Jumat, 09 September 2016

Maiyah (syech Kamba)

Maiyah Dalam Perspektif Sufisme

Kosakata ‘maiyah’ dalam bahasa Arab berarti: dalam keadaan bersama atau kebersamaan yang tak terlepaskan, the endless togetherness (kalau boleh menggunakan kosakata seperti ini). Dalam tradisi sufisme maiyah berarti maiyatullah, bersama Allah yakni makna yang bersumber dari keadaan yang dialami rasulullah Muhammad SAW dan sahabatnya, Abu Bakar ra tatkala berada di dalam gua tsaur ketika sedang dikejar musuh dimana Muhammad SAW menyatakan kepada sahabatnya “Allah bersama kita”; sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surah at-Taubah : 40.

Literatur tasawuf cukup kaya akan bahasan mengenai ayat 40 surat at-Taubah ini karena pertanyaan yang menggelitik adalah bahwa sosok Abu Bakar bukanlah pengikut biasa melainkan orang yang oleh Nabi sendiri diakui keimanannya yang prima sehingga tidak layak berasumsi bahwa Abu Bakar dirundung ketakutan dan kekhawatiran apalagi kesedihan menghadapi situasi yang ada. Lagi pula tidak ada informasi yang akurat baik al-Quran maupun Hadist yang menggambarkan bahwa Abu Bakar saat itu mengeluh kepada sahabatnya apalagi secara fisik menyatakan rasa sedih. Tetapi mengapa kemudian Muhammad SAW berkata kepada sahabatnya: “jangan bersedih, Allah bersama kita”?.

Boleh jadi ungkapan ini tidak mesti dipahami dengan pola hubungan sebab akibat sehingga tidak dengan cara empiric dimaknai jangan bersedih karena Allah bersama kita. Pemaknaan sufisme terhadap kesedihan yang mungkin ada dalam diri Abu Bakar tidak terkait dengan pribadinya tapi tertuju pada apa-apa yang akan menimpa mereka yang memerangi dan mengejar Muhammad, seakan-akan Abu Bakar berkata: ‘saya bersedih jika kemudian orang-orang itu mencederaimu wahai Rasulullah, maka tertimpa azab yang tak berkesudahan’. Ini tentu disebabkan oleh pengetahuan Abu Bakar yang sudah mencapai taraf ainulyaqien siapa sesungguhnya Muhammad. Dari pihaknya Nabipun hanya mengingatkan “Allah bersama kita” dalam pembebasan mereka yang menjadikan dirinya musuh Muhammad dari malapetaka apapun; seperti halnya sikap beliau menghadapi penyiksaan penduduk Makkah ketika telah mencapai titik kulminasi sampai-sampai malaikat Jibril as menawarkan apa perlu mengangkat Jabal Qubais untuk ditimpakan kepada mereka dan tamat riwayatnya? Lalu dijawab oleh beliau Nabi “Oh jangan, karena aku berharap mereka melahirkan anak-cucu keturunan yang mampu memahami misi ini dan menjadi pejuang melanjutkannya”; Subhanallah, shallallahu alaika ya sayyidi ya Rasulullah.. Pengertian maiyah sebagaimana yang dipahami kaum sufi dari ayat 40 surat at-Taubah bukan untuk membangun sifat defensive melainkan gagasan ‘pembebasan’ yang didasarkan kepada cinta kasih sesame sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kepercayaan yang mendalam terhadap misi perjuangan. Bukanlah kebetulan bahwa ‘maiyah’ muncul dalam konteks proses hijrah karena pada dasarnya momentum hijrah menjadi tonggak transisional dalam metodologi dan pendekatan dakwah yang digunakan Muhammad dalam misinya.

Selama kurang lebih satu dasawarsa beliau mendebat penduduk Makkah tentang tauhid, namun hasilnya tidak signifikan. Sejak dahulu bahkan hingga sekarang penduduk Makkah adalah manusia-manusia materialistic sehingga sulit memahami dimensi-dimensi ideologis, seperti sikap mereka yang tak habis pikir mempertanyakan misalnya buat apa Muhammad mengajarkan persaudaraan sesama manusia diluar hubungan darah dan suku bangsa? Oleh karena itu, di Madinah Muhammad tidak lagi melakukan perdebatan tauhid tetapi memberikan contoh kongkrit bagaimana konstruksi dan struktur masyarakat yang diinginkan Islam sesungguhnya; bagaimana manusia hidup saling mengasihi dan saling mengerti, bersatu membangun dan mempertahankan kedaulatan Madinah, ibarat pepatah Indonesia: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Hasilnya, dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa tidak saja berbondong-bondongnya penduduk Makkah bergabung ke Madinah tetapi Muhammad telah membangun basis kekuatan politik, ekonomi dan militer yang tak tertandingi di semenanjung Arabia.

Kelompok sufi – kalau tidak disebut sebagai aliran – yang lebih dikenal amat ketat mempraktekkan konsep maiyah seperti ini adalah aliran al-Malamatiyah di Khurasan pada abad ke-3 dan ke-4 H. berdasar prinsip ietsaar yang mengacu pada ayat 9 surah al-Hasyr, persaudaraan al-Malamatiyah dibangun diatas sikap pengorbanan diri sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealism alfutuwwah yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul kahfi. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyah dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Junaeid hingga Ibn Arabi.

Muhammad Ainun Nadjib dan Maiyah

Tidak ada kaitan formal yang dapat dijadikan alasan akademis maupun intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang Muhammad Ainun Nadjib yang lebih akrab disapa Cak Nun, dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideologi yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh dan ajaibnya, pemikiran apapun yang terkandung dalam literatur tasawuf bisa dengan gampang dan gamblang Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topik yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di hadapan profesor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.

Maiyah yang secara kreatif atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ihklas dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsaur dan momentum hijrah Nabi, merupakan kreasi sufistik Cak Nun yang jika disandingkan dengan gerakan-gerakan sufi dalam sejarah, menempati posisi setara dengan kaum malamatiyah. Jamaah Maiyah sebagaimana pengikut malamatiyah menjadi tempat berteduh masyarakat umum dalam menghadapi kezaliman ataupun kesewenang-wenangan pemerintah ataupun publik. Bahkan jamaah Maiyah sebagaimana jamaah Malamatiyah cenderung mempraktekkan ‘rasa bahagia’ dan sikap ‘menikmati’ ketidak-adilan dan penderitaan yang dialaminya.

Dengan demikian maka Cak Nun dengan jamaah Maiyahnya sesungguhnya merupakan nikmat bagi pemerintah dan Negara Indonesia. Forum-forum Maiyah Cak Nun telah menjadi danau serapan bagi banjir kebencian masyarakat. Maiyah menjadi ‘GEGANA’ penjinak bom yang setiap saat dapat meledak gara-gara ketidak-adilan dalam masyarakat. Maiyah menjadi jembatan perdamaian bilamana terjadi konflik antara kelompok masyarakat. Lebih dari itu, Maiyah menjdai ‘sekolah’ kehidupan yang memberikan pendidikan kearifan hidup.

Meski peran sosial dan kultural yang dimainkan jamaah Maiyah begitu besar artinya bagi stabilitas politik dan keamanan nasional Indonesia, namun Cak Nun tidak mendapat penghargaan, apresiasi maupun terima kasih dari pemerintah. Dan tentu Cak Nun tidak pernah mengharapkan apapun dari siapapun kecuali kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena beliau mempraktekkan ayat 9 surah al-Insan. Namun tentunya tetap tergantung kepada kehendak dan keinginan Allah terhadap bangsa Indonesia ini. Jika Allah kemudian menutup ‘danau’ Maiyah, membubarkan ‘gegana’ Maiyah, merontokkan ‘jembatan’ Maiyah dan menutup ‘sekolah’ Maiyah, maka revolusi takkan terhindarkan. Dan jika saatnya tiba Allah pun takkan segan-segan memerintahkan Cak Nun mendeklarasikan ‘perang badr’ dan menggerakkan balatentara yang tak terlihat dan yang sudah cukup lama stand by. Wallahu a’lam.

Jakarta, 23 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar