Minggu, 03 Mei 2020

seri Corona 80

GEMBIRA DI BALIK CORONA
(Corona 80) Oleh: Emha Ainun Nadjib 

Bagaimanakah sebenarnya fakta kegembiraan? Apakah kegembiraan adalah keadaan hati manusia apa adanya bagi manusia itu sendiri? Ataukah kegembiraan adalah suatu keadaan yang Allah menentukan semestinya itulah yang disebut gembira?

Di dalam Al-Qur`an, wacana tentang kegembiraan atau rasa gembira pada atau untuk manusia selalu dikaitkan atau disebabkan oleh penerimaan manusia atas nilai-nilai yang ditetapkan oleh Tuhan. Gembira adalah kalau manusia mematuhi-Nya dan menjalankan panduan-Nya. Susah adalah kalau manusia melanggar atau mengingkari-Nya.

Jadi bagaimana keputusan ilmu dan ketetapan pengetahuan kita sebaiknya? Apakah kegembiraan adalah perasaan subjektif kita sebagai manusia, ataukah kegembiraan adalah kondisi objektif ketika kita tidak bertentangan dengan kemauan Tuhan?

Mungkin ada gradasi kegembiraan. Mungkin juga ada variabel-variabelnya. Atau ada kegembiraan sementara dan kegembiraan abadi. Ada kegembiraan yang hanya di permukaan jiwa manusia dan ada kegembiraan yang mendalam dan mencenderungi keabadian.

“Sesungguhnya kami takut kepada adzab Tuhan ketika datang suatu hari di mana orang-orang pada bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan wajah dan kegembiraan hati.” (Al-Insan).

Bahkan Allah menyebut kegembiraan pada wujud nyata atau hardware-nya, fisiknya yang kasat mata, yakni bermuka masam dan kejernihan wajah.

Manusia yang sedang meminum minuman keras juga bisa ceria wajahnya dan tidak bermuka masam. Lelaki bisa berdua di sebuah kamar dengan seorang perempuan pelacur dan keduanya berwajah riang gembira. Para koruptor juga tidak bermuka masam ketika mengkonsumsi sesuatu yang mereka suka dengan menggunakan uang korupsinya.

Tetapi apa benar itu kegembiraan? Maka soalnya adalah gradasi, sifat waktu yang sementara atau permanen, semu atau sejati. Hanya ada satu firman Allah yang sifatnya ironi atau mungkin bahkan sarkasme: “Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih.” (Al-Inshiqaq). Allah ternyata menyindir dan semacam mengejek juga.

Jadi kebudayaan dan peradaban manusia yang selama ini penuh tawa dan riang gembira dengan berbagai macam kemegahan dan kemewahannya — itu sejatinya kegembiraan jenis yang mana?

Sabrang menjelaskan kepada saya bahwa dua abad silam manusia berada di persimpangan jalan untuk memilih “mengembangkan industri non-esensial” yang menggembirakan mayoritas manusia, memutar keras roda perekonomian, ataukah “industri esensial” yang memberi peluang dan dorongan agar manusia mengembangkan dirinya sebagai manusia, tetapi perekonomian lesu, kebanyakan manusia akan miskin.

Manusia memilih yang pertama. Membikin mass-production barang-barang yang sebenarnya tidak esensial bagi kehidupan manusia, barang-barang yang hakikatnya sekunder, ilustratif dan gimmick belaka. Tetapi peradaban manusia jadi punya kemakmuran dan kemewahan serta hedonisme yang hampir tanpa batas. Itulah yang disebut Supermarket, Mal, toko-toko besar, yang kalau Anda seumur hidup tidak pernah memasukinya tak akan rugi apa-apa sebagai manusia, dalam pengertian sebagaimana aspirasi Tuhan dulu menciptakan manusia. Itulah industri entertainment, itulah jurnalisme infotainment, yang menyuguhkan kepada publik berita-berita yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan komitmen terhadap kualitas kemanusiaan. Artis ini bertengkar bab bau ikan asin dengan artis itu. 

Segala macam kabar yang dibesar-besarkan tentang kekonyolan, kecengengan dan kerendahan dari sudut makna bahwa manusia adalah makhluk dengan mutu rohani di atas hewan, bahkan lebih berderajat dibanding Malaikat. Industri iler, umbel ingus yang disebarkan dengan klaim sangat kejam bahwa itulah “selera masyarakat”. Terus ada makhluk di antara manusia yang disebut Selebritis, dengan parameter yang sama sekali tidak mendasarkan diri pada kualitas manusia.

“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al-Hujurat).

Kalau Rasulullah menuruti apa yang industri kerendahan itu menyebut “kemauanmu”, maka menurut Allah dalam beberapa urusan kamu akan mendapat kesusahan. Polarisasinya adalah dengan cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu sesuatu yang indah di dalam hatimu. Industri tema-tema konyol dan mubadzir itu mengarang dan mensosialisasikan definisi sendiri tentang keindahan. Itulah mungkin salah satu sebabnya kenapa Allah menganugerahkan Maiyah yang dengan dinamika ijtihad dan amaliyah kegembiraan, keindahan, bahkan kebenaran dan kebaikan yang tidak sebagaimana dianut oleh mainstream pimpinan industri barang-barang konyol dan mubadzir itu.

Ummat manusia abad 20-21 hidup dikepung dan bergelimang produk-produk industri air liur, ingus alias umbel semacam itu. Orang lain bikin kebaikan semassal apapun, keindahan semeriah apapun, atau kebenaran sewaspada apapun seperti Maiyahan di mana-mana, tidak akan dianggap ada karena tidak taat kepada produsen iler dan umbel.

Manusia dianugerahi alat atau mesin atau detektor mutu, kualitas dan derajat tinggi dari keindahan, kebenaran dan kebaikan. “Bal tu`tsirunal hayatad dunya.” Tetapi mereka memilih segala sesuatu yang semu di dalam kehidupan dunia. “Walal akhiratu khairul laka minal ula”. Amat sangat sedikit yang tersentuh oleh informasi bahwa kehidupan berikutnya yang disebut Akhirat itu jauh lebih baik, lebih benar dan lebih indah dibanding dunia.

Tulisan-tulisan yang saya bikin, tidak bisa lain kecuali melaksanakan “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” (Yunus). Tetapi hampir bisa dipastikan mainstream dunia ini, sebagaimana Allah mengemukakan: “Orang-orang kafir berkata: Sesungguhnya orang ini benar-benar adalah tukang sihir yang nyata.” (Yunus).

Kita di Maiyah sendiri tidak pernah memilih ketegasan untuk menyebut siapapun sebagai “Kafir”, sebagai bentuk kerendahan hati bahwa hanya Allah-lah yang mengerti persis kekafiran manusia. Dan di ayat itu Allah tidak menggunakan eufemisme, malainkan transparansi: “Orang-orang Kafir”.

Maka “fayaumaidzin yafrahul mu`minun”. Bergembiralah anak cucuku yang mengutamakan iman kepada-Nya. “Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al-Hujurat) *****

[Baca selengkapnya — https://bit.ly/2S8JD62]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar