Pemikiran Pasca Hegemony XIV:
MENGGUGAT KESESATAN MAKNA EKSPLOITATIF RT-RW
Setelah dimarahi habis-habisan oleh Kades Sukibir di depan para Ketua RT dan RW sedesa Suka Liwung dan kemudian diperintah untuk mundur dari jabatan Ketua RT, Jono Longor dengan berkilat-kilat dan nafas naik turun menahan amarah menghadap Guru Sufi. Kepada Guru Sufi, ia akan mengaku bersalah karena telah mengabaikan saran untuk menolak keinginan warga yang akan memilihnya menjadi Ketua RT 13-RW 5 Desa Suka Liwung. Entah kenapa, waktu itu Jono Longor bersikukuh untuk memenuhi keinginan warga yang memilihnya menjadi Ketua RT karena alasan ingin mengabdi kepada negara lewat jabatan Ketua RT.
Guru Sufi yang sedang berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, dan Sufi Kenthir serta Dullah hanya tersenyum mendengarkan keluh-kesah Jono Longor yang mengaku sejak menjadi Ketua RT waktunya banyak tersita mengurusi warga. “Ada warga bertengkar, RT disuruh mendamaikan. Ada warga mau cerai, Ketua RT yang disuruh mencari jalan keluar. Ada KDRT, Ketua RT disuruh menyelesaikan. Ada warga mencuri, Ketua RT disuruh mengurusi ke polisi. Ada bayi dibuang, Ketua RT ditanya-tanya polisi. Ada apa saja, Ketua RT harus maju dan dilibatkan. Giliran Ketua RT tanya kejelasan dana Taskin, dana IDT, dana ADD, sumbangan pembangunan warga baru, Kades marah-marah dan minta supaya Ketua RT mundur,” kata Jono Longor dengan menahan amarah.
“Aku dulu melarangmu jadi Ketua RT bukan karena alasan apa-apa,” kata Guru Sufi menjelaskan argumentasinya,”Tapi aku tahu Kades Kibir itu orang bodoh yang sesat pikiran, menganggap Ketua RT dan Ketua RW adalah bawahan Kepada Dusun, yang berarti bawahan Kepala Desa. Pikiran sesat itu tidak boleh ditoleransi apalagi diterima sebagai keniscayaan.”
“Ee maaf, Mbah Kyai,” sahut Jono Longor bingung,”Kenapa Mbah Kyai menganggap salah dan sesat pandangan Kades Kibir yang menganggap Ketua RT dan Ketua RW itu bawahannya? Bukankah Ketua RT dan Ketua RW itu bawahan Kades, di mana RT dan RW itu tugas utamanya membantu Kades dalam mengurusi warga?”
Para sufi tertawa serentak. Setelah itu, sambil geleng-geleng kepala mereka memandang kasihan Jono Longor yang belum faham kesalahan yang dilakukannya. Sejenak kemudian, Sufi Kenthir bertanya, “Apakah sampeyan sudah membaca, undang-undang pemerintahan desa nomor dan tahun berapa keberadaan jabatan RT dan RW itu ditetapkan? Adakah peraturan kementerian dalam negeri yang menetapkan jabatan RT dan RW sebagai jabatan hirarki di bawah Kepala Dusun? Adakah dasar hukum yang jelas dari keberadaan RT dan RW di sebuah kampung desa?”
“Eee saya tidak pernah membaca undang-undang atau peraturan menteri. Tapi seperti warga masyarakat lain, saya meyakini bahwa jabatan RT dan RW adalah jabatan struktural dalam pemerintahan desa di bawah Kepala Dusun. Jadi RT dan RW adalah bawahan Kades,” kata Jono Longor ngotot.
“Pernah melihat dan membaca Struktur Pemerintahan Desa di papan yang terpasang di sana?”
“Eee iya, pernah,” sahut Jono Longor ragu-ragu.
“Adakah sampeyan melihat jabatan RT dan RW masuk di dalam struktur pemerintahan desa?”
“Tidak kang.”
“Itu artinya, jabatan RT dan RT bukan bagian dari pemerintahan desa,” kata Sufi Kenthir menegaskan, ”Itu sebabnya, status RT dan RW adalah organisasi sosial yang dibentuk oleh warga di mana ketuanya dipilih oleh warga. RT dan RW tidak punya hubungan hirarkies struktural dengan aparat desa.”
“Tunggu dulu kang,” tukas Jono Longor tidak terima,”Sampeyan lihat KTP-ku, KTP sampeyan dan KTP siapa saja di antara warganegara yang punya KTP Indonesia. Di sini, jelas tercantum RT/RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan. Bukankah itu bukti bahwa RT dan RW adalah pejabat resmi pemerintah di bawah Kades atau Lurah?”
Sufi Kenthir ketawa. Setelah itu sambil tersenyum geli ia berkata,”Itulah kacaunya administrasi negara di republik ini, organisasi sosial yang tidak memiliki dasar hukum dicantumkan dalam dokumen negara, yaitu KTP dan KK.”
“Kenapa sampeyan tetap ngotot kalau RT dan RW itu tidak punya dasar hukum?”
“Karena faktanya, keberadaan jabatan RT dan RT tidak dilandasi dasar hukum apa pun, baik undang-undang atau sekedar peraturan menteri dalam negeri. Karena itu, RT dan RW tidak punya hak untuk menerima gaji. Apakah selama ini sampeyan menerima gaji dari pemerintah?” tanya Sufi Kenthir.
Jono Longor menggelengkan kepala. Sebentar kemudian, ia berkata, “Tapi RT dapat insentif. Bukan gaji. Bagaimana asal-usulnya di negeri ini ada jabatan RT dan RW yang dikesankan sebagai bawahan Kades?”
“Sejak jaman Majapahit sampai jaman kolonial Hindia Belanda, jabatan RT dan RW tidak ada,” kata Sufi Kenthir menjelaskan,”Sewaktu rezim pendudukan militer Jepang berkuasa, dibentuklah satuan lembaga ketetanggaan bersifat sukarela yang disebut Tonarigumi yang terdiri dari 10 – 15 rumah yang dipimpin oleh Kumicho. Para Kumicho dipimpin oleh Asacho. Tugas utama Kumicho selain mengkordinasi warga adalah menyampaikan berita, membantu tugas kepala desa, dan lebih khusus lagi mengawasi anggota warganya. Begitulah, rezim militer Nippon mengawasi penduduk sampai ke tingkat tetangga. Dan apa yang ditinggalkan rezim militer Jepang berupa Tonarigumi itulah yang dilanjutkan oleh pemerintah RI, di mana jabatan Kumicho diubah menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT) dan jabatan Asacho diubah menjadi Ketua Rukun Warga (RW) dengan status sukarela alias tidak menerima upah apa pun dari pemerintah.”
“Apakah memang seperti itu, Mbah Kyai?” tanya Jono Longor kecewa.
“Ya seperti itulah faktanya,” kata Guru Sufi,”Karena itu aku tidak ingin orang-orang yang tulus mengabdi kepada kepentingan masyarakat sebagai Ketua RT dan Ketua RW yang tidak digaji tapi dimanfaatkan secara eksploitatif oleh Kades bermoral rendah itu.”
“Iya Mbah Kyai,” sahut Jono Longor menyesal,”Selama ini kami, para Ketua RT yang berjuang mati-matian mendukung salah satu calon bupati yang didukung Pak Kades. Kami yang jungkir balik menjalankan perintah Pak Kades untuk menggalang suara warga dalam pemilihan Bupati, Gubernur, Pemilihan Legislatif sampai Pemilihan Presiden. Semua kami jalankan secara gratisan, dengan sedikit imbalan uang transport, katanya. Sungguh menyesal saya telah melakukan tindakan bodoh, mau saja dimanfaatkan Kades bedebah itu untuk memperkaya diri.”
“Kalau status RT dan RW memang tidak memiliki dasar hukum, baik undang-undang atau peraturan dari kementerian dalam negeri apalagi instruksi presiden, kenapa hal itu tidak pernah dijelaskan kepada masyarakat? Bukankah dengan fakta bahwa keberadaan RT dan RW tidak memiliki dasar hukum, RT dan RW secara yuridis formal tidak memiliki sedikit pun kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan sendiri seperti “Tamu 1 x 24 jam wajib lapor RT/RW”, “Pemulung dilarang masuk wilayah RT 13.RW 10”, ”peminta sumbangan wajib lapor RT/RW”, “dilarang parkir di sini”, “dilarang buang sampah di sini”, “warga wajib siskamling”, bukankah begitu?”
“Tapi faktanya, RT/RW banyak bikin aturan atau disuruh membuat aturan dan menjalankannya untuk kepentingan Kades seperti surat edaran meminta sumbangan acara tahunan 17 Agustusan, di mana aparat desa yang dilarang melakukan pungutan-pungutan kepada warga menggunakan RT dan RW untuk menggalang dana masyarakat, yang sebagian besar masuk ke kantong Kades,” kata Sufi Sudrun tiba-tiba menyela.
“Jadi kalau peraturan hukum di negeri ini ditegakkan secara konsekuen?” tanya Jono Longor.
“Banyak RT dan RW masuk bui,” kata Sufi Sudrun menimpali.
“Kok bisa begitu, kang?” tanya Jono Longor,”Apakah ada buktinya?”
“Tahun 1986, seorang Ketua RT di kampung Banyu Urip Surabaya dijatuhi hukuman hakim PN Surabaya. Pasalnya, ia disalahkan menahan KTP warga kampung yang dianggap bandel tidak mau kerja bhakti, tidak mau siskamling, tidak mau membayar iuran RT, dan lain-lain kewajiban warga. Ketua RT dinyatakan bersalah karena sebagai Ketua RT yang bukan aparat pemerintah di kelurahan tetapi hanya ketua organisasi sosial sukarela yang tidak memiliki dasar hukum telah bertindak melanggar hukum dengan menahan KTP warga,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Hah? Ketua RT bisa dihukum?”
“Kenyataannya seperti itu.”
“Hwadeehhh,” gumam Jono Longor dengan geram,”Sudah terlanjur bangga jadi Pak RT, pejabat bawahan kades, ternyata bukan apa-apa. Ketua RT hanya ketua “organisasi sukarela” Tonarigumi warisan rezim militer Jepang yang sebenarnya tidak punya kewenangan apa-apa dalam mengatur masyarakat.”
“Tapi dengan cara dipilih warga,” sahut Sufi Kenthir,”Kedudukan Ketua RT dan RW sederajat dengan Kades. Maksudnya, karena dipilih warga maka Kades tidak punya kewenangan memecat atau memberhentikan Ketua RT atau Ketua RW. Ketua RT dan Ketua RW, dalam konteks social fact setara kedudukannya dengan Kades karena dipilih secara demokratis.”
“Iya kang,” sahut Jono Longor tak bersemangat,”Apa pun fakta sosial menunjuk Ketua RT dan Ketua RW sederajat dengan Kades, dalam fakta Ketua RT dan Ketua RW selalu jadi obyek eksploitasi dan bulan-bulanan Kades beserta perangkat desa lainnya. Ibaratnya Ketua RT dan Ketua RW jungkir balik mengurusi warga tidak dibayar sepeser pun, Kades beserta perangkat desa lainnya hanya ongkang-ongkang kaki sudah dapat gaji dari negara.”
“Itu memang hukum alam, Jon,” sahut Dullah tiba-tiba berkomentar,”Orang bodoh selalu jadi makanan orang pintar.”
Para sufi ketawa terkekeh. Jono Longor blingsatan dengan muka kecut sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sumber : Lesbumi
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar