Jumat, 21 September 2018

SUBALTERN

Ø Pengertian Subaltern
Istilah subaltern mula-mula digunakan dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia Antonio Gramsci sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas mereka juga tidak memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan.
Menurut Gayatri Chakravorty Spivak subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka.

Ø Gagasan dan Konsep yang Melahirkan Subaltern
Kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai gagasan dan konsep yang membentuknya. Berikut ini beberapa gagasan dan konsep tersebut:
a.       Teori Poskolonialisme
Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat.

b.      Identitas dan Politik Identitas
Manusia sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia dilekatkan berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya eksistensi sosial. Pada dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas erat hubungannya dengan “perbedaan”.

Ø Kaum-kaum Subaltern
Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari pandangan kita. Pandangan yang dicanangkan kaum dominan menjadikan kaum subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan tindakan yang tidak menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu lingkungan sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern seperti buruh, petani, waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya. Berikut ini bebrapa contoh dari mereka:
a.       Buruh
Pengaruh kapitalisme yang mendunia, kaum buruh menjadi kelompok yang menjadi sasaran hegemoni dari kelas atas yaitu majikan dan kaum elit. Pandangan umum mengenai kaum buruh merupakan kelompok kelas bawah yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam segi ekonomi, mereka tergolong lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan diri. Adanya diskriminasi yang mereka alami seperti upah rendah dan tunjangna yang sangat minim.
Sebagai kaum subaltern perjuangan kaum buruh untuk menuju kehidupan yang lebih baik, mereka membentuk sarikat sebagai bentuk representasi untuk berelasi dengan kaum elit. Serikat buruh ini merupakan suatu bentuk kesamaan rasa dalam memperjuangkan perbaikan yang menyeluruh untuk segala aspek kehidupan, terutama persoalan ekonomi.

b.      Waria
Kaum waria dapat digolongkan sebagai kelompok kelas bawah yang mengalami penekanan dan diskriminas dari kelas dominan. Terpinggirnya waria dari ranah publikberkaitan dengan identitas transeksual yang dimilikinya yang belum mendapat pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Kondisi sosial masyarakat saat ini hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan.
Budaya dominan masyarakat yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan menyebabkan kaum waria mengalami diskriminasi dalam kelompok masyarakat. Diskriminasi yang dialami kaum waria berhubungan erat dengan stereotype dari masyarakat umum bahwa kaum waria dekat dengan hal negatif. Dalam hal ini penyimpangan seksualitas, penderita HIV/AIDS dan  juga digolongkan sebagai komunitas yang memiliki tingkat pendidikan rendah yang tidak mempunyai ketrampilan selain berdandan. Kaum waria sebagai subaltern dipahami dengan melihat pendiskriminasian dari kelompok masyarakat lain.
Diskriminasi dalam kaum waria terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya. Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan kelompok lain. Posisi waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini mengalami diskriminasi dalam akses administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Misalnya dalam pembuatan KTP sebagai bentuk pengakuan menjadi warga negara Indonesia, KTP juga menjadi prasyarat untuk mengakses hak-hak politik dan sebagai alat untuk mengakses pelayanan publik lainnya. Sering mengalami kesulitan dalam pembuatannya, mulai dari prasyarat yang dibutuhkan seperti Kartu Keluarga (yang jarang dimiliki oleh Waria yang tereksklusi dari keluarganya), penegasan identitas waria dalam KTP (karena hanya terdapat dua jenis kelamin pilihan kelamin yakni laki laki dan perempuan), juga dalam foto yang digunakan dalam KTP (waria harus berfoto dengan wajah “aslinya”
sebagai laki-laki). Belum adanya pengakuan dari pemerintah ini yang membatasi waria untuk menegaskan identitasnya.
Waria sebagai subaltern tidak memiliki  kemampuan untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting dalam mewujudkan pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha merubah paradigma negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam kehidupan sosial. Upaya dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai aktivitas diskusi baik formal maupun non formal dengan masyarakat luas, dan juga melalui media tulisan untuk membuat suatu wacana. Selain elite waria, akademisi juga berperan dalam merepresentasikan identitas waria dengan melakukan penelitian dan kajiannya yang berpengaruh pada identitas waria.
Kaum subaltern yang tereksklusi ini, dapat memberi pengaruh dan tekanan pada elit. Seperti contoh pada kalangan waria yang seharusnya mendapat pengakuan dalam ranah pemerintah ini, memerlukan pembuatan suatu kebijakan untuk kalangan waria, agar tidak tereksklusi dalam ranah publik. Kaum subaltern juga bisa menjadi kelompok penekan terhadap suatu kebijakan pemerintahan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kalangan ini. Meski terdapat kalangan yang memilih dalam ranah yang berbeda dalam lingkup dominan, bukan berarti perbedaan tersebut menempatkan mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik. Apalagi dengan adanya perbedaan bentuk perlakuan pada kalangan ini yang cendrung diskriminatif sungguh membuat hak-hak mereka menjadi tidak terekonstruksi secara nyata.

c.       Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa di Indonesia yang tidak mempunyai cukup ruang untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebudayaannya. Di Indonesia sendiri terdapat dikotomi warga negara berdasarkan perbedaan etnik. Dikotomi pribumi dan non-pribumi menjadi persoalan etnis dan pada gilirannya menyebabkan permasalahan identitas. Tionghoa selalu dicitrakan sebagai pendatang sehingga identitas non-pribumi selalu dilekatkan kepadanya, sebagai penguasa ekonomi, dan memiliki identitas homogen. Citra ini dibentuk oleh kaum dominan dan ditumbuhkan secara terus menerus. Identitas mereka sering didefinisikan secara paksa oleh kaum dominan, terlebih lagi negara yang demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya berperan menjalankan politik identitas. Tidak hanya pergulatannya dalam identitas bangsa tetapi juga berhadapan dengan struktur dan budaya lokal.

Salah satu kasus subaltern :
“Persoalan Perempuan Seni Tradisi”
Meneliti kehidupan perempuan seni tradisi hampir dipastikan akan menemui dua persoalan besar. Pertama, seni tradisi yang menempati posisi tidak menguntungkan, khususnya jika dibandingkan dengan kehadiran jenis seni lain yang sifatnya lebih popular. Seni tradisi yang sedari awal munculnya selalu mengandalkan apresiasi, interaksi, dan keterlibatan penonton serta seluruh pelaku tradisi kesenian itu kini tidak lagi demikian. Entah sejak kapan, tetapi tampaknya belum terdapat satu hasil penelitian yang cukup konkret menggambarkan terpisahnya seni tradisi dari penonton dan pelaku tradisinya.
Kedua, perempuan seni tradisi itu sendiri. Dalam berbagai konteks, perempuan seni tradisi selalu bertarung bukan hanya untuk bertahan dari gempuran kuasa patriarki dan tudingan negatif dari publik melainkan juga upaya keras untuk mendapatkan penghasilan ekonomi sebagai cara bertahan hidup. Saat ini jamak ditemukan perempuan seni tradisi yang harus hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, meskipun masih ada juga yang hidup dalam kondisi ekonomi berkecukupan. Tetapi hal ini tentu berbeda ketika sebelum 1990-an seni tradisi masih menjadi idola dan ruang bagi pelepasan hasrat masyarakat.
Ketika melihat fakta di lapangan tentang perempuan seni tradisi masa kini yang kontras antara apa yang mereka tunjukkan di panggung dengan kehidupan keseharian, maka apa yang seketika terbetik dalam benak peneliti dan perasaan apa yang muncul saat itu? Apa yang terbetik dalam benak dan apa yang dirasakan oleh peneliti inilah yang sangat memengaruhi hasil sebuah karya penelitian. Seorang perempuan peneliti yang peka terhadap kehidupan perempuan akan menghasilkan karya yang berbeda jika dibandingkan dengan peneliti lain yang tidak peka dengan persoalan perempuan, entah disebabkan karena dirinya laki-laki yang memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan perempuan atau karena penggunaan sudut pandang yang berbeda pula.
Perempuan seni tradisi senantiasa berada pada dua wilayah, yaitu wilayah panggung pertunjukan yang selalu menampilkan glamoritas, kecantikan, kepiawaian menari, dan peristiwa lain yang serba indah dan wilayah keseharian yang cukup kompleks. Di wilayah panggung pertunjukan, perempuan seni tradisi selalu dipuja oleh penonton karena keindahan suara, kecantikan wajah, dan kepiawaian tariannya. Tidak jarang, pujaan itu semakin menghentak ketika para perempuan seni tradisi itu begitu handal bertarung tari dengan laki-laki.
Sementara dalam kehidupan keseharian, perempuan seni tradisi berhadapan dengan lingkungan sosialnya yang memiliki cara pandang yang beragam. Sebagian masyarakat yang begitu kuat konstruksi keagamaannya sudah hampir dipastikan memosisikan perempuan seni tradisi sebagai perempuan penjaja maksiat. Pengakuan beberapa penari seni tradisi di berbagai tempat tentang sikap miring para agamawan cukup mencerminkan adanya stigma itu. Sebagian laki-laki juga tidak sedikit yang memandang perempuan seni tradisi sebagai perempuan “murah” yang mudah diajak melakukan transaksi seksual. Belum lagi dengan tudingan perempuan lain terhadap perempuan seni tradisi yang dianggap suka merebut suami orang dan menghancurkan rumah tangga perempuan lain.
Di sisi lain, komoditasi seni tradisi melalui pariwisata baik dengan alasan untuk mendapatkan penghasilan daerah maupun penguatan identitas budaya lokal juga berimplikasi serius bagi kehidupan perempuan dan seni tradisi itu sendiri. Karena komoditasi hanya fokus pada upaya eksotisasi seni tradisi, bukan pada penguatan apresiasi masyarakat terhadapnya. Belum lagi jika meninjau keterlibatan pihak pengusaha yang jeli memanfaatkan kekuatan seni tradisi untuk industri, maka semakin menambah kompleks persoalan yang menggelayuti kehidupan perempuan seni tradisi.
Dalam melihat dan memahami kenyataan seperti ini, peneliti sudah sepatutnya jeli untuk melihat keterkaitan berbagai peristiwa yang terjadi. Apropriasi, atau yang secara sederhana dipahami sebagai peleburan perasaan antara peneliti dengan persoalan yang ditelitinya merupakan bagian mendasar yang turut memengaruhi hasil akhir penelitian itu. Maka sangat maklum jika kemudian banyak ditemui karya penelitian atau liputan jurnalistik tentang perempuan yang lebih dominan unsur emosionalitasnya ketimbang pemaparan dan analisis data atau peristiwa yang lebih “pas” dan “koheren”. Hal ini bukan berarti bahwa apropriasi itu tidak penting, justru ia sangat perlu untuk menumbuhkan “kejujuran” menangkap sisi kebersamaan dan mengungkap persoalan yang dihadapi perempuan.
Perempuan seni tradisi masa kini memang akan selalu berada pada posisi gamang karena mereka harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan dan hiruknya derap modernitas yang gegap. Semuanya tidak mungkin ditampik. Di sinilah arti penting penelitian di wilayah perempuan marjinal dimana ia tidak cukup berkutat pada keluhan tentang penindasan terhadap mereka, tetapi perlu juga menguak sisi perlawanan yang bisa menjadi asa untuk mengarungi kehidupan dengan lebih tegar.

KELOMPOK MARGINAL

Ø Klarifikasi atas Istilah Kelompok Marginal
Tidak ada definisi tunggal tentang siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun, terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama. Orang miskin biasanya masuk dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. Sekalipun banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana, kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau “kemiskinan”.

Ø Contoh kelompok marginal
·        Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995, tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo, pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya, mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok pedagang asongan di sebuah terminal terkadang ditangkap oleh petugas keamanan terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.
Sebagai akibat kebijakan perda ini, pendapatan pedagang asongan merosot hingga separuh. Para pedagang asongan, mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak mempercayai wakil terpilih mereka.
Walaupun pedagang asongan merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba diam-diam memasuki area-area terlarang dan coba menjajakan dagangan mereka (yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan. Upaya terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas terminal membawa sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang.

·        Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di kota besar sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas.
Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah kota menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi tetapi setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.
Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi ini cenderung meningkatkan level kompetisi di antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat.
Menanggapi kondisi ini, perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dala

Tuntutan kelompok-kelompok marginal.
Kelompok Marjinal percaya bahwa dalam banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.
Seperti dapat dipelajari dari pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3) kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan kota. Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar