Selasa, 28 Maret 2017

Pantat Inul adalah Wajah kita semua

Oleh : Emha Ainun Nadjib*

Di wilayah kerajaan dangdut, Inul adalah warganya sang Raja Dangdut, atau mungkin lebih intim kalau kita sebut anaknya Rhoma Irama. Ia berada dalam asuhan, ayoman, dan perlindungan bapaknya. Kalau si anak benar, bapak mensupport-nya. Kalau anak salah, bapak mengingatkannya. Kalau anak jaya, bapak bergembira. Kalau anak terpuruk, bapak menolongnya.

Apalagi ternyata anak-anak lain sebenarnya juga melakukan hal yang sama dengan Inul. Penyanyi-penyanyi dangdut yang lain, baik yang tampil di televisi, dan apalagi yang di luar itu-sejak Inul terkenal, setengah mati mencari pola-pola
joget yang diperkirakan bisa bersaing melawan Inul, yang produknya sama sekali tidak kalah sensual dibanding Inul.

Kosmos dangdut berguncang oleh kehadiran Inul. Konstelasi pentas dangdut berubah total oleh adanya Inul. Inul menjadi bintang gemintang dan yang lainnya menjadi figuran. Keindahan musikalitas dangdut menjadi sekunder karena yang primer adalah fenomena budaya ngebor yang dilansir oleh Inul.

Ngebor menantang lahirnya ngecor, ngezor, ngelor, ngedor… atau apapun.
“Ngebor” adalah “avant-garde” budaya dangdut.  Sesungguhnya apa yang dilakukan Inul adalah angka 9 dari 1,2,3… 6,7,8 yang sebelumnya secara bertahap dicapai oleh dinamika musik dan budaya dangdut.

Joget ngebor Inul adalah garda depan dari perkembangan panjang budaya joget dangdut. Ia bukan anak jadah. Ia anak yang normal, relevan, dan bahkan setia serta kreatif terhadap aspirasi budaya joget dangdut. Kalau Anda perhatikan atmosfer pentas dangdut, orang yang cerdas bahkan berani memastikan bahwa yang semacam Inul itu akan pasti lahir, lambat atau cepat.

Tidak ada yang aneh dengan Inul karena budaya joget yang berkembang dalam kultur dangdut memang sangat akomodatif terhadap jenis kultur semacam ini. Dan, mohon maaf, Pak Haji sejak awal kebangkitan dangdut memang tidak antisipatif terhadap fenomena ini. Pak Haji secara tidak sengaja ikut memupuknya sehingga mengherankan kalau seakan-akan sesudah hadirnya Inul beliau baru tahu tentang budaya goyang aurat dalam pentas dangdut.  Sudah lama Pak Haji terlibat dalam atmosfer goyang semacam itu dan tidak tampak merasa risi olehnya.

Awal tahun 1980-an saya pernah menulis tentang pentas dangdut yang diawali dengan tuturan ayat Quran atau hadis Nabi kemudian musik berbunyi dan penyanyinya menggoyang aurat, depan maupun belakang. Inul bahkan hanya mengolah aurat belakang, tidak terlalu membuat kaum lelaki pingsan sebagaimana kalau yang digoyang adalah bagian depan-yang biasanya dikomposisikan dengan mikrofon yang disodorkan tepat di depan kemaluan si penyanyi.

Sejak puluhan tahun lalu masyarakat terheran-heran oleh paradoks antara syair dakwah dangdut dengan praktik budaya joget dangdut. Pak Haji seakan-akan baru hari ini menjumpai fenomena itu. Dan, para pejoget dangdut yang lain seakan-akan suci dari tradisi budaya joget Inul.

Rekapitulasi nilai budaya dangdut Maka, yang saya bayangkan adalah sang Raja atau si bapak dangdut memanggil anak garda depan itu. Ia panggil juga semua anaknya yang lain.

Mungkin dinasihatinya, atau diajak berdiskusi, berunding, bersama-sama memproses dialog menuju keputusan bersama yang mewakili citra seluruh keluarga-kalau memang semua memandang bahwa atmosfer dunia dangdut harus mengalami perubahan.  Katakanlah mereka berpendapat bahwa perlu ada semacam rekapitulasi nilai budaya dangdut.

Kalau ternyata si anak bersikap egois, tidak bisa melakukan moderasi atau persuasi sama sekali, maka bapak dan seluruh keluarga tidak punya kemungkinan lain kecuali bersikap memisahkan diri dari si anak.

Saya tidak berada di Indonesia ketika kasus Inul-Rhoma ini meledak, juga tatkala saya menulis ini. Dengan demikian, saya tidak tahu persis bagaimana kronologinya. Tidak tahu apakah sudah terlebih dulu ada proses dialog masyarakat
dangdut dengan Inul, ataukah tiba-tiba saja masyarakat mendengar sikap Pak Haji Rhoma dan masyarakat dangdut terhadap Inul.

Tiba-tiba saja Rhoma dan masyarakat dangdut adalah sebuah pihak, dan Inul adalah pihak yang lain.  Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka kayaknya di sini letak ketergesaan dan kekurangarifan Pak Haji. Di dalam wilayah internal kerajaan dangdut, Inul tidak memperoleh hak runding, hak islah, hak mempertahankan pendapat, dan hak mendapatkan bimbingan.

Fokus gugatan bukan Inul Kekurangarifan yang lain adalah bahwa Inul dijadikan fokus jihadnya Pak Haji. “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk tergesa-gesa”, Allah berfirman. Dan, Pak Haji sungguh tergesa-gesa.

Kalau ada makanan beracun, Pak Haji, jangan melotot hanya pada makanan itu.  Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja yang nanti akan bergoyang kalau kita banting-banting itu makanan beracun.

Bahkan, Pak Haji, kalau ada sepiring nasi beracun, apakah nasi itu harus kita buang beserta piringnya sekalian, ataukah kita cari cara untuk membersihkan piring dan nasi dari racun sehingga yang kita musuhi dan buang hanyalah
racunnya?

Maka, sekali lagi, kalau ada makanan beracun, jangan sampai konsentrasi terhadap racun kalah besar dibanding perhatian terhadap makanannya.

Yang harus didiskusikan oleh Raja dan masyarakat dangdut bukan Inul, melainkan fenomena jogetnya. Bukan figurnya, melainkan keseniannya. Bukan orangnya, melainkan kriteria nilainya.
Sejak umur 10 tahun, di sekitar pertengahan tahun 1980-an, dari daerah Japanan, Jawa Timur, Inul sudah mulai show dan sudah dikenal banyak orang keistimewaannya dalam menggoyang badan dengan fokus pantatnya.   Kalangan-kalangan masyarakat kelas bawah di berbagai wilayah di Jawa Timur sudah tidak “pangling” dengan goyang Inul.

Dan, semua aktivitasnya itu relatif tidak mendapat halangan apa-apa. Karena latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyarakat kita pada dasarnya tidak pernah memiliki kesungguh-sungguhan atau konsistensi substansial untuk menyikapi gejala apa pun; kemaksiatan, pencurian, korupsi, perjudian, pelacuran, atau apa pun saja-meskipun secara teoretis itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka anut.

Ketidaksungguhan itu maksudnya begini: ya menyembah Allah, tapi juga mengingkari-Nya. Ya mencintai-Nya, tapi juga menyakiti hati-Nya.

Shalat juga, tapi beli togel juga. Puasa Ramadan juga, tapi minum arak rajin juga. Naik haji juga, tapi puncak ibadah di Mekkah itu tidak dijamin pasti menghalanginya melakukan pencurian, kecurangan, menyakiti orang lain, berselingkuh, merendahkan orang kecil, mengoordinir pencurian kayu hutan, menyantet kompetitornya dalam memperebutkan jabatan, melakukan penindasan dan kezaliman, dan berbagai macam perilaku yang membuat Allah sakit hati.

Jangan korupsi, kecuali saya kecipratan

Kita adalah masyarakat yang melarang siapa pun melakukan korupsi, kecuali kita ikut kecipratan. Kita tidak ikhlas ada KKN, kalau kita tidak dilibatkan di dalamnya. Korupsi tidak haram asalkan yang melakukan adalah keluarga kita
sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita.

Meniduri pembantu rumah tangga itu zalim dan dosa besar, tetapi kalau yang Melakukan adalah tokoh kita sendiri, maka wajib kita tutupi, kalau perlu anak hasil perzinahan itu kita upayakan penanganan dan penampungannya.

Bagi kita, yang dimaksud tokoh adalah orang yang kita dorong, kita perjuangkan, dan kita bela untuk menjadi pemimpin nasional karena kalau berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat proyek, bisa
makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat ini-itu.

Calon presiden adalah orang yang kalau dia menjadi presiden kita harapkan memberi keuntungan kepada kita. Sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada golongan kita, ormas/orpol kita, kelompok kita: kalau terpaksanya tidak bisa maksimal, ya, yang penting bisa memberi keuntungan bagi kita pribadi dan
keluarga kita.

Calon presiden itu boleh pelawak, boleh malaikat, boleh orang dungu, boleh setan, boleh siapa saja, asalkan menguntungkan kita. Yang dimaksud kita, tidak harus kita bangsa Indonesia, bahkan tak harus kita segolongan, yang penting kita sendiri ini, seorang saja pun, mendapat keuntungan.  Dan yang dimaksud keuntungan, sederhana saja: uang sebanyak-banyaknya. Dengan atmosfer nilai semacam itu, fenomena Inul tidak a-historis dan bukan sesuatu yang istimewa.  Perampok dan pengemis  Kalau ada rezim korup, kita akan memperjuangkan satu di antara tiga kemungkinan. Pertama, kita tumbangkan rezim itu agar kita bisa menggantikannya melakukan korupsi. Atau kedua, kita tekan rezim itu pada level yang kita mampu, agar supaya mereka tidak egoistik dalam melakukan pencurian uang negara dan harta rakyat. Mereka harus berbagi dengan kita, korupsi dalam koordinasi dengan kita, berkolusi dalam jaringan dengan kita.  Kemungkinan ketiga, kalau kita tidak memiliki “bargaining power” apa-apa untuk melakukan negosiasi, maka kita upayakan cara-cara untuk mengemis.  Tentu saja kalau bisa jangan sampai tampak mengemis, kita bisa hiasi dan tutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh nasionalisme.  Penduduk Indonesia ada dua. Perampok dan pengemis. KTPnya ganti setiap diperlukan. Kalau sedang berkuasa, merampok. Kalau tak berkuasa, mengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah tema dan komitmen, atas nama dinamika demokrasi.  Inul tidak termasuk penduduk yang bisa merampok atau mengemis dalam konteks itu. Ia hanya punya kemampuan menggoyang pantat, dan ia tidak mengerti hubungan antara goyang pantat dengan peta nilai apapun-filosofi, moral, akhlak, akidah atau apapun-kecuali logika bahwa kalau ia mau bergoyang maka ia menerima honor sekian rupiah. Dengan atmosfir nilai semacam itu, fenomena Inul bukanlah sesuatu yang aneh dan mengherankan.  Togel dan istikamah  Aa Gym bertanya kepada Inul, “Apakah Mbak Inul tidak pernah berpikir bahwa yang Mbak Inul lakukan itu bisa merusak moral generasi muda bangsa kita?” Inul menjawab dengan penuh kejujuran: “Alhamdulillah nggak….”  Nuansa jawabannya seperti seorang pembeli nomor judi undi yang menjual sepedanya untuk memborong angka 97 (sembilan tujuh), karena ia mendapat ramalan 79 (tujuh sembilan) kemudian ia mistik otak-atik menjadi 97 (sembilan tujuh). Padahal, yang kemudian keluar adalah 79 (tujuh sembilan) persis seperti angka ramalan. Ia sudah telanjur jual sepeda…. Istrinya marah habis. Seorang sahabatnya memberi nasihat: “Makanya orang hidup itu harus istikamah, jangan plintat-plintut. Kalau sudah 79 ya 79, jangan dibolak-balik. Iman harus teguh….”  Inul tidak merasa melakukan apa pun yang berkaitan dengan kerusakan moral masyarakat. Sehingga kalau ada pengadilan moral, Inul ada di urutan sangat belakang. Urutan terdepan adalah orang yang mengerti moral namun mengkhianatinya, orang yang memahami hukum tapi melanggarnya, yang mengerti menjadi wakil rakyat artinya adalah mewakili kepentingan rakyat namun sibuk dengan kepentingan diri dan golongannya.  Sama dengan Sumanto, ia sekadar kanibal kelas teri. Ia beraninya hanya makan mayat, itu pun nenek-nenek. Itu pun sesudah si mayat ada di kuburan baru ia mencurinya. Sumanto tidak berani makan daging rakyat sebagaimana banyak pengurus negara.Pantat Inul dan perilaku Sumanto, secara kualitatif, adalah wajah kita semua.  Membayar untuk dipantati  Mohon maaf harus saya kemukakan bahwa Pak Haji Rhoma perlu memastikan di dalam kesadarannya bahwa beliau hidup di negara yang politiknya secular dan perekonomiannya industri, dan kebudayaan berada di bawah otoritas dua kekuasaan itu.  Siapa pun yang tidak setuju atas kenyataan itu bisa memilih satu di antara tiga kemungkinan. Pertama, melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan. Kedua, menciptakan lingkaran “negeri” sendiri untuk menerapkan prinsip-prinsip nilainya di wilayah-wilayah nilai yang memungkinkan, tanpa harus menabrak konstitusi negara. Ketiga, melakukan sejumlah kompromi terbatas berdasarkan prinsip persuasi dan strategi sejarah berirama.  Sebagai orang yang hidup dengan pandangan agama, Pak Haji bisa mengambil wacana sujud shalat untuk menilai Inul. Tuhan menyuruh Muslim bersujud.  Dalam sujud pantat kita letakkan di tataran tertinggi, sementara wajah di level terendah.  Wajah itu lambang eksistensi kita, icon kepribadian kita, dan display dari identitas kita. Kalau bikin KTP tidak dengan foto close up pantat, melainkan wajah.  Ritus sujud menjadi semacam metode cermin untuk menyadari terus-menerus bahwa kalau tidak hati-hati dalam berperilaku, manusia bisa turun martabatnya dari wajah ke pantat. Ketika bersujud yang diucapkan oleh orang shalat adalah “Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi”. Jadi jelas sujud itu memuat substansi martabat atau derajat manusia hidup.  Pak Haji cemas karena sekarang orang bukan hanya tidak takut martabat kepribadiannya merosot. Orang bahkan mendambakan pantatnya Inul, dan membayar untuk dipantati Inul.  “Market” dangdut tanpa sensualitas  Tetapi itu wacana agama. Itu urusan orang beragama. Sekularisme dan industrialisme tidak relevan terhadap martabat, derajat, akhlak dan akidah.  Tidak ada agenda di dalam sekularisme dan industrialisme yang menyangkut itu semua.  Ini negara sekular, Pak Haji. Jangankan joget Inul: berzinah pun tak apa-apa. Boleh atau tidak menjadi kafir tak ada undang-undangnya.  Bersikap munafik juga boleh-boleh saja. Negara ini tidak keberatan kalau kita mengkhianati Tuhan. Tuhan bukan subyek utama. Tak ada Tuhan pun negara ini tak keberatan. Dan Pak Haji tak usah menangis, tinggal mengambil satu di antara tiga kemungkinan sikap yang tertuang di atas.  Industri tidak berpikir baik atau buruk, akhlaqul karimah atau sayyiah.  Industri tidak ada kaitannya dengan Tuhan, surga dan neraka.  Industrialisme bekerja keras dalam skema laku atau tak laku, marketable atau tidak marketable, rating tinggi atau rendah. Bad news is good news. Kalau yang laku ingus, jual ingus. Kalau yang ramai di pasar adalah Inul, jual Inul.  Dan Pak Haji adalah figur yang juga sangat marketable-industrial selama ini.  Sekarang Pak Haji harus membuktikan kesaktian bahwa musik Pak Haji akan tetap marketable meskipun minus joget dan sensualitas.  Pak Haji, ada saat-saat di mana ternyata yang enak adalah orang yang tidak laku seperti saya.  Ya Allah, reformasi masih gagal, petani makin sengsara, buruh menderita, krisis nasional tak kunjung berakhir, pemilu demi pemilu tidak menambah keselamatan bangsa, berbagai problem besar belum mampu kami atasi-dan hari ini aku harus menulis tentang pantat, ya Allah….  

_ean_
Sumber by : wordpress.com

Calonarang Efec oleh I Ketut Sandika

"Para sisnyanku prasamya, umigal ta kita maring telangin setra gandamayu. Sigrakopa rengenta kemenak kangsi suara lango. Pinuja de Hyang Bhattari astu anugraha siddhi wisesa angadakaken gering merana"

Penggalan tersebut adalah kisah Calonarang menari dengan para muridnya di kuburan, dan memuja Hyang Bhattari Durga sembari memohon anugrah guna menciptakan wabah/epidemik. Tarian Tantrik pun digelar, dengan mengkuti pola mandala yantra dengan Ni Calonarang berada pada titik pusat, murid mengitari membentuk lingkaran. Sebuah tarian magis dalam memuja kekuatan Dewi Durga dalam asapeknya sebagai Panca Durga.

Selanjutnya, mereka menurunkan lima kekutan Durga sebagai Sridurga pengendali sekaligus penguasa bhutakala dan yaksa, Daridurga penguasa bhutakapiragan, Sukridurga penguasa bhuta kamala kamali, Rajidurga penguasa bregala bregali dan dewi Durga sendiri sebagai penguasa Panca Bhuta. Kekuatan ini masing-masing berada pada empat arah mata angin dan berpusat pada satu titik pusat hingga berpola Tampak Dara atau Catus Pata (tanda +).

Dari mandala inilah mereka menyebar wabah yang mengerikan. Masing-masing bhuta diutus untuk menciptakan kehancuran melalui empat arah. Kekuatan penghancuran yang diciptakan merupakan kekuatan hasil dari sebuah ritual esoterik avidyatantra (jalur tangan kiri) di mana mereka memainkan pusaran energi kosmik ke arah kiri (melawan jarum jam). Putaran ke kiri adalah menimbulkan kekuatan sentrifugal yakni pelepasan. Jadi, energi bhuta dilepas, maka akan menimbulkan chaos atau ketidak seimbangan lima elemen (panca maha bhuta).

Pada masing-masing arah catuspatayantra mandala dikendalikan oleh sisya Calonarang di mana mereka sudah dibekali bijaksara sebagai "kata kunci" untuk memainkan aksara yang tiada lain adalah getaran gelombang (baca teori resonansi, bahwa getaran menimbulkan suara). Lenda berada di timur, ia personifikasikan dirinya sebagai Sridurga.Membuat penyakit, maka bhuta kala adalah energi yang dilepaskan. Bijaksara SANG sebagai kata kunci. Di alam mikro (tubuh) ia berada di jantung. Sadyojata dipuja sebagai Iswara SAD dibalikkan menjadi SYAM AH ONG, Iswara menjadi Kursika mejadi Bhuta Dengen akan membuat manusia bingung, pikiran kalut, emosi tidak terkontrol, marah yang memuncak dan berujung pada kematian mendadak tanpa sebab.

Lendi-lendi berada di selatan, ia mempersonifikasikan dirinya sebagai Daridurga. Sakit dibuat, bhuta kapiragan adalah energi yang dilepaskan. Bijaksara BANG sebagai kata kunci, di alam mikro ia berada di hati. Bamadewa dipuja sebagai Brahma BA dibalikkan menjadi BAM AH ONG RANG, Bhamadewa menjadi sang Garga menjadi bhuta Mong membuat nafsu tidak terkendali, pikiran kacau, stres tanpa sebab, sakit kepala hingga berujung kematian.

Adiguyang berada di barat, ia mempersonifikasikan dirinya sebagai Sukridurga. Bhuta kamala kamali disebar membuat penyakit sebagai energi. Bijaksara TANG kata kuncinya, Alam mikro berada di ungsilan. Tatpurusa dipuja sebagai Mahadewa TA dibalikan menjadi TANG AH ONG RENG, Tatpurusa menjadi sang Meitri menjadi Bhuta Naga membuat perut sakit, ksehatan pencernaan terganngu, diare dan muntah hingga berujung pada kematian.

Waksirsa berada di utara, ia mempersonifikasikan dirinya sebagai Rajidurga. Bhuta bregala sebagai energi untuk menyebar penyakit. Bijaksara ANG kata kuncinya, alam mikro berada di empedu. Aghora dipuja menjadi Wisnu ANG dibalik menjadi AH ANG ONG RUENG, Aghora menjadi sang Kurusya menjadi bhuta bhuaya membuat nyali terganggu dan berujung pada kematian.

Larung bersama Calonarang berada di tengah, mereka mempersonifikasikan dirinya sebagai Dewidurga. Panca bhuta disebar untuk membuat segala macam penyakit. Bijaksara ING sebagai kata kunci, di alam mikro berada di tengah hati. Isana dipuja menjadi Siwa sakti ING YANG dibalik menjadi YANG ING AH ANG RUNG, Isana menjadi Bhuta jangitan membuat komplikasi penyakit.
*****************
Sebua refleksi, bahwa appun praktik tantra yang digambarkan calonarang, adalah sebuah gambaran indah tentang kasanah ilmu yang terbangun dari perjumpaan dari beberapa konsep ketuhanan. Selain memang hal tersebut menjadi sebuah refleksi diri hidup pada zaman glokalisasi. Epidemik yang disebar Calonarang beserta dengan muridnya adalah sebuah gambaran bagaimana para bhuta itu dari dulu hingga kini bersarang dalam diri. Konon, para bhuta menyebar panyakit ke arah empat mata angin dan berdiam di sana. Kini, mereka tidak lagi brsemayam pada arah catus pata arah mata angin, tetapi bersarang di catus pata diri, yakni pikiran, hati, ucapan dan tindakan. Jika bhuta masih mempengaruhi pikiran, hati, ucapan dan tindakan maka sangat perlu diruwat. Bhuta mulihnia menadi panca dewata dan nunggl Angkara dengan Ahkara menjadi Ongkara sebagai rasa yang santa, harmoni, damai, dan #rahayu.
**************
sumber:
Lontar akitan calonarang
Lontar kawisesan calonarang/Paradah
Lontar bhuwana mareka
Lontar purwana bumi tuwa

Jumat, 03 Maret 2017

Sinau nulis puisi

Membentangkan Jalan Bagi Puisi

Puisi seringkali dianggap karya anak dewa. Dalam arti sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia-manusia khusus yang dianugerahi Tuhan dua kelebihan sekaligus, yakni kemampuan untuk bisa menulis dan kesempatan menangkap turunnya ide dari langit. Ke-mampu-an menulis nyatanya memang tidak semua orang bisa melakukan meski telah mengenyam pendidikan sarjana. Sedang kesempatan menangkap ide nyatanya tidak semua orang mampu memaknai peristiwa hingga sedemikian dahsyat menalarkan suatu makna beserta kelembutannya menjadi sebuah karya tulis indah. Padahal setiap manusia satu dengan lainnya terbilang podo mangan segane, podo turu ngoroke. 

Sejatinya tidak demikian. Puisi itu biasa saja setara jutaan makhluk lainnya. Ia dibikin oleh orang yang menyukainya. Seperti halnya sayur lodeh, soto, rawon, rendang, rica-rica dll. Ia adalah menu pilihan yang berkaitan dengan cita rasa, kekhasan asal daerah serta efek kesehatan. Demikian juga puisi, ia dicipta oleh penulisnya untuk menghantarkan menu utama kehidupan supaya terasa lebih nyamleng memahami keluasan pengetahuan. 

Lahirnya puisi tak lepas dari proses mencipta dan dicipta. Mencipta sebagai kalimat aktif yang berlaga maskulin, sedang dicipta berposisi pasif yang bersifat menunggu sebagai tanda femina. Oleh karena itu proses lahirnya puisi sebagai makhluk tak ubahnya gejala turunan yang dilakukan Tuhan  sejak zaman azali, yakni ketika sendiri di ruang sunyi, kemudian Alloh merindukan nama-nama baru, maka lahirlah makhluk pertama yang bernama ide. Ketika ide sudah berwujud, meruang dan mewaktu tercapailah tujuan asma’akullaha: aneka karya baru yang terus bermunculan, termasuk puisi dengan berbagai jenis tipografi dan alirannya.

Setelah puisi terbentuk, baik yang mencipta atau yang dicipta menemukan titik teofani, maksudnya kepuasan dua fihak. Bagi puisi, penulis yang melahirkan dirinya adalah citra khusus. Puisi berkata bahwa penulis dapat dikenali dari dirinya, maksudnya kwalitas puisinya. Yang jadi pertanyaan adalah siapakah penulisnya? Apa yang diinginkan penulisnya? Atau bagaimanakah proses yang melatarbelakangi kelahirannya?

Beberapa kali saya ngobrol dengan D. Zawawi Imron, penyair Celurit Emas asal Kecamatan Batang Batang Sumenep Madura. Katakanlah dari dua antologi puisinya Celurit Emas dan Madura Akulah Darahmu terbilang sebagai puisi jadi yang menghantarkan Zawawi Imron duduk di kursi kepenyairan. Puisi jadi maksudnya puisi pilihan setelah menyisihkan ribuan judul puisi yang dianggap gagal sebagai puisi baik atau puisi yang masih tergolong bakalan (pra-menjadi puisi). Saya kira tidak hanya D. Zawawi Imron, melainkan seluruh penyair besar karya yang terpublikasi tidak ujug-ujug sempurna sebagaimana ditelan pembaca, melainkan ada proses panjang yang menyertainya meliputi penghapusan, editorial bahkan nash-mansukh, yakni perubahan puisi lama menjadi puisi yang lebih baik dalam satu tema.

Menjawab pertanyaan bagaimanakah proses lahirnya puisi? Berikut salah satu contoh yang saya terapkan terhadap anak didik di kelas menulis MTs Al-Ihsan Kalijaring Tembelang Jombang. Dengan konsekuensi bahwa pilihan menulis puisi bagi penulis pemula adalah kerja yang paling gampang dan efektif. Meskipun sesungguhnya belum layak bagi siswa untuk menuliskan puisi sempurna dengan berbagai kajiannya. Maksudnya memahami puisi adalah hal yang berat dan belum layak dilakukan siswa yang referensi pengetahuannya masih gagap tentang apa itu makhluk yang bernama puisi. Ada rima, irama, pilihan kata, analogi kata dalam satu kalimat, kekentalan bahasa, keuletan antar kalimat dalam alenia, tipografi bahkan kenapa puisi harus ditulis dan hendak kemana tujuan puisi dilabuhkan? Yang jelas puisi adalah kapten kesebelasan sebagai kode menyatatkan peristiwa fakta ataupun peristiwa imajinasi.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengajak dialog anak didik satu persatu seputar apa saja yang berada di lingkungan mereka. Ada benda atau peristiwa apa yang paling utama untuk ditulis sehingga kabar tersebut diketahui khalayak? Otomatis tema yang muncul adalah desa-desa sekitar Kalijaring. Sebagai pembuka para siswa saya ajak menentukan judul yang puitif, sebab kelak akan menjumpai bahwa tekhnik penulisan judul pada puisi berbeda dengan karya tulis ilmiah. Setelah menentukan judul, barulah memfokuskan titik pembicaraan atau tema. Tahap berikutnya memilih kata, mengedit, membongkar pasang kalimat supaya terkesan nyes dan nyodok jika dibaca.
Puisi I:
Antara Lampung-Kapas

Sejak ginjal menyerang ibu
Aku terhempas dari Lampung ke Kapas
Aku menjadi perantau jauh
Bakauheni-Merak aku melintas

Dalam mobil enak sekali
Makan dan tidur tanpa berhenti
Sampai di Kapas aku ke sawah
Bersama teman sepermainan alangkah indah
(Ilham Surya Padewa kelas VII A)

Puisi Lampung-Kapas yang ditulis Ilham Surya Padewa mengguratkan kisah. Kelak Ilham akan memaknai puisinya sebagai kebersamaan (dengan kisah) yang bukan teori semata, melainkan peristiwa. Puisi tidak puas dengan nilai saja, tetapi juga mengalaminya. Dalam puisi Lampung Kapas petualangan merupakan ksatria, ialah makna penting sebab petualanganlah yang menciptakan era lain dalam hidup, bahkan ia jauh lebih penting dari hidup itu sendiri. Meskipun kepolosan Ilham sebagai anak masih menyolok dalam puisi tersebut. Alenia pertama Ilham menceritakan perihal dirinya yang berpindah tempat tinggal dari Lampung sebagai kota kelahiran menuju Dukuh Kapas dengan fakta ibunya sakit ginjal, namun ia tetap merasa enak tidur dan makan dalam satu mobil dengan ibunya yang sakit.
Puisi II:
Jombang-Kalimantan PP

Dulu aku lahir di Jombang
Senang, canda, sedih bersama teman sepermainan
Namun kenyataan datang
Aku harus pergi meninggalkan kampung halaman

Sesampai di Kalimantan aku bingung
Kenapa aku di sini?
Bertemu teman-teman baru
Teringat teman kampung halaman dulu

Lulus SD aku kembali ke Jombang
Lupa ingat teman buatku bimbang
Bertemu saudara, kakek yang tidak panggling
Akhirnya aku diterima sebagai siswa MTs Kalijaring
(Salsabila Putri Kelas VIII A)

Salsabila Putri melontarkan pertanyaan dalam puisinya pada bait ke dua. Seolah menyadari bahwa fungsi pertanyaan adalah menggali sebab-akibat yang akhirnya melahirkan perubahan. Opo sebape kok dadi koyo ngene? Itulah fitrah manusia dalam membongkar ekspresi kebebasannya. Sisi lain memang kelebihan manusia terletak pada fakta bahawa ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan, terutama bertanya pada diri sendiri. Maka, ketidakmampuan manusia untuk melontarkan pertanyaan berarti kehilangan karakteristik yang paling khuhus.
Puisi III:
Jalan di Karangpakis  

Desaku ini teramat kecil
Jalan di Karangpakis inilah yang selalu kulewati
Betapa herannya aku
Betapa sedihnya aku
Jalan yang tak layak dilewati ini
Selalu setia menjadi saksi

Di mana kepedulianmu
Di mana kesadaranmu
Tanpa merasa malu sedikitpun
Sebagai petinggi desa, kau tak benahi jalah tak layak pakai ini

Andai aku jadi petinggi desaku
Tak perlu berfikir tak perlu disuruh
Kubenahi jalan desaku yang lumpuh
Tanpa mencari pengaruh
(Siti Nurjulianti Sa’adah Kelas VIIA)

Dalam puisinya, Siti Nurjulianti tidak sekedar memberikan gambaran sehari-hari yang parsial mengenai kesannya yang parsial sehari-hari, melainkan menunjukkan sikap yang utuh. Puisi ini mendahulukan pemikiran dari pada realitas. Realitas harus tunduk pada pemikiran dan harus menyesuaikan diri dengannya. Puisi yang melontarkan gagasan yang tidak bisa dilontarkan oleh realitas. Dengan cara demikian puisi ini menjadi bahasa kedua yang parodik.
Puisi IV:
Batu Gilang Mojokrapak

Gilang batuku
Berjuta tahun lalu engkau berdiri tegar di situ
Di jantung Desa Mojokrapak desaku
Menancap sebagai paku bumiku

Ada malam-malam tertentu
Engkau berputar meski tak disentuh
Retak tubuhmu
Tanduk Surontanu nyerudukmu

Gilang yang jatuh dari masa lampau
Hari lalu dan akan datang, warga tetap menjunjungmu
(Syifa Agung Pribadi Kelas VIII A)

Syifa Agung memilih menuliskan batu sejarah tinggalan leluhur yang ada di desanya, Mojokrapak. Puisi yang baik bagi Syifa tidak boleh cacat sejarah, dalam arti keberadaan manusia sekarang tak lepas dari nenek moyang, maka mengagungkan leluhur adalah tindakan mulia. Sebaliknya, membanggakan keturunan tanpa mengagungkan leluhur adalah tindakan cela, sebab manusia terkesan memutus gerak sejarah yang akhirnya membuat manusia buta dari sangkan paraning dumadi.
Puisi IV:
Jembatan Tol Losari

Engkau mulai memanjang
Menggunting jalan jadi gelap
Jalan pintas
Sawah terjual
Jaya Mix berseliweran
(Hanafi Kelas VIII A
)
Hanafi membebaskan puisinya dari aturan persajakan. Tampaknya ada banyak hal yang ingin diungkap Hanafi menjadi desertasi. Tetapi bagi penulis pemula, apalagi usia anak, tentu belum waktunya mendalami karya ilmiah. Maka, puisi bagi Hanafi adalah kode pertaman pencatat sejarah sebelum lahirnya kajian karya tulis lainnya. Setiap baris dalam puisi Jembatan Tol Losari adalah sub bab jika dijadikan penelitian ilmiah, atau menjadi sub adegan jika ditulis dalam cerpen atau novel. Ungkapan Engkau mulai memanjang, Hanafi tergeragap melihat situasi desanya yang berubah dengan hadirnya Jembatan Tol produk modernisme. Sawah terjual dan Jaya Mix berseliweran tentu akan membuka galaksi cakrawala ilmu jika proses pra-pembangunan jembatan tol diusut dalam hubungan dengan pengaruh kebudayaan.

      Contoh empat puisi di atas adalah penanda lahirnya nama-nama baru yang memuat tema-tema baru dan benda-benda baru terutama sekitar Jombang. Tentu tidak ujug-ujug sempurna sebab yang berjuluk penyair besar saja banyak puisinya yang tersingkir. Yang terpenting adalah bagaimana mengawal proses puisi (penulis) bisa lahir. Salah satu caranya adalah mengamping anak didik, menyiapkan satu area atau membentangkan jalan bagi puisi. Selanjutnya, murid yang gigih menggeluti pasti akan melintasi, sedang murid yang sekedar tergiur nama besar akan segera tereliminasi.

Bukan anak dewa.
*) Sabrank Suparno.