Senin, 03 April 2017

Wijoyo Kusumo

Kembang Wijaya Kusuma termasuk bunga yang langka dan penuh misteri. Ketika mekar, bunganya semerbak mewangi. Tapi, bunga ini tidak bisa diprediksi kapan bakal mekar, bahkan hingga setahun lamanya. Zaman dulu, raja-raja yang bakal naik tahta, diharuskan memetik bunga ini. Konon Presiden Soekarno pun memiliki ajian Kembang Wijaya Kusuma.

Tanaman wijaya kusuma hanya populer di kalangan tertentu. Namanya mungkin tak sepopuler kembang mawar nan langsung bisa diketahui orang saat disebutkan namanya dan langsung diingat bentuk serta wanginya.

Tanaman nan memiliki nama latin Epipyllum oxypetalum ini, di Indonesia dikenal dengan nama wijaya kusuma, nan artinya kembang kemenangan. Tanaman ini memang sporadis ditemukan. Jadi, tak heran jika kemudian orang sporadis mengenalnya pula.

Kalaupun ada nan kenal dari bentuk tanaman ini, mungkin mereka tak mengetahui nama tanaman ini. Dan, kalaupun mengenal namanya, biasanya tak familiar dengan bentuknya. Tanaman ini bisa Anda temukan di beberapa daerah, seperti Karimun Jawa, Bali, Kepulauan Seribu , Pulau Puteran Madura, Pulau Nusa Kambangan, dan Ambon.

Bagi Anda nan ingin mengenal tanaman ini atau sekadar mengingatnya lagi, beberapa citra berikut mungkin akan membantu Anda. Tanaman wijaya kusuma ialah sebuah tanaman jenis kaktus nan berbunga. Tanaman ini tumbuh dengan batang kecil dan berkelompok. Dalam satu tanaman, biasanya terdiri atas beberapa batang pohon kecil.

Tanaman ini memiliki daun nan panjang dan tanaman ini berbunga. Bunganya tumbuh di antara sela daunnya. Dalam satu tangkai daun, bisa tumbuh beberapa bunga. Tanaman ini berbarengan saat berbunga, namun mekarnya tak berbarengan. Bentuk bunganya itu sendiri seperti pentulan. Warnanya dominan putih dan ada merahnya sedikit.

Kemudian, jika sudah mengembang bunganya sangat latif dan wanginya semerbak. Bunga ini hanya bertahan satu hari setelah mengembang lalu layu. Biasanya kembang wijaya kusuma akan mengembang pada malam hari.

Kembang Wijaya Kusuma (Epiphyllum anguliger) termasuk jenis kaktus, divisi anthophita, bangsa opuntiales dan kelas dicotiledoneae. Jenis kaktus terdapat sekitar 1.500 jenis (famili). Tanaman kaktus dapat hidup subur di daerah sedang sampai tropis. Demikian juga kembang Wijaya Kusuma. Bunga ini hanya mekar di malam hari, itupun hanya sesaat. Dan tidak semua tanaman Wijaya Kusuma dapat berbunga dengan mudah.

Kembang ini dapat dilihat dengan jelas mana bagian daun dan mana bagian batangnya, setelah berumur tua. Batang pohon Wijaya Kusuma sebenarnya terbentuk dari helaian daun yang mengeras dan mengecil. Saat masih muda warna daunnya kuning lembut. Helaian daunnya pipih, berwarna hijau dengan permukaan daun halus tidak berduri. Pada setiap tepian daun Wijaya Kusuma terdapat lekukan-lekukan yang ditumbuhi tunas daun atau bunga.

Bunga yang tumbuh di karang ini, selain ada di Nusakambangan yang dikeramatkan itu, banyak pula terdapat di pulau Karimunjawa, Kepulauan Seribu, Bali dan Madura. Bunga ini berasal dari daratan Amerika Selatan, kemudian masuk ke Cina dan baru ke Indonesia di jaman Majapahit. Pada sebagian masyarakat Jawa, ada kepercayaan bahwa barang siapa yang mempu melihat mekarnya bunga Wijaya kusuma, maka hidupnya tidak akan susah.

Kembang Raja-Raja

Ada kepercayaan yang tak lekang oleh waktu. Bahwa raja Mataram yang baru dinobatkan, tidak akan sah diakui dunia “kasar” dan “halus”, kalau belum berhasil memetik bunga Wijaya Kusuma sebagai pusaka keraton. Mengapa harus memetik bunga itu? Tradisi memetik bunga itu didasarkan atas kepercayaan, bahwa pohon yang menghasilkan bunga itu adalah jelmaan pusaka keraton Batara Kresna. Batara titisan Wisnu ini kebetulan menjadi Raja Dwarawati.

Menurut kisah spiritual dari mulut ke mulut, pusaka keraton itu dilabuh (dihanyutkan) ke Laut Kidul oleh Kresna, sebelum beliau mangkat ke Swargaloka, di kawasan Nirwana. Pusaka atribut Raja Kresna itu setelah dilabuh menjadi pohon di atas batu pulau karang. Letaknya di ujung timur Pulau Nusakambangan di selatan Kota Cilacap.

Berkait dengan kembang ini, konon presiden pertama RI Soekarno, memiliki salah satu ilmu andalan semasa hidupnya, yakni ilmu ajian Wijaya Kusuma. Kabarnya, keampuhan ajian ini membuat seseorang akan dikasihi, dihormati dan disegani, serta membuat awet muda dan pemberani. Dan, konon juga, lengsernya Soeharto, akibat ia gagal memetik bunga wijayakusuma yang terletak di pulau Majethi, Nusakambangan, Kab. Cilacap.

Seorang sejarawan pernah mengungkap, bahwa bila dikaitkan dengan keyakinan sebagian besar masyarakat Jawa, bahwa raja-raja Mataram (yang sudah dinobatkan) tidak akan sah diakui dunia “kasar” dan “halus” jika belum memetik bunga Wijaya Kusuma. Dalam konteks kekinian, hal ini terdengar sepele. Namun bila direnungkan lagi, ternyata ada nilai-nilai tersembunyi di balik keyakinan itu.

Bahwa seorang raja yang sanggup memetik bunga Wijaya Kusuma, dipastikan ia adalah seorang yang mentalnya tergembleng dengan baik. Sebab untuk dapat memetik bunga Wijaya Kusuma dalam keadaan mekar, seseorang harus memiliki kesabaran tinggi. Bunga Wijaya Kusuma hanya akan mekar sesaat dan waktunya pada malam hari saja.

Dan mekarnya kelopak bunga misterius ini tidak dapat diperkirakan waktunya. Belum tentu dalam setahun bunga ini akan mekar. Maka, seorang raja yang berhasil memetik bunga ini, berarti dia telah melewati penantian yang panjang dengan penuh kesabaran dan perjuangan yang berat. Sebab ia tidak tumbuh disembarang tempat.

Tempat Keramat

Ada beberapa tempat di Cilacap yang dari zaman Kerajaan Mataram hingga Orde Baru berkuasa, secara berkala disambangi para petinggi negara, terutama bila mereka tengah menghadapi persoalan berat. Tempat-tempat ini sangat dikeramatkan. Para pejabat itu kadang datang sendiri secara diam-diam, namun terkadang menyuruh utusan.

Di lokasi keramat Jambe Pitu dan Jambe Lima di sebuah bukit di Srandil, Kec. Adipala atau sekitar 15 km arah timur Kota Cilacap, serta Gua Masigit Selo dan Pulau Majethi, Nusakambangan, mereka bersemadi mengharap wahyu yang berisi petunjuk untuk menyelesaikan persoaannya. Di pulau Majethi, Nusakambangan inilah bunga Wijayakusuma tumbuh.

Kisah kesaktian bunga Wijayakusuma sendiri tercatat dalam Babad Tanah Jawa. Tidak hanya raja-raja Mataram yang wajib mendapatkan pusaka itu agar singgasananya langgeng. Namun sebelumnya, keturunan Majapahit pun mencari bunga ini. Keberadaan bunga Wijayakusuma, kecuali di lokasi terpencil dan terjal, juga dijaga pasukan gaib yang bermarkas di Jambe Pitu dan Jambe Lima.

Itulah sebabnya, tidak sembarang orang bisa ke sana, apalagi mendapatkan bunga itu. Hanya orang-orang tertentu dan memiliki kelebihan khusus yang bisa mendapatkannya. Pada jaman raja-raja Mataram dulu, untuk bisa memperoleh bunga Wijayakusumah ini harus memenuhi beberapa persyaratan.

Diantaranya jalan kaki dari Kartosura (Solo) terus menyusuri Boyolali, Magelang, Temanggung, Cilacap dan kemudian menyeberang ke Pulau Majethi. Bunga yang berhasil dipetik dimasukkan dalam bokor kencana dan selama perjalanan pulang. Para abdi dalem yang mengawal tidak boleh membuka. Hanya raja yang boleh membuka untuk memastikan bunga itu sungguhan. Kisah seperti ini berlangsung hingga tahun 1894 di saat raja Mataram dijabat Sri Susuhunan X.

Bunga wijayakusuma, kembang malam yang misterius. Setiap kali mendengar bunga wijayakusuma yang kerap terlintas adalah sebuah bunga yang misterius dan bunga yang mekar hanya di malam hari. Ya, malam dan misterius inilah yang kemudian membuat bunga yang satu ini menjadi terkenal bahkan sarat dengan mitos.

Meski terkenal di Indonesia, khususnya Jawa, bunga wijaya kusuma bukanlah tanaman asli Indonesia atau malah tanaman endemik Indonesia. Tanaman ini berasal dari daratan Amerika Selatan yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia termasuk ke Indonesia. Konon bunga ini masuk ke Indonesia melalui China pada masa kerajaan Majapahit.

Nama latin tumbuhan ini adalah Epiphyllum oxypetalum. Namun ada juga yang menganggap nama latin wijayakusuma adalah Epiphyllum anguliger. Keduanya spesies yang berbeda namun memiliki ciri-ciri yang hampir serupa. Hanya bentuk daun E. anguliger berlekuk-lekuk, sehingga kerap disebut juga sebagai ‘kaktus balung iwak’.

Bunga wijayakusuma (Epiphyllum oxypetalum) disebut juga sebagai bunga ‘ratu malam’ dan bakawali (Melayu). Dalam bahasa Inggris kerap dinamai sebagai Dutchman’s Pipe, kardable, danNight Queen. Nama latinnya, Epiphyllum oxypetalum, mempunyai beberapa sinonim, diantaranya adalah :

Cactus oxypetalus Moc. & Sessé ex DC.
Cereus latifrons Zucc.
Cereus oxypetalus DC.
Epiphyllum acuminatum K.Schum.
Epiphyllum grande (Lem.) Britton & Rose
Epiphyllum latifrons (Zucc.) Pfeiff.
Epiphyllum oxypetalum var. purpusii (Weing.) Backeb.
Epiphyllum purpusii (Weing.) F.M.Knuth
Phyllocactus acuminatus (K. Schum.) K. Schum.
Phyllocactus grandis Lem.
Phyllocactus latifrons (Zucc.) Link ex Walp.
Phyllocactus oxypetalus (DC.) Link
Phyllocactus purpusii Weing.

Ciri dan Karakteristik Bunga Wijayakusuma

Tumbuhan wijayakusuma merupakan spesies anggota kaktus (famili Cactaceae). Batangnya, berbentuk silindris, terbentuk dari helai daun tua yang mengecil dan mengeras. Tinggi batang dapat mencapai hingga 3 meter. Daun wijaya kusuma berbentuk pipih dan memanjang, berwarna hijau dengan permukaan halus tanpa duri dan tepi daun yang bergelombang. Panjang daun berkisar antara 10-15 cm. Pada tepi daun ini dapat tumbuh daun baru ataupun bunga.

Bunga wijaya kusuma muncul dari tepi daun berupa kuncup yang makin lama makin panjang tangkai bunganya hingga bunga itu menjuntai ke bawah. Bunga berdiameter 10 cm berwarna putih dan berbau wangi. Sedangkan tangkai dan kuncup bunga berwarna merah muda. Wijayakusuma mempunyai buah berbentuk bulat, berwarna merah dengan biji hitam. Perkembangbiakannya bisa menggunakan biji maupun stek daun.

Keunikan wijayakusuma yang kemudian menjadikannya sarat dengan mitos adalah kebiasaan berbunganya yang hanya terjadi di malam hari. Kuncup bunga mekar pada tengah malam dan sudah layu menjelang pagi hari. Karena itulah wijayakusuma disebut sebagai ratu malam atau night queen.

Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dengan iklim sedang hingga tropis.

Mitos dan Legenda Bunga Wijaya Kusuma

Bunga dari tanaman ini syarat dengan berbagai mitos. Mulai dari nan kedengarannya sederhana sampai nan terdengar serius. Menurut berbagai cerita, kembang dari tanaman ini seperti kembang pembawa rezeki . Jika di halaman rumah Anda tumbuh tanaman ini, kemudian berbunga dan banyak bunganya, syahdan Anda akan mendapatkan rezeki nan banyak.

Sebab, ada juga nan menanam tanaman ini bertahun-tahun namun tak juga kunjung berbunga. Ada juga nan bilang hanya berbunga satu tahun sekali. Namun, ada juga nan mendapatinya sering berbunga. Hal tersebut sering kali dikaitkan dengan mitos rezeki seperti nan sudah disebutkan sebelumnya.

Konon, zaman dahulu di beberapa daerah, sosok raja selalu dikaitkan dengan kembang wijaya kusuma. Dahulu, di kalangan kerajaan keraton, dipercaya bahwa salah satu syarat nan harus dipenuhi seorang raja nan akan naik tahta, yaitu dengan memiliki sekuntum kembang wit wijaya kusuma.

Wit wijaya kusuma itu sendiri mengandung arti, wit berarti nan membuat tegak kembang itu. Artinya tabiat nan teguh, bermanfaat, dan berguna bagi umat manusia. Sementara wi artinya menguasai segala ilmu, meliputi ilmu tata lahir dan batin. Jaya berarti menang sedangkan kusuma artinya tegak.

Tanaman wijaya kusuma, saat masih dikatakan sangat langka, hanya ada di Bahari Anakan Cilacap. Tanaman ini tak setiap waktu didapati berbunga dan tak sembarang orang juga bisa mengambilnya. Syahdan hanya dapat diambil dengan cara meditasi, minta petunjuk kepada Sang Mahakuasa agar bisa mengambil tanaman itu dalam keadaan berbunga dan bisa mengambil bunganya.

Cara mengambilnya pun dipercayakan kepada orang-orang sakti suruhan raja. Simbolisme dari kembang wijaya kusuma ini diharapkan akan menimbulkan perasaan tenteram dan damai, membuat terang hati manusia, tak berperilaku sewenang-wenang, serta tak mementingkan diri sendiri.

Khasiat dan Mitos Kembang Malam Wijayakusuma

Banyak mitos yang menyertai bunga wijayakusuma. Dalam budaya Jawa bunga ini  dipercaya sebagai pusaka keraton Dwarawati titisan Dewa Wisnu. Bahkan di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta, dipercaya bahwa seorang raja yang hendak naik tahta harus memiliki bunga ini dalam keadaan mekar.

Sebagian juga mempercayai bahwa bunga wijayakusuma merupakan bunga ghaib. Bahkan bagi siapa saja yang dapat melihat mekarnya bunga ini akan mendapatkan rizki yang berlimpah.

Mekar di saat yang sulit diprediksi

Bunga wijayakusuma mekar pada waktu yang tidak dapat ditentukan. Namun secara umum bunga dari tanaman yang masuk ke dalam keluarga kaktus-kaktusan ini mekar pada saat malam hari. Saat mekar, bunga wijayakusuma akan mengeluarkan wangi yang sangat semerbak seperti halnya bunga sedap malam.

Memiliki khasiat menyembuhkan beberapa penyakit‎

Bunga wijayakusuma dipercaya dapat digunakan sebagai ramuan herbal untuk mengobati beberapa penyakit. Berdasarkan referensi yang terdapat dalam Wikipedia Indonesia, diketahui bahwa bunga wijayakusuma berkhasiat untuk mengobati luka abses, menetralkan pembekuan darah (angin duduk), dan meredakan rasa sakitnya, bisul, antiradang, pendarahan, tuberkolosis, batuk, muntah darah, dan asma.

Di balik berbagai mitos yang menyertai bunga misterius ini, yang pasti wijayakusuma merupakan tanaman obat yang telah dimanfaatkan masyarakat Indonesia sejak lama. Beberapa khasiat bunga ini antara lain mampu meredam rasa sakit, menetralisir pembekuan darah, dan menyembuhkan luka abses. Selain itu, Wijayakusuma mempunyai manfaat sebagai obat anti radang, obat batuk, juga pendarahan (hemostatis), dan mengatasi batuk asma, batuk darah, hingga muntah darah.

Memiliki hubungan erat dengan penguasa masa silam‎

Di kalangan keraton Kasunanan Surakarta dan Yogyakarta, bunga wijayakusuma dipercaya memiliki hubungan erat dengan raja-raja Majapahit di masa silam. Masyarakat disana berkeyakinan bila bunga ini memiliki kekuatan magis yang cukup besar sehingga raja-raja tempo dulu diwajibkan memiliki sekuntum bunga wijayakusuma yang ia peroleh dari tanaman yang ia tanam sendiri.

Mitos tentang mekarnya bunga wijayakusuma‎

Timbul mitos yang menyebutkan bila seseorang yang tanpa sengaja menyaksikan mekarnya bunga wijayakusuma, maka orang tersebut akan mendapatkan kebaikan di hari selanjutnya, baik berupa rezeki yang berlimpah, kesehatan, kebahagiaan, dan hal-hal positif lainnya. Secara ilmiah, mitos ini memang tidak bisa diterima begitu saja, namun pada beberapa kejadiaan, mitos tentang mekarnya bunga wijayakusuma memang terbukti dari beberapa kesaksian.

TOMBAK KANJENG KYAI WIJAYAKUSUMA

TOMBAK Kanjeng Kyai Wijayakusuma merupakan tombak pusaka turun-temurun dari raja dan tombak tersebut juga merupakan tanda bukti sebagai raja yang berkuasa. Asal-usul Tombak Kanjeng Kyai Wijayakusuma adalah tombak pusaka Panembahan Senopati yang dibuat oleh delapan orang empu yang tersohor pada waktu itu. Dapur tombak tersebut adalah ‎Sekar Wijayakusuma, dibuat berlapis emas dengan pamor Segara Mambeg atau di sebut juga Pamor Tumpuk.

Setiap raja jawa keturunan Panembahan Senopati setelah upacara penobatan akan pergi mencari Sekar Wijayakusuma yang hanya tumbuh di Pulau Bandung di Samudra Selatan. Tak lain tujuannya adalah untuk melengkapi persyaratan sebagai raja dan agar dapat memerintah dengan bijaksana dan berwibawa. Sekar Wijayakusuma hanya mekar pada saat-saat tertentu dan hanya mekar satu kali pada tengah malam. Ketika mekar, Sekar Wijayakusuma tidak dapat dibedakan batang dan daunnya, dan bunganya tumbuh langsung pada lekukan daun.

Sang raja akan memohon petunjuk Tuhan untuk menentukan siapa yang akan diutus mencari Sekar Wijayakusuma dan menetukan hari baik untuk mulai melaksanakan pencarian. Utusan sang raja berjumlah delapan orang. Setelah kedelapan utusan disucikan dengan laku tapa brata, pada hari yang telah ditentukan mereka akan berjalan menuju arah selatan sampai ke laut selatan. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berlayar menuju pulau Bandung.

Kedelapan utusan akan terus mencari Sekar Wijayakusuma dan tidak akan kembali sebelum mendapatkannya. Bila berhasil, Sekar Wijayakusuma dibawa ke kerajaan dan dipersembahkan kepada raja sebagai lambang keberhasilan. Dalam bahasa Sansekerta, Sekar Wijayakusuma berarti kemenangan dan kemuliaan.

Selanjutnya Sekar Wijayakusuma disimpan dalam ruang pusaka di mana Tombak Kanjeng Kyai Wijayakusuma juga tersimpan. Tombak Kanjeng Kyai Wijayakusuma selalu mengeluarkan daya saktinya, tidak hanya dalam keadaan berbahaya atau terpaksa. Tombak tersebut selalu menumpuk kebaikan dan memancarkan kemuliaan.

Konon Sekar Wijayakusuma merupakan pusaka dari Sri Kresna yang berkhasiat untuk menghidupkan orang yang mati sebelum takdirnya. Seusai menyelesaikan tugas di Mayapada dan kembali ke asalnya secara moksa, Sri Kresna mewariskan Sekar Wijayakusuma kepada raja karena bunga itu masih dibutuhkan di Mayapada. Tujuan Sri Kresna adalah agar raja menyimpan bunga itu, agar para raja dapat memerintah dengan bijaksana dan mulia. Selanjutnya Sekar Wijayakusuma dilambangkan dengantombak pusaka dapur Sekar Wijayakusuma dengan pamor Segara Mambeg.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

wiyonggo seto di 02.28

Selasa, 28 Maret 2017

Pantat Inul adalah Wajah kita semua

Oleh : Emha Ainun Nadjib*

Di wilayah kerajaan dangdut, Inul adalah warganya sang Raja Dangdut, atau mungkin lebih intim kalau kita sebut anaknya Rhoma Irama. Ia berada dalam asuhan, ayoman, dan perlindungan bapaknya. Kalau si anak benar, bapak mensupport-nya. Kalau anak salah, bapak mengingatkannya. Kalau anak jaya, bapak bergembira. Kalau anak terpuruk, bapak menolongnya.

Apalagi ternyata anak-anak lain sebenarnya juga melakukan hal yang sama dengan Inul. Penyanyi-penyanyi dangdut yang lain, baik yang tampil di televisi, dan apalagi yang di luar itu-sejak Inul terkenal, setengah mati mencari pola-pola
joget yang diperkirakan bisa bersaing melawan Inul, yang produknya sama sekali tidak kalah sensual dibanding Inul.

Kosmos dangdut berguncang oleh kehadiran Inul. Konstelasi pentas dangdut berubah total oleh adanya Inul. Inul menjadi bintang gemintang dan yang lainnya menjadi figuran. Keindahan musikalitas dangdut menjadi sekunder karena yang primer adalah fenomena budaya ngebor yang dilansir oleh Inul.

Ngebor menantang lahirnya ngecor, ngezor, ngelor, ngedor… atau apapun.
“Ngebor” adalah “avant-garde” budaya dangdut.  Sesungguhnya apa yang dilakukan Inul adalah angka 9 dari 1,2,3… 6,7,8 yang sebelumnya secara bertahap dicapai oleh dinamika musik dan budaya dangdut.

Joget ngebor Inul adalah garda depan dari perkembangan panjang budaya joget dangdut. Ia bukan anak jadah. Ia anak yang normal, relevan, dan bahkan setia serta kreatif terhadap aspirasi budaya joget dangdut. Kalau Anda perhatikan atmosfer pentas dangdut, orang yang cerdas bahkan berani memastikan bahwa yang semacam Inul itu akan pasti lahir, lambat atau cepat.

Tidak ada yang aneh dengan Inul karena budaya joget yang berkembang dalam kultur dangdut memang sangat akomodatif terhadap jenis kultur semacam ini. Dan, mohon maaf, Pak Haji sejak awal kebangkitan dangdut memang tidak antisipatif terhadap fenomena ini. Pak Haji secara tidak sengaja ikut memupuknya sehingga mengherankan kalau seakan-akan sesudah hadirnya Inul beliau baru tahu tentang budaya goyang aurat dalam pentas dangdut.  Sudah lama Pak Haji terlibat dalam atmosfer goyang semacam itu dan tidak tampak merasa risi olehnya.

Awal tahun 1980-an saya pernah menulis tentang pentas dangdut yang diawali dengan tuturan ayat Quran atau hadis Nabi kemudian musik berbunyi dan penyanyinya menggoyang aurat, depan maupun belakang. Inul bahkan hanya mengolah aurat belakang, tidak terlalu membuat kaum lelaki pingsan sebagaimana kalau yang digoyang adalah bagian depan-yang biasanya dikomposisikan dengan mikrofon yang disodorkan tepat di depan kemaluan si penyanyi.

Sejak puluhan tahun lalu masyarakat terheran-heran oleh paradoks antara syair dakwah dangdut dengan praktik budaya joget dangdut. Pak Haji seakan-akan baru hari ini menjumpai fenomena itu. Dan, para pejoget dangdut yang lain seakan-akan suci dari tradisi budaya joget Inul.

Rekapitulasi nilai budaya dangdut Maka, yang saya bayangkan adalah sang Raja atau si bapak dangdut memanggil anak garda depan itu. Ia panggil juga semua anaknya yang lain.

Mungkin dinasihatinya, atau diajak berdiskusi, berunding, bersama-sama memproses dialog menuju keputusan bersama yang mewakili citra seluruh keluarga-kalau memang semua memandang bahwa atmosfer dunia dangdut harus mengalami perubahan.  Katakanlah mereka berpendapat bahwa perlu ada semacam rekapitulasi nilai budaya dangdut.

Kalau ternyata si anak bersikap egois, tidak bisa melakukan moderasi atau persuasi sama sekali, maka bapak dan seluruh keluarga tidak punya kemungkinan lain kecuali bersikap memisahkan diri dari si anak.

Saya tidak berada di Indonesia ketika kasus Inul-Rhoma ini meledak, juga tatkala saya menulis ini. Dengan demikian, saya tidak tahu persis bagaimana kronologinya. Tidak tahu apakah sudah terlebih dulu ada proses dialog masyarakat
dangdut dengan Inul, ataukah tiba-tiba saja masyarakat mendengar sikap Pak Haji Rhoma dan masyarakat dangdut terhadap Inul.

Tiba-tiba saja Rhoma dan masyarakat dangdut adalah sebuah pihak, dan Inul adalah pihak yang lain.  Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka kayaknya di sini letak ketergesaan dan kekurangarifan Pak Haji. Di dalam wilayah internal kerajaan dangdut, Inul tidak memperoleh hak runding, hak islah, hak mempertahankan pendapat, dan hak mendapatkan bimbingan.

Fokus gugatan bukan Inul Kekurangarifan yang lain adalah bahwa Inul dijadikan fokus jihadnya Pak Haji. “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk tergesa-gesa”, Allah berfirman. Dan, Pak Haji sungguh tergesa-gesa.

Kalau ada makanan beracun, Pak Haji, jangan melotot hanya pada makanan itu.  Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja yang nanti akan bergoyang kalau kita banting-banting itu makanan beracun.

Bahkan, Pak Haji, kalau ada sepiring nasi beracun, apakah nasi itu harus kita buang beserta piringnya sekalian, ataukah kita cari cara untuk membersihkan piring dan nasi dari racun sehingga yang kita musuhi dan buang hanyalah
racunnya?

Maka, sekali lagi, kalau ada makanan beracun, jangan sampai konsentrasi terhadap racun kalah besar dibanding perhatian terhadap makanannya.

Yang harus didiskusikan oleh Raja dan masyarakat dangdut bukan Inul, melainkan fenomena jogetnya. Bukan figurnya, melainkan keseniannya. Bukan orangnya, melainkan kriteria nilainya.
Sejak umur 10 tahun, di sekitar pertengahan tahun 1980-an, dari daerah Japanan, Jawa Timur, Inul sudah mulai show dan sudah dikenal banyak orang keistimewaannya dalam menggoyang badan dengan fokus pantatnya.   Kalangan-kalangan masyarakat kelas bawah di berbagai wilayah di Jawa Timur sudah tidak “pangling” dengan goyang Inul.

Dan, semua aktivitasnya itu relatif tidak mendapat halangan apa-apa. Karena latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyarakat kita pada dasarnya tidak pernah memiliki kesungguh-sungguhan atau konsistensi substansial untuk menyikapi gejala apa pun; kemaksiatan, pencurian, korupsi, perjudian, pelacuran, atau apa pun saja-meskipun secara teoretis itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka anut.

Ketidaksungguhan itu maksudnya begini: ya menyembah Allah, tapi juga mengingkari-Nya. Ya mencintai-Nya, tapi juga menyakiti hati-Nya.

Shalat juga, tapi beli togel juga. Puasa Ramadan juga, tapi minum arak rajin juga. Naik haji juga, tapi puncak ibadah di Mekkah itu tidak dijamin pasti menghalanginya melakukan pencurian, kecurangan, menyakiti orang lain, berselingkuh, merendahkan orang kecil, mengoordinir pencurian kayu hutan, menyantet kompetitornya dalam memperebutkan jabatan, melakukan penindasan dan kezaliman, dan berbagai macam perilaku yang membuat Allah sakit hati.

Jangan korupsi, kecuali saya kecipratan

Kita adalah masyarakat yang melarang siapa pun melakukan korupsi, kecuali kita ikut kecipratan. Kita tidak ikhlas ada KKN, kalau kita tidak dilibatkan di dalamnya. Korupsi tidak haram asalkan yang melakukan adalah keluarga kita
sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita.

Meniduri pembantu rumah tangga itu zalim dan dosa besar, tetapi kalau yang Melakukan adalah tokoh kita sendiri, maka wajib kita tutupi, kalau perlu anak hasil perzinahan itu kita upayakan penanganan dan penampungannya.

Bagi kita, yang dimaksud tokoh adalah orang yang kita dorong, kita perjuangkan, dan kita bela untuk menjadi pemimpin nasional karena kalau berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat proyek, bisa
makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat ini-itu.

Calon presiden adalah orang yang kalau dia menjadi presiden kita harapkan memberi keuntungan kepada kita. Sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada golongan kita, ormas/orpol kita, kelompok kita: kalau terpaksanya tidak bisa maksimal, ya, yang penting bisa memberi keuntungan bagi kita pribadi dan
keluarga kita.

Calon presiden itu boleh pelawak, boleh malaikat, boleh orang dungu, boleh setan, boleh siapa saja, asalkan menguntungkan kita. Yang dimaksud kita, tidak harus kita bangsa Indonesia, bahkan tak harus kita segolongan, yang penting kita sendiri ini, seorang saja pun, mendapat keuntungan.  Dan yang dimaksud keuntungan, sederhana saja: uang sebanyak-banyaknya. Dengan atmosfer nilai semacam itu, fenomena Inul tidak a-historis dan bukan sesuatu yang istimewa.  Perampok dan pengemis  Kalau ada rezim korup, kita akan memperjuangkan satu di antara tiga kemungkinan. Pertama, kita tumbangkan rezim itu agar kita bisa menggantikannya melakukan korupsi. Atau kedua, kita tekan rezim itu pada level yang kita mampu, agar supaya mereka tidak egoistik dalam melakukan pencurian uang negara dan harta rakyat. Mereka harus berbagi dengan kita, korupsi dalam koordinasi dengan kita, berkolusi dalam jaringan dengan kita.  Kemungkinan ketiga, kalau kita tidak memiliki “bargaining power” apa-apa untuk melakukan negosiasi, maka kita upayakan cara-cara untuk mengemis.  Tentu saja kalau bisa jangan sampai tampak mengemis, kita bisa hiasi dan tutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh nasionalisme.  Penduduk Indonesia ada dua. Perampok dan pengemis. KTPnya ganti setiap diperlukan. Kalau sedang berkuasa, merampok. Kalau tak berkuasa, mengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah tema dan komitmen, atas nama dinamika demokrasi.  Inul tidak termasuk penduduk yang bisa merampok atau mengemis dalam konteks itu. Ia hanya punya kemampuan menggoyang pantat, dan ia tidak mengerti hubungan antara goyang pantat dengan peta nilai apapun-filosofi, moral, akhlak, akidah atau apapun-kecuali logika bahwa kalau ia mau bergoyang maka ia menerima honor sekian rupiah. Dengan atmosfir nilai semacam itu, fenomena Inul bukanlah sesuatu yang aneh dan mengherankan.  Togel dan istikamah  Aa Gym bertanya kepada Inul, “Apakah Mbak Inul tidak pernah berpikir bahwa yang Mbak Inul lakukan itu bisa merusak moral generasi muda bangsa kita?” Inul menjawab dengan penuh kejujuran: “Alhamdulillah nggak….”  Nuansa jawabannya seperti seorang pembeli nomor judi undi yang menjual sepedanya untuk memborong angka 97 (sembilan tujuh), karena ia mendapat ramalan 79 (tujuh sembilan) kemudian ia mistik otak-atik menjadi 97 (sembilan tujuh). Padahal, yang kemudian keluar adalah 79 (tujuh sembilan) persis seperti angka ramalan. Ia sudah telanjur jual sepeda…. Istrinya marah habis. Seorang sahabatnya memberi nasihat: “Makanya orang hidup itu harus istikamah, jangan plintat-plintut. Kalau sudah 79 ya 79, jangan dibolak-balik. Iman harus teguh….”  Inul tidak merasa melakukan apa pun yang berkaitan dengan kerusakan moral masyarakat. Sehingga kalau ada pengadilan moral, Inul ada di urutan sangat belakang. Urutan terdepan adalah orang yang mengerti moral namun mengkhianatinya, orang yang memahami hukum tapi melanggarnya, yang mengerti menjadi wakil rakyat artinya adalah mewakili kepentingan rakyat namun sibuk dengan kepentingan diri dan golongannya.  Sama dengan Sumanto, ia sekadar kanibal kelas teri. Ia beraninya hanya makan mayat, itu pun nenek-nenek. Itu pun sesudah si mayat ada di kuburan baru ia mencurinya. Sumanto tidak berani makan daging rakyat sebagaimana banyak pengurus negara.Pantat Inul dan perilaku Sumanto, secara kualitatif, adalah wajah kita semua.  Membayar untuk dipantati  Mohon maaf harus saya kemukakan bahwa Pak Haji Rhoma perlu memastikan di dalam kesadarannya bahwa beliau hidup di negara yang politiknya secular dan perekonomiannya industri, dan kebudayaan berada di bawah otoritas dua kekuasaan itu.  Siapa pun yang tidak setuju atas kenyataan itu bisa memilih satu di antara tiga kemungkinan. Pertama, melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan. Kedua, menciptakan lingkaran “negeri” sendiri untuk menerapkan prinsip-prinsip nilainya di wilayah-wilayah nilai yang memungkinkan, tanpa harus menabrak konstitusi negara. Ketiga, melakukan sejumlah kompromi terbatas berdasarkan prinsip persuasi dan strategi sejarah berirama.  Sebagai orang yang hidup dengan pandangan agama, Pak Haji bisa mengambil wacana sujud shalat untuk menilai Inul. Tuhan menyuruh Muslim bersujud.  Dalam sujud pantat kita letakkan di tataran tertinggi, sementara wajah di level terendah.  Wajah itu lambang eksistensi kita, icon kepribadian kita, dan display dari identitas kita. Kalau bikin KTP tidak dengan foto close up pantat, melainkan wajah.  Ritus sujud menjadi semacam metode cermin untuk menyadari terus-menerus bahwa kalau tidak hati-hati dalam berperilaku, manusia bisa turun martabatnya dari wajah ke pantat. Ketika bersujud yang diucapkan oleh orang shalat adalah “Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi”. Jadi jelas sujud itu memuat substansi martabat atau derajat manusia hidup.  Pak Haji cemas karena sekarang orang bukan hanya tidak takut martabat kepribadiannya merosot. Orang bahkan mendambakan pantatnya Inul, dan membayar untuk dipantati Inul.  “Market” dangdut tanpa sensualitas  Tetapi itu wacana agama. Itu urusan orang beragama. Sekularisme dan industrialisme tidak relevan terhadap martabat, derajat, akhlak dan akidah.  Tidak ada agenda di dalam sekularisme dan industrialisme yang menyangkut itu semua.  Ini negara sekular, Pak Haji. Jangankan joget Inul: berzinah pun tak apa-apa. Boleh atau tidak menjadi kafir tak ada undang-undangnya.  Bersikap munafik juga boleh-boleh saja. Negara ini tidak keberatan kalau kita mengkhianati Tuhan. Tuhan bukan subyek utama. Tak ada Tuhan pun negara ini tak keberatan. Dan Pak Haji tak usah menangis, tinggal mengambil satu di antara tiga kemungkinan sikap yang tertuang di atas.  Industri tidak berpikir baik atau buruk, akhlaqul karimah atau sayyiah.  Industri tidak ada kaitannya dengan Tuhan, surga dan neraka.  Industrialisme bekerja keras dalam skema laku atau tak laku, marketable atau tidak marketable, rating tinggi atau rendah. Bad news is good news. Kalau yang laku ingus, jual ingus. Kalau yang ramai di pasar adalah Inul, jual Inul.  Dan Pak Haji adalah figur yang juga sangat marketable-industrial selama ini.  Sekarang Pak Haji harus membuktikan kesaktian bahwa musik Pak Haji akan tetap marketable meskipun minus joget dan sensualitas.  Pak Haji, ada saat-saat di mana ternyata yang enak adalah orang yang tidak laku seperti saya.  Ya Allah, reformasi masih gagal, petani makin sengsara, buruh menderita, krisis nasional tak kunjung berakhir, pemilu demi pemilu tidak menambah keselamatan bangsa, berbagai problem besar belum mampu kami atasi-dan hari ini aku harus menulis tentang pantat, ya Allah….  

_ean_
Sumber by : wordpress.com

Calonarang Efec oleh I Ketut Sandika

"Para sisnyanku prasamya, umigal ta kita maring telangin setra gandamayu. Sigrakopa rengenta kemenak kangsi suara lango. Pinuja de Hyang Bhattari astu anugraha siddhi wisesa angadakaken gering merana"

Penggalan tersebut adalah kisah Calonarang menari dengan para muridnya di kuburan, dan memuja Hyang Bhattari Durga sembari memohon anugrah guna menciptakan wabah/epidemik. Tarian Tantrik pun digelar, dengan mengkuti pola mandala yantra dengan Ni Calonarang berada pada titik pusat, murid mengitari membentuk lingkaran. Sebuah tarian magis dalam memuja kekuatan Dewi Durga dalam asapeknya sebagai Panca Durga.

Selanjutnya, mereka menurunkan lima kekutan Durga sebagai Sridurga pengendali sekaligus penguasa bhutakala dan yaksa, Daridurga penguasa bhutakapiragan, Sukridurga penguasa bhuta kamala kamali, Rajidurga penguasa bregala bregali dan dewi Durga sendiri sebagai penguasa Panca Bhuta. Kekuatan ini masing-masing berada pada empat arah mata angin dan berpusat pada satu titik pusat hingga berpola Tampak Dara atau Catus Pata (tanda +).

Dari mandala inilah mereka menyebar wabah yang mengerikan. Masing-masing bhuta diutus untuk menciptakan kehancuran melalui empat arah. Kekuatan penghancuran yang diciptakan merupakan kekuatan hasil dari sebuah ritual esoterik avidyatantra (jalur tangan kiri) di mana mereka memainkan pusaran energi kosmik ke arah kiri (melawan jarum jam). Putaran ke kiri adalah menimbulkan kekuatan sentrifugal yakni pelepasan. Jadi, energi bhuta dilepas, maka akan menimbulkan chaos atau ketidak seimbangan lima elemen (panca maha bhuta).

Pada masing-masing arah catuspatayantra mandala dikendalikan oleh sisya Calonarang di mana mereka sudah dibekali bijaksara sebagai "kata kunci" untuk memainkan aksara yang tiada lain adalah getaran gelombang (baca teori resonansi, bahwa getaran menimbulkan suara). Lenda berada di timur, ia personifikasikan dirinya sebagai Sridurga.Membuat penyakit, maka bhuta kala adalah energi yang dilepaskan. Bijaksara SANG sebagai kata kunci. Di alam mikro (tubuh) ia berada di jantung. Sadyojata dipuja sebagai Iswara SAD dibalikkan menjadi SYAM AH ONG, Iswara menjadi Kursika mejadi Bhuta Dengen akan membuat manusia bingung, pikiran kalut, emosi tidak terkontrol, marah yang memuncak dan berujung pada kematian mendadak tanpa sebab.

Lendi-lendi berada di selatan, ia mempersonifikasikan dirinya sebagai Daridurga. Sakit dibuat, bhuta kapiragan adalah energi yang dilepaskan. Bijaksara BANG sebagai kata kunci, di alam mikro ia berada di hati. Bamadewa dipuja sebagai Brahma BA dibalikkan menjadi BAM AH ONG RANG, Bhamadewa menjadi sang Garga menjadi bhuta Mong membuat nafsu tidak terkendali, pikiran kacau, stres tanpa sebab, sakit kepala hingga berujung kematian.

Adiguyang berada di barat, ia mempersonifikasikan dirinya sebagai Sukridurga. Bhuta kamala kamali disebar membuat penyakit sebagai energi. Bijaksara TANG kata kuncinya, Alam mikro berada di ungsilan. Tatpurusa dipuja sebagai Mahadewa TA dibalikan menjadi TANG AH ONG RENG, Tatpurusa menjadi sang Meitri menjadi Bhuta Naga membuat perut sakit, ksehatan pencernaan terganngu, diare dan muntah hingga berujung pada kematian.

Waksirsa berada di utara, ia mempersonifikasikan dirinya sebagai Rajidurga. Bhuta bregala sebagai energi untuk menyebar penyakit. Bijaksara ANG kata kuncinya, alam mikro berada di empedu. Aghora dipuja menjadi Wisnu ANG dibalik menjadi AH ANG ONG RUENG, Aghora menjadi sang Kurusya menjadi bhuta bhuaya membuat nyali terganggu dan berujung pada kematian.

Larung bersama Calonarang berada di tengah, mereka mempersonifikasikan dirinya sebagai Dewidurga. Panca bhuta disebar untuk membuat segala macam penyakit. Bijaksara ING sebagai kata kunci, di alam mikro berada di tengah hati. Isana dipuja menjadi Siwa sakti ING YANG dibalik menjadi YANG ING AH ANG RUNG, Isana menjadi Bhuta jangitan membuat komplikasi penyakit.
*****************
Sebua refleksi, bahwa appun praktik tantra yang digambarkan calonarang, adalah sebuah gambaran indah tentang kasanah ilmu yang terbangun dari perjumpaan dari beberapa konsep ketuhanan. Selain memang hal tersebut menjadi sebuah refleksi diri hidup pada zaman glokalisasi. Epidemik yang disebar Calonarang beserta dengan muridnya adalah sebuah gambaran bagaimana para bhuta itu dari dulu hingga kini bersarang dalam diri. Konon, para bhuta menyebar panyakit ke arah empat mata angin dan berdiam di sana. Kini, mereka tidak lagi brsemayam pada arah catus pata arah mata angin, tetapi bersarang di catus pata diri, yakni pikiran, hati, ucapan dan tindakan. Jika bhuta masih mempengaruhi pikiran, hati, ucapan dan tindakan maka sangat perlu diruwat. Bhuta mulihnia menadi panca dewata dan nunggl Angkara dengan Ahkara menjadi Ongkara sebagai rasa yang santa, harmoni, damai, dan #rahayu.
**************
sumber:
Lontar akitan calonarang
Lontar kawisesan calonarang/Paradah
Lontar bhuwana mareka
Lontar purwana bumi tuwa

Jumat, 03 Maret 2017

Sinau nulis puisi

Membentangkan Jalan Bagi Puisi

Puisi seringkali dianggap karya anak dewa. Dalam arti sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia-manusia khusus yang dianugerahi Tuhan dua kelebihan sekaligus, yakni kemampuan untuk bisa menulis dan kesempatan menangkap turunnya ide dari langit. Ke-mampu-an menulis nyatanya memang tidak semua orang bisa melakukan meski telah mengenyam pendidikan sarjana. Sedang kesempatan menangkap ide nyatanya tidak semua orang mampu memaknai peristiwa hingga sedemikian dahsyat menalarkan suatu makna beserta kelembutannya menjadi sebuah karya tulis indah. Padahal setiap manusia satu dengan lainnya terbilang podo mangan segane, podo turu ngoroke. 

Sejatinya tidak demikian. Puisi itu biasa saja setara jutaan makhluk lainnya. Ia dibikin oleh orang yang menyukainya. Seperti halnya sayur lodeh, soto, rawon, rendang, rica-rica dll. Ia adalah menu pilihan yang berkaitan dengan cita rasa, kekhasan asal daerah serta efek kesehatan. Demikian juga puisi, ia dicipta oleh penulisnya untuk menghantarkan menu utama kehidupan supaya terasa lebih nyamleng memahami keluasan pengetahuan. 

Lahirnya puisi tak lepas dari proses mencipta dan dicipta. Mencipta sebagai kalimat aktif yang berlaga maskulin, sedang dicipta berposisi pasif yang bersifat menunggu sebagai tanda femina. Oleh karena itu proses lahirnya puisi sebagai makhluk tak ubahnya gejala turunan yang dilakukan Tuhan  sejak zaman azali, yakni ketika sendiri di ruang sunyi, kemudian Alloh merindukan nama-nama baru, maka lahirlah makhluk pertama yang bernama ide. Ketika ide sudah berwujud, meruang dan mewaktu tercapailah tujuan asma’akullaha: aneka karya baru yang terus bermunculan, termasuk puisi dengan berbagai jenis tipografi dan alirannya.

Setelah puisi terbentuk, baik yang mencipta atau yang dicipta menemukan titik teofani, maksudnya kepuasan dua fihak. Bagi puisi, penulis yang melahirkan dirinya adalah citra khusus. Puisi berkata bahwa penulis dapat dikenali dari dirinya, maksudnya kwalitas puisinya. Yang jadi pertanyaan adalah siapakah penulisnya? Apa yang diinginkan penulisnya? Atau bagaimanakah proses yang melatarbelakangi kelahirannya?

Beberapa kali saya ngobrol dengan D. Zawawi Imron, penyair Celurit Emas asal Kecamatan Batang Batang Sumenep Madura. Katakanlah dari dua antologi puisinya Celurit Emas dan Madura Akulah Darahmu terbilang sebagai puisi jadi yang menghantarkan Zawawi Imron duduk di kursi kepenyairan. Puisi jadi maksudnya puisi pilihan setelah menyisihkan ribuan judul puisi yang dianggap gagal sebagai puisi baik atau puisi yang masih tergolong bakalan (pra-menjadi puisi). Saya kira tidak hanya D. Zawawi Imron, melainkan seluruh penyair besar karya yang terpublikasi tidak ujug-ujug sempurna sebagaimana ditelan pembaca, melainkan ada proses panjang yang menyertainya meliputi penghapusan, editorial bahkan nash-mansukh, yakni perubahan puisi lama menjadi puisi yang lebih baik dalam satu tema.

Menjawab pertanyaan bagaimanakah proses lahirnya puisi? Berikut salah satu contoh yang saya terapkan terhadap anak didik di kelas menulis MTs Al-Ihsan Kalijaring Tembelang Jombang. Dengan konsekuensi bahwa pilihan menulis puisi bagi penulis pemula adalah kerja yang paling gampang dan efektif. Meskipun sesungguhnya belum layak bagi siswa untuk menuliskan puisi sempurna dengan berbagai kajiannya. Maksudnya memahami puisi adalah hal yang berat dan belum layak dilakukan siswa yang referensi pengetahuannya masih gagap tentang apa itu makhluk yang bernama puisi. Ada rima, irama, pilihan kata, analogi kata dalam satu kalimat, kekentalan bahasa, keuletan antar kalimat dalam alenia, tipografi bahkan kenapa puisi harus ditulis dan hendak kemana tujuan puisi dilabuhkan? Yang jelas puisi adalah kapten kesebelasan sebagai kode menyatatkan peristiwa fakta ataupun peristiwa imajinasi.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mengajak dialog anak didik satu persatu seputar apa saja yang berada di lingkungan mereka. Ada benda atau peristiwa apa yang paling utama untuk ditulis sehingga kabar tersebut diketahui khalayak? Otomatis tema yang muncul adalah desa-desa sekitar Kalijaring. Sebagai pembuka para siswa saya ajak menentukan judul yang puitif, sebab kelak akan menjumpai bahwa tekhnik penulisan judul pada puisi berbeda dengan karya tulis ilmiah. Setelah menentukan judul, barulah memfokuskan titik pembicaraan atau tema. Tahap berikutnya memilih kata, mengedit, membongkar pasang kalimat supaya terkesan nyes dan nyodok jika dibaca.
Puisi I:
Antara Lampung-Kapas

Sejak ginjal menyerang ibu
Aku terhempas dari Lampung ke Kapas
Aku menjadi perantau jauh
Bakauheni-Merak aku melintas

Dalam mobil enak sekali
Makan dan tidur tanpa berhenti
Sampai di Kapas aku ke sawah
Bersama teman sepermainan alangkah indah
(Ilham Surya Padewa kelas VII A)

Puisi Lampung-Kapas yang ditulis Ilham Surya Padewa mengguratkan kisah. Kelak Ilham akan memaknai puisinya sebagai kebersamaan (dengan kisah) yang bukan teori semata, melainkan peristiwa. Puisi tidak puas dengan nilai saja, tetapi juga mengalaminya. Dalam puisi Lampung Kapas petualangan merupakan ksatria, ialah makna penting sebab petualanganlah yang menciptakan era lain dalam hidup, bahkan ia jauh lebih penting dari hidup itu sendiri. Meskipun kepolosan Ilham sebagai anak masih menyolok dalam puisi tersebut. Alenia pertama Ilham menceritakan perihal dirinya yang berpindah tempat tinggal dari Lampung sebagai kota kelahiran menuju Dukuh Kapas dengan fakta ibunya sakit ginjal, namun ia tetap merasa enak tidur dan makan dalam satu mobil dengan ibunya yang sakit.
Puisi II:
Jombang-Kalimantan PP

Dulu aku lahir di Jombang
Senang, canda, sedih bersama teman sepermainan
Namun kenyataan datang
Aku harus pergi meninggalkan kampung halaman

Sesampai di Kalimantan aku bingung
Kenapa aku di sini?
Bertemu teman-teman baru
Teringat teman kampung halaman dulu

Lulus SD aku kembali ke Jombang
Lupa ingat teman buatku bimbang
Bertemu saudara, kakek yang tidak panggling
Akhirnya aku diterima sebagai siswa MTs Kalijaring
(Salsabila Putri Kelas VIII A)

Salsabila Putri melontarkan pertanyaan dalam puisinya pada bait ke dua. Seolah menyadari bahwa fungsi pertanyaan adalah menggali sebab-akibat yang akhirnya melahirkan perubahan. Opo sebape kok dadi koyo ngene? Itulah fitrah manusia dalam membongkar ekspresi kebebasannya. Sisi lain memang kelebihan manusia terletak pada fakta bahawa ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan, terutama bertanya pada diri sendiri. Maka, ketidakmampuan manusia untuk melontarkan pertanyaan berarti kehilangan karakteristik yang paling khuhus.
Puisi III:
Jalan di Karangpakis  

Desaku ini teramat kecil
Jalan di Karangpakis inilah yang selalu kulewati
Betapa herannya aku
Betapa sedihnya aku
Jalan yang tak layak dilewati ini
Selalu setia menjadi saksi

Di mana kepedulianmu
Di mana kesadaranmu
Tanpa merasa malu sedikitpun
Sebagai petinggi desa, kau tak benahi jalah tak layak pakai ini

Andai aku jadi petinggi desaku
Tak perlu berfikir tak perlu disuruh
Kubenahi jalan desaku yang lumpuh
Tanpa mencari pengaruh
(Siti Nurjulianti Sa’adah Kelas VIIA)

Dalam puisinya, Siti Nurjulianti tidak sekedar memberikan gambaran sehari-hari yang parsial mengenai kesannya yang parsial sehari-hari, melainkan menunjukkan sikap yang utuh. Puisi ini mendahulukan pemikiran dari pada realitas. Realitas harus tunduk pada pemikiran dan harus menyesuaikan diri dengannya. Puisi yang melontarkan gagasan yang tidak bisa dilontarkan oleh realitas. Dengan cara demikian puisi ini menjadi bahasa kedua yang parodik.
Puisi IV:
Batu Gilang Mojokrapak

Gilang batuku
Berjuta tahun lalu engkau berdiri tegar di situ
Di jantung Desa Mojokrapak desaku
Menancap sebagai paku bumiku

Ada malam-malam tertentu
Engkau berputar meski tak disentuh
Retak tubuhmu
Tanduk Surontanu nyerudukmu

Gilang yang jatuh dari masa lampau
Hari lalu dan akan datang, warga tetap menjunjungmu
(Syifa Agung Pribadi Kelas VIII A)

Syifa Agung memilih menuliskan batu sejarah tinggalan leluhur yang ada di desanya, Mojokrapak. Puisi yang baik bagi Syifa tidak boleh cacat sejarah, dalam arti keberadaan manusia sekarang tak lepas dari nenek moyang, maka mengagungkan leluhur adalah tindakan mulia. Sebaliknya, membanggakan keturunan tanpa mengagungkan leluhur adalah tindakan cela, sebab manusia terkesan memutus gerak sejarah yang akhirnya membuat manusia buta dari sangkan paraning dumadi.
Puisi IV:
Jembatan Tol Losari

Engkau mulai memanjang
Menggunting jalan jadi gelap
Jalan pintas
Sawah terjual
Jaya Mix berseliweran
(Hanafi Kelas VIII A
)
Hanafi membebaskan puisinya dari aturan persajakan. Tampaknya ada banyak hal yang ingin diungkap Hanafi menjadi desertasi. Tetapi bagi penulis pemula, apalagi usia anak, tentu belum waktunya mendalami karya ilmiah. Maka, puisi bagi Hanafi adalah kode pertaman pencatat sejarah sebelum lahirnya kajian karya tulis lainnya. Setiap baris dalam puisi Jembatan Tol Losari adalah sub bab jika dijadikan penelitian ilmiah, atau menjadi sub adegan jika ditulis dalam cerpen atau novel. Ungkapan Engkau mulai memanjang, Hanafi tergeragap melihat situasi desanya yang berubah dengan hadirnya Jembatan Tol produk modernisme. Sawah terjual dan Jaya Mix berseliweran tentu akan membuka galaksi cakrawala ilmu jika proses pra-pembangunan jembatan tol diusut dalam hubungan dengan pengaruh kebudayaan.

      Contoh empat puisi di atas adalah penanda lahirnya nama-nama baru yang memuat tema-tema baru dan benda-benda baru terutama sekitar Jombang. Tentu tidak ujug-ujug sempurna sebab yang berjuluk penyair besar saja banyak puisinya yang tersingkir. Yang terpenting adalah bagaimana mengawal proses puisi (penulis) bisa lahir. Salah satu caranya adalah mengamping anak didik, menyiapkan satu area atau membentangkan jalan bagi puisi. Selanjutnya, murid yang gigih menggeluti pasti akan melintasi, sedang murid yang sekedar tergiur nama besar akan segera tereliminasi.

Bukan anak dewa.
*) Sabrank Suparno.

Selasa, 28 Februari 2017

Kinanthi

KINANTHI

Serat Wulangreh
PUPUH II
KINANTHI

01
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra,
kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
02
Dadiya lakuniraku, cegah dhahar lawan guling, lawan ojo sukan-sukan,
anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin.
03
Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumunggung dhiri, aja nyelakaken wong ala,
kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari.
04
Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih cerita, kang dadi misil,
yen pantes raketana, darapon mundhak kang budi.
05
Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep
akeh durjana, tan wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep akeh bongsa, nora
wurung dadi maling.
06
Sanadyan nora melu, pasti wruh lakuning maling, kaya mangkono sabarang,
panggawe ala puniki, sok weruha gelis bisa, yeku panuntuning iblis.
07
Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan,
aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.
08
Yen wong anom-anom iku, kang kanggo ing masa iki, andhap asor dipun bucal,
unbag gumunggung ing dhiri, obrol umuk kang den gulang, kumenthus lengus
kumaki.
09
Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku lambanging waong ala, nomnoman
adoh wong becik, emoh angrungu carita, kang ala miwah kang becik.
10
Cerita kang wus kalaku, panggawe ala lan becik, tindak bener lan becik, tindak
bener lan kang salah, kalebu jro caritareki, mulane aran carita, kabeh-kabeh den
kawruhi.
11
Mulane wong anom iku, abecik ingkang taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang
sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.
12
Ingkang becik kojahipun, sira anggawa kang remit, ingkang ala singgahana, aja
niat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki.
13
Akeh wong kang bisa muwus, nanging den sampar pakolih, amung badane
priyangga, kang den pakolihaken ugi, panastene kang den umbar, nora nganggo
14
Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana amemedha, angrasa
pinter ngluwihi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes dipun cedhaki.
15
Singakna den kaya asu, yen wong kang mangkono ugi, dahwen open nora layak,
yen sira sadhinga linggih, nora wurung katularan, becik singkiorana kaki.
16
Poma-poma wekasingsun, mring kang maca layang iki, lan den wedi mring wong
tuwa, ing lair prapto ing batin, saunine den estokna, ywa nambuh wulang kang
becik.

·         Terjemahan dari Serat Wulangreh Pupuh Kinanthi yang akan sampaikan oleh guru .

PUPUH II
KINANTHI

01
Mari latih dan pahami hati, agar perasaan bisa lebih tajam, jangan hanya makan dan tidur,
Watak kesatria harus dipelajari, latih tubuhmu, kurangi makan dan minum.
02
Jadikanlah kebiasaanmu, mencegah makan dan tidur, dan jangan suka bersenang-senang,
Jika perlu lakukan seperlunya, buruklah watak orang yang hanya bersuka-suka, akan mengurangi kewaspadaan batin.
03
Jika sudah ditakdirkan menjadi orang besar, janganlah kamu menyombongkan diri, jangan dekat dengan orang yang wataknya buruk, biarlah dia seperti itu, karena nantinya akan mengajak, pada akhirnya akan menular.
04
Meski berasal dari rakyat jelata, jika wataknya baik, atau yang pintar berbicara,
Yang jadi intinya, jika memang layak, dekatilah dengan harapan akan mengangkat harkatmu.
05
Para pemuda memang sudah sepatutnya, menyesuaikan pada hal yang dihadapi, jika yang dihadapi orang yang licik, paling-paling hanya bisa berjudi, jika yang dihadapi orang-orang bangsat, akirnya juga akan menjadi maling.
06
Walaupun kamu tidak ikut-ikutan, sepatutnya kamu tau watak pencuri, begitulah semuanya, kelakuan buruk ini, meski hanya melihat akan cepat bisa, itulah tuntunan iblis.
07
Perbuatan baik itu, mudah jika sudah dilakukan, tapi sulit dika belum dikerjakan, rasanya malas untuk melakukan, maka lakukanlah, karena akan bermanfaat bagi dirimu.
08
Jika anak muda itu, yang berlaku dimana sekarang, sopan santun sudah dibuang, sombong dan selalu tinggi hati, hanya membual yang dikerjakan, bergaya, congkak dan mentang-mentang.
09
Membanggakan diri sendiri, egois dan tak peduli, itulah perlambang dari orang yang buruk, pemuda yang jauh dari orang baik, tak mau mendengarkan petuah, yang buruk dan yang baik.
10
Cerita yang telah terjadi, perbuatan buruk dan baik, perbuatan benar dan salah, termasuk dalam cerita ini, maka disebut cerita, semua hal agar diketahui.
11
Maka pemuda itu, sebaiknya yang teliti, jika berbicara dengan orang tua, yang banyak bicaranya, pembicaraan itu macam-macam, ada yang baik ada yang buruk.
12
Jika baik pembicaraannya, ambilah dengan cermat, yang buruk sembunyikanlah, jangan pernah berniat melakukan, dan waspadailah orang yang berbicara itu, yang lahir generasi ini.
13
Banyak orang yang bisa bicara, namun entah bagaimana hasilnya, hanya dirinya sendiri, yang akhirnya mendapatkan, emosinya yang dikedepankan, tak ada pengendalian.
14
Jangan ada orang yang membalas bicaranya, biarlah aku sendiri, jangan pernah terpancing, merasa lebih pintar, inilah setan gentayangan, tak pantas didekati.
15
Singapun akan seperti anjing, jika ada orang yang demikian itu, suka ingin tau dan tidak pantas, jika kamu duduk berdampingan nanti kamu akan tertular, sebaiknya jauhilah nak.
16
Ingat-ingatlah pesanku, pada yang membaca surat ini, dan hormatilah orang tua, baik lahir maupun batin, semua perkataanya turutilah, jangan menghina ajaran baik.

Senin, 06 Februari 2017

Serat Wedhatama

#Berguru_pada_siMbah
#SERAT_WEDHATAMA

Karya : Mangkunegara IV
PUPUH I
P A N G K U R
01

Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

02

Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

03

Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

04

Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

05

Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

06

Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung,  sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

07

Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

08

Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

09

Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.

10

Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

11

Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

12

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

13

Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

14

Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

PUPUH II
SINOM

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

02

Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

03

Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

04

Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

05

Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,  ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

06

Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

07

Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahingSenapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

08

Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mapir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

09

Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

10

Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

11

Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

12

Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

13

Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

14

Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

15

Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

16

Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

17

Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuhbudi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

18

Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

PUPUH III
PUCUNG
01

Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

02

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

03

Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

04

Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

05

Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

06

Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

07

Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

08

Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

09

Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

10

Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

11

Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

12

Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

13

Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

14

Sakeh luput,  ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

15

Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

PUPUH IV
GAMBUH
01

Samengko ingsun tutur, sembah catur: supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

02

Sembah raga puniku,pakartine wong amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

03

Inguni-uni durung, sinarawung wulang kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun, sarengate elok-elok.

04

Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha nggugu, anggere guru nyalemong.

05

Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku, akale keliru enggon.

06

Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku batin, dadi ora gawe bingung, kang padha nembah Hyang Manon.

07

Lire sarengat iku, kena uga ingaranan laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan mwih kaot.

08

Wong seger badanipun, otot daging kulit balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati nunungku, angruwat ruweting batos.

09

Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi, sayektine nora jumbuh, tekad kang padha linakon.

10

Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu, nugraha geming Kaprabon.

11

Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

12

Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetetp talaten atul, tuladhan marang waspaos.

13

Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.

14

Yen wus kambah kadyeku, sarat sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling,  Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.

15

Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, mring pamurunging lelakon.

16

Samengko kang tinutur, sembah katri kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.

17

Sayekti luwih prelu, ingaranan pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

18

Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam kono.

19

Keleme mawa limut, kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan bisa awor.

20

Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

21

Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

22

Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor.

23

Samengko ingsun tutur, gantya sembah ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

24

Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok.

25

Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot.

26

Pamoring ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh wekasing dumados.

27

Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur, hardaning budi kang ngrodon.

28

Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging batos.

29

Rasaning urip iku krana momor pamoring sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.

30

Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

31

Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

32

Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.

33

Putih lan kuningpun, lamun arsa titah teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.

34

Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

35

Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dhewekw den anggep dhayoh.

PUPUH V
K I N A N T H I
01

Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.

02

Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

03

Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa muka, kekes srabedaning budi.

04

Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam sakalir.

05

Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki, ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya, wewesen praptaning uwis.

06

Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih titih.

07

Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira, sambekala den kaliling.

08

Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas anemahi.

09

Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

10

Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

11

Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige, kang mangkono iku kaki.

12

Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.

13

Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani.

14

Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa esak aywa serik.

15

Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

16

Mangkono ingkang tinamtu,tampa nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi premati.

17

Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana, lir leluhur nguni-uni.

18

Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

By Alang Alang Kumitir
NARDI WIJAYA - Maiyah Nusantara Ngawi

http://www.alangalangkumitir.wordpress.com

Kamis, 19 Januari 2017

BANGSA YATIM PIATU

Oleh: Muhammad Ainun Nadjib

(Tulisan ke-10 dari 10)

Bangsa Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu kita sendiri kelak.

Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya masing-masing. Dan tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan pihak yang ini atau yang itu. Minimal untuk sementara, ada baiknya menghindari ‘kenikmatan’ menuding “siapa yang salah”. Sebab kalau salah benar diposisikan pada subjek, kemudian yang ditegakkan adalah pro dan kontra pihak-pihak, maka semua akan terjebak situasi-situasi subjektif: kalau kita “pro” suatu pihak, maka ia “benar 100%”. Kalau kita “kontra” suatu pihak, maka ia “salah 100%”. Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir.

Produknya adalah kita bermasalah terhadap dua hal: pertama, anak cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah “kebenaran melawan kebenaran” dan “kebaikan melawan kebaikan”. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri, sebab “setiap orang dan pihak ada benarnya ada salahnya”. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut.

Meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”. Itu meminta pengorbanan pada harga diri subjektif masing-masing. Sebab keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran, kejernihan, dan kejantanan untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran orang lain.

Berpikir, Bersikap dan Bertindak NKRI

Yang saya maksud “puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana “yang kuat mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin akan menang di Pengadilan maupun di Pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor yang dianggap kontra-produktif terhadap kemenangan itu, mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri, minimal dieliminir.

Mungkin yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai Bhinneka?

Kalau belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah “Sopo siro sopo ingsun” (siapa kamu siapa aku, emangnya kamu siapa!). Salah satu outputnya adalah “adigang adigung adiguna” (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi dikotomisnya adalah “Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah “Putih melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa, yakin, dan memiliki argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil, sehingga mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas juga meyakini bahwa ia adalah “Habil yang dibunuh Qabil” dan “Putih yang diberangus oleh Hitam”.

Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil maupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya, meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam Hawa mempelajari keduanya dengan sabar. Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil.

“Positioning Adam” adalah berpikir dan bersikap NKRI. Kalau PDIP ada di latar belakang kekuasaan NKRI, maka diri PDIP adalah diri NKRI. PDIP mendayagunakan energinya untuk NKRI, bukan mengeksploitasi NKRI untuk PDIP. Siapapun saja yang duduk di Pemerintahan, dirinya adalah diri NKRI. Subjek primer di dalam kesadarannya adalah NKRI. Maka demikianlah pula berpikir dan bersikap, serta pengambilan keputusan tindakan-tindakannya.

Bu Mega menghindari kosakata politik praktis. Tidak perlu menyebut kata “ideologi tertutup”, “makar”, cukup membatasi diri pada kata-kata kasih sayang, pengayoman, ekspresi keIbuan. Yang sedang mengemban amanat di Pemerintahan membersihkan hatinya dari paranoia merasa diancam, sehingga tidak menyimpulkan bahwa apa yang tidak sejalan dengan dia adalah musuh. Bahwa yang tidak sependapat adalah makar. Ia dan jajarannya dilantik untuk memprimerkan Bhinneka Tunggal Ika, bukan memelihara, mempertajam dan meraya-rayakan Bhinneka. Padahal tugasnya adalah mentunggal-ikakan Bhinneka.

Yatim Piatu Tiada Tara

Bangsa Indonesia adalah anak yatim piatu. Tidak punya Bapak yang disegani dan tidak ada Ibu yang dicintai. Saya coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi. Pertama, ketika lahir, NKRI memang lebih berpikir “membikin sesuatu yang baru” dan kurang berpikir “meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih “Sejarah Adopsi” dan tidak merasa perlu menekuni “Sejarah Kontinuasi”. Kita dirikan “Negara” dan “Republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai, hingga birokrasi dan hukum.

Kita meneruskan “mesin Belanda” meskipun dengan memastikan pengambilalihan kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi kemungkinan formula yang otentik hasil karya kita sendiri yang merupakan kontinuitas-kreatif dari apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak merdeka kita memang seolah-olah “sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri. Padahal Belanda sendiri, juga banyak Negara-negara Eropa lain, tetap berpijak pada Kerajaan “orangtua” mereka. Fakta yang itu justru tidak kita adopsi.

Juga tidak belajar kepada Majapahit, umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam Wuruk adalah Kepala Negara, Gajah Mada adalah Perdana Menteri. Kepala Negara bikin kebijakan dan sistem kontrol, Perdana Menteri berposisi eksekutif dalam kontrol Negara. Hari ini Kepala Pemerintahan kita adalah juga Kepala Negara. MK, KY, KPK, dll adalah lembaga Negara, tapi faktanya mereka berlaku sebagai lembaga Pemerintah, karena Bangsa Indonesia tidak merasa perlu membedakan antara Negara dengan Pemerintah.

Negara adalah Bapak, Tanah Air adalah Ibu (Pertiwi). Negara adalah Keluarga, Pemerintah adalah Rumah Tangga. Manajemen Rumah Tangga adalah bagian dari manajemen Keluarga. PNS yang diganti namanya menjadi ASN, tidak beralih kesadaran bahwa mereka adalah abdi Negara, yang patuh kepada Undang-Undang Negara. Bukan abdi Pemerintah, yang taat kepada atasan. Kalau anak merasa ia adalah Bapak yang memiliki dan menguasai Ibu, maka sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan atas NKRI hari ini dan di masa depan.

Sekarang anak-anak sedang nikmat bertengkar, tidak ada Bapak yang mereka segani, tidak ada Ibu yang mereka cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para tetangga mengincar kita, menginflitrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa kita, menggerogoti hak milik kita untuk dijadikan milik mereka.

Anak-anak gugup siang malam, tidak punya waktu yang tenang untuk merumuskan ketepatan pemahaman tentang nasionalisme NKRI, tentang SARA, tentang apa itu Agama sebenarnya. Justru semua itu dijadikan bahan pertengkaran tanpa henti-hentinya. Anak-anak saling men-Qabil dengan merasa Habil. Bangsa Indonesia yatim piatu tiada tara.

Indonesia (Kehilangan) Pusaka

Kedua, di antara Bapak Ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberi pesan tentang “Sandang Pangan Papan”, “Keris Pedang Cangkul”, “Gundul Pacul”, “Kawula Gusti”, dlsb. Pasti banyak sekali juga pesan-pesan dari nenek moyang Yang Sunda, Yang Minang, Yang Bugis, Yang Batak, Yang Sasak, Yang Madura dan ratusan lainnya – yang setelah merdeka semua itu kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu menyebabkan sekarang kita tidak lagi punya “pusaka”, dalam dimensi kejiwaan bangsa maupun dalam penerapan tata sistem, konstitusi dan hukum pengelolaan kebersamaannya.

“Sandang Pangan Papan” tidak bisa dibalik. Lebih baik tidak makan asal tetap berpakaian. Bukan program makan melimpah dan tak apa telanjang karena pakaiannya dijual, karena martabat dan harga diri digadaikan. Manusia dipinjami hak milik oleh Tuhan: nyawa, martabat dan harta benda. Negara dan Pemerintah bertugas menjaga nyawa, martabat dan harta benda rakyatnya. Orang korupsi tidak terutama kita sesali hilang hartanya, tetapi kita prihatini kehancuran martabat hidup koruptornya. Demikian juga setiap langkah Negara dan Pemerintah: skala prioritasnya adalah nyawa, kemudianmartabat, lantas harta benda.

“Keris Pedang Cangkul” sangat jelas. Rakyat pegang cangkul mencari penghidupan. Pemerintah pegang pedang untuk menjaga keamanan sawah yang dicangkul oleh rakyat. Pejabat tidak boleh menggunakan pedang untuk mencangkul. Pejabat dan pegawai bukan profesi, bukan alat mencari nafkah, sebab penghidupan mereka dijamin oleh Negara. Sementara Negara adalah keris, adalah Pusaka, ia perbawa, aura, hati nurani, ia “kasepuhan”, ia seperti Bapak Sepuh yang kita cium tangan dan lututnya. Karena beliau sudah merdeka dari nafsu terhadap harta benda dan keduniaan. Itu yang bangsa Indonesia sekarang tidak punya dan tidak sadar untuk merasa perlu punya.

“Gundul Pacul” , anak-anak hapal sampai sekarang. Pemerintah bertugas “nyunggi wakul”, memanggul bakul kesejahteraan rakyat, isinya harus disampaikan ke rakyat. Jangan sambil jelan ke rumah rakyat diambili sendiri isi bakul itu. Apalagi sampai menjual bakul-bakul ke tetangga. Negara mengontrol dan siap menghukum mereka. Tapi Bangsa Indonesia sedang tidak punya Negara kecuali hanya namanya, yang berdiri di depan hanya Pemerintah.
Itupun tidak terdapat tanda bahwa prinsip Ki Hadjar Dewantara, pahlawanan nasional dan Bapak Pendidikan Nasional, dilaksanakan. Kita semakin tidak belajar kepada beliau. Karir adalah “ing ngarsa sung tulada”, berdiri paling depan untuk member teladan. Kemudian meningkat “ing madya mangun karsa”, menyatu dengan rakyat saling dukung mendukung dan menyebar motivasi. Puncak karier adalah “tut wuri handayani”. Orang besar bangsa Indonesia adalah yang berani dan ikhlas berada di barisan paling belakang, mendorong rakyat untuk terus maju dan berjuang.

Kerajaan dan Sebab Akibat

Yang di awal tulisan ini saya sebut sebagai “puncak eskalasi pertengkaran” adalah jika Pemerintah, yang bertindak atas nama Negara, menerapkan “ing ngarsa sung kuwasa”: berdiri paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai, dan dengan kekuatan untuk mengalahkan.

“Kawula Gusti”. Posisi manusia itu “ngawula” atau menghamba. Maka Sila-1 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba ke Tuhan. Dalam peradaban Kerajaan, Raja diverifikasi, dikwalifikasi kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka kawula, rakyat, menghamba kepada Raja, sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.

Rakyat bisa salah identifikasi, sejarah berisi Firaun sangat banyak. Tetapi tidak bisa lenyap naluri menghamba pada manusia. Ketika masuk era modern kita bilang “mengabdi kepada Negara, Bangsa dan Agama”. Tiga level itu adalah eskalasi menuju penghambaan kepada Tuhan. Rakyat kecil, kaum terpelajar, semua orang-orang hebat, berlomba-lomba menghamba kepada Tuhan melalui jabatan Staf Khusus atau Staf Ahli Presiden atau Menteri, jadi Komisaris BUMN, atau minimal dapat dana untuk proyek penghambaan kepada Tuhan.

NKRI adalah Negara dengan sejumlah fakta kejiwaan dan perilaku Kerajaan. PDIP tetap disinggasanai dan diotoritasi langkah-langkahnya oleh Ratu Mega putri Raja Besar Bung Karno, berikut akan ke cucu beliau. Demokrat akan mencagubkan atau tidak keputusannya di tangan Raja SBY. Demikian juga tipologi perilaku pada Kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk mobilisasi dan pencitraan yang berpangkal pada identifikasi “Satria Piningit”, atau juga rintisan Kerajaan Hary Tanoe.

Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui Raja atau Presiden siapa – bisa keliru, itu persoalan lain. Dan ini bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi jelas ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani Bangsa Indonesia.
Kita membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali “cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang dan resolusi pandang, bahkan kearifan pandang”:  terhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware maupun software-nya. Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka.

Enam ragam pandang di atas berada dalam spektrum sebab pandang dan akibat pandang. Pemerintah merasa traumatik terhadap Islam adalah akibat yang ada sebabnya, terutama dari dunia global. Sikap keras 212 adalah akibat dari sebabnya. HRS, misalnya, bukan Iblis, Jkw atau TK, pun bukan Tuhan. Masing-masing manusia. Semua warga Bhinneka tidak bisa menunda iktikad baik dan kebijaksanaan untuk saling mempelajari sebab akibat dari seluruh yang dialaminya. Tidak bisa masing-masing egois merasa “kamilah Bhinneka Tunggal Ika, yang itu Kaum Intoleran”.

“Sila-5” belum kunjung tercapai, ada sebabnya, dan harus dicari di “Sila-4”: Pemerintahan dan Perwakilan yang kehilangan aspirasi dan rumusan Permusyawaratan. Mesin Sila-4 tidak memproduksi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin juga akibat dari “Sila-3” yang “bikin mesin pemerintahan” Sila-4. Parpol-parpol, Ormas-ormas dan ketokohan-ketokohan nasional mungkin tidak berdiri, berpikir, bersikap dan bertindak NKRI, melainkan menitik-beratkan pada kepentingan diri dan golongannya masing-masing.

Jangan-jangan ini akibar dari sebab yang terletak pada “Sila-2”: pendidikan pemberadaban manusia Indonesia. Ada tumpukan masalah dan pertanyaan yang sangat serius terhadap dunia kependidikan nasional. Mungkin salah pijakan, salah niat, misalnya bahwa dunia kependidikan bukanlah urusan profesi di mana pelaku-pelakunya mencari nafkah penghidupan. Sebagaimana Pegawai bukanlah profesi, karena nafkahnya dijamin oleh Negara. Sekolah bukan perniagaan, Universitas bukan perusahaan. Sebagaimana juga perlu diarifi kembali bahwa kapitalisme jangan sampai menjadi titik berat pelaksanaan wilayah Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Agama.

Kalau Sila-5 tak tercapai karena kegagalan Sila-4, Sila-4 tidak produktif karena salah pilih oleh Sila-3, kalau Sila-3 bukan Persatuan Indonesia melainkan sumber perpecahan karena disorientasi Sila-2 – mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan “Sila-1”. Mungkin benar parodi “Keuangan Yang Maha Esa”. Mungkin tak terhitung jumlah penistaan kita semua terhadap Pancasila, Agama dan Tuhan.

Yang Tak Kita Ketahui

Kegagalan simultan, sistemik, dan struktural mem-Pancasila-kan Indonesia itu hari ini menghasilkan keyatim-piatuan, ketiadaan Ibu dan Bapak, anak-anak menjadi liar oleh ketidakseimbangan berpikir untuk meng-NKRI-kan dirinya dan tindakan-tindakannya. Kita dikepung oleh fenomena Habil Qabil, terkikisnya martabat kebangsaan dan kemanusiaan, terampoknya harta benda Tanah Air.

Untuk jangka pendek ke depan, secara pribadi saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat sehari-hari. Bahwa kalau engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak kau perlakukan sebagai Subjek Utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih bisa menunda bencana. Tapi kalau NKRI bukan konsiderasi primer langkah-langkahmu, maka tidak ada yang bisa menghindari bencana. Engkau yang kuat, yang terbaik bagimu bukan meng-kuat-i saudara-saudaramu sendiri. Kalau engkau berkuasa, jangan pikir yang selamat adalah meng-kuasa-i sesamamu.

Engkau bisa mudah menguasai Pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga, menaklukkan Ormas-ormas. Tapi Pemerintah Indonesia berbeda dengan Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia berbeda dengan Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di tanah air Indonesia. NU berbeda dengan Nahdliyin, Muhammadiyah berbeda dengan Muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan Ummat Islam. Dan Ummat Islam berbeda dengan Islam.

Ada yang bisa kau kalahkan, kau taklukkan, kau rampok, kau tindas dan perhinakan. Tapi ada yang tidak. Dan yang tidak bisa kau taklukkan itu adalah dimensi dan energi yang juga ada di semesta dan tanah yang disebut Indonesia. Ada yang sama sekali tak kita ketahui tentang besok pagi.

https://caknun.com/2017/bangsa-yatim-piatu/