Senin, 11 November 2019

JM Nuswantara

JM menurut saya, akhir2 ini ;

1. Saya mau mengajukan pertanyaan dulu, jika Indonesia mengalami turbulensi, apakah di JM juga mengalami turbulensi?

2. Kebanyakan kita mungkin akan menjawab tidak, sedikit ada yg diam2 menjawab iya, sambil malu2. Padahal mengapa harus malu, turbulensi itu hanya peristiwa. 

3. Turbulensi yg terjadi pada JM, berbeda dengan turbulensi yg terjadi di Indonesia.

4. Turbulensi di Indonesia, muaranya dari globalisme, sebab Indonesia itu bukan negara yg betul2 utuh, sendiri. Indonesia itu cuma organ, dr pentas drama dunia. Ada sutradaranya. Di Indonesia sendiri ada sutradanya sendiri. Sutradara di bawah sutradara. Sementara yg dipajang itu cuma semacam vas bunga saja. Sedang di JM tak serumit itu. Turbulensi di JM hanya perkara pejal dan kenyal saja

5. Jadi sebenarnya istilah turbulensi pada JM kurang pas, namun ada gejala yg hampir sama. Mungkin istilah yg pas, turbulensi minor. Meminjam istilah 'bedah kecil', jadi intinya, tidak gawat, tidak separah Indonesia yg mengalami turbulensi yg dashyat.

6. Puncak sakit itu nir-rasa, sama dgn Indonesia saat ini, terlebih sudah tak ada lagi pembelahan, tak ada oposan, tak ada versus. Semua sudah duduk bareng, makan bareng. Semua kenyang. Kecuali yg kelaparan, akan makin tak diurus.

7. JM termasuk koloni yg tdk diurus, tp hebatnya malah mampu mengurus dirinya sendiri. Kecuali yg tdk menyerap ilmu manajemen JM. Sebab ada juga orang2 JM yg mengalami dismanajemen. Ini wajar, dimanapun banyak yg mengalami dis macam ini.

8. Orang2 JM yg mengalami dismanajemen, mungkin selama ini terjebak pada euforia. Tapi saya sih yakin, cuma perkara waktu. Mereka pada akhirnya mampu menyadari tikungan tajam ini. 

9. Kok bisa orang JM mengalami euforia, pada apa? Oke, saya salah istilah lagi, lebih tepatnya over rasa syukur. 

10  Identitas di dalam JM itu cair, beda dengan NU, Muhammadiyah, LDII atau HTI, dsj - yg lebih memejal, karena lebih homogen. Karenanya, tak bisa menyamakan JM. Sebab tidak apple to apple.

Kecairan ini bisa jadi krn dobel identitas, atau nir-identitas mulanya, dulu, ketika belum dinamakan. Sebab penamaan itu pasti berujung pada kepejalan. Paradoksnya, JM tetap menginginkan tanpa bentuk. Hal ini mjd salah satu poin turbulensi minor, melengkapi bbrp hal yg kita bahas pada tulisan kemaren.

Mengapa kita perlu mapping spt ini? 

Agar kita tdk over ekspektasi, dan tdk tuna koordinat dalam membaca dan menentukan arah. 

Ini penting, saat kita berlayar, dalam menentukan arah, untunglah perahu JM, tidak sama dengan bangsa ini yg perahunya sudah retak.

Perahu JM masih baru, masih kuat, lihai dalam menerjang badai dan ombak....

11. Sebenarnya yg mengalami turbulensi minor ini adalah orang2 yg mengalami nir koordinat di dalam JM. Mrk ini jumlahnya tidak banyak, paling cuma 5%. Tp mereka pegang handphone, sama dengan kita. 

Dan itu agak blunder, ketika berhadapan dgn riak2 kecil, yg kemaren sempat rame diseputaran pilpres.

12. Blunder kecil yg terjadi pada 5% kelompok nir koordinat itu saya perhatikan kemaren tak terkoordinasi. Sama dgn karakter netizen umumnya, lepas.

Namun krn visi dalam JM masih sama, untunglah berakhir aman. 

Sebab di tubuh JM tak ada kepentingan politik praktis, tdk mengincar kekuasaan, dan ini mjd modal penting JM. 

Kenetralan JM, sampai kapanpun hrs dijaga. Agar tdk menjadi pendorong mobil mogok, yg bolak balik kena php, istilah lebih lembut utk pengganti kata yg lebih vulgar.

13. Altruisme pada JM sangat mengakar, saya salut, terutama pada individu2 untuk masyarakat sekitarnya. Namun yg saya heran, semangat altruisme ini cenderung tidak maksimal ketika para JM bersinergi. Saya belum menemukan semangat altruisme yg menggumpal, kecuali pada kepanitiaan acara2 pada banyak tempat yg sudah lama bisa berjalan. Namun hal ini saja sudah cukup buat angkat topi.

14. Mungkin memang tak bisa menggumpal, karena pribadi2 JM itu unik. Tak bisa diseragamkan, heterogen, dinamis sbg pengganti istilah fluktuatif.

15. Untuk nomor ini sengaja saya intermezo. Jika ada pertanyaan mengapa saya menggunakan "cara ungkap" yg tidak selazimnya? Alasannya, biar yg 5% mengalami turbulensi minor itu tdk tau apa yg saya tulis. 

16.

Dulu JM itu adalah subkultur. Namun sekarang, berevolusi menjadi kelas. JM mulai pelan2 meninggalkan ciri khas subkulturnya.

17. Di sini saya melihat, masih banyak yg beromantisme pada subkultur, terutama JM2 lawas. Tidak mudah memang melewati transisi dari subkultur menjadi kelas.

18. Perubahan dari subkultur menjadi kelas ini tak mudah dilewati. Bahkan sekelas NU sekali pun agak kerepotan juga. Tahun2 politik ini, NU juga mengalami transisi apik ini.

19. Tak ada yg salah dengan perubahan, bahkan wajib, sebagaimana perbedaan, perubahan itu keniscayaan langsung dari Tuhan.

#CatatanYangTerserak
#CatatanSebuahProses

\M/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar