Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-3 dari 10)
Dari Pulau Seribu hingga 411 dan 212 saya menemukan, menyaksikan dan merasakan dengan penuh sukacita dan rasa syukur, bahwa ternyata Allah tidak meninggalkan rakyat kecil dan Ummat Islam Indonesia. Allah tidak membiarkan mereka yang sejak lama pikirannya galau dan hatinya amat sengsara ini sendirian dalam kesepian.
Ini bukan “haqqulyaqin” dan ”ilmulyaqin”. Ini “’ainulyaqin” dan “ruhulyaqin”. Saya tidak kaget dan mungkin justru gembira kalau siapapun menganggap ini romantik, klenik, tahayul atau halusinasi. Allah sungguh mememperlihatkan bahwa Ia “fa’-‘alul-lima yurid”, Maha Mengerjakan apa yang Ia kehendaki. Tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan trigger atau momentum sangat sederhana beberapa detik di Pulau Seribu, sesudah sekian kali desing mercon kekurang-beradaban dan bom kebrutalan tidak menghasilkan letusan apapun.
Kalau Anda tuan rumah 212, sejauh-jauhnya Anda berani memperkirakan dan menyiapkan akomodasi untuk hanya 150 ribu orang. Tetapi jutaan Malaikat menyusupi kalbu sekian juta manusia untuk “yadkhuluna fi dinillahi afwaja” berduyun-duyun dari tempat yang sangat jauh berkumpul di suatu area. Murni, sejati, suci. Tanpa kesulitan dan kemacetan, dibanding tersiksanya lalu lintas mudik hari raya yang hanya seper-50 atau seper-100 massanya dibanding 212. Makanan dan minuman berlimpah ruah dinikmati oleh manusia yang jumlahnya lebih 3.000 kali lipat dibanding penumpang Kapal Nabi Nuh. Persis seperti hidangan (al-maidah) ajaib yang tiba-tiba tersuguhkan di bilik kecil Siti Maryam dalam kelipatan sekian juta.
Silakan meneliti ribuan macam lagi “fi’lullah”, kerja tangan Allah, asal dimaksudkan demi rasa syukur dan penyadaran bahwa kehidupan ini tidak sesederhana dan tidak se-teknis-materiil yang kita sangka. Dan ini semua saya tuturkan tidak untuk rasa bangga dan sesumbar. Justru yang terpenting dari paparan ini adalah satu prinsip bahwa “Nabi Musa jangan menyangka mampu membelah samudera”.
Tidak ada tongkat sakti. Tidak ada makhluk sakti, tidak pun Nabi, Rasul, Wali, Sayyid, Syarif, Habib, Jin, Asif bin Barkhiyah yang memindahkan Istana Balqis lebih cepat dari sekedipan mata, ataupun para Malaikat. Allah memerintahkan kepada Musa “belahlah laut dengan tongkatmu”, sekaligus memerintahkan kepada air laut “membelahlah begitu disentuh oleh tongkat Musa”.
Nabi Musa tidak bisa menjamin bahwa kalau besok sorenya ia pukulkan lagi tongkat itu maka air lautan akan terbelah. Sebagaimana mukjizat apapun yang terjadi pada semua Nabi Rasul, itu semua bukanlah kehebatan mereka, melainkan pinjaman dan perkenan dari Allah kepada siapapun saja yang dikehendaki oleh-Nya. Semoga presisi ilmu hikmah yang demikian, yang lahir di kesadaran dan nurani para pemimpin dan pekerja amal saleh 212.
Ada yang mengatakan “kalau ingin melihat buih, lihatlah Monas 212”. Saya takdhim kepada buih. Saya ngeri kepada buih tatkala ia ditiup oleh Tuhan dan menenggelamkan pulau-pulau. Saya berempati kepada buih yang menjadi buih karena dibuihkan oleh desain-desain besar cakar Iblis global dan Dajjal nasional. Jika Allah mencintai mereka karena dibuihkan oleh sesamanya, kemudian buih-buih itu dihamparkan dan menenggelamkan Nusantara -- maka biarlah saya kehilangan apapun saja, asal diperkenankan menjadi bagian dari buih itu. Karena tak ada yang lebih nikmat dari kemesraan cinta-Nya.
Buih-buih 212 itu hanyalah cipratan kecil dari suatu organisme besar rakyat Indonesia dan Ummat Islam. Tidak ada organisasi apapun dengan kemampuan mobilisasi secanggih apapun, yang bisa menciptakan keindahan karya 212. Itu organisme, ciptaan Allah, yang penuh rahasia, pada yang tampak mata maupun yang tersamar dan tersembunyi. Organisme makhluk adalah “tajalli” Allah itu sendiri, dengan memilih siapapun dan apapun untuk dijadikan medium atau sarana untuk memanifestasikan “innallaha ‘ala kulli syai-in qodir”-Nya.
Andaikan memang khusus di era sekarang ini ada Iblis global mempekerjakan Dajjal nasional untuk mengincar penaklukan atas tanah air Indonesia, rakyatnya dan Ummat Islam, insya Allah tidak rumit untuk mewujudkannya di ranah organisasional, di level tata kelola formal kenegaraan dan kepemerintahan, secara sistemis dan strategis. Tidak terlalu pelik untuk “berunding”, mengendalikan, mengintervensi, mengamandemen, memotong, menyunat, membuat legalitas baru untuk kepentingan dan keuntungan sesuai desain, program dan proyek.
Asalkan Tuhan dianggap bukan faktor, bisa mudah digambar mapping hajatan itu. Sepanjang diyakini bahwa organisme rakyat dan Ummat Islam adalah khayalan dan omong kosong, maka buldozer penaklukan tak ada kendala untuk dijalankan. Sepanjang Pancasila dipercaya sebagai hanya basa basi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa sekadar ungkapan sopan santun, maka jalanan mulus tanpa batu-batu pengganjal. Asalkan diteguhkan ilmu dan pengetahuan bahwa Allah tidak benar-benar ada, apalagi bekerja, berperan dan men-support para kekasih-Nya -- maka program the show of Iblis dan Dajjal must go on.
Tidak perlu terpengaruh halusinasi yang mengatakan bahwa Negara dan Pemerintah adalah organisasi, sedangkan rakyatnya, terutama yang menghampar luas di bawah, adalah organisme. Bahwa NU, terutama PBNU, misalnya, adalah organisasi. Tetapi Nahdliyin adalah organisme. Bahkan kaum elit, kelas menengah dan terpelajar tertata dalam skema organisasi, tetapi rakyat kecil adalah organisme.
Organisasi dilaksanakan oleh manusia, mengacu pada syariat organisme “alam” yang sempurna. Tetapi organisme rakyat dan Ummat Islam Indonesia, pelaku utamanya bukanlah mereka. Ada Maha Subjek yang memperjalankan mereka berpuluh-puluh abad lamanya dalam ketangguhan dan misteri. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar