Selasa, 14 Januari 2020

Sinau Karo Watu

"Jangan Malu, sinau karo Watu"

"Senajan metune soko silite Kyai, nek tai yo di buang rek !! Tapi kosok baline : senajan metune soko silite pithik, nek endog yo di pangan"

Berangkat dari filosofi di atas manusia hidup di tuntut untuk selalu arif dan bijaksana dalam menilai dan memaknai apapun ajah yang ada di sekitar kita. Taddabur alam, bersinergi dengan alam sudah sepantasnya kita lakukan sebagai bentuk rasa syukur atas kebaikannya selama ini kepada manusia. 

Sebenarnya memang tak ada yang istimewa yang ada di sekitar hidup kita ini, cuma terkadang manusia suka berlebihan dalam menilai segala sesuatu berdasarkan kebutuhannya, senang atau tidak senangnya, sehingga sesuatu yang sangat kecil, biasa dan sederhana sering kita abaikan begitu saja.

"Watu seng sabendino di sempar samparin no pinggir ndalanpun bisa saja memberi pengajaran "

Kerikil atau batu kecil itu, hampir sepanjang  hari di injak injak ribuan orang, terkadang juga di lewati kendaraan berat yang berlalu lalang, tetapi batu kecil itu tak pernah mengeluh. Di buat aspal jalan raya mau, di pake buat "Talut" di pinggir jalan raya, juga terima. Di buat "Ngecor" pondasi dan tiang tiang bangunan rumahpun, yah, enjoy enjoy saja. Bahkan bangunan rumah itu semakin terlihat kokoh dan gagah karena keberadaannya, nyaman dan aman bagi siapapun penghuninya. Semakin sulit batu itu dibentuk, maka akan semakin tinggi pulalah nilai esteticanya.

Ketika kita lewat di pinggir kali, kita lihat ibu ibu setengah baya, sedang mencuci baju dan pakaiannya di atas batu itu juga tetap diam ikhlas menerimanya. Bahkan di jadikan manusia sebagai "pancatan Ngisingpun", batu tak pernah mau berontak. Akan tetapi tak bisa dipungkiri, bahwa batu itu tetap saja tak dapat dipisahkan, selalu menjadi satu bagian yang utuh dari keindahan pemandangan alam semesta.

Entah kebetulan atau entah karena keteguhan hatinya :

"'Nek tanah watu, senajan tho mung trimo watu nek arep di angkat 'Derajade' karo Gusti Alloh yoo ora kurang dalan, Opo meneh menungso!!"

Waktu tiba musim penghujan, akhirnya banjir bandangpun datang. Batu itu terseret jauhh meninggalkan tempatnya oleh arus yang sangat besar, hingga akhirnya Batu itu secara tidak sengaja di temukan oleh seorang ahli tukang pahat ukir batu. Di angkatlah batu itu dengan mengunakan berbagai alat berat, dan di pindahkannya ke rumah tempat tinggal ahli pahat batu.

Sejak saat itu, hampir di sepanjang hari siang dan malam, terjadi sinergi, terjadi komunikasi bathin antara batu dengan si ahli pahat itu. Ternyata lelaki setengah tua itu bukan orang sembarangan. Sampai pada suatu ketika, datanglah pelanggan seorang pejabat yang sangat berkuasa saat itu. Sejak pertama datang dan melihat hasil seni si tukang pahat batu itu, langsung tertarik dan jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Setelah terjadi komunikasi dan negosiasi yang cukup panjang dan alot, akhirnya sepakat dan mufakat. Batu yang sudah selesai di pahat dan di ukir indah elok dan menawan itu akan di bawa ke kota. Dan secara kebetullan di kota akan di bangun sebuah Monumen Besar,  tepat di tengah tengah kota. Batu itu akan menjadi 'Maskot' dan menempati posisi puncak Monumen, yang akan sekaligus di jadikan sebagai Taman kota.

Berkat keteguhan prinsip : "Nerimo ing pandhum" serta kesabarannya yang sedikitpun tak pernah mau mengeluh, kini batu itu menjadi sebuah 'Monumen Sejarah' masyarakat di seluruh penjuru kota. Batu itu menempati puncak singgasananya, di puncak angkasa raya. Nun jauh dari pinggir kota, seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk di pinggir kali, tersenyum mesra seperti menatap keanggunan dan kemegahan hasil karyanya. Mulutnya sedang komat kamit, seperti sedang terjadi "dialegtica", tapi sayang si kakek itu melarang dan meminta untuk dirahasiakan hasil kontak bathinnya.

"Biarlah yang rahasia tetaplah menjadi sebuah rahasia, terkadang ada baiknya juga, tidak semuanya kita harus tahu!!"

#RepostStatusFbNardiWijaya
#berandaweka #arusbawah
WEKA NGAWI 27 JULI 2016
https://youtu.be/hn-gOwboB-E

Tidak ada komentar:

Posting Komentar