Minggu, 21 Agustus 2016

NEGERI LADANG DAUN EMAS -- CANDRA MALIK

Beberapa saat sebelum berdialog dengan Prof Hasbullah Thabrani, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, inilah yang saya sampaikan dalam CNN Indonesia secara live, malam ini, 21 Agustus 2016:

---

NEGERI LADANG DAUN EMAS

Kita masih dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, dan saya termasuk yang percaya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdiri pada 18 Agustus 1945, ialah negara yang tak pernah dijajah dengan peperangan fisik oleh bangsa mana pun. Negara ini berusia 71 tahun, bagaimana bisa dijajah 350 tahun? Minus! Ya, minus 279 tahun. Persoalannya menjadi berbeda jika kita membicarakan Nusantara. Tema penjajahan bisa menjadi relevan.

Adalah The Grand Old Man, Haji Agus Salim, diplomat ulung yang menguasai lebih dari tujuh bahasa asing, yang mengingatkan saya soal Nusantara itu. Hari-hari ini, ketika obrolan tentang harga rokok akan dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus, saya menjadi semakin yakin betapa upaya penjajahan terhadap Bangsa Indonesia sebagai anak kandung Bangsa Nusantara masih terus berlangsung. Bangsa-bangsa di dunia masih geregetan dengan kita.

Kepada Pangeran Philip, Haji Agus Salim meneguhkan arti nama kecilnya yaitu Masyudul Haq atau pembela kebenaran. "Paduka, adakah Paduka mengenal aroma ini?" tanya Haji Agus Salim, seraya menyodorkan sebatang rokok. Dalam suasana tegang pelantikan Ratu Elizabeth II pada 1953 di Istana Buckingham itu, Haji Agus Salim bahkan berdiplomasi. Pangeran Philip yang menggelengkan kepala, tidak mengenal aroma apa yang dibawa negarawan Indonesia itu disentil dengan argumen faktual.

Haji Agus Salim menjawab, ini aroma tembakau. "Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri kami," tegasnya. Ya, bangsa-bangsa di dunia ketika itu memang berebut datang lebih dulu dan bertahan lebih lama di negeri ini, demi mengeruk kekayaan alam kita, bahkan sampai hari ini. Kegaduhan-kegaduhan hari ini adalah kelanjutan dari keributan-keributan hari kemarin. Tema masih sama: menguasai kekayaan alam.

Dari barus yang sampai ke Mesir hingga kemenyan yang sampai ke Arab, dari Emas Swarnadwipa hingga Mutiara Hitam di berbagai penjuru kepulauan, dari rempah hingga Daun Emas di ladang-ladang perkebunan. Tentu, caranya tidak melulu berupa upaya penguasaan terhadap tanah dan air Indonesia. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah penguasaan terhadap sumber daya manusia di negeri ini. Wajar jika kemudian ikhtiar pembodohan terus-menerus terjadi.

Saya berdecak melihat pemimpin redaksi sebuah majalah arus utama di Indonesia via Twitter membocorkan rencana sampul majalah edisi terbaru mereka. Dengan bibir menjepit rokok, Chairil Anwar menyalakan api. Judul besarnya adalah "Bagimu Negeri Menyediakan Api." Tapi, tak dinyana, pada hari terbit majalah itu, Chairil Anwar kehilangan rokok. Entah siapa yang berani mengambil rokok Si Binatang Jalang itu dari sampul majalah. Semakin ramailah isu ini.

Ya, isu pro-rokok dan anti-rokok tak pernah mati api. Banyak peraturan telah dicanangkan pemerintah. Bordes dan gerbong restorasi sudah tidak bisa lagi untuk mengisap rokok. Tidak main-main, ancamannya diturunkan dari kereta api. Celakanya, merokok di stasiun kereta api pun kini tidak seleluasa dulu sebelum gosip dana miliaran rupiah mengepul di sela-sela fatwa haram merokok. Di ruang publik, asap rokok dibasmi karena dicap berdaya-bunuh tinggi.

Menutup obrolan yang tidak akan pernah selesai ini, saya mengajukan satu pertanyaan saja. Jika harga rokok memang akan dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus, apa sesungguhnya tujuan pemerintah? Apakah demi menaikkan devisa negara dari cukai rokok atau demi mengurangi jumlah perokok? Sebab, jika tujuannya pendapatan negara, pemerintah justru harus mendidik perokok agar lebih militan dan masif, serta meregenerasi perokok.

Daun Emas, ya daun-daun tembakau, masih berladang-ladang di negeri ini. Rokok adalah denyut hidup dari hulu sampai hilir. Saya memohon kepada sesama perokok untuk menghormati yang tidak merokok. Kawan-kawan yang tidak merokok, belajarlah dari Soekarno yang suka merokok States Express 555. Dia mengajari Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden yang bukan perokok, untuk beramal dengan selalu membawa korek api. "Sungguh pun yang minta api itu bukan saya, tetapi orang lain. Kamu memberikan api kepada orang yang akan merokok, kamu dapat pahala.”

Candra Malik, 21 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar