Rabu, 27 Juli 2016

Manusia perlu belajar pada Sastra

Manusia Perlu Belajar Manusia Kepada Sastra

FAHMI AGUSTIAN  •
27 Juli 2016
#Maiyahan
#Reportase
CakNun.com

Setelah rangkaian memenuhi undangan Maiyahan di Pasuruan, Surabaya, dan Gresik selama 3 hari, Selasa 26 Juli 2016 Cak Nun telah berada di Jakarta untuk menghadiri peringatan 50 tahun majalah sastra Horison. Jauh-jauh hari, panitia telah mengirimkan permohonan agar Cak Nun berkenan menyampaikan pidato dalam acara ini. Untuk keperluan itu, secara sangat serius Cak Nun menyiapkan naskah pidato berjudul “Belajar Manusia Kepada Sastra”.

Bertempat di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, acara dimulai tepat pukul 12.00 siang dan diawali dengan ramah tamah dan makan siang. Majalah Horison merupakan majalah sastra yang didirikan oleh Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, Arief Budiman dan Taufiq Ismail pada 1966.

Taufiq Ismail

Tak hanya dinikmati oleh para sastrawan, Majalah Horison juga merupakan majalah penting yang harus dibaca oleh siapa saja yang concern terhadap dinamika pemikiran di Indonesia di mana sastra merupakan salah satu cerminannya. Para sastrawan kenamaan tak hanya mengisi rubrik di Majalah Horison ini, melainkan juga lebih dari itu menjejakkan kontribusi pandangan dan pemikiran mengenai sastra, seni, kebudayaan, politik dan sastra, serta kemanusiaan pada umumnya.

Sembari menunggu acara dimulai, Taufiq Ismail, Redaktur Senior majalah Horison dan satu di antara jajaran pendiri yang masih hidup, terlihat bahagia menyambut para sahabat lama seperti Danarto, Jajang C. Noer, Sam Bimbo, Nani Wijaya, Emil Salim, Ahmad Tohari, Toeti Herati, Ajip Rosidi dan tentu saja Cak Nun. Hadir pula generasi lebih muda Horison seperti Fadli Zon, Jamal D. Rahman dan Joni Ariadinata.

Sebelum Cak Nun menyampaikan pidato, Taufiq Ismail menceritakan snapshot perjalanan Majalah Horison sejak awal kali terbit perdana pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru (1966) hingga hari ini pada genap usianya ke 50 tahun. Dalam kesempatan acara ini, ditampilkan pula musikalisasi Puisi dan pembacaan cerpen. Dan momentum peringatan 50 tahun Majalah Horison ini ditandai dengan peluncuran secara resmi Majalah Horison versi Online oleh Taufiq Ismail bersama istri. Seperti disampaikan Jamal D. Rahman kepada redaktur www.caknun.com via korespondensi, naskah pidato Cak Nun “Belajar Manusia Kepada Sastra” akan ditayangkan pada Horison online ini dan turut menandai resminya kehadiran versi online majalah Horison tersebut.

Peluncuran ini juga menandai berakhirnya edisi cetak Majalah Horison. Sastri Sunarti, Pemimpin Redaksi Majalah Horison menjelaskan beralihnya Majalah Horison dari versi cetak menuju versi digital merupakan tuntutan zaman di mana saat ini masyarakat sudah sangat akrab dengan teknologi informasi yang semakin maju. Sementara budaya membaca karya sastra versi cetak saat ini sudah menurun drastis. Selain itu juga diakui oleh Taufiq Ismail ihwal biaya cetak yang semakin tinggi. Sehingga hijrah menuju versi digital merupakan solusi paling tepat bagi Majalah Horison. Sastri Sunarti menekankan bahwa Majalah Horison tidak mati, melainkan berganti media.

Hilangnya Rasa dan Keindahan Sastra Cetak
“Pertama-tama saya mengungkapkan rasa syukur karena berjumpa dengan kakak-kakak kita yang diberi umur panjang oleh Allah”, demikian Cak Nun mengawali pidatonya mengungkapkan kebahagiaannya dapat bertemu dengan para eksponen sastra seperti Danarto, Ajip Rosidi, dan lain-lain. Kemudian Cak Nun menyampaikan ucapan selamat atas diresmikannya Majalah Horison versi online, meskipun hal ini membuat Cak Nun melontarkan sedikit pertanyaan apakah peluncuran versi online ini patut dirayakan atau disambut dengan kesedihan.

Belajar Manusia Kepada Sastra, Cak Nun.
Belajar Manusia Kepada Sastra, Cak Nun.
Cak Nun menggambarkan apa yang dirasakannya mengenai pergeseran dari cetak ke digital. Salah satu kenikmatan membaca karya tulis adalah ketika seseorang memegang kertas dan merasakan pergantian halaman demi halaman. Ada nuansa, kenikmatan, dan keindahan tersendiri dalam meresapi tulisan melalui media cetak seperti buku, koran, atau majalah. Seperti halnya kenikmatan memegang mushaf cetak Al Qur’an yang tak akan ditemukan pada versi digitalnya di setiap gadget.

Menurut Cak Nun, estetika sebuah puisi bukan hanya karena huruf-huruf yang dirangkai, melainkan juga ukuran kertas, kualitas kertas, warna kertas hingga jenis font yang digunakan, sama seperti Majalah Horison yang memiliki ciri khas tersendiri. Bahkan juga aroma kertas. Rasa dan keindahan seperti ini tentu saja akan hilang dengan hijrahnya Majalah Horison menuju versi digital.

Tetapi Cak Nun sangat aware dengan perkembangan zaman, perubahan generasi, dan perkembangan IT. Dalam naskah pidato “Belajar Manusia kepada Sastra” yang di-print out dan dibagikan kepada hadirin itu, Cak Nun membukanya dengan memberikan latar belakang dan memperkenalkan apa yang disebut sebagai generasi millenial, yang dalam konteks Indonesia mereka menempati porsi terbesar dalam demograsi. Artinya mayoritas penduduk saat ini adalah generasi muda millenial ini. Terdapat dua belas ciri (perilaku dan life style) mereka, dan dua di antaranya adalah IT Addict (kecanduan teknologi informasi) dan FOMO (aktif bermedia sosial seperti facebook dan twitter).

Belajar Manusia Kepada Sastra
Dalam pemikiran yang tertuang dalam naskah pidato tersebut, terdapat beberapa idiom atau kata kunci baru yang Cak Nun kedepankan seperti “jarak sastra”, “secara sastra”, dan logika “siapa membutuhkan membangun peradaban maka ia membutuhkan sastra, dan bukan sastra membutuhkan negara, masyarakat, atau siapapun”. Beberapa kata kunci itu menopang gagasan yang disampaikan Cak Nun di hadapan publik sastra maupun tamu undangan umum yang hadir siang itu.

Tetapi sastra yang dimaksud bukanlah sastra dalam arti bentuk-bentuk ekspresi, melainkan sebuah esensi yang dibutuhkan manusia justru untuk utuh sebagai manusia. Itulah sebabnya, di tengah makin menancapnya peradaban materialisme dan pencarian laba, Cak Nun mengajak sejenak untuk bercermin. Salah satu kehancuran peradaban manusia saat ini adalah gagalnya manusia memahami sastra dan menemukan sastra itu sendiri dalam banyak hal. Tak terkecuali dalam beragama dan memahami Al Qur’an. Sastra tidak mampu mereka temukan dan rasakan di dalam Al Qur’an. Sebaliknya yang terjadi adalah manusia beragama hanya berdasarkan cara pandang materi semata.

50 tahun Majalah Horison
50 tahun Majalah Horison
Sebagai contoh paling sederhana, Cak Nun menguraikan ayat Lailatul Qodar tidak dipahami dengan atau secara sastra, sehingga mayoritas masyarakat kita saat ini ketika Ramadlan tiba, mereka mengharapkan hadirnya Lailatul Qodar. Padahal dalam ayat tersebut dijelaskan dengan tegas Inna anzalnaahu fii lailatil qodri. Bahwa yang dijelaskan dalam ayat tersebut adalah peristiwa di mana Al Qur’an diturunkan pada Lailatul Qodar. Manusia memahami bahwa Lailatul Qodar adalah subjek utamanya, padahal sebenarnya Al Qur’an yang merupakan subjek utama dalam ayat tersebut, sedangkan Lailatul Qodar hanyalah “wadah” momentum diturunkannya Al Qur’an. Tidak ada informasi bahwa Allah menurunkan Lailatul Qodar. Informasi yang disampaikan adalah bahwa Al Qur’an diturunkan pada Lailatul Qodar. Seperti halnya kalimat Allahu Akbar, yang harus dipahami adalah bukan Allah adalah dzat yang besar, karena Allah akan selalu menjadi lebih besar dari sesuatu yang besar yang kita kira.

Maka sastra yang dimaksud lebih berupa kedalaman dan kepekaan rasa, kebeningan, dan ketajaman, sehingga segala sesuatu dapat ditangkap secara lebih akurat, termasuk firman Allah. Cak Nun menjelaskan bahwa jarak antara Tuhan dengan manusia bukanlah jarak materi dan juga bukan jarak ilmu, melainkan jarak sastra. Karena sebagian besar bahasa Al Qur’an menggunakan bahasa sastra.

Lebih dalam lagi, menurut Cak Nun, sastra bukanlah sebuah materi atau benda, melainkan sebuah metodologi, sebuah thoriqoh, sebuah getaran. Jika dalam aliran air, sastra adalah alirannya bukan airnya, sastra bukanlah udaranya, ia adalah sapuannya, sastra bukanlah lautannya, melainkan gelombangnya. Maka karya sastra hanyalah merupakan salah satu alat yang mengantarkan manusia kepada sastra itu sendiri.

Hal lain yang menurut Cak Nun menyebabkan kemunduran peradaban manusia saat ini adalah karena manusia kehilangan denotasi terhadap kata-kata. Yang ditemui saat ini mayoritas merupakan konotasi-konotasi yang penuh dengan manipulasi. Salah satu contoh kecilnya adalah banyaknya suplemen yang dipromosikan oleh industri kesehatan dengan tujuan agar manusia tidak merasakan lapar dan dahaga ketika mereka berpuasa, padahal salah satu tujuan utama puasa itu sendiri adalah agar manusia merasakan lapar dan dahaga.

Dengan tajuk pidato “Belajar Manusia Kepada Sastra”, Cak Nun mengajak segenap hadirin untuk kembali belajar menjadi dan berjalan sebagai manusia sebagaimana fitrahnya di tengah kehancuran demi kehancuran kemanusiaan yang menimpa umat manusia. Di penghujung pidato itu, Cak Nun yang saat itu mengenakan busana putih dan berpeci Maiyah sebagaimana saat Maiyahan bersama masyarakat luas, memuncaki orasi budaya 50 tahun Majalah Horison dengan melantunkan Al Qur’an surat An Nuur ayat 35.

Sumber: caknun.com

Selasa, 26 Juli 2016

Belajar manusia kepada sastra

Belajar Manusia Kepada Sastra: Orasi Budaya Caknun Untuk 50 Tahun Majalah Horison

Sastra Generasi Millenial

Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra. Kaum muda usia 18 sd 39-an tahun yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang indikator kelahiran adalah semakin dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa disebut sebagai kontinyuitas dari karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang melahirkan IT. Anak-anak itu seperti makhluk baru yang lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Generasi Millenial itu, di samping sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, tidak terlalu tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan kantor kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media massa, punya keberpihakan yang serius terhadap “kesalehan”, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.
Selama hampir dua dekade belakangan ini mereka menciptakan ruang-ruang sastra sendiri, tanpa fobi, sentimentalitas atau penolakan terhadap ruang-ruang sastra yang telah ada sebelumnya, yang sangat berbeda formula sosialisasinya. Mereka menampilkan optimisme sastra yang tidak tersangka-sangka, merekahkan harapan-harapan kebudayaan dan kemanusiaan melalui keasyikan sastra yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Saya tidak atau belum akan menyeret pembacaan ini ke wilayah substansial yang lebih mendalam. Fakta Generasi Sastra Millenial itu saya kemukakan untuk sekurang-kurangnya meyakinkan diri saya sendiri bahwa terbukti dimensi sastra tidak bisa dicerabut, dihilangkan, dibuang atau ditiadakan dari makhluk manusia. Kegembiraan atas keyakinan itulah yang bagi saya merupakan nilai terpenting dari pangayubagya saya atas ulangtahun ke-50 majalah Horison.
Pasti saya tidak mampu merumuskan sastra dari perspektif transendensi atas-sastra, sebagaimana tak sanggup juga merumuskan manusia dari perspektif yang me-makro-i manusia. Mungkin sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra. Apabila sastra direduksi dari keutuhan manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius. Ada semacam lobang gelap di dalam jiwa manusia yang membatalkan keutuhan kemanusiaannya. Jika manusia berlubang dan tak seimbang ini berkumpul menyusun suatu sistem sosialitas, maka kebudayaan yang dihasilkannya akan penuh guncangan, peradaban yang dibangunnya tidak memiliki kesuburan.
Kemanusiaan di Titik Nadir
Terserah apa dan bagaimana sastra dipandang, dituliskan, digagas, dialami, dihayati, diilmukan, diteorikan. Tidak masalah sastra dilihat sebagai kata atau ruh, dibebaskan atau dibatasi, dikonsepkan atau diformulasikan, direligiuskan atau disekulerkan, diharuskan atau dilarang, dihubungkan atau dipisahkan, dihamparkan atau disekat-sekat. Yang utama, saya sangat menikmati kenyataan bahwa sastra tidak bisa mati, bahkan pun mungkin sesudah manusianya mati.
Setiap manusia memperluas dirinya untuk mengakomodasi beribu kemungkinan perbedaan. Di bidang apa pun. Apalagi sastra, suatu semesta nilai yang terus bergerak, yang watak utamanya adalah “gerak dan aliran”, yang sesekali jadi padatan sementara, tetapi kemudian selalu dipergoki oleh kemungkinan keindahannya yang baru dan yang lebih baru lagi.
Orang menemukan sastra yang saya tidak temukan, atau sebaliknya: saya menemukan sastra yang orang tak menemukannya, tidak menganggapnya atau mempercayainya. Itu bukan hanya bukan masalah: justru itulah hakiki sastra. Saya menikmati sastra di materi-materi karya sastra, di wajah manusia, di kandungan jiwa makhluk-makhluk, di hamparan alam semesta, di firman Tuhan, di duka derita rakyat dalam negara, di tali-tali persambungan antarapa pun dalam keh

Rabu, 13 Juli 2016

8 Rekor Tertua di Dunia Ini Ternyata Berasal dari Indonesia


12 JULY 2016 IN INDONESIA BANGET BY DWIANDIKA
8 Rekor Tertua di Dunia Ini Ternyata Berasal dari Indonesia
Indonesia merupakan negara yang miliki keragaman dari segala bidang. Tidak heran, banyak negara lain yang mencoba menguasai negara ini pada era penjajahan. Bahkan sekarang ini, tidak sedikit dari negara-negara dunia yang melakukan investasi di Indonesia.

Selain kaya akan sumber daya alamnya, Indonesia juga memiliki beberapa rekor yang masuk kategori tertua di dunia. Penasaran seperti apa saja rekor-rekor paling tua dunia yang berasal dari Indonesia? Simak daftarnya berikut ini.

1. Piramida Sekaligus Candi Tertua di Dunia
Walaupun sudah ada sejak beribu-ribu tahun lalu, namun baru beberapa tahun belakangan ini saja, Situs Gunung Padang mulai dipelajari secara menyeluruh oleh para arkeolog baik dari Indonesia ataupun dari luar negeri. Satu hal yang menarik perhatian banyak pihak adalah diperkirakan Situs Gunung Padang merupakan salah satu jenis piramida yang umurnya lebih tua dari piramida tertua di Mesir dan dapat dikatakan sebagai piramida paling tua sejagat.

Piramida candi tertua Indonesia [image source]

Dari hasil penelitian berdasarkan penanggalan karbon atau carbon dating, Situs Gunung Padang diperkirakan dibuat sekitar 20 ribu tahun lalu, sedangkan piramida paling tua di Mesir dibangun sekitar 5 ribu tahun lalu.
Dr Danny Hilman, salah seorang peneliti yang juga pakar geologi pernah menyatakan bahwa situs yang terletak di antara gunung berapi dan didirikan di atas ketinggian 885 dpl ini dibangun dengan cara menumpuk bebatuan vulkanis yang besar dan sangat berat. Belum diketahui bagaimana cara orang-orang terdahulu membawa bebatuan berat dan besar tersebut ke atas bukit di mana Situs Gunung Padang berada.

2. Lukisan gua tertua di dunia
Jika sebelumnya ada klaim yang mengatakan bahwa gambar atau lukisan gua tertua di dunia berasal dari El Castillo, Spanyol yang berusia sekitar 37.300 tahun, ternyata hal tersebut terbantahkan dengan hasil uji karbon pada lukisan tangan yang berada di Leang Timpuseng, kawasan Karst Maros, Sulawesi. Lukisan ini diperkirakan berusia 39.900 tahun.

Lukisan tertua Indonesia [image source]

Tentunya untuk menentukan dan memutuskan umur dari lukisan tangan tersebut bukan asal-asalan dan dilakukan orang biasa, karena penelitian tersebut melibatkan para ahli dari Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Makassar, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, Universitas Wollongong dan Universitas Griffith, Australia dari tahun 2011 sampai 2013.
Dijelaskan pula bahwa orang-orang purba yang mendiami daerah Maros tersebut sudah dapat melukis secara figurative dengan obyek hewan dan cap tangan. Bahkan penelitian tersebut sempat menghebohkan banyak pakar arkeologi dari berbagai negara setelah hasil penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, Nature, pada edisi 9 Oktober 2014.

3. Ras tertua di dunia
Banyak anggapan bahwa ras tertua di dunia berasal dari Afrika, yaitu berasal dari suku San yang hidup di daratan tersebut sejak puluhan ribu tahun lalu. Akan tetapi menurut Dr Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, seorang pakar paleontologi dan geologi berdarah Jerman-Belanda yang melakukan penelitian terhadap Homo erectus pada 1678 mengatakan bahwa ras tertua di dunia ternyata adalah Ras Nusantara. Hal tersebut tercatat secara detail di Anthropoaleontologi Von Koningswald, Geologi Van Bemmelen, Purwayuga Pangeran Wangsakerta.

Ras tertua di dunia [image source]

Menurutnya, pada dasarnya semua manusia modern di bumi ini berasal dari satu keturunan yaitu Ras Nusantara atau yang dikenal dengan nama lain Austronesia dan mendiami kepulauan yang bernama Dwipantara atau nama lain dari Indonesia sekarang ini.
Manusia modern pertama yang lahir di muka bumi ini berasal dari generasi Meganthropus paleo nusantaranicus yang menjadi cikal bakal lahirnya generasi Hominid dan Homo sapiens. Generasi ini diperkirakan sudah hidup di muka bumi sejak 1-4 juta tahun lalu. Bahkan banyak fosil dari m

Selasa, 12 Juli 2016

Taddabur Al_fatehah

Tadabbur Al-Fātiĥah
JUL
11
ALI ANTONI
(Ayat 1 – Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.)

*Hasil baca :

Ayat ini sebagai awal pembuka kitab suci, dimana Allah hanya punya cinta. Tak menyeramkan, tidak sadis, tidak mengerikan, dan bukan raja tega.

Agama itu adalah sarana untuk menghayati cinta Tuhan, bukan malah untuk menakut-nakuti banyak orang, dengan mengatakan bahwa Tuhan sangatlah kejam dan gemar menyiksa.

(Ayat 2 – Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.)

*Hasil baca :

Allah bukan hanya Tuhan orang Islam, agama apapun tetap memiliki Tuhan Allah, walau mereka tidak mengakui, atau memiliki sebutan nama lain. Sebab tak mungkin Tuhan berjumlah banyak. Dan semesta alam ini melalui ‘bahasa’nya sendiri-sendiri selalu memuji Allah, kecuali manusia, lebih sering memuji uang, kesenangan, pangkat, dan bagi laki2 seperti saya : perempuan.

(Ayat 3 – Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.)

*Hasil baca :
Maha Pemurah ini berarti semua makhluk diberi oleh Allah, tanpa kecuali, termasuk iblis, virus, orang jahat, munafik, murtad, dsj, namun Maha Penyayang ini, tak semua mendapatkan dariNya.

(Ayat 4 – Yang menguasai di Hari Pembalasan.)

*Hasil baca :

Pembalasan itu bisa baik dibalas baik, buruk dibalas pedih. Hari pembalasan itu bisa jadi kiamat, bisa jadi alam kubur, bisa jadi di sini, di atas tanah ini, ketika manusia masih hidup. Saudara kita lain menamai sebagai karma, atas hal ini.

(ayat 5 – Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.)

*Hasil baca :

Tuhan membuat redaksi memakai bahasa manusia. Teknik ini untuk mendekatkan teks pada pembaca, agar ia mengalami, tidak berjarak.

Dalam teks ini, manusia diperintahkan buat menyembah Allah, bukan materi dunia, dan konsekuensi atas hal itu, Allah akan memberi pertolongan. Dengan kata lain, orang yang menyembah Allah pasti mendapat pertolongan.

Hanya saja pertolongan Allah ini berlapis, tidak linier. Tak hanya kenikmatan. Ada orang yang ditolong oleh Allah melalui banyaknya masalah, atau terselesainya masalah. Ada yang ditolong oleh Allah melalui kesempitan dan kepahitan. Tergantung siapa orangnya. Rasul dan Ahlul Bait adalah contoh betapa Allah menolong mereka tak dalam bentuk kemewahan, kaya raya, kesenangan, pangkat yang abadi, dan kenikmatan duniawi lainnya.

Maka bagi yang hidupnya mendapat kelonggaran, jangan GR kalau itu adalah pertolongan dari Allah. Namun sebaliknya kalau menderita, juga jangan GR itu dari Allah. Hidup tidak sebercanda itu. Perlu merenungi diri secara mendalam, apakah diri ini dapat pertolongan dariNya, sebab apakah diri ini sudah hanya menyembah padaNya?

(Ayat 6 – Tunjukilah kami jalan yang lurus.)

*Hasil baca :

Kalau menurut saya, ayat ini berarti kuatkanlah hamba (kami) untuk mengikuti jalannya orang-orang yang istiqomah.

Ini ayat enggak main-main, tapi sering saya bacanya dengan santai dan enggak serius. Sebab jalan orang istiqomah (atau yang sering disebut lurus) ini pasti tidak mudah. Sakit.

Kalau boleh ngomong, pas baca ayat ini, Tuhan merasa menjawab, “Ah tenane? Yang bener? Becanda nih orang.”

Minta tunjukin, ntar dah ditunjukin malah lari menghindar. Karena emoh dengan tugas yang bakal berat yang dijalanin. Karena ini bukan jalan nafsu, bukan jalan orang yang enak-enakan cuma cari senang.

Lebih detail tentang jalan ini, ada di ayat berikutnya :

(Ayat 7 – yaitu orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk; bukan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula mereka yang sesat.)

* Hasil baca :

Pada kenyataannya, saya berkebalikan dengan dua ayat ini, minta jalan lurus, tapi kelakuan malah iri dengan mereka yang dimurkai Tuhan dan tersesat.

Hmm, semoga Tuhan mau memahami dan bersabar atas munafiknya saya ini, sehingga besok kalau masuk neraka, enggak pedih-pedih banget saya disiksa, amin.

##

Senin, 11 Juli 2016

Renungan Idhul Fitri

Tulisan Kang Jalal

Renungan Iedul Fitri

Lebaran: Lubang Jarum Konsumerisme

Amin praktis bekerja 24 jam. Ia tinggal di kamar supir, yang berada dalam rumah majikannya. Ia harus stand-by setiap saat. Aku tidak tahu berapa kali sebulan ia mengunjugi istri dan anak-anaknya. Jelas sekali ia hampir tidak punya waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

Karena itu, jangan tanya betapa sumringahnya Min ketika ia pamit untuk mudik. Bukan karena di kantongnya ada THR. Bukan karena ia dibebaskan dari perintah tuan dan nyonya untuk sementara waktu. Ia ceria karena ia bisa meluangkan waktu khusus untuk orang-orang yang disayanginya.

Tuan dan Nyonya tampaknya tidak begitu gembira. Mereka kehilangan supirnya, setelah lebih dahulu pusing karena ditinggalkan para pembantunya. Kepada mereka harus kita katakan, bila mereka ingin bahagia mereka harus mengubah jeruk asam menjadi jeruk manis. Carilah blessing in diguise dalam “musibat” Lebaran.

Karena Tuan dan Nyonya tidak punya supir, mereka akan terpaksa tinggal di rumah. Seperti Min, karena kesibukan kerja atau dikerjain, selama ini mereka hampir tidak punya waktu untuk keluarga. Tuan dan Nyonya jarang bertemu.

Orangtua jarang berbincang dengan anak-anaknya. Setiap anggota keluarga sibuk dengan dunianya masing-masing. Karena Lebaran, Min balik ke kampungnya, dengan sukarela. Karena Lebaran juga, semua anggota keluarga majikannya pun pulang, dengan terpaksa.

Reuni keluarga adalah salah satu berkah Lebaran. Baik Min maupun majikannya sepanjang tahun telah mengorbankan keluarganya pada altar konsumerisme. Ketika Min meninggalkan kampung halamannya dan ketika Tuan menyelesaikan studinya di luar negeri, mereka didorong masuk ke dalam pusaran angin kapitalisme internasional.

Mereka berubah wujud menjadi –apa yang disebut Erich Fromm- homo consumens. “Sebagai manusia, kita tidak punya tujuan kecuali memproduksi dan mengkonsumsi terus-menerus,” kata Fromm.

Boleh jadi kita punya tujuan untuk membangun keluarga yang bahagia. Tapi kebahagiaan keluarga diukur dari jumlah barang yang kita konsumsi.

Tampaknya kita ingin memberikan masa depan yang indah bagi anak-anak. Tapi keindahan masa depan mereka diukur dari banyaknya uang yang mereka miliki.

Kelihatannya kita berjuang untuk menegakkan ajaran agama. Tapi tegaknya ajaran Tuhan dilihat dari jumlah penghasilan dari kegiatan dakwah kita. Atau kita bercita-cita untuk membangun bangsa ini. Tapi ukuran keberhasilan pembangunan ialah jumlah jalan tol, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan.

Sebagai homo consumens kita menghabiskan waktu lebih banyak di tempat-tempat produksi dan konsumsi barang dan jasa, daripada dalam lembaga-lembaga sosial.

Kita lebih sering berkunjung ke pusat perbelanjaan daripada rumah ibadat. Kita lebih banyak berada di tempat kerja daripada di rumah sendiri.

Kita lebih sibuk mengurus transaksi bisnis daripada bercanda ria dengan keluarga. Orang-orang kaya pun –penguasa dan pengusaha- lebih banyak mengeluarkan uang untuk membangun mal daripada sekolah.

Hasrat konsumsi, “rage to consume” (Marshall Sahlins), mendorong kita untuk membeli dan membeli.

Kita mencari kebahagiaan dalam membeli. Kita menyebut orang baik kepada orang yang membeli barang dan jasa yang baik; bukan pada orang yang bekerja dengan baik.

Menurut Daniel Bell, kita sudah mengganti work ethic dengan consumer ethic. Pahlawan yang dielu-elukan di zaman ini dan gambarnya dipajang di mana-mana adalah “heroes of consumption”, bukan “heroes of production”.

Menurut salah satu nubuwat Nabi Muhammad, “Akan datang suatu zaman ketika manusia menyembah dinar (uang). Mereka bekerja keras pagi dan sore untuk mendapatkan uang.”

Uang, dalam bahasa Marx, telah menjadi fetish, benda mati yang mempunyai kekuatan supranatural.

Uang menjadi ukuran derajat manusia. Manusia yang paling mulia ialah yang paling banyak uangnya. Dengan uang, mereka bisa terlibat dengan aktif dalam budaya konsumerisme.

Jadi konsumerisme itu sebuah agama. Iklan adalah kitab sucinya. Mal-mal rumah ibadatnya, dan kaum kapitalis orang-orang sucinya.

Apa bedanya Al-Quran dengan iklan? Al-Quran dibaca dengan cepat, iklan diikuti dengan khusyuk. Al-Quran mendatangkan ketentraman, iklan membina kekecewaan.

"Tujuan iklan,” kata Robert E Lane dalam The Loss of Happiness in Market Democracy, “ ialah menciptakan bukan kepuasan, tetapi kekecewaan, termasuk kecewa terhadap diri sendiri.”

Anda akan merasa puas dengan apa yang Anda punyai, selama Anda tidak dibandingkan dengan orang yang memiliki apa yang tidak Anda punyai. Anda sudah cukup bahagia dengan mobil tua Anda, sampai di depan muka Anda diperlihatkan gemerlap mobil baru.

Dengan jeratan psikologis, iklan menambah penderitaan Anda dengan menegaskan bahwa Anda terhina karena tidak punya mobil baru. “Anda pecundang tanpa mobil baru”.

Tugas iklan memang membuat Anda kecewa dengan kehidupan Anda sekarang ini. Anda didorong untuk bergairah membeli. Iklan dirancang tidak untuk memenuhi kebutuhan tetapi untuk menciptakan kebutuhan.

Ketika kebutuhan baru muncul, Anda harus bekerja lebih keras. Sekarang Anda harus mengambil banyak waktu untuk bekerja. Di antara waktu yang disita untuk pekerjaan Anda adalah waktu untuk kegiatan-kegiatan sosial, termasuk berkumpul dengan keluarga.

Bernard de Mandeville berkata, “Kemewahan telah mempekerjakan jutaan orang miskin. Kesombongan memperkejakan jutaan orang lebih banyak lagi. Irihati dan kesombongan adalah duta-duta industri”.

Semua agama mengharamkan kedengkian dan kepongahan. Konsumerisme mewajibkannya.

Semua agama membentuk manusia yang berkhidmat kepada manusia yang lain, bersikap rendah hati, dan mendahulukan kepentingan orang lain.

Konsumerisme mendidik Anda untuk menjadi egois, narsisis, dan mementingkan diri sendiri.

Perlahan-lahan tapi pasti, Min dan majikannya, dan kita semua menjadi kita seperti sekarang ini.

Kita memandang semua makhluk Tuhan sebagai instrumen untuk melayani kebutuhan kita. Kita tidak berpikir bagaimana bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita memutar otak bagaimana bisa memanfaatkan orang lain.

Apa yang diperoleh kaum pemilik modal? Uang yang lebih banyak. Apa yang kita peroleh? Kita kehilangan kehangatan dalam pergaulan dengan orang-orang penting di sekitar kita.

Kita kehilangan kepercayaan dan cinta kasih. Kita tidak bisa percaya dan orang pun tidak percaya kepada kita. Kita tidak bisa menyayangi, karena itu juga tidak disayangi.

Akhirnya, seperti kata Robert E Lane, kita kehilangan kebahagiaan dalam demokrasi pasar.

Robert Lane berbicara tentang penderitaan semua masyarakat demokratis kapitalis. Untuk bangsa Indonesia, kita harus menambah penderitaan kita karena penindasan yang dilakukan oleh para pemimpin kita.

Di Amerika, betapa pun kapitalisnya, orang-orang yang menganggur dapat “unemployment check”, gaji secukupnya untuk sekedar tetap hidup.

Di Jerman, betapa pun kapitalisnya, orang-orang sakit dapat perawatan kesehatan gratis.

Di negara-negara kapitalis lainnya, betapa pun menindasnya para pemilik modal, rakyat kecil bisa makan kenyang, memperoleh pendidikan yang berkualitas, mendapat tunjangan pada masa tuanya. Pajak yang mereka bayar kembali lagi pada mereka.

Rakyat Indonesia telah kehilangan kebahagiaannya dalam masyarakat industri. Tapi mereka juga harus menanggung beban tambahan.

Mestinya bangsa ini sudah gila semua. Mengapa tidak? Karena ada Lebaran. Pada hari itu mereka kembali kepada keluarganya, budayanya, nilai-nilai tradisionalnya dan agamanya. Maka Min pun gembira ketika memeluk anak-anaknya. Dan majikannya pun tertawa-tawa di tengah-tengah keluarganya.

KH Jalaluddin Rakhmat

Selasa, 05 Juli 2016

MENGENANG ESTETIKA LEBARAN (Keranjangan  Sampah, 1998)

#takbiran #lebaran #maiyahngawi #maiyahonline #sibarkasih #warokaprawiran #caknun #taddaburran

Apa yang tersisa dari suasana Idul Fitri pada diri Anda? Kenangan kebahagiaan bersama keluarga? Capek dan absurdnya perjalanan mudik yang tahun ini benar-benar dahsyat?

Pada saya, yang terngiang-ngiang selalu sehabis Lebaran adalah suara-suara takbiran masal. Baik di masjid kita masing-masing, di jalanan, di teve, atau mungkin takbir dalam film The Messenger yang disuarakan secara sangat sederhana.

Terus terang ada yang mengganjal di hati dan otak saya beberapa tahun terakhir ini mengenai takbiran. Masyarakat kita sangat kreatif. Cara melantunkan takbir terus mengalami ‘modernisasi’. Pencanggihan. Terutama melalui estetika musikalisasinya. Tetapi terus terang juga hal itu malahan yang saya tidak bisa pahami sampai sekarang.
***
Saya senantiasa mengalami konflik dengan dunia kesenian. Kalau jagat estetik bergerak ke sofistikasi, maunya saya malah penyederhanaan. Kalau kosmos artistika berkembang ke arah keanehan, maunya saya malah kewajaran.

Misalnya dalam seni tilawah Qur’an yang semakin lama semakin canggih—misalnya dari acuan Syekh Abdul Basith bin Muhammad Abdus Shamad hingga Muammar ZA, saya tetap saja konservatif dengan model lagu dan ‘psikologi’ qiro’ah tahun 60-an, atau paling jauh mereferensi ke kebersahajaan Syekh Muhammad Al-Khusyairi.

Lha, estetika takbiran di kalangan umat Islam Indonesia kini sudah tiba pada fase kothekan atau bahkan semi-dangdutan. Memang masih belum sampai ke taraf metal atau rap, tapi itu pun sudah sangat membingungkan perasaan maupun pikiran saya.
***
Orang-orang, remaja-remaja, anak-anak, berduyun-duyun jalan kaki atau naik truk atau colt-bak, melantunkan takbir dengan tetabuhan. Ritmenya setengah kothekan di dusun-dusun Jawa campur nuansa sedikit dangdut.
Intonansi takbirnya patuh kepada hentakan irama yang diciptakan oleh musik tersebut.

Di situlah letak kebingungan saya. Pernah bersama Dwiki Dharmawan saya rekaman takbir di mana komposer ini saya minta membunyikan keyboardnya begitu suara saya masuk. Cukup pilih nada tertentu untuk memberi background atau ditambah sedikit sapuan atau cuatan halus.

Tapi sampai usai saya bertakbir, Dwiki tak membunyikan apapun. Ketika saya tagih, ia menjawab, “Tidak bisa, Cak. Juga tidak berani”.
“Maksud Ente?” tanya saya.
“Sudah tak ada suara lagi yang bisa dibarengkan dengan suara takbir,” kira-kira begitu jawabannya. Takbir tak perlu diiringi dengan bunyi musik apapun. Tak ada yang sanggup menandinginya.
Dan saya setuju. Alhamdulillah Dwiki tahu dan peka.
***
Mungkin saya seorang yang fanatik. Tapi kalau umpamanya kaum musikolog dan autropolog dari segala abad pada suatu saat mengadakan simposium, mungkin mereka juga akan setuju.
Bahwa segala prestasi musik bergerak ke puncak kualitas budaya, sesudah itu memasuki ‘langit’ spiritualitas. Dan kalau sudah sampai di situ, tanggallah segala instrumen pengiring. Dalam konteks dan nuansa inilah saya pahami dan temukan tilawah Qur’an, dan di atasnya lagi takbir.

Takbir adalah estetika tertinggi dalam pengalaman saya.
Mungkin sekali saya subyektif. Dan mungkin juga merupakan kesombongan kalau saya memperoleh kesan bahwa kothekan-dangdutan takbir yang kini mentradisi—itu mencerminkan proses makin mendangkalnya kualitas batin kebudayaan masyarakat kita.

Takbiran semacam itu memelorotkan ke’langit’-an atau ke’akhir’-an estetika takbir, padahal sehari-hari di teve dan radio kita sudah selalu mendunia.

Sayang hanya Allah yang tahu persis. Ilmuwan, seniman, agamawan - tidak.
Apalagi saya.

Caknun.com
Nardi Wijaya
#maiyahngawi

Sabtu, 02 Juli 2016

~.:: Sedang Berpesta atau Berpuasa di Bulan Ramadhan? ::.~

Memuliakan bulan Ramadhan tidak sama dengan memeriahkan bulan Ramadhan. Memuliakan memang tidaklah sama dengan memeriahkan. Sebab kata meriah lebih dekat ke kata atribut.

Sebuah pesta ulang tahun anak SD dikatakan meriah kalau pesta tersebut penuh atribut (misal balon, pita, kue dengan lilin menyala, dan tiupan terompet). Tidak ada pesta ulang tahun anak SD dikatakan meriah kalau pesta tersebut nuansanya khusyuk, berisi doa, dan penuh linangan air mata.

Bulan ramadhan adalah bulan puasa. Padahal, kita tentu tahu, inti dari ibadah puasa adalah mengendalikan hawa nafsu. Puasa adalah mengendalikan. Puasa adalah sebuah laku tirakat untuk "tidak" pada yang "ya".

Puasa adalah ketika kita "tidak makan" pada yang "ya boleh dimakan". Puasa adalah ketika kita "tidak melampiaskan" pada yang "ya boleh dilampiaskan". Puasa adalah sesuatu yang berkaitan dengan spiritual.

Kalau puasa adalah sesuatu yang spiritual, tentu kata puasa lebih dekat ke kata khusyuk. Bukan meriah. Bukan penuh atribut.

Lantas termasuk golongan manakah diri kita? Sedang pesta di bulan Ramadhan, ataukah sedang puasa di bulan Ramadhan?

***

KH. Ahmad Mustofa Bisri pernah bercerita tentang strategi setan menjauhkan umat manusia dari ridha Allah. Setiap perintah Allah kepada hambaNya, setan selalu punya sedikitnya dua cara menggoda agar perintah itu tidak terlaksanakan. Pertama, setan menggoda agar perintah tersebut dilaksanakan kurang dari semestinya. Kedua, setan menggoda agar perintah itu dilaksanakan berlebihan dari semestinya.

"Dan setan tidak peduli cara mana yg berhasil..." pungkas cerita kyai sepuh yang lebih akrab disapa dengan panggilan Gus Mus tersebut.

Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat awam selama ini, ketika menyikapi bulan puasa dari tahun ke tahun, sepertinya cocok dengan cerita beliau. Banyak sekali masyarakat awam yang serba keliru-keliru dalam usahanya memuliakan bulan Ramadhan.

Bisa kita lihat fenomena di sekitar. Banyak sekali yang menargetkan khatam baca Al-Qur'an sebanyak-banyaknya selama bulan puasa, tapi sedikit sekali yang menargetkan mengurangi sifat buruk sebanyak-banyaknya selama bulan puasa. Banyak sekali yang berusaha sanggup sholat tarawih sebulan penuh, tapi sedikit sekali yang berusaha sanggup berakhlak baik sebulan penuh.

Kita lebih sibuk mengejar ibadah sunnah, tapi justru melalaikan ibadah wajib.

Nabi Muhammad diutus Allah bukan untuk mengajari umat cari pahala sebanyak-banyaknya. Atau mengajari umat untuk bermain undian lailatul qadr di 10 malam terakhir bulan Ramadhan di setiap tahun.

Nabi Muhammad diutus Allah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak umat manusia. Tentang hidup jujur, sabar, memuliakan perempuan, giat bekerja, menjauhi sifat tercela, cara menggapai ridha Allah, dan sebagainya.

Yang poin substansial, kita abaikan. Yang sekadar seremonial, justru kita agungkan. Yang penting, kita remehkan. Yang remeh, justru kita pentingkan. Yang mulia, kita anggap biasa. Yang biasa, justru kita anggap mulia.

Mumpung ini masih awal bulan Ramadhan. Mumpung belum terlalu terlambat. Jika bulan Ramadhan kita selama ini adalah sebuah "pesta", marilah kita sedikit demi sedikit mulai mem-puasa-kan bulan Ramadhan sejak tahun ini.

***

Jangan sampai kita lebih mengejar one day three juz selama bulan puasa, supaya dapat pahala satu kontainer, syukur-syukur dapat undian lailatul qadr, tapi kita biarkan sifat iri-dengki-hasud masih merajai hati. Sebab membersihkan hati itu hukumnya wajib, sedangkan khatam membaca Al Qur'an sebulan tiga kali itu hukumnya sunnah.

Tentu aneh bila kita lebih sibuk mengejar ibadah sunnah dan di sisi lain justru melalaikan ibadah wajib selama bulan Ramadhan.

Jangan sampai kita menjadi manusia yang bangkrut. Punya tabungan pahala seratus kontainer, tapi karena akhlaknya jebol, semua amalan itu tidak diterima Allah. Lalu pahala sebanyak itupun dibagi-bagi ke semua orang yang pernah kita zalimi. Maka mari kita jadikan bulan puasa tahun ini sebagai momentum untuk memperbaiki diri.

Dengan langkah pertama mengubah cara berpikir. Seperti nasehat KH. Muhammad Ainun Nadjib, "Jangan mencari surga, tapi carilah ridha Allah!"

Jadikan surga hanya sebagai efek untuk diri kita karena berusaha menggapai ridha Allah. Sebab, orang yang ingin masuk surga, belum tentu bisa bertemu Allah. Sebaliknya, orang yang ingin bertemu Allah, pasti dapat surga. Lanjut beliau yang lebih akrab disapa dengan panggilan Cak Nun.

Dan salah satu cara paling jitu untuk menggapai ridha Allah adalah dengan berusaha meniru akhlak Nabi Muhammad sebisa-bisanya.

~0&~

Tulisan ini lahir sebagai wujud rasa syukurku pada Allah, demi rasa terima kasihku pada kalian, dan karena rasa cintaku pada Indonesia, salam.

Doni Febriando, Yogyakarta, 22 Juni 2015.

#
Salam takzim untuk Gus Mus dan Cak Nun, al fatihah...