Sabtu, 18 Juni 2016

Atlas Walisongo

“ATLAS WALISONGO”:
MAGNUM OPUS AGUS SUNYOTO

Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I*)

Selama ini, terdapat sebagian kalangan yang meragukan kiprah Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka bahkan beranggapan bahwa kisah tentang Walisongo sekadar mitos atau legenda. Alasannya, tidak mungkin Islam menyebar begitu meluas hanya dapat tempo yang sebentar. Padahal, berabad-abad sebelumnya, Islam mengalami banyak kesulitan untuk menyebar di Nusantara, khususnya di Jawa.

Memang diakui, pada awalnya tidak mudah bagi Islam untuk masuk dan berkembang di Nusantara. Bahkan dalam catatan sejarah, dalam rentang waktu sekitar 800 tahun, Islam belum bisa berkembang secara massif. Catatan Dinasti Tan dari China menulis, saudagar-saudagar dari Timur Tengah sudah datang ke kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 M, yakni dalam masa peralihan Khalifah Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah. Pada abad ke-10, sejumlah rombongan dari suku Lor Persia datang ke Jawa. Mereka tinggal di suatu daerah di Ngudung (Kudus), sehingga dikenal sebagai Loram (dari kata Lor). Mereka juga membentuk komunitas-komunitas di daerah lain, seperti di Gresik yang dikenal dengan daerah Leran. Tapi tidak ada cerita perkembangan Islam selanjutnya.

Selain itu, berdasarkan catatan Jawa ditulis, Sultan Algabah dari Rum, mengirim 20.000 keluarga ke Jawa, namun semuanya mati terbunuh, dan hanya menyisakan 200 keluarga. Sang Sultan pun murka. Agar Islam tetap berkembang di Jawa, Sultan pun mengirim orang-orang yang dianggap wali dan memiliki karomah, salah satu tokohnya adalah Syeikh Subakir yang terkenal numbali tanah Jawa agar bisa ditempati. Pada abad ke-10 tersebut, Syeikh Subakir mengelilingi Jawa dan kemudian kembali lagi ke Rum. Setelah itu, tidak diketahui Islam berkembang atau tidak.

Dalam catatannya, Marcopolo menulis, ketika kembali dari China ke Italia tahun 1292 M, ia tidak melewati Jalur Sutera, tetapi melewati laut menuju Teluk Persia. Ia singgah di kota pelabuhan Perlak Aceh yang terletak di selatan Malaka. Menurutnya, di Perlak, ada tiga kelompok masyarakat, yaitu (1) China, yang seluruhnya beragama Islam; (2) Barat (Persia), yang seluruhnya beragama Islam; dan (3) pribumi, yang menyembah pohon, batu, dan roh, bahkan di pedalaman masih memakan manusia.

Seratus tahun setelah Marcopolo, datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa tahun 1405. Ia mencatat, ketika singgah di Tuban, ia menemukan ada 1000 keluarga China beragama muslim. Di Gresik juga ada 1000 keluarga China beragama muslim, demikian juga di Surabaya ada 1000 keluarga China beragama muslim. Pada kunjungan Cheng Ho yang ketujuh (terakhir) ke Jawa pada tahun 1433, ia mengajak juru tulisnya yang bernama Ma Huan. Menurut catatan Ma Huan, kota-kota di pantai-pantai utara Jawa, penduduknya yang China dan Arab beragama muslim, sedangkan penduduk pribumi rata-rata kafir sebab menyembah pohon, batu, dan roh.

Tujuh tahun setelah itu, yakni tahun 1440, datanglah seorang wali dari negeri Campa (Vietnam Selatan) ke Jawa beserta keluarganya, yaitu Syeikh Ibrahim Samarqandi dan dua putranya, Ali Murtadho dan Ali Rahmat. Mereka tinggal di daerah Tuban, tepatnya di Desa Gisikharjo Kec. Palang. Namun belum sempat berkembang, Syeikh Ibrahim meninggal dan dimakamkan di sana. Kedua putranya pun menuju Majapahit, sebab bibinya dinikahi raja Majapahit. Oleh raja, keduanya diangkat sebagai pejabat. Ali Murtadho sebagai raja pendeta (menteri agama) untuk orang-orang Islam, sedangkan Ali Rahmat sebagai imam di Surabaya. Ali Rahmat inilah yang kemudian dikenal sebagai Raden Rahmat Sunan Ampel.


Dari Sunan Ampel, lahirlah Sunan Bonang dan Sunan Drajat, serta putri-putrinya, kemudian murid-muridnya, seperti Sunan Giri dan Raden Fatah. Dari sini kemudian terbentuklah Walisongo. Ketika pertama datang tahun 1440, Sunan Ampel waktu itu belum menikah. Dan pada tahun 1470 atau butuh waktu sekitar 30 tahun inilah, Sunan Ampel mengembangkan Islam di tanah Jawa, sembari putra-putri dan murid-muridnya tumbuh dewasa. Inilah dimulainya era Walisongo, yakni pada tahun 1470.

Sekitar 40 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513, seorang Portugis bernama Tome Pires datang ke Jawa. Ia mencatat, sepanjang pantai utara Jawa, penguasanya adalah para adipati muslim. Padahal sebelumnya, menurut Ma Huan pada tahun 1433, sepanjang pantai utara Jawa adalah kafir. Ini mengindikasikan bahwa Islam berkembang secara massal baru sejak era Walisongo.

Kesaksian lainnya, pada tahun 1522, Antonio Pigafetta, seorang pengelana dari Italia yang menumpang kapal Portugis datang ke Jawa, ia menyaksikan penduduk pribumi di sepanjang utara Jawa seluruhnya muslim. Di pedalaman masih ada kerajaan majapahit, rajanya Raden Wijaya, namun sudah tidak berkembang. Sekali lagi, inilah bukti Islam berkembang luas baru pada era Walisongo.

Pertanyaannya: mengapa hanya dalam kurun waktu 40-50 tahun Islam diterima begitu meluas di Jawa, padahal sebelumnya sangat sulit berkembang? Faktor kesuksesan dakwah Walisongo salah satunya adalah dengan mengembangkan peradaban yang ditinggalkan Majapahit menjadi sebuah peradaban baru yang akarnya Majapahit tapi cirinya Islam. Contohnya, sampai era Demak awal, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar, seperti era majapahit. Pertama, Golongan Gusti, yakni orang-orang yang tinggal di dalam keraton. Kedua, Golongan Kawula, orang yang tinggal di luar keraton. Gusti artinya tuan, kawula artinya budak, yang tidak mempunyai apa-apa, hanya memiliki hak sewa, bukan hak milik, sebab yang punya adalah tuannya (gusti). Jadi, pada era Majapahit, semua hak milik adalah milik keraton. Jika raja ingin memberi seorang kawula yang berjasa, ia diberi tanah simah/perdikan.

Yang dirintis Walisongo, terutama Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, adalah mengubah struktur masyarakat gusti dan kawula yang tidak relevan dan tidak manusiawi tersebut. Digunakanlah struktur komunitas baru yang disebut “masyarakat”, berasal dari istilah Arab, musyarakah, yang berarti komunitas yang sederajat dan saling bekerjasama.

Salah satu metode Walisongo adalah dengan mengubah mindset masyarakat. Golongan gusti menyebut kata ganti dirinya: intahulun, kulun atau ingsun. Sedangkan golongan kawula menyebut kata ganti dirinya: kulo atau kawula. Orang Sunda menyebutnya: abdi; orang Sumatera: saya atau sahaya; orang Minang: hamba atau ambo. Walisongo mengubah semua sebutan yang berarti budak tersebut, dan diganti dengan ingsun, aku, kulun, atau awak, dan sebutan lain yang tidak mewakili identitas budak. Itulah konsep masyarakat yang tidak membedakan panggilan antara golongan gusti dan kawula. Bahkan dalam bahasa Kawi, tidak ada istilah “masyarakat”, “rakyat”, dan sebagainya.

Pada zaman Majapahit, selain golongan gusti, orang tidak mempunyai hak milik, seperti rumah, ternak, dan seterusnya, sebab semuanya milik keraton. Kalau keraton punya hajat, seperti ingin membangun jembatan atau candi dan membutuhkan tumbal, maka anak dari golongan kawula yang diambil dan dijadikan korban. Dengan mengubah struktur masyarakat, golongan kawula akhirnya bisa menolak karena merasa sederajat.

Orang Jawa era Majapahit terkenal arogan. Prinsip hidupnya adalah adigang adigung adiguna. Mereka bangga jika sudah bisa menundukkan dan merendahkan orang lain. Menurut kesaksian Antonio Pigafetta, pada waktu itu, tidak ada orang yang sombong melebihi orang Jawa. Kalau ia sedang berjalan, dan ada orang dari bangsa lain juga berjalan tetapi di tempat yang lebih tinggi, maka akan disuruh turun. Jika menolak, akan dibunuh. Itulah watak orang Jawa. Sehingga dalam bahasa Jawa asli (Kawi), tidak dikenal istilah “kalah”. Kalau seseorang berselisih dengan orang lain, maka yang ada adalah “menang” atau “mati”. Walisongo kemudian mengembangkan istilah ngalah, bukan dari asal kata kalah, tetapi bermakna seperti ngalas (menuju alas) ngawang (menuju awang-awang), maka ngalah berarti menuju Gusti Alah, yakni tawakkal.

Sebagai bukti kesombongan orang Jawa adalah ketika utusan dari China mengirimkan pesan dari rajanya kepada ke Raja Kertanegara, karena tersinggung, utusan tersebut dilukai. Istilah carok di Madura juga berasal dari tradisi Jawa Kuno. Carok dalam bahasa Kawi berarti berkelahi; warok berarti tukang berkelahi; dan Ken Arok disebut sebagai pemimpin tukang berkelahi. Oleh Walisongo, dikenalkan istilah baru, seperti sabar, adil, tawadhu’, dan sebagainya.

Walisongo melihat sebetulnya agama Hindu dan Buddha hanya dipeluk oleh kalangan Gusti di keraton-keraton. Masyarakat umumnya beragama Kapitayan, yakni pemuja Sang Hyang Taya. Taya artinya suwung, kosong. Tuhannya orang Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Taya didefinisikan secara sederhana dengan “tan keno kinaya ngapa”, tidak bisa diapa-apakan, dilihat, dipikir, dibayangkan.  Kekuatan Sang Hyang Taya inilah yang kemudian ada di berbagai tempat, seperti di batu, tugu, pohon, dan disitulah mereka melakukan sesaji.

Agama Kapitayan inilah agama kuno yang dalam arkeologi, sisa-sisa peninggalannya dikenal dalam istilah Barat dengan dorman, menhir, sarkofagus, dan lainnya yang menunjukkan ada agama kuno di tempat itu. Oleh sejarawan Belanda, hal ini disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon-pohon, batu, dan ruh. Sedangkan menurut istilah Ma Huan, praktik seperti ini disebut kafir.

Nilai-nilai agama Kapitayan ini diambil alih oleh Walisongo, dalam menyebarkan Islam. Sebab konsep tauhid Kapitayan sama dengan Islam. Tan keno kinaya ngapa sama artinya dengan laisa kamitslihi syai’un. Istilah-istilah yang digunakan Walisongo pun masih istilah Kapitayan, seperti menyembah tuhan disebut sembahyang (sembah hyang taya). Tempat ibadah Kapitayan disebut sanggar, yakni bangunan empat persegi yang pada dindingnya ada lubang kosong (simbol dari Sang Hyang Taya, bukan patung atau arca seperti Hindu Buddha). Walisongo menyebutnya langgar.

Dalam Kapitayan, ada juga ritual berupa tidak makan dari pagi sampai malam. Walisongo tidak menggunakan istilah shaum atau siyam, tapi upawasa (puasa, poso). Poso dino pitu berarti yaitu puasa padi hari kedua dan kelima. Nilainya sama dengan puasa tujuh hari. Dalam Islam, dikenal dengan Puasa Senin Kamis. Tumpeng dalam sesaji juga tetap dijalankan. Inilah yang dalam istilah Gus Dur disebut “mempribumikan Islam”.

Pada zaman Majapahit, ada upacara “sraddha”, yakni upacara setelah 12 tahun kematian seseorang. Ketika terjadi peringatan sraddha seorang raja Majapahit, Bhre Pamotan Sang Sinagara, seorang pujangga, Mpu Tanakung, membuat kidung “Banawa Sekar” (Perahu Bunga), untuk menunjukkan betapa upacara itu dilaksanakan dengan penuh kemewahan dan kemegahan. Masyarakat pantai atau sekitar telaga menyebut tradisi tersebut dengan istilah sadran atau nyadran (dari kata sraddha).

Walisongo yang berasal dari Campa juga membawa tradisi keagamaan, seperti peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 10 hari, 1000 hari kematian seseorang. Tradisi ini adalah tradisi Campa, bukan tradisi asli Jawa, bukan juga tradisi Hindu. Sebab tradisi tersebut juga ada di sebagian Asia Tengah, seperti Uzbekistan dan Kazakhstan. Dalam buku-buku tentang Tradisi di Campa, akan diketahui bahwa peringatan tersebut sudah ada sejak dulu.

Dalam tahayul Majapahit, hanya dikenal Yaksa, Pisaca, Wiwil, Raksasa, Gandharwa, Bhuta, Khinnara, Widyadhara, Ilu-Ilu, Dewayoni, Banaspati, dan arwah leluhur. Orang Majapahit terkenal sebagai orang yang rasional. Mereka pelaut dan mengenal orang-orang dari China, India, Arab, dan sebagainya. Dalam zaman Islam yang terpengaruh dari Campa, muncul banyak tahayul, seperti pocong. Ini jelas berasal dari keyakinan Islam, sebab orang Majapahit matinya dibakar dan tidak dipocong. Ada juga kuntilanak, tuyul, hingga Nyai Roro Kidul atau Ratu Laut Selatan yang muncul belakangan, sebab laut mana saja, oleh orang Majapahit, akan dilewati.

Era Walisongo, tidak ada penyebaran Islam dengan kekerasan senjata. Baru zaman Belanda, terutama pasca Perang Diponegoro, Belanda betul-betul kehabisan dana, sehingga berhutang jutaan gulden. Setelah Diponegoro ditangkap, ternyata pengikutnya tetap tidak pernah tunduk. Belanda akhirnya melakukan dekonstruksi cerita-cerita tentang Walisongo, seperti pada Babab Kediri. Dari babad inilah muncul kitab Darmo Gandul dan Suluk Gatholoco. Yang mengarang kitab ini bernama Ngabdullah, orang Pati, yang karena kemiskinan, membuatnya murtad menjadi Nasrani. Ia kemudian berganti nama menjadi Ki Tunggul Wulung dan menetap di Kediri.

Dalam serat karangannya, terdapat banyak cerita yang bertolak belakang dengan kenyataan sejarah, seperti Demak menyerang Majapahit tahun 1478 dan munculnya tokoh fiktif Sabdo Palon Naya Genggong yang bersumpah bahwa 500 tahun setelah penyerangan itu, Majapahit akan bangkit kembali. Padahal menurut naskah yang lebih otentik dan lebih kuno, pada tahun itu yang menyerang Majapahit adalah Raja Girindrawardhana, raja Hindu dari Kediri. Saking kuatnya dongeng itu, membuat Presiden Soeharto begitu percaya sehingga menetapkan disahkannya Aliran Kepercayaan pada tahun 1978 (500 tahun setelah 1478) sebagai simbol kebenaran sumpah Sabdo Palon akan kebangkitan Majapahit.

Diam-diam, ternyata Belanda membuat sejarah karangan sendiri untuk mengacaukan perjuangan umat Islam, terutama pengikut Diponegoro. Bahkan Belanda juga membuat Babad Tanah Jawi sendiri, yang berbeda dengan Babad Tanah Jawi yang asli. Contohnya, naskah tentang Kidung Sunda, digambarkan adanya peristiwa bubad, yakni ketika Gajahmada membunuh Raja Sunda dan seluruh keluarganya. Hal inilah yang membuat orang-orang Sunda memendam dendam pada orang-orang Jawa. Naskah itu sendiri muncul tahun 1860, yang membuatnya adalah orang Bali atas suruhan Belanda. Itu adalah peristiwa besar, mana mungkin tidak ditulis dalam Babad Sunda, termasuk dalam naskah Majapahit? Sekali lagi, inilah taktik Belanda dalam memecah masyarakat dengan membuat cerita-cerita palsu. Dari seluruh pendistorsian sejarah, semua pasti berawal dari naskah karangan Belanda pasca Perang Diponegoro.

Umat Islam adalah orang yang tidak mudah ditundukkan Belanda. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya dari orang-orang Belanda yang kafir. Buktinya, sejak tahun 1800-1900, terjadi 112 kali pemberontrakan yang dipimpin oleh para guru tarekat dan orang-orang dari pesantren. Akhirnya, Belanda membuat cara yang lebih sistematis, ketika tahun 1848 (pasca Perang Diponegoro), mereka membuat peraturan perundang-undangan, dimana orang kulit putih (Eropa) ditempatkan pada kelas tertinggi sebagai warga negara kelas satu; orang-orang Tionghoa dan Timur Asing sebagai warga negara kelas dua; dan warga pribumi (inlander) sebagai warga negara kelas tiga.  KUHP pun dibagi menjadi dua, yakni KUHP untuk warga negara kelas satu yang disebut Raad van Justitie, serta KUHP khusus untuk warga negara kelas dua dan tiga yang disebut Landraad. Dalam perkara perdata, orang-orang Tionghoa dan Timur Jauh dapat berperkara di Raad van Justitie, tetapi tidak demikian dengan orang pribumi.

Demikian juga diskriminasi melalui lembaga sekolah. Menurut taktik Belanda ini, umat Islam bisa ditundukkan kalau anak-anak muslim dijadikan sebagai manusia modern dengan mengirim mereka ke sekolah, sebab pesantren resistensinya sangat tinggi. Dari sekolah inilah umat Islam menjadi modern, sehingga muncul Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Serikat Islam (1912), Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persis (1923), dan sebagainya. Mereka adalah golongan orang-orang yang berpikiran modern. Dengan cara inilah Belanda menundukkan umat Islam. Buktinya, PKI lahir dari orang-orang sekolah, yakni dari SI Merah. SI pecah menjadi dua: SI Merah dan SI Hijau. SI Merah kemudian menjadi Serikat Rakyat yang pada Mei 1920 menjadi PKI. Sedangkan mereka yang di pesantren dituduh tradisional, primitif, dan tempatnya TBC (Tahayul Bid’ah, Churafat). Orang-orang pesantren ini akhirnya bertahan dengan mendirikan NU pada tahun 1926.

Warisan Walisongo terputus ketika pesantren meninggalkan tulisan Jawa. Pada abad ke-17 hingga 18, terutama setelah Terusan Suez dibuka, orang banyak pergi haji ke Tanah Suci. Pengaruh Timur Tengah pun mulai muncul. Salah satunya, munculnya tulisan pegon yang tanpa diduga akhirnya menjadi mainstream di pesantren. Dampaknya, pesantren tidak mewarisi warisan Walisongo yang tertulis dalam tulisan Jawa. Padahal peradaban baru pasca Majapahit adalah peradaban warisan Walisongo sangat tinggi nilainya, dan ditulis dalam tulisan Jawa.

Dalam teknologi metalurgi peleburan besi dan baja, misalnya, orang-orang Majapahit bisa membuat pusaka, keris, tombak, panah, bahkan barunastra, yakni panah yang berfungsi seperti torpedo air yang jika ditembakkan bisa membuat kapal jebol. Bahkan kerajaan Demak mampu membuat meriam-meriam ukuran besar dan diekspor ke Malaka, Pasai, bahkan Jepang. Fakta Jepang pernah membeli meriam dari Demak bersumber dari catatan bahwa ketika Portugis menaklukkan pelabuhan Malaka, benteng Malaka dilengkapi oleh meriam-meriam ukuran besar yang didatangkan dari Jawa. Portugis yang baru datang dari Eropa, kapal-kapal mereka dijebol meriam ketika mendekati pelabuhan Malaka. Buktinya saat ini bisa dilihat di Benteng Surosowan Banten, dimana di depannya ada meriam bernama “Ki Amuk” yang besar. Orang bisa masuk ke lubang meriam menggambarkan besarnya meriam yang ditembakkan. Bahkan capnya pun masih ada, yakni buatan Jepara. Istilah “bedil besar” dan “juru mudining bedil besar” menggambarkan meriam dan operator meriam. Itulah teknologi militer era Walisongo.

Bahkan dalam peradaban berbuasana, pada era Walisongo muncul pakaian kemben, surjan, dan sebagainya. Padahal zaman Majapahit, orang-orang tidak berpakaian sempurna. Ini bisa dilihat pada relief-relief candi, dimana laki-laki dan perempuan bertelanjang dada

Zaman Majapahit, keseniannya adalah “wayang beber”, sedangkan era Walisongo adalah “wayang kulit”. Ceritanya tentang Mahabharata, oleh Walisongo dibuat versinya sendiri yang berbeda dengan versi asli India. Dalam versi India, Pandawa Lima memiliki satu istri, Drupadi. Ini berarti konsep poliandri. Walisongo mengubah konsep tersebut dengan menceritakan bahwa Drupadi adalah istri Yudhistira, saudara tertua. Werkudara atau Bima istrinya Arimbi, yang kemudian kawin lagi dengan Dewi Nagagini yang memiliki anak Ontorejo dan Ontoseno, dan seterusnya. Digambarkan bahwa semua Pandawa berpoligami. Padahal versi aslinya, Drupadi berpoliandri dengan lima pandawa.

Demikian halnya dalam cerita Ramayana. Hanuman memiliki dua ayah, yakni Kesari Raja Maliawan dan Dewa Bayu. Oleh Walisongo, Hanuman disebut sebagai anak dari Dewa Bayu. Walisongo bahkan membuat silsilah bahwa dewa-dewa itu keturunan Nabi Adam. Hal ini bisa dilihat dari pakem pewayangan Ringgit Purwa di Pustaka Raja Purwa Solo, yakni suatu pakem untuk para dalang. Jadi pakem yang dipakai para dalang itu adalah pakem Walisongo, bukan pakem India. Wayang inilah tontonan sekaligus tuntunan dalam dakwah Islam Walisongo.

Dalam dunia sastra, Majapahit mengenal kakawin dan kidung. Oleh Walisongo, ditambah dengan berbagai tembang, seperti tembang gedhe, tembang tengahan, dan tembang alit. Berkembang pula tembang macapat di daerah pesisir. Kakawin dan kidung hanya bisa dipahami oleh pujangga. Tetapi untuk tembang, masyarakat buta huruf pun bisa. Inilah metode Dakwah Walisongo melalui jalur kesenian dan kebudayaan.

Contoh lain, slametan yang dikembangkan Sunan Bonang dan kemudian sunan-sunan yang lain. Dalam agama Tantrayana yang dianut oleh raja-raja di Nusantara, salah satu sektenya adalah Bhairawa Tantra yang memuja Dewi Pertiwi, Dewi Durga, Dewi Kali, dan lainnya. Ritual mereka dengan membuat lingkaran yang disebut ksetra. Yang terbesar di Majapahit adalah ksetra laya, sehingga sekarang disebut daerah Troloyo.

Ritual tersebut dikenal dengan upacara Panca Makara (lima ma, malima), yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi). Laki-laki dan perempuan membentuk lingkaran dan semuanya telanjang. Di tengahnya disediakan daging, ikan, dan arak. Setelah makan dan minum, mereka bersetubuh (maituna) beramai-ramai. Setelah memuaskan berbagai nafsunya tersebut, baru mereka bersemedi. Untuk tingkatan yang lebih tinggi, mamsa diganti daging manusia, matsa diganti ikan sura (hiu), dan madya diganti darah manusia.

Di Musem Nasional Jakarta, ada patung tokoh bernama Adityawarman yang tingginya tiga meter dan berdiri di atas tumpukan tengkorak. Dialah pendeta Bhairawa Tantra, pengamal ajaran malima. Dia dilantik menjadi pendeta Bhairawa dengan gelar Wisesa Dharani, penguasa bumi. Digambarkan, ia duduk di atas tumpukan ratusan mayat dan minum darah sambil tertawa terbahak-bahak.

Melihat hal tersebut, akhirnya Sunan Bonang membuat acara yang mirip. Ia masuk ke Kediri sebagai pusatnya Bhairawa Tantra. Tidak heran jika semboyan Kediri sekarang adalah Canda Bhirawa. Sunan Bonang berdakwah ke Kediri tapi tinggal di baratnya sungai, yakni di Desa Singkal Nganjuk. Di situ ia mengadakan upacara serupa, membuat lingkaran, tetapi pesertanya laki-laki semua, dan di tengahnya ada makanan, lalu berdoa. Inilah yang disebut tradisi kenduri atau slametan. Dikembangkan dari kampung ke kampung untuk menandingi upacara malima (Panca Makara). Oleh karenanya Sunan Bonang juga dikenal sebagai Sunan Wadat Cakrawati, sebab menjadi pimpinan atau imam Cakra Iswara (Cakreswara).


Jadi di daerah pedalaman dulu, orang disebut Islam jika sudah baca syahadat, khitan, dan slametan. Jadi malima itu aslinya bukan maling, main, madon, madat, dan mabuk, tapi lima unsur Panca Makara. Islam pun berkembang karena masyarakat tidak mau anaknya dijadikan korban seperti dalam Bhairawa Tantra. Mereka lebih memilih ikut slametan dengan tujuan biar slamet. Inilah cara Walisongo menyebarkan Islam tanpa kekerasan.

Kesimpulannya, sekitar 800 tahun Islam masuk ke Nusantara, sejak tahun 674 hingga era Walisongo tahun 1470, namun belum bisa diterima masyarakat secara massal. Dan baru sejak era Walisongo, Islam berkembang begitu meluas di Nusantara. Dan hingga kini, ajaran Walisongo pun masih dijalankan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.


(Disarikan dari uraian Agus Sunyoto dalam acara Suluk Maleman dan Bedah Buku “Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Menguak Walisongo sebagai Fakta Sejarah”, 15 Maret 2013 di Pati Jawa Tengah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar