Senin, 09 Oktober 2017

Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat

Sastra Jendra Hayuningrat. Satu ilmu yang menjelaskan tentang rahasia alam semesta, yang tidak bisa diketahui oleh sembarang makhluk, baik di daratan, lautan maupun angkasa raya.

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini sesungguhnya berasal dari Tuhan yang isinya merupakan wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Ilmu ini juga merupakan rahasia dari agama dan dapat menyelamatkan siapapun (manusia dan alam semesta) dari berbagai marabahaya. Lalu dari sudut pandang bahasa, maka kata Sastra Jendra Hayuningrat itu berasal dari kata “Sastra” berarti tulis, ilmu atau kitab, “Jendra” yang berarti milik raja atau diidentikan dengan Tuhan, dan “Hayuningrat” yang berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sehingga dari kata-kata itu maka bisa disimpulkan bahwa Sastra Jendra Hayuningrat itu berarti ilmu dari Tuhan yang berguna untuk keselamatan manusia dan alam semesta.

Dari sudut pandang kebatinan Jawa, maka makna dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini di tuangkan dalam berbagai falsafah. Di antaranya:

1. Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah (ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan atau berasal dari Tuhan Yang Maha Esa).
2. Pangruwating barang sakalir (dapat membebaskan dan menyelamatkan segala sesuatu).
3. Kawruh tan wonten malih (tiada ilmu pengetahuan lain lagi yang dapat dicapai oleh manusia).
4. Pungkas-pungkasaning kawruh (ujung dari segala ilmu pengetahuan atau setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi).
5. Sastradi (ilmu yang luhur).

Jadi, ilmu Sastra Jendra Hayuningrat atau lebih lengkapnya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu yang menjadi kunci bagi seseorang untuk dapat memahami isi dari indraloka – pusat tubuh manusia – yang berada di dalam rongga dada, yaitu pintu gerbang atau kunci rasa sejati yang bersifat gaib. Maka dari itu, ilmu Sastra Jendera Hayuningrat ini adalah sebagai sarana “pemusnah” segala bahaya. Sebab segalanya sudah tercakup di dalam ilmu Sastra Utama ini, puncak dari segala macam ilmu.

Ilmu sastra jendra hayuningrat pangruwating dhiyu

Ya. Dahulu kala, saat raksasa atau segala hewan seisi hutan mengetahui arti dari Sastra Jendra, mereka akan terbebas dari segala petaka, sempurna kematiannya, sementara ruhnya pun akan berkumpul dengan ruh golongan manusia linuwih (mumpuni). Sementara manusia yang telah sempurna dalam menguasai ilmu Sastra Jendra Hayuningrat ini, apabila ia mati, maka ruhnya akan berkumpul dengan para dewa dan orang suci.

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disebut juga dengan Sastra Cetho. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, dan keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu, ilmu Sastra Jendra ini disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya. Jadi, tugas dari Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini ialah sebagai jalan atau cara untuk bisa mencapai kesempurnaan hidup yang sejati.

Wahai saudaraku. Dahulu, untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau perilaku khusus. Dalam hal ini berarti suksma, jiwa dan rahsa-nya juga harus bisa manunggal (menyatu). Adapun di antara caranya adalah sebagai berikut:

1. Ngrowot : Hanya makan sayuran tanpa garam atau gula dan cukup minum air putih.
2. Mutih : Hanya makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga, termasuk garam dan gula. Boleh minum air, itu pun harus terus dikurangi volumenya.
3. Sirik : Menjauhkan diri dari segala macam urusan keduniawian.
4. Ngebleng : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa) dan tidak tidur selama kurun waktu tertentu. Disini seseorang juga melakukan semedhi (meditasi).
5. Patigeni : Tidak makan atau minum apa-apa sama sekali (berpuasa), di tambah dengan tidak tidur dan tidak terkena cahaya (api, matahari) dalam kurun waktu tertentu. Lalu selama melakukan patigeni ini seseorang juga terus ber-semedhi (meditasi).
6. Tapa brata : Setelah ke lima laku tirakat di atas dijalani dengan tekun, selanjutnya seseorang baru akan siap melakukan tapa brata secara terus menerus tanpa makan, minum, dan bergerak di suatu tempat khusus – biasanya di alam bebas seperti goa, puncak gunung, hutan, dan air terjun. Pada saat semedhi itulah, jika ia berhasil seseorang akan mendapatkan ilham atau wisik goib.

semedhi

Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus dilakukan apabila seseorang ingin mencapai tataran hidup yang sempurna. Semuanya harus dilakukan dengan kerendahan hati dan penuh kesadaran, alias tanpa ada paksaan atau karena ajakan seseorang. Adapun di antara yaitu:

1. Tapaning jasad
Sikap ini berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Disini seseorang seharusnya jangan merasa iri, dengki, sakit hati atau menaruh dendam kepada siapapun. Segala sesuatu itu, baik ataupun buruk, harus bisa diterima dengan kesungguhan hati dan sikap yang ikhlas.

2. Tapaning hawa nafsu
Sikap ini berarti mengendalikan hawa nafsu atau sifat angkara murka yang ada di dalam diri pribadi. Pada tahap ini seseorang itu hendaknya selalu bersikap sabar, ikhlas, murah hati, berperasaan mendalam (tenggang rasa, welas asih), suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ia juga sudah bisa memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta berada dalam kewaspadaan (hening).

3. Tapaning budi
Sikap ini berarti selalu mengingkari perbuatan yang hina, tercela dan segala hal yang bersifat tidak jujur (munafik). Pada tahap ini, seseorang itu harusnya sudah berbudi pekerti yang luhur, memiliki sopan santun, sikap rendah hati dan tidak sombong, tidak pamer dan pamrih, serta selalu berusaha untuk bisa berbuat baik kepada siapapun.

4. Tapaning suksma
Sikap ini berarti memenangkan jiwanya. Jadi pada tahapan ini hendaknya kedermawanan seseorang itu diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan khusus, sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi siapapun. Singkat kata, ia tidak lagi pernah menyinggung perasaan orang lain.

5. Tapaning cahyo
Sikap ini berarti seseorang itu selalu eling lan waspodho (ingat dan waspada) serta mempunyai daya meramal/memprediksikan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk, karena keadaan cemerlanglah yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar (tidak jelas) dan saru (tidak baik, tidak sopan, tidak tepat, tercela) menjadi jelas. Lagi pula setiap kegiatannya harus selalu ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan umum. Jauh dari urusan materi duniawi.

6. Tapaning gesang
Sikap ini berarti selalu berusaha sekuat tenaga dan hati-hati untuk bisa menuju pada kesempurnaan hidup. Hal ini bisa terjadi, ketika seseorang sudah melalui ke lima jenis tapa sebelumnya. Dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disini adalah yang paling utama, mengingat hanya dari Tuhanlah kebenaran yang mutlak itu berasal.

Wahai saudaraku. Di karenakan jalan atau cara dalam menguasai ilmu Sastra Jendra ini berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka ilmu ini juga dinamakan sebagai “Benih seluruh alam semesta”. Itu terjadi karena ilmu puncak ini bisa dibilang juga sebagai kunci untuk dapat memahami isi dari Rasa Sejati. Dimana untuk bisa mencapainya, maka diperlukan sesuatu yang luhur dan perbuatan yang mutlak sesuai dengan kebenaran Tuhan. Silahkan juga baca artikel berikut: Proses penciptaan dalam kebatinan jawa dan Keseimbangan diri manusia dan pengaruhnya terhadap bencana alam dan perang kosmik.

Ya. Rasa Sejati itu melambangkan jiwa atau badan halus ataupun nafsu sifat di setiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang kuat ke arah yang baik maupun yang buruk atau jahat. Di antara nafsu sifat itu ialah; Lauwamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya suatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan, korupsi dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya), dimana sifat ini akan selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak baik.

1. Kisah turunnya ilmu Sastra Jendra Hayuningrat kepada manusia
Dahulu kala, tersebutlah seorang manusia pilihan yang bernama Wisrawa. Sosok ini menjadi lambang guru yang memberikan wejangan ngelmu Sastra Jendra kepada umat manusia. Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai makhluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerimanya sebagai isteri. Lalu Bhatari Uma di sumpah (di kutuk) menjadi raksesi oleh Bhatara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Bhatari Uma dengan Bhatara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “Bhatara Kala“ (kala berarti keburukan atau kejahatan).

Melalui ilmu Sastra Jendra ini, maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki oleh manusia akan diubah menjadi sifat-sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian makhluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran Diri-Nya. Filosof Timur Tengah seperti Al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari zat hara dan berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya, namun manusia memiliki sifat-sifat yang mampu menjadi khalifah (pemimpin di dunia).

Itulah keunggulan dari ilmu Santra Jendar ini. Namun oleh para dewata ilmu ini hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa, seorang satria berwatak resi yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga mereka memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Selain itu Wisrawa adalah sosok yang juga memiliki sifat yang mampu membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan gemar berbagi ilmu dengan cara yang bijak. Sebelum “madeg pandito“ (menjadi seorang resi), Wisrawa telah lengser keprabon dan menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Danaraja. Sejak itu sang resi gemar bertapa untuk bisa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi. Kebiasaan ini membuat Wisrawa tidak saja dicintai oleh manusia namun juga para dewata.

Begawan Wisrawa ini bukan orang sembarangan. Ia keturunan orang-orang hebat, bahkan sebenarnya masih ada hubungan langsung dengan Bhatara Guru, raja para dewa di kahyangan. Karena itulah, tidak heran jika ia bisa mendapatkan anugerah ilmu Sastra Jendra Hayuningrat yang luar biasa itu. Berikut ini silsilah keluarganya:

Silsilah-Rala-raja-Alengka

Kisah pun berlanjut. Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah ilmu Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Bhatara Guru, raja para dewa di Kahyangan. “Duh sang Bhatara agung, kalau boleh kami mengetahuinya, siapa yang akan menerima Sastra Jendra?” Bhatara guru menjawab: “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa“. Serentak para dewata bertanya: “Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya? Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua?” Kemudian sebagian dewata juga berkata: “Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia?“.

Seolah menegur para dewata, sang Bhatara menjawab; “Hee para dewa, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan kepada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah?“. Serentak para dewata menunduk malu dan berkata; “Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Setelah itu, Bhatara Guru turun ke mayapada (Bumi) dan didampingi Bhatara Narada untuk memberikan serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

wayang para dewa

Sebelum memberikannya, sang Bhatara berkata: “Anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan untuk memberikan amanah Serat Sastra Jendra ini kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”. Mendengar hal itu, menangislah sang Begawan. Ia pun berkata: “Ampun sang Bhatara Agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini“. Yang di balas oleh Bhatara Narada dengan mengatakan: “Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu itu ada tiga. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata, karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik“. Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata itu kembali ke khayangan.

Setelah menerima anugerah Sastra Jendra, maka sejak saat itu berbondong-bondonglah orang dari seluruh satria, pendeta, dan cerdik pandai mendatangi sang begawan untuk minta diberi wejangan tentang ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa untuk melamar sebagai cantrik disana. Tujuannya tentu untuk bisa mendapatkan ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa, karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para brahmana, sarjana, dan satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih saja yang mampu menerima ajaran itu.

Demikianlah pemaparan singkat tentang kisah turunnya ilmu Sastra Jendra Hayuningrat kepada manusia, dalam hal ini Begawan Wisrawa. Ini adalah puncak ilmu Jawa yang adi luhung, tidak bersifat primordial karena bersifat universal. Ia juga berlaku bagi seluruh makhluk yang hidup di dunia ini sampai kapanpun.

2. Bencana akibat menyalahgunakan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke-19 atau tepatnya tahun 1820. Naskah itu dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan dalam kitab itu diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26 yang berbunyi:

“Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya, karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Hayuingrat itu adalah pangruwat segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, dan sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada di hutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Bhatara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra, maka nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia”

Jadi, ajaran “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik dan angker gaib kalau salah digunakan, bisa mendapat malapetaka yang besar. Dan konon diceritakan bahwa ilmu Sastra Jendra ini pernah dijabarkan oleh Begawan Wisrawa. Saat itu, karena ingin membahagiakan anaknya ia terpaksa mengikuti sebuah sayembara di kerajaan Alengka, yang ketika itu dipimpin oleh Prabu Sumali. Sayembara tersebut untuk bisa meminang seorang putri yang bernama Dewi Sukesi. Dalam sayembara itu diputuskan bahwa siapapun akan menikah dengan sang putri asalkan ia mampu mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti. Selain itu, ia juga harus bisa pula menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu secara lengkap.

Singkat cerita, ilmu Sastra Jendra ini tidak bisa sembarang dijabarkan, ia harus disampaikan secara rahasia kepada seorang saja, yang dalam hal ini adalah Dewi Sukesi sendiri. Tapi sebelum wejangan ilmu Sastra Jendra mulai diajarkan kepada Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa memberikan sekilas penjelasan tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Begawan Wisrawa berkata lembut; “Bahwa seyogyanya tak usah terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti Sastra Jendra, maka ajaran ilmu Sastra Jendra itu adalah barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu, yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya itu di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur”.

Mendengar penjelasan itu, Prabu Sumali terperangah, hatinya menjadi sangat terpengaruh, tertegun dan dengan segera mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke dalam sanggar bersama Dewi Sukesi. Saat itu, wejangan dilakukan di dalam sanggar pemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi saja.

begawan wisrawa dan dewi sukesi

Tapi, saat wejangan tersebut dimulai, para Dewa di Kahyangan marah terhadap Begawan Wisrawa yang berani mengungkapkan ilmu rahasia alam semesta yang selama ini merupakan ilmu yang di monopoli para dewa. Para Dewa sangat berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke manusia. Karena apabila hal itu terjadi, apalagi jika pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia akan menjadi makhluk sempurna dimata Penciptanya. Dewata tidak dapat membiarkan hal itu terjadi, karena manusia harus tetap pada kodratnya, yaitu makhluk yang harus menjalankan tugas dan amanah dengan membuktikan kemampuan sejatinya, yaitu berjuang keras menerima ujian hidup. Maka digoncangkanlah oleh mereka seluruh penjuru dunia. Bumi terasa mendidih, dan alam pun terguncang-guncang. Prahara besar melanda seisi alam. Apapun mereka (para dewa) lakukan agar ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jabarkan terang-terangan. Ingat! Sebelumnya ilmu itu hanya diturunkan kepada Begawan Wisrawa dengan catatan untuk disebarkan hikmahnya saja, bukan perkalimat yang ada dalam seratnya. Itupun tidak bisa semuanya sekaligus kepada satu orang.

Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh Dewi Sukesi dan itu tidak bisa lagi dihindari. Karena itu, agar tidak terungkap di alam manusia, maka Bhatara Guru langsung turun tangan dan berusaha agar ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para dewa. Sebagiannya saja boleh dimiliki oleh manusia.

Dengan niat tersebut, Bhatara Guru pun turun ke Bumi dan masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi. Dibuatnya Dewi Sukesi menjadi tergoda pada Resi Wisrawa. Dalam waktu singkat, Dewi Sukesi mulai tergoda untuk mendekati Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus menguraikan ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru terpental keluar dari raga Dewi Sukesi. Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja. Dipanggilnya Dewi Uma yang merupakan permaisurinya untuk ikut turun ke Bumi. Bhatara Guru lalu masuk (menyatu raga) dalam tubuh Begawan Wisrawa, sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.

Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan oleh Begawan Wisrawa, datanglah satu cobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang menyelundup masuk ke dalam tubuh sang Begawan dan Bhatari Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi membangkitkan nafsu keduanya. Godaan saat itu demikian dahsyatnya. Membuat kedua insan manusia ini lalu terserang api asmara dan keduanya dirangsang oleh nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin tinggi. Sehingga pada akhirnya, tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dan terjadilah hubungan badan yang nantinya akan membuahkan kandungan. Begawan Wisrawa lupa bahwa ia pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil dari anaknya saja. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum wejangan Sastra Jendra selesai, maka terjadilah hubungan intim terlarang antara Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Hal ini langsung merusak dan menodai kesucian dari ilmu Sastra Jendar Hayuningrat yang telah ia dapatkan.

Setelah berhasil menggagalkan untuk sempurnanya penjabaran ilmu Sastra Jendra, Bathara Guru dan Dewi Uma segera meninggalkan Bumi. Sadar akan segala perbuatannya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi menangis tersedu, menyesali yang telah terjadi. Namun segalanya sudah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan, bahkan ternodai perzinahan. Dan hasil dari segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah sebuah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka besar bagi dunia dikemudian hari. Tetapi apapun hasilnya harus dilalui. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi menjelaskan apa adanya kepada Prabu Sumali. Awalnya sang prabu sangat kecewa, tapi dengan arif ia bisa menerima kenyataan yang sudah terjadi. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi lalu dinikahkan, dan seluruh sayembara pun ditutup.

Jadi, dari kisah itu maka Begawan Wisrawa telah melanggar kesakralan ngelmu Sastra Jendra. Ia tidak kuat menahan nafsu syahwat kepada Dewi Sukesi. Dan akibat dari dosa-dosanya itu, maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni; Dasamuka/Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Sementara anak bungsunya kelak yang diberi nama Gunawan Wibisana lahir sempurna sebagai manusia. Itu bisa terjadi karena setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa melakukan penebusan dengan bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat kesungguhan tapa bratanya itu, maka lahir anak kedua, ketiga dan ke empat yang semakin sempurna. Laku hidup Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya itu, akhirnya menghasilkan anak-anak yang semakin sempurna dan menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yang tidak mudah, yakni Syariat, Tarikat, Hakekat, dan Makrifat.

Lebih jelasnya, ke empat anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda dan unik. Di antaranya:

1. Rahwana/Dasamuka (raksasa). Ia mempunyai perangai yang jahat, bengis, serakah dan angkara murka ini sebagai simbol dari nafsu lauwamah.

2. Sarpakenaka (raksasa wanita setengah manusia). Ia memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, senang mengumbar syahwat, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

3. Kumbakarna (raksasa). Ia mempunyai karakter raksasa yakni bodoh tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka yang serakah. Kumbakarna menjadi lambang dari nafsu amarah.

4. Gunawan Wibisana (manusia seutuhnya). Ia mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia selalu berpegang pada kebenaran dan rela meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah. Ia lalu mengabdi kepada Sri Rama untuk membela kebenaran. Karena itulah, ia pun menjadi perlambang dari nafsu mutmainah (nafsu yang baik).

Sementara itu, dari sifat-sifat anak Begawan Wisrawa di atas, maka kita pun diingatkan bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tatarannya. Yaitu:

1. Syariat : dalam falsafah Jawa syariat ini memiliki makna yang sepadan dengan Sembah Raga.
2. Tarikat : dimaknai sebagai Sembah Kalbu.
3. Hakikat : dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4. Makrifat : dalam falsafah Jawa makrifat ini merupakan tataran yang tertinggi karena sebagai Sembah Rasa atau sir (sirullah).

3. Lahirnya Rahwana (biang kehancuran dunia)
Berbulan-bulan di Lokapala, Prabu Danaraja menunggu datangnya sang ayah yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah mendengar kabar bahwa sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh ayahnya. Sampai suatu saat Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi sampai di Lokapala. Dengan sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah yang kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang itu tampak pudar. Melihat itu Danaraja merasa tak nyaman, kemudian bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya, Wisrawa menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan secara terus terang mengakui segala dosa dan kesalahannya. Namun kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang amat teramat fatal dimata Danaraja. Mendengar penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat kecewa dan marah besar. Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya itu tega melukai hati putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung. Danaraja lalu mengusir kedua suami-istri tersebut keluar dari negara Lokapala. Akhirnya dengan penuh duka, sepasang suami istri itu kembali ke negara Alengka.

Dalam perjalanan kembali menuju Alengka, Dewi Sukesi yang sudah mulai hamil itu tidak dapat berbuat banyak. Tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga tampak kuyu dan pucat. Setelah berbulan-bulan menempuh perjalanan yang melelahkan, tiba saatnya untuk melahirkan. Di tengah hutan belantara, Dewi Sukesi tak kuasa lagi menahan lahirnya sang bayi. Akhirnya lahirlah jabang bayi itu dalam bentuk gumpalan daging, darah dan kuku. Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa sangat terkejut. Gumpalan itu bergerak keluar dari rahim sang ibu menuju ke dalam hutan. Kesalahan fatal dari dua orang manusia itu menyebabkan takdir yang demikian buruk terjadi. Gumpalan darah itu bergerak dan akhirnya menjelma menjadi seorang putra bayi laki-laki raksasa sebesar bukit. Tapi untunglah akhirnya ia bisa mengecilkan tubuhnya seukuran manusia biasa.

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya pada kehendak Sang Penguasa Alam. Anak pertamanya itu lahir ditengah hutan diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar, auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam mengiringi kelahiran bayi yang kemudian diberi nama Rahwana. Dengan kepasrahan yang mendalam, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi membawa anaknya itu ke Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu raksasa yang baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi membesarkan anak mereka itu dengan setulus hati dan rasa cinta.

Singkat cerita, satu persatu anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi pun lahir. Mereka melahirkan tiga anak lagi. Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana pun tampak semakin perkasa dan menonjol di antara kedua adik-adiknya. Kelakuannya pun kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma sebagai raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka selalu mencari pria, siapa saja, dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Tapi berbeda dengan kedua saudaranya, ia justru memiliki sifat dan pribadi yang baik. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri Kumbakarna.

rahwana 1

Menyaksikan hal itu, perasaan gundah dan sedih menggelayut relung hati Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang ke empat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau rakseksi?

Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Begawan Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, lalu ber-semedhi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati yang kini menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat kesempurnaan, Begawan Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk melakukan semedhi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Tuhan. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya ber-semedhi, doa permohonan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi pun diterima oleh Tuhan. Setelah bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada (dunia) dan menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi.

Dengan menitisnya Resi Wisnu Anjali, maka lahirlah dari kandungan Dewi Sukesi seorang bayi laki-laki yang berwajah sangat tampan. Dari dahinya memancar cahaya keputihan dan sinar matanya sangat jernih. Sebagai seorang brahmana yang sudah mencapai tatanan kesempurnaan, Begawan Wisrawa dapat membaca tanda-tanda tersebut, bahwa putra bungsunya itu kelak akan menjadi seorang satria yang cendekiawan serta berwatak arif bijaksana. Ia kelak akan menjadi seorang kesatria yang berwatak brahmana. Karena tanda-tanda tersebut, Begawan Wisrawa memberi nama putra bungsunya itu dengan nama Gunawan Wibisana. Dan karena wajahnya yang tampan dan budi pekertinya yang baik, Wibisana menjadi anak kesayangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dengan ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berwujud raksasa, Kumbakarna memiliki watak dan budi pekerti yang luhur, yang selalu berusaha mencari kesempurnaan hidup.

4. Akhir hidup yang tragis dari sang Begawan
Nun jauh di negara Lokapala, Prabu Danaraja masih memendam rasa amarah dan dendam yang sangat mendalam kepada ayahnya. Hingga detik itu, dia masih tidak dapat menerima perbuatan ayahnya yang dianggapnya telah mengkhianati dharma bhakti-nya sebagai anak. Sang Begawan sebagai ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah dengan tulus murni memberikan cinta dan kehormatan pada ayah kandungnya. Dan rasa itu benar-benar tak dapat ia tahan lagi, hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang sudah tidak bisa ditawar. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh bala tentara kerajaan Lokapala untuk menyerang kerajaan Alengka. Ia memimpin pasukan besar dan berusaha untuk bisa membunuh ayahnya sendiri yang menurutnya sudah tidak memiliki kehormatan. Alengka dan Lokapala akhirnya bentrok dalam perang besar. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana, yang ditujukan hanya untuk membalaskan dendam seorang anak kepada ayahnya.

perang tanding

Melihat itu, Begawan Wisrawa tidak bisa tinggal diam. Dalam hati ia berkata; “Ribuan nyawa prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang telah penuh dengan dosa”. Wisrawa pun segera turun ke tengah pertempuran dan menghentikan semuanya. Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya sendiri. Dengan mata penuh dendam, Danaraja lalu mengibaskan pedangnya ke tubuh Begawan Wisrawa. Darah pun mengucur deras, sang Begawan roboh di tengah-tengah para prajurit kedua negara. Sang Begawan bisa saja menghindar, tapi ia rela dibunuh oleh anaknya itu. Dan karena olah batinnya yang kuat, ia pun sudah tahu bahwa sudah saatnya ia harus meninggalkan dunia ini.

Melihat Begawan Wisrawa tewas dalam peperangan melawan Prabu Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk balas dendam. Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh Dewi Sukesi. Kepada ke empat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti yang bernama Rawarontek. Untuk dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Danaraja, terlebih dulu mereka harus pergi bertapa, mohon anugerah Tuhan agar diberikan kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja.

Dan berangkatlah mereka melaksanakan perintah ibunya itu. Selanjutnya, memang benar dikemudian hari Rahwana dan ketiga saudaranya itu bisa mendapatkan ilmu yang luarbiasa. Bahkan Rahwana sendiri mendapatkan ilmu yang sangat sakti dari Bhatara Brahma. Dengan ilmu itu Rahwana seolah-olah tiada tandingannya di muka Bumi. Akibatnya, ia semakin sombong, berperilaku biadab, senang berperang dan merebut istri orang. Hingga pada akhirnya ia harus menerima balasan yang setimpal oleh Sri Rama karena telah menculik istrinya, yaitu Dewi Sinta. Pada saat itu, kerusakan telah terjadi dimana-mana. Sebagai bukti nyata akan adanya dampak buruk bila ilmu Sastra Jendra Hayuningrat disalah gunakan.

5. Kesimpulan
Sesungguhnya, inti dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat itu adalah untuk bisa menemukan dan menyatu kembali dengan Diri Sejati. Di antara cara yang bisa di lakukan adalah dengan melakoni tujuh tahapan tirakat hidup. Itu pun harus selalu dilakukan oleh seseorang, tanpa mengenal usia, kedudukan dan golongan. Dan yang tersebut di atas baru ada 6 tahapannya saja. Berarti masih ada satu tahapan lain yang belum disebutkan. Pertanyaannya adalah apakah tahapan yang terakhir itu?

Dari kisah Begawan Wisrawa di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tahap terakhir yang di maksud adalah perbuatan kita itu sendiri selama hidup – disini berarti harus baik dan benar. Ini sebagai pembuktian rahasia alam jagad, dimana segala rasa ada disitu. Dan setiap orang itu harus selalu berpegang teguh pada kebenaran dan kepasrahan total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, keseimbangan dapat ditemukan bila manusia mampu memahami hakekat hidup dan keberadaannya di dunia ini. Menjalani segala aktivitas kehidupan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Menyadari bahwa hidupnya tidak berlangsung selamanya, sehingga harus dihiasi dengan kebaikan dan kemanfaatan. Pun, memahami bahwa tujuan akhir dari perjalanan hidup itu adalah kembali kepada Sang Pemilik Hidup untuk mempertanggungjawabkan segala tingkah polah semasa di dunia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sementara itu, kisah hidup Begawan Wisrawa adalah satu takdir yang ditetapkan oleh Tuhan agar menjadi pelajaran bagi siapapun, bahwa ilmu itu tidak cukup hanya sebatas dihapal saja, tetapi harus dipraktekkan dengan benar secara terus menerus. Tanpa hal itu, setinggi apapun ilmu yang dikuasai akan menjadi sia-sia. Seseorang harus tetap patuh pada aturan yang ada, jangan melanggar walaupun sedikit hanya demi mengikuti keinginan orang lain. Atau jangan pula mencoba-coba dan mendekati sesuatu yang kelak bisa mendatangkan malapetaka. Lebih baik menghindar saja dan tetap teguh dalam kebenaran.

Ya. Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah puncaknya ilmu Jawa. Karena disini secara lengkap ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu berarti wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau suksma sejati. Sehingga orang yang mendapatkan wejangan itu akan mendapat kesempurnaan, karena bisa menuntaskan ilmu Sedulur Papat Limo Pancer tingkat akhir.

Secara harfiah arti dari Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah berasal dari kata “Serat” yang berari ajaran, “Sastra Jendra” yang berarti ilmu mengenai raja, “Hayuningrat” yang berarti kedamaian, “Pangruwating” yang berarti memuliakan atau merubah menjadi baik, dan “Diyu” yang berarti raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan berarti harfiah raja, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yaitu mampu menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari semua kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau mengubah keburukan menjadi kebaikan. Artinya; bahwa Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu disini adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk mengubah keburukan dan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastra Jendra adalah ilmu makrifat yang menekankantentang sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan semua orang.

Untuk itu, Suksma Sejati itu ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan. Suksma sendiri tak berbeda dengan saat kedatangannya waktu dahulu (dari alam kelanggengan/keabadian), menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, sehingga persatuan kawula (hamba) dan (Pencipta) bisa terjadi. Dan manusia itu bagaikan wayang, sedangkan Tuhan adalah Dalang yang memainkan segala gerak gerik lakon cerita dan berkuasa atas segalanya – antara perpaduan kehendak. Dunia ini merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan cerita kehidupan makhluk. Bila seseorang mempelajari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, berarti ia harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya. Selain itu, ia juga harus dapat menguraikan tentang sejatining urip (sejatinya hidup), sejatining Panembah (sejatinya pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga dengan “innalillahi wa inna illaihi rojiuun“, kembali ke sisi Tuhan dengan tata cara hidup yang layak. Dan semua itu untuk mencapai budi pekerti yang suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan dari Sang Guru Sejati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

6. Penutup
Ya. Dari semua uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa sasaran utama mengetahui ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu adalah untuk mencapai kesempurnaan diri menuju ke kesempurnaan Tuhan. Dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut dengan “Kasidaning Parasadya atau pati prasida“, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. Karena ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu seolah-olah bisa menjadi jalan tol dalam menuju kesejatian dan kesempurnaan.

Untuk itu, bagi mereka yang mengamalkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, ia dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” utama yang berisi rapalan mantra dari Tuhan. Dengan rapal atau mantra itu, orang akan memahami isi indraloka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan menemukan Diri Yang Sejati; Dzat Yang Maha Esa dan bersifat gaib. Karena manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya, dan setelah berhasil ia kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa itu. Ini diistilahkan sebagai wujud dari Jumbuhing kawulo Gusti (hubungan serasi hamba dan Tuhan) atau Manunggaling kawulo Gusti (manunggalnya hamba dan Tuhan). Dimana hal ini tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci (sebagai lambang Tuhan). Saat itu pula Bima bisa menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri, karena ia telah mengenali hakekat dari Tuhannya.

Itulah inti sari dari ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dimana ilmu ini adalah sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia. Karena ilmu yang diperoleh dari laku makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang bisa dicapai dengan akal. Karena itu, marilah kita berusaha untuk bisa mencapainya, atau setidaknya terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa demi keselamatan dunia dan akherat.

Catatan: Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, dan nilai yang bersifat metafisis dan universal dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.

Sumber resmi :
https://oediku.wordpress.com/2016/03/15/ilmu-sastra-jendra-hayuningrat-puncak-ilmu-jawa/
Jambi, 15 Maret 2016

Referensi:

* Kisah Pedalangan

* https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jendra_Hayuningrat

* https://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/puncak-ilmu-kejawen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar