpa mereka. Jamaah Maiyah sudah minta “sangu” dan “disangoni” jauh sebelum Corona datang. Bahkan sebelum Corona berakhir raka’atnya, mungkin sudah terbit dua buku saya yang meresponnya.

Kemarin saya titip “Turi-Turi Putih”, tembang tradisional popular di kalangan bangsa Jawa tradisional. Turi Putih secara klasik ditafsirkan dengan mengasosiasikan “pocongan”. Turi Putih adalah kain kafan. “Cumlorot tiba nyemplung” diinterpretasikan sebagai momentum ketika jenazah atau mayat manusia masuk kuburan. Kemudian ada pertanyaan peradaban: “Mbok Ira, Mbok Ira, kembange opo?”. Ada yang menganggap Mbok Ira adalah panggilan untuk orang yang sudah meninggal. Yang lain mamparalelkan “mbok Ira” dengan “wama adraka ma” di Al-Qur`an. Apa gerangan, wahai apa gerangan? Kamu asumsikan apa itu? Kamu kira akan bagaimana?

Ada pandangan lain yang mengawali persepsinya dengan “Ditandur ning Kebon Agung”. Kebon atau kebun di Al-Qur`an disebut “Jannah” atau lazim diartikan sebagai Sorga. Kebon Agung, di mana turi itu ditanam, adalah Al-Jannah An-Na’im. Begitulah dulu asal-muasal manusia. Mbah Adam ‘alaihissalam diciptakan dan diberi tempat tinggal indah yang namanya Sorga. Tapi karena suatu kesalahan aqidah dan akhlaq, karena kurang serius memperhatikan larangan Tuhan sehingga menjadi tidak patuh, maka “cumlèrèt tiba nyemplung” di Bumi. Jarak waktu dihijrahkannya Mbah Adam dari Sorga ke Bumi digambarkan dengan “cumlèrèt”. Mungkin kalau di Al-Qur`an bahasanya “kalamhin bil-bashar”. Sekejapan mata. Cumlèrèt.

Kelak semua anak turun Adam akan kembali ke tempat semula itu. Sebab Bumi di dunia ini hanya tempat hijrah atau melancong sementara, sedangkan kampung halaman kita adalah sorga, ya Kebon Agung itu. Kan rumusnya “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un”.

Maka tahap yang ditawarkan dan harus ditempuh oleh manusia setelah terpuruk di Bumi adalah harapan dan perjuangan: “Mbok Ira kembange apa”. Kembang adalah harapan menuju buah. Hasil perjuangan proses menanam. Jadi harapan untuk membuahkan apa yang kalian perjuangkan selama dapat jatah hidup di Bumi? Itulah yang didalami dan diperluas oleh Sinau Bareng di Maiyahan. Yang primer itu “kembang” yang mana? Sukses di dunia (menjadi pejabat, berkuasa, terkenal, pakar, kompeten, kaya) ataukah “tidak dimurkai oleh Allah di Akhirat?” Bahkan Jamaah Maiyah takut bernafsu kepada Sorga, karena ada penghuni Sorga yang Allah tidak menyapanya. Maka fokus Sinau Bareng adalah pembelajaran menuju penerimaan Allah, bukan primarily masuk Sorga. Maka Jamaah Maiyah berjuang untuk selalu “sumeleh” hidupnya, “ikhlas dan tawakkal”. “In lam takun alayya Ghodlobun fala ubali” wiridan mereka.

Tetapi ada yang menawar: “Kalau boleh ya Allah, ya kalau bisa saya jangan ditakdirkan meninggal karena masuk rombongan korban Corona”. Itu adalah muatan hati polos setiap orang. Itu adalah aspirasi wajar ketidakberdayaan manusia di hadapan ketentuan Allah. Saya tidak akan bersikap seolah saya ahli Syariat dan Fiqih sehingga saya memakruhkan, mengharamkan atau memfasiqkan aspirasi itu. Atau andaikan ada kemungkinan kita bareng-bareng sowan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, ya kita tanya bersama-sama kepada Beliau. Tapi mau bagaimana, kita ini ngelihat virus Corona saja nggak becus, agak kurang masuk akal kalau kita berhak atau pantas berjumpa bertatapan wajah dengan Kanjeng Nabi.

Kalau punya bekal rohani untuk memilih, yang kita pilih bukan tafsir bahwa Turi Putih adalah kain kafan kematian kita, melainkan Kembang Turi mengandung zat-zat yang membuat pemakannya tidak “tedas” digerus oleh virus Corona. “Ya zamzamallah, ya zamzamallah”, kita memakan kembang itu, kita meminum air seduhannya, Engkau ya Allah berkenan menjadikannya syifa’ bagi sakit kami, atau penolak datangnya penyakit. Sebagaimana para Ulama mengatakan air zam zam membuat peminumnya diampuni dosanya, disembuhkan penyakit, dan dikabulkan keinginan baiknya.

Di masa kanak-kanak selama menggembalakan kambing, saya dan para penggembala lain menghindarkan kambing-kambing kami dari memakan Kembang Turi. Sebab bisa menyebabkan kambing-kambing itu mandul. Mudah-mudahan zarrah Corona juga mandul untuk mengembangkan diri di badan kita, mandul untuk bermutasi dan berkembang biak.

Kalaupun Turi Putih pocongan atau kain kafan yang membungkus tubuh kami ini “cemlorot”, ya lahannya bukan kuburan, melainkan Jannatun-Na’im. Kebon Agung. Tetapi harus tetap dilewati, ditempuh dan diperjuangkan seluruh tahapan-tahapan hidup di dunia. Termasuk Pageblug sekarang ini, yang akan diteruskan oleh Paceklik. *****

[Baca selengkapnya — https://bit.ly/3am6bGU]

seri Corona 74

(BELUM) Habis PAGEBLUG, Terbitlah Paceklik
(Corona 74) Emha Ainun Nadjib 

Kemarin kita masih “Bisa jual bisa beli”. Kebanyakan orang bisa beli atau relatif punya uang dan bisa jualan. Sekarang mulai “Sukar jual sulit beli”. Akan datang hari “Alot jual belum tentu ada yang beli”, kemudian “Pas bisa beli belum tentu ada yang jual”. Kemudian sempurna keadaan di mana kebanyakan atau semua orang “Tak bisa beli tak bisa jual”. Bisa beli tak ada yang jual. Puncaknya tentu tidak ada yang bisa dijual dan tidak ada yang dipakai untuk beli.

Belum habis Pageblug, terbitlah Peceklik. Sebagian orang hari ini berpikir apa yang mungkin dijual segera dijual supaya bertahan lebih lama, juga apa yang bisa dibeli segera dibeli, juga supaya bisa bertahan lebih lama. Panic selling and panic buying.

Kebanyakan orang tidak siap tiba-tiba harus kembali ke peradaban ladang: makan tidak makan berdasarkan menanam atau tidak menanam. Arek-arek etanan misuh: menanam ndasmu. Tempat tinggal saja masih kost. Rumah ngontrak hampir habis. Mau menanam di mana, depan rumah jalan raya, kiri kanan dan belakang rumah-rumah lain berjejal-jejal. Nandur ndik bathukmu ta.

Hari ini kita belum sampai ke sana. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan bahwa kita akan tidak sampai ke sana. Kalau ternyata benar akan sampai ke sana, situasi itu terserah apa sebutannya. Khaos mungkin, khaos oblong. Diawali meningkatnya maling, copet, jambret, mbobol, ngrampok. Kemudian berebut apa saja seperti kapal mau tenggelam.

Ramadlan pun akan kita jalani dengan kondisi dan mekanisme yang aneh dan belum pernah kita alami sebelumnya. Kita tunggu romantisme spanduk di jalan-jalan atau ucapan online “Taqabbalallahu minna wa minkum, selamat datang Bulan Suci Ramadlan”. “Lama kami merindukanmu, akhirnya Ramadlan datang juga”. Tapi mau tidak mau semua harus menyiapkan diri, mental, hati dan apa saja yang diminta oleh situasi yang disebut terakhir itu. Mudik disuruh balik. Kendaraan distop disuruh balik atau dihukum kurungan 100 hari.

Tapi dalam keadaan seperti itu kekuasaan tidak bisa menguasai. Tentara dan polisi silakan bawa bedil, bom dan rudal, tapi tidak sedikit pun akan efektif untuk menyelesaikan masalah. Covid-19 tak bisa ditembak pakai pistol, apalagi bedhil manuk. Bahkan pun M-16, granat, mitraliyur, rudal.

Kalau hari ini masih ada Pemerintah, tolong umumkan apa rencana mereka untuk menghadapi hari-hari seperti itu besok atau lusa atau minggu berikutnya atau bulan depan. Tetapi apakah memang masih ada Pemerintahan di Negeri ini? Apakah pernah ada Pemerintahan yang perhatian utamanya adalah keadaan rakyat banyak? Apakah pernah ada Pemerintahan yang mengutamakan amanah dan tanggung jawab?

Tetapi ini Rikiblik Indonesia. Ada Pemerintah atau tidak ada Pemerintah tidak pernah menjadi masalah primer rakyatnya. Ada Pemerintah ya welèh. Tidak ada Pemerintah ya malahané. Mau Presidennya Layang Seto atau Layang Kumitir, Petruk atau Bagong, leg-legen dhewe kono. Tingkat keacuhan dan apatisme bangsa ini akan sangat mengagetkanmu kalau engkau menembus sedikit saja di bawah permukaan air zaman. Bukan air zam zam. 

Sejumlah teman konco lawas mempertanyakan tulisan-tulisan saya yang membeberkan banyak hal-hal dan fakta-fakta ketidakberesan pengelolaan Negeri ini. “Untuk apa?”, kata mereka. Kemudian mengutip ayat: “Sama saja bagi mereka engkau peringatkan atau tidak engkau beri peringatan. Telah ditutup hati mereka (dari merasakan apa yang mereka wajib merasakan), pendengaran (untuk mendengar segala sesuatu yang mereka bertanggung jawab untuk mendengarkan) mereka, penglihatan (untuk melihat apa yang diamanatkan kepada mereka untuk melihat) mereka”.

Terusannya ayat itu adalah “walahum ‘adzabun ‘adhim”. Dan adzab yang pedih untuk mereka. Mereka siapa? Kita-kita yang tidak ikut membutakan mata, telinga dan hati, juga disiksa hari-hari ini. Mereka yang dhalim itu tetap leha-leha saja, sehat-sehat saja, tetap naik mobil empuk joknya, dikawal tim keamanan, makan minum enak dan keluarga sehat sejahtera. Bahkan anaknya mencalonkan diri jadi Walikota.

Rakyat kecil ini salahnya apa? Para pekerja harian. Para Ojol. Kuli. Karyawan rendahan. Penjual Angkringan. Warung-warung kecil. Apakah kepada para pemulung kau sarankan “Di Rumah Saja”? Di rumah saja ndasmu. Mestinya semua rakyat yang tidak makan keluarganya kalau dia tidak berjuang keluar rumah tiap hari, dijamin kebal Corona. Kenapa semua orang, semua manusia, semua penduduk, semua warga, kelas apa pun, level mana pun, kerja apa pun, memperoleh ancaman dan akibat yang sama oleh Corona? Emangnya ini Jagat Raya Komunisme: sama rata sama rasa?

Almarhum sahabat saya, Rendra pernah menulis puisi. Tiap habis bait tolong tambahkan kata Tetap saja terancam Corona atau terserah engkau bikin sendiri:

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Februari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

Orang-orang miskin itu mungkin tetangga kita, mungkin sedulur kita, mungkin kita sendiri. Tapi kita dilarang menciptakan orang miskin. Maksudnya, jangan biarkan orang mengemis kepada kita karena miskin. Kita harus memuliakan setiap saudara, kerabat, famili, dan tetangga kita dengan aktif mencari tahu bahwa mereka memerlukan pertolongan. Siapkan dan berikan pertolongan tanpa menunggu mereka menjadi orang miskin yang mengemis kepada kita. “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal).

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu sampai bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur).

Apalagi Jamaah Maiyah adalah Al-Mutahabbina Fillah. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Maka mereka pasti sudah menyiapkan pikiran, niat, sikap dan cara-cara di antara mereka untuk membuktikan cinta di antara mereka, dengan siap saling tolong-menolong.

“Dan tolong-menolong engkau semua atas kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Maidah). “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah).

Sesungguhnya, bagi dan pada setiap dan semua manusia, tolong-menolong adalah perilaku yang tidak memerlukan hukum, akhlaq maupun ayat-ayat Allah — kalau memang mereka benar-benar manusia. Sudah sangat lengkap bekal di dalam dirinya yang bersumber dari “Sunnatullah” atau sumber alamiah kemakhlukannya, untuk dengan sendirinya akan berlaku tolong-menolong satu sama lain. Meskipun seandainya tidak ada Nabi, tidak ada Agama, tidak ada Masjid dan Sekolahan. Bedanya hanya ada yang bersegera mencari saudara-saudaranya yang wajib ditolong, ada yang menantikan munculnya orang yang meminta pertolongan. *****

[Baca selengkapnya — Oleh: Emha Ainun Nadjib — https://bit.ly/3eFGwfC]

seri Corona 75

SANG PENYEMPURNA KEHANCURAN
(Corona 75) Oleh: Emha Ainun Nadjib 

Tulisan kali ini sangat panjang dan harus saya mulai dengan pernyataan Allah: “Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu semua ummat manusia ini secara atau untuk main-main saja? Dan apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu`minun).

Awalnya saya hanya ingin menggembirakan siapapun yang membaca tulisan ini. Saya selalu menanyakan dan meminta pusat penggiat Maiyah dan semua Simpul untuk mengidentifikasi dan memastikan seberapa Covid-19 menjangkiti atau memapari Jamaah Maiyah. Beberapa waktu yang lalu salah seorang anak Maiyah saya di Negeri jauh yang bertugas sebagai perawat kesehatan atau tenaga medis melaporkan diri positif Corona. Ia masih muda dan berita terakhir kemarin terkonfirmasi bahwa ia sudah pulih dan sembuh seperti semula. Seorang Pilot internasional yang juga aktivis Maiyah melaporkan temannya terpapar juga di Spanyol, tapi dengan isolasi diri akhirnya pulih sehat walafiat kembali.

Secara keseluruhan sampai kemarin sore Jamaah Maiyah Zero-Corona. Sebenarnya tidak mudah menuliskan ini, sebab informasi seperti itu berposisi syubhat. Ia bisa merupakan tahadduts binni’mah, memperbincangkan kenikmatan Allah, tapi bisa juga terpeleset menjadi riya` atau takabbur. Harus kita teguhkan bahwa ini adalah ungkapan syukur atas nikmat Allah. Juga harus disadari bahwa ini “permainan” sedang berlangsung, itu pun tanpa mengerti seberapa lama akan berlangsung. Padahal kebenaran informasi baru akan utuh dan final tentang keterpaparan Covid-19 adalah kelak sesudah seluruhnya reda di seluruh dunia.

Kegembiraan lain coba dihembuskan oleh banyak berita offline maupun online bahwa jumlah pasien Corona yang sembuh semakin banyak, dan itu dilogikakan sebagai gejala akan semakin dekatnya akhir dari penderitaan oleh Corona. Aslinya hal ini tidak mengagetkan karena sejak awal hadirnya Corona, angka kematian yang diakibatkan hanya sekitar 2-3% sd 8-9%. Berarti angka kesembuhan di atas 90%. Wajar kalau jumlah yang sembuh semakin banyak. Yang mungkin lebih logis untuk diasumsikan sebagai gejala semakin menyurutnya derita Corona adalah kalau jumlah kasus keterpaparannya menurun, syukur sampai prosentase Nol seperti di Wuhan sendiri – meskipun bisa tetap akan ada gelombang kedua.

Sedangkan di Indonesia urusan Corona ini kenaikannya permanen dan setia. Sore ini ada tambahan 283 kasus keterpaparan sehingga jumlah keseluruhan menginjak angka 7.418.

Sesungguhnya sejak sebulan yang lalu, 20 Maret 2020, kegembiraan nasional sudah digelar oleh berita: “Presiden bilang bahwa obat untuk pasien Corona sudah disiapkan oleh Pemerintah. Obat Corona sudah ada dan beliau sudah pesan sebanyak 2 juta, sementara yang terpapar virus mengerikan ini sampai hari ini baru tujuh ribuan lebih sedikit, jadi mesti bereslah semua ini. Beliau menyebut obat virus Corona itu namanya Avigan dan Cloroquine. Bahkan disempurnakan juga kabar gembira itu bahwa beliau sudah bagi-bagi obat Corona, sampai ada yang dari pintu ke pintu diantarkan.”

Tetapi kabar gembira itu dihapus sendiri oleh penyebarnya sebulan kemudian pada 18 April 2020. “Presiden menyatakan bahwa obat Corona belum ada, maka kita harus mengandalkan kedisiplinan dan semangat saling bantu-membantu melawan Corona. Tetapi saya berhasil menggagalkan rasa kecewa saya, karena peribahasa Jawa “esuk dele sore tempe” sudah lazim berlaku secara menyolok selama pemerintahan Negara kali ini. Apakah kalau pagi bilang kedelai tapi faktanya di sore hari ternyata tempe, itu pelanggaran konstitusi? Tidak. Ini NKRI. Pemimpin can do no wrong. Pokoknya Presiden pasti benar, tidak mungkin salah. Kalau kamu membantah, kamu akan saya hajar dan dihajar orang banyak di medsos, ngapsos maupun lètsos. 

Akan tetapi berikutnya saya semakin gagal mewujudkan niat untuk membikin para pembaca bergembira. Saya didatangi tamu tanpa masker dan membombardir saya dengan informasi bertubu-tubi, yang saya singkat menjadi tiga poin.

Pertama, jangan bermimpi menunggu redanya Corona ini seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan, setahun-dua tahun, 2022 atau 2025. Semua rakyat Indonesia bahkan seluruh penduduk Bumi harus mulai belajar untuk menerima virus Corona, sebagaimana virus flu yang lebih ringan, sebagai anggota keluarganya yang permanen dan sah. Harus siap bahwa Covid-19 ini tidak akan pernah sirna sampai selamanya, terutama karena kreativitasnya sangat tinggi untuk bermutasi dan melakukan penyesuaian diri, mengubah wujud dan perannya terus menerus sedemikian rupa.

Tamu yang pertama ini kemudian menyerbu kekurangajaran manusia di Bumi. “Mereka semua sudah tahu bahwa global climate, perusakan lingkungan hidup, keserakahan mengeruk kekayaan bumi, pasti akan membawa kehancuran pada peradaban manusia. Tetapi mereka tidak mau berubah sedikit pun dari kerakusannya. Mereka tetap melakukan ketidak-seimbangan kehidupan antara manusia dengan alam maupun antar kelas-kelas manusia sendiri. Tuhan mengingatkan “Kalian pikir Aku main-main menciptakan kalian, alam dan bumi ini? Terus kalian akan lari ke mana kecuali kembali kepada-Ku”, sebagaimana yang saya kutip di awal tulisan ini. Kalian seharusnya melakukan restarting peradaban, rebooting kehidupan cara mencapai penghidupan. Karena yang sudah terlanjur berkuasa dan kaya selalu menolak perubahan, maka sekarang ada kiriman Corona agar restart peradaban itu diwujudkan. Terserah manusia mau atau tidak. Atau barangkali manusia maunya hanya restart dari kerakusan lama menuju kerakusan baru. Reboot keserakahan lama untuk membangun sistem keserakahan baru.

Kemudian belum bangun saya dari terbanting-banting, datang tamu lain tanpa masker juga menambah penderitaan hati saya. Ia ngebom juga: “Manusia di dunia sedang harus mengalami perubahan peradaban yang mendasar. Untuk itu jer basuki mawa bea-nya adalah kemusnahan separuh penduduk dunia. Yang 15% dibunuh oleh wabah. Yang 10% mati karena khaos, bunuh-membunuh. Yang 25% bencana alam dari gempa bumi, tanah longsor, badai es hingga super-tsunami. Kamu tahu cacing-cacing yang keluar dari tanah itu. Pusatnya bukan di Pasar Gede, melainkan di sekitar bangun di pojoknya yang sejak sekian abad silam berfungsi Jaga Negara. Itu informasi bahwa akan terjadi bencana alam tidak kecil, dan pusatnya adalah kota tempat kelahiran Sang Penyempurna Kehancuran. Yang wajar dipilih oleh rakyatnya yang memang tidak waspada dan main-main dalam ber-Negara”.

“Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara manusia agar mereka mendapat pelajaran; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir supaya sebagian kamu dijadikan-Nya gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim.” (Ali Imran)

Siapakah Kepala Negara, ilmuwan atau tokoh apa pun yang selama perkara Corona itu mengeluh dan minta tolong kepada Tuhan? Paling jauh para ahli menegaskan: Corona ini bukan hasil rekayasa Lab Negara tertentu. Ini peristiwa alam biasa. Dan alam yang dimaksud di situ adalah alam yang sanggup menciptakan dirinya sendiri. Tidak ada faktor Tuhan.

Tetapi semua itu simpang siur bagi penduduk awam dunia seperti kita. Pemimpin spiritual bangsa Iran Ayatollah Khomeini dalam pidato Nisfu Sya’ban memberi sejumlah uraian yang kontroversial dari satu sisi, memantapkan dari sisi lain, tetapi jelas menggetarkan bagi semuanya:

“Seluruh ummat manusia tentang kehadiran seorang imam atau pemimpin dunia yang mampu menjadi juru selamat. Juru selamat yang datang atas kehendak Allah. Yakni Imam Mahdi. Pemimpin yang dapat menyatukan semua manusia, membebaskan dari ketersiksaan duniawi, juru selamat bagi semua agama.”

“Saat ini, ummat manusia menderita kemiskinan, penyakit, ketidakadilan, dan perpecahan kelas yang luas. Dan, manusia menyaksikan penyalahgunaan sains, penemuan, dan alam oleh kekuatan dunia. Ini telah menyebabkan keletihan dan frustrasi ummat manusia dan keinginan mereka untuk penyelamat, tangan yang menebus.”

“Ada kebutuhan akan kekuatan spiritual dan ilahi; tangan yang kuat dari Imam yang sempurna (semoga Tuhan mempercepat kedatangannya). Kebijaksanaan manusia adalah berkah luar biasa yang dapat memecahkan beberapa masalah tetapi tidak semuanya. Sebagai contoh, hari ini ilmu pengetahuan melayani ketidakadilan dan penghasut perang di dunia. Semua agama telah berjanji akan datangnya seorang Juru Selamat. Dalam Islam, orang-orang diminta untuk menunggu Juru Selamat. Menunggu bukan berarti duduk santai; menunggu berarti memiliki harapan dan persiapan. Itu berarti mengambil tindakan.”

“Untuk sekadar diketahui, dunia saat ini memang sedang gonjang-ganjing. Saat ini dunia sedang dilanda wabah Virus Corona atau COVID-19, virus ini telah menjangkiti 1,5 juta manusia dan membunuh 88 ribu orang. Belum lagi peperangan juga masih terjadi di sejumlah negara, seperti Suriah, Libya, Afghanistan dan lainnya.”

“Sejak Virus Corona meledak di Wuhan selalu ada dua pendapat pemikiran yang berkembang. Banyak akhli terutama para ahli lingkungan yang selana ini tidak pernah didengar oleh aparatus globalisasi yang melontarkan bahwa Virus Corona adalah virus yang lahir dari tabiat manusia yang suka merusak alam.”

“Sedangkan pikiran lain virus ini adalah merupakan hasil rekayasa manusia. Biasanya pikiran ini sejalan dengan analisis konspirasi yang digunakan. Kalau aku lebih percaya bahwa Covid-19 lahir karena tabiat manusia. Sedangkan herd immunity kalau ahli kesehatan pasti akan menjawab itu tak mungkin, tetap butuh teknologi. Kecuali kalau sistem kehidupan kita sehari-hari masih berlangsung secara komunal seperti minum jamu, mengkonsumsi rempah-rempah, empon-empon itu bisa menjadi ketahanan komunitas dari serangan virus.”

“Sudah didiskusikan pada tahun 2015, ini tidak boleh dilakukan. Ada dua ilmuwan utama yang mengatakan ini tidak boleh dilakukan. Virus ini bukanlah fenomena yang terjadi secara natural. Ini sangatlah penting dan saya akan memberi buktinya.”

“Kamu harus bersikap cermat, sadari ada agenda di balik ini semua. Jangan dikalahkan oleh ketakutan, karena ini merupakan satu paket dari agenda mereka.”

“Virus ini dilabeli sebagai senjata biologis oleh beberapa orang. Dan tentu saja media mainstream menyatakan itu adalah teori konspirasi. Tapi mari kita lihat sama-sama konfigurasi dari virus covid 19 ini.”

“Yang mau saya jelaskan adalah ini bukan karena seseorang memakan sup kelelawar atau berpindah dari ular, kungkang atau hewan lainnya. Virus ini bukanlah sesuatu yang terbentuk dari alam. Ini sangat penting dan saya akan menunjukkan pada kalian buktinya.”

“Virus ini sebenarnya diciptakan di universitas North Carolina Chapel Hill dan mereka menerbitkan hasil hasil penting penelitiannya pada november 2015. Daftar dari para peneliti yang diasosiasikan sebagai virus “frankenstein”. Kamu bisa lihat nama Zheng Li Shi yang mewakili laboratorium spesialis patogen dan biosafety, institut teknologi Wuhan China. Dr Shi adalah sosok sangat penting di sini. Dari tahun 2014 dr. Shi menerima berbagai pendanaan dari Pemerintah USA. Juga dari program Nasional Basic research China. Akademi science China, badan nasional natural science China program penelitian prioritas, akademi ilmiah China. Untuk membantu mendanai penelitian Corona Virus.”

“Ingat ini pada tahun 2015. Pemerintah Amerika mendanai dr. Shi serta pemerintahan China untuk mendanai penelitian berbagai macam Coronavirus. Ini diterbitkan pada tanggal 12 November 2015 dan ini adalah dokumen artikel penuhnya. Tapi yang ingin saya kemukakan di sini, pada bulan maret 2020 ini ditambahkan catatan di artikel ini oleh editor nya. Saya akan membacanya dan kemudian saya membandingkannya dengan penelitiannya dan tentukan sendiri maksudnya.”

“Catatan dari editor ini mengatakan kami menyadari bahwa cerita ini digunakan sebagai dasar dari teori yang belum diverifikasi. Dimana novel Coronavirus yang menyebabkan Covid-19 adalah buatan manusia. Tidak ada bukti bahwa ini benar. Para peneliti percaya bahwa binatang adalah yang paling mungkin menjadi sumber dari Coronavirus.”

“Jelas sekali siapapun yang menulis catatan editor ini adalah antara seorang yang idiot atau orang yang tidak memahami bahasa inggris. Tapi sudah pasti bukan seorang peneliti. Saya akan menunjukkan kepada Anda apa yang sesungguhya dinyatakan di penelitian ini. Perlu diingat ini adalah peringatan agar orang mengabaikan penelitian ini. Untuk mencegah orang agar tidak melihat lebih jauh tentang penelitian ini untuk mengatakan padamu; lihat, langit itu tidak biru. Ya itu memang terlihat biru tapi sebenarnya tidak biru.”

“Pada November 2015 sebuah penelitian yang menciptakan versi hibrida dari Coronavirus dari kelelawar. Jenis yang berhubungan dengan Virus SARS. Seperti yang kita bahas sebelumnya memancing perdebatan tentang apakah laboratorium rekayasa virus yang mungkin dapat menyebabkan pandemik memiliki risiko yang sepadan.”

“Ini adalah bagian terpenting: disebutkan di parqgaraf pertama dari penelitian ini dipublikasi di “nature”, yang mana adalah salah satu jurnal publikasi paling dihormati di dunia. Walaupun hampir semua Coronavirus yang diisolasi dari kelelawar tidak dapat mengikat pada reseptor di tubuh manusia, yaitu SHC014, yang merupakan jenis spesifik Coronavirus yang sedang kita bicarakan. Tidak dapat berkembang di tubuh manusia. Sekali lagi ini adalah hasil penelitiannya. Kamu membaca sesuatu dan mereka mengatakan apapun yang kamu baca bukanlah hal itu. Eksperimen di penelitian ini, menunjukkan bahwa virus dalam kelelawar liar ini harus berevolusi dahulu baru bisa membahayakan manusia.”

“Virus ini perlu berevolusi dulu, perlu berubah, dan akan membutuhkan waktu. Perubahan yang mungkin tidak akan pernah terjadi walaupun tidak dapat diabaikan. Baric dan tim nya merekontruksikan ulang virus liar ini dari rangkaian genomnya, dan menemukan bahwa virus ini sulit sekali bertumbuh pada kultur sel manusia. Dan tidak menyebabkan penyakit serius pada tikus.”

“Oke kita melihat virus yang ditemukan dari kelelawar dan sulit sekali untuk berpindah ke manusia. Dan kalau pun sudah beradq di manusia kultur sel manusia virus ini sangat buruk pertumbuhannya. Dan pada tikus lab, tidak menyebabkan penyakit serius apa pun. Dampak satu-satunya penelitian ini adalah terciptanya di lab sebuah risiko baru yang tidak natural. Menurut Richard Ebright, pakar biologi molekul dan pertahanan biologis Univ Rutgers, Piscatawhy, New Jersey. Tapi untuk apa kamu merekayasa suatu virus demi membuatnya berbahaya. Apa tujuan nya , mereka mengatakan ini untuk tujuan penelitian. Kita harus melawan pemerintahan yang melakukan kegilaan dengan mengambil keuntungan sebuah krisis. Ini adalah bagaimana kebebasanmu akan mati. Bangkitlah Amerika dan lawanlah.”

“Departemen kehakiman mencari otoritas baru di tengah pandemi Coronavirus. Ini permasalahannya, inilah yang harus kita takutkan. Di mana pemerintahan akan menggunakan kejadian bohongan ini, membesar-besarkannya dan mengambil lebih banyak lagi hak-hak orang, kebebasan, dan membuat suatu tindakan mandatori yang harus ditaati setiap orang dari karantina. Sampai pada hal yang mengerikan lagi. Jadi kamu harus sangat berhati-hati. Hati-hati terhadap agenda dibaliknya!”

“Jangan dikalahkan oleh ketakutan, karena ini merupakan satu paket agenda mereka. Virus ini adalah virus yang lemah mereka akan langsung mati oleh sistem imunmu. Tidak akan menginfeksimu dan jika memang iya, efeknya akan sangat sangat singkat. 24 sampai 48 jam mayoritas orang akan merasa lebih baik.”

“Dalam kehidupan pribadi, politik dan sosial masyarakat, lembaga atau organisasi dan bahkan revolusi, biasanya menghadapi dua jalan berbahaya; jalan transenden atau kemunduran.”

“Satu jalan adalah jalan transenden, sementara jalan yang lain adalah kemerosotan. Penggerak akal, hikmah, hidayah dan spiritual membawa mereka ke puncak atau daya tarik materi menurunkan mereka ke arah keinginan hina materi. Dua jalan ini biasanya dalam satu periode tertentu berada di hadapan orang dan pribadi manusia, juga organisasi, sebagaimana yang saya jelaskan, juga di hadapan revolusi, di mana sebagian revolusi dan perubahan besar politik dunia dimulai dengan baik dan tumbuh juga dengan baik, tapi dalam satu periode sensitif berada dalam kemerosotan dan kejatuhan. Dua jalan ini bagi masyarakat dan Negara kita sudah pasti terjadi dalam periode pasca Pertahanan Suci… Tapi Sepah Pasdaran dalam periode ini berhasil tampil sebagai pemenang, Sepah tidak terkena keletihan dan kemunduran, berhasil mempertahankan elemen politik identitasnya dan bergerak menujuk transenden.”

Mungkin kita masih berkutat di kekerdilan sikap seperti ini: “Itu kan pemimpin Syi’ah. Syi’ah kan bukan Islam”. *****

[Baca selengkapnya — https://bit.ly/2zol0Mm]