Minggu, 06 Januari 2019

Belajar Mengamati Alam

Study Nyawang Khahanan versi Wong Bakulan.

"Kegelisahan diri terus mencari, mengali, sinau mencari tau bagaimana leluhur nenek moyang masalampau menipu anak cucu masa kini!!"

Candi sebagai peribadatan yang suci sudah bergeser jadi ajang tempat selfie? Apa ada yang salah dari leluhur membangun candi? Atau kita sebagai generasi sangat tau diri? Atau masih ada peduli? Semua pertanyaan itu masih terus menghantui terus setiap hari?

Bonus akhir tahun ini berbeda dg tahun sebelumnya yg biasanya cm menghabiskan waktu dirumah, fokus pada rutinitas yg bs dikerjakan dg semangat dan totalitas.

Duakali sy sempat ke Jogja, pertama tgl 22 ke Borobudur dan tgl 25 ke Prambanan. Meski tujuan primernya dolakne anak, tapi sangat sayang sekali jika waktu luang gak di manfaatkan untuk mengamati dan mempelajari semua peristiwa yg terjadi dlm perjalanan.

Soalnya moment seperti ini sangat mahal, belum tentu tiap hari bisa saya dapatkan. Maklum sebagai wong bakulan, waktu sudah sibuk tersita untuk ngladeni pelanggan.

Banyak sekali perubahan, pergeseran pola entah itu dibidang usaha ataupun pariwisata.
Fokus kita tetaplah kunci utama untuk langkah kedepan dalam menyikapi era perubahan.

Mereka semua sibuk bebenah, mereka sibuk terus membangun, mereka terus2an menata evaluasi untuk perbaikan, pembaharuan tempat lokasi, kenyamanan, rehap beberapa titik lokasi yg kurang nyaman dan menarik terus ditambahi dan diperbaiki.

Semua itu dilakukan dengan kesadaran karna hubunganya dengan semesta, dengan alam harmoni simbiosis mutualisme otomatis akan terjadi dinamis, pantharei, natur alami tak akan bisa terbendung mengundang serta menjaring semua orang untuk berbondong2 berdatangan.

Sedang yang kita lakukan selama ini apa?

Sebagai petani, peternak, pelayan, pekerja kuli buruh pabrik, tki diluar negri, pegawai atau sebagai wong bakulan seperti saya?

Berfikirpun masih destruktif, pasif reaktif pada hal yg tak ada hubunganya dg keseharian. Sibuk terus meprasangkai sesuatu yg tidak dikuasai sehingga menghilangkan pressisi pada bidang yg dikuasai sehari-hari.

Meskipun begitu hidup dengan percepatan kemajuan ini semakin kimpetitif dan wariabel konpleknya, tanpa mengurangi dan menghargai proses hidup yg sudah berjalan ini mesti terus ditingkatkan. Memang iya, betul "Gusti ora sare", terapi realitas, aplikasi hidup mesti jelas, terstruktur alami, menyesuaikan diri.

Seminggu sudah tahun baru berlalu, tak ada gunanya terus menunggu. Mari di bangun lagi kesadaran, dihidupkan kembali semangat kreatifitas perubahan dari sikap, cara berfikir, ritme tempo membagi waktu pekerjaan yg sudah ada untuk mencari celah serta peluang baru yg mestakung.

Terbukanya momentum, waktunya dan kesempatan yg tidak berbenturan dengan semua aktifitas yangg sudah berjalan selama ini, karna kebutuhan hidup makin kesini makin terus bertambah tak bisa ketahan.

Jaman saiki semua serba di uangkan, tak adalagi kepedulian, bukan menambah cukup kebutuhan tapi malah semakin kedodoran.

Beda dengan jamane mBah2e buyut dahulu, semua terstruktur rapi, termanajemen dengan seimbang dgn alam, baik dari sisi mental ataupun wilayah kedalaman seni spiritual.

Kapan mesti diuangkan, yg mana meski misi sosial sudah terbentuk secara alami dan menjadi naluri meski tak sekolah ke perguruan tinggi.

Semua kembali pada diri sendiri,
Tak ada paksaan sama sekali bg orang lain
Toh pada akhirnya kita sendiri yg menjalani.

Perubahan itu hanya bisa dimulai dari kesadaran, dari diri kita sendiri.

Kegelisahan wong bakul jaman saiki, ini cuma kurang gawean, sok yess doang, karena ingin kembali pada sesuatu yg alami, kesadaran nurani dari dalam hati fitroh seorang abdi, itu aslinya bagai ngimpi ditengah siang hari.

Nardi Wijaya "WEKA EXPRESS" 9 Jan 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar