Pak Tukirin
SANGGAR ANAK ALAM •
25 November 2017 Sanggar Anak Alam
“Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar…di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga, serta antara penjajah dan terjajah.” (Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, Jilid I)
Indonesia Visual Art Archive
Petani merupakan soko guru kehidupan. Tanpa petani seorang presiden sekalipun tidak dapat hidup. Karena semua makanan yang tersaji di meja makan seperti nasi, sayur, tempe, tahu, sampai singkong semua berawal dari keringat petani. Petani merupakan manusia-manusia mulia yang hidup di muka bumi ini. Satu sisi ia bisa hidup mandiri, sisi lain dia juga menghidupi orang lain dengan hasil pertaniannya.
Namun demikian, kematian Salim Kancil seorang petani dari Lumajang, tersingkirnya petani Urutsewu, Kendeng, Batang dari tanahnya, dll, memberikan isyarat bagi kita bahwa nasib petani kini terancam nasib dan kesejahteraannya. Belum lagi kasus di Kulon Progo, Kendal, Demak, Banyuwangi, dan ratusan tempat lainnya di Indonesia membuat hati kita semakin pilu. Petani adalah produsen pangan, namun merupakan kelompok termiskin di Indonesia, tanpa perlindungan ekonomi dan sosial yang memadahi. Lalu di mana berada penghormatan kepada petani?.
Sudah jelas nasib petani sangat kontras dengan jasanya menghidupi negeri. Sejak era konolial sampai reformasi petani selalu dirundung duka. Masa penjajahan Belanda yang panjang dan sangat melelahkan telah membuat petani menjadi profesi yang dijauhi orang. Padahal penjajah dan pembesar pribumi sekalipun hidup dan bisa makan dari petani. Narasi menyedihkan petani era kolonial bermula saat VOC mengklaim atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja, dan pengumpulan pajak. Ini merupakan keberhasilan VOC dalam menancapkan panji-panji kolonialisme dan imperialisme di Hindia pada saat itu. Rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor dengan pemaksaan dan kekerasan. Harga diri rakyat tentu saja telah terinjak habis.
Pada masa Daendels (1800-1811) tanah di Jawa dibangun untuk Jalan Raya Pos (Grote Postweg). Jalan ini berfungsi untuk menghubungkan pedalaman dengan kota-kota, memperlancar pengiriman produksi dari pedesaan ke kota untuk kemudian dikapalkan ke negeri atas angin. Pembangunan jalan ini bukan untuk memberikan infratruktur bagi rakyat, namun untuk memperlancar distribusi pertanian kolonial. Pembangunan jalan 1.000 km itu memakan banyak korban jiwa, konon hingga 12.000 pekerja. Akibat lain, negara kolonial kekurangan uang untuk mendanai pembangunan itu, sehingga menjual tanah pesisir pantai utara kepada pihak partikelir (Lutfhi, 2010: 3). Semakin menipislah harapan rakyat untuk menggarap lahan secara berdaulat.
Ketika Raffles berkuasa pada 1811-1815, ia memberlakukan penguasaan tanah dengan teori domein, yaitu penguasaan tanah oleh negara. Akibatnya jika ada petani yang ingin menggarap tanah maka ia diharuskan untuk membayar sejumlah uang sebagai ongkos sewa kapada negara sebagai pemilik tanah, biaya ini sebagai pembayaran pajak atas tanah. Bisa kita bayangkan, tanah yang dulunya merupakan warisan nenek moyang para petani ditarik ongkos sewanya oleh pemerintahan Raffles.
Lain lagi pada masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel, 1830-1870), petani dipaksa menanam tanaman ekspor di sekian luas tanah mereka sendiri yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. Pemerintah kolonial berhasil untung besar pada saat itu, namun di pihak rakyat sepanjang 1830-1840 mengalami kelaparan parah, bukan karena kelangkaan beras namun akibat keserakahan dan permainan harga antara elite lokal dengan pedagang Cina. Pada 1844 terjadi gagal panen besar-besaran di Cirebon. Wabah penyakit tipus menyerang para petani dan rakyat kecil pada tahun 1846-1850. Sekitar 1849-1850 juga terjadi kelaparan di Jawa Tengah (Lutfhi, 2010: 5). Tanam Paksa telah memberikan kekayaan bagi Belanda, namun memberikan kesengsaraan bagi petani dan rakyat kecil.
Pada tahun 1870 mulai diberlakukan Agrarische Wet atau Undang-undang Agraria 1870 demi kepentingan kapital kolonial. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa semua tanah (termasuk yang di luar Jawa) yang tidak diklaim sebagai hak milik, (termasuk hutan) maka menjadi domain negara. Undang-undang ini secara nyata membuka pintu masuk bagi perusahaan-perusahaan swasta menguasai ratusan hektar tanah dan menciptakan kondisi bagi akumulasi kapital dengan cara merongrong kontrol masyarakat atas sumber produksi. Meskipun juga masyarakat pribumi memiliki kepastian kepemilikan atas tanah, namun kebijakan itu membuka peluang investasi modal asing di perkebunan swasta. Pada masa ini petani menerima panghasilan dari biaya sewa perusahaan atas tanah mereka, sekaligus menjual tenaga kerjanya sebagai tenaga buruh perkebunan. Pada periode ini petani untuk pertama kalinya berubah status menjadi buruh perkebunan atas tanah mereka sendiri.
Banyak aksi pemogokan kerja di perkebunan akibat pemerintah kolonial memberikan biaya sewa tanah yang rendah. Padahal sebelumnya represi banyak dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk memaksa para petani menyewakan tanahnya. Kondisi yang demikian ini membuat petani di Tegalgondo, Klaten, Surakarta, pada 1919 melakukan aksi mogok kerja. Dalam situasi ini ada juga orang yang bertindak bodoh. Para sultan di Pantai Timur Sumatera mengobral tanah dalam jumlah ratusan ribu hektar kepada perusahaan perkebunan besar di Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Para sultan tidak lagi mengingat rakyatnya yang kekurangan tanah. Situasi ini membuat konflik yang berkepanjangan karena hampir seluruh tanah dipergunakan untuk tanaman ekspor, sedangkan untuk makan harus ekspor dari Burma dan Siam.
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. UU Agraria 1870 diberhentikan praktiknya pada 1945 pasca proklamasi kemerdekaan. Rakyat sendiri menginginkan pembagian tanah secara rata atau landreform. Gayung bersambut, Presiden Soekarno menyadari betapa pentingnya nasib kaum tani sebagai moda revolusi sosial di Indoensia. Oleh sebab itu Presiden Soekarno membentuk tim agraria untuk merumuskan suatu undang-undang tentang agraria sehingga mampu menjembatani masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan bentuk konkret keberpihakan Presiden Soekarno terhadap nasib kaum tani di Indonesia. Ia sadar bahwa kedaulatan petani dipengaruhi kepemilikan atas tanah.
Nafas kegembiraan petani akibat landreform ternyata tidak berumur panjang. Akibat situasi politik yang panas saat itu meletuslah G30S membuat Soekarno lengser digantikan Soeharto dengan Orde Baru-nya. Meskipun UUPA 1960 masih berlaku, tetapi rezim Orde Baru yang tumbuh atas dasar modal multinasional menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) No.1 tahun 1967. Sejak saat itu, kedaulatan petani atas tanahnya tidak jelas juntrung rimbanya. Lambat laun UUPA dan landreform secara sitematis disingkirkan oleh rezim Orde Baru, paling tidak sejak 1967 dengan dikeluarkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) maka UUPA terkunci masuk dalam peti es.
Landreform yang semula merupakan agenda bangsa telah distigmaisasi sebagai produk PKI dan perlu diberhentikan. Akibatnya sejumlah tuan tanah mencoba mendapatkan tanahnya kembali. Mereka bahkan mendapatkan dukungan langsung dari militer dan otoritas lokal. Maka selama 1966 sampai 1967 sekitar 150.000 Ha tanah diperkirakan secara tidak sah jatuh ke tangan pemilik sebelumnya atau jatuh ke tangan orang ke tiga, dalam banyak kasus adalah militer. Juga banyak kasus tanah tetap tidak tergarap ditinggal terlantar setelah pemilik baru dibunuh.
Revolusi Hijau
Revolusi Hijau yang merupakan produk kapitalistik menjadi mercusuar bagi pemerintahan Orde Baru. mereka menggenjot produksi tanpa pembenahan terlebih dahulu ketimpangan penguasaan tanah. Praktik pertanian menggambarkan jiwa kapitalistik yang bermesraan dengan pemilik modal tanpa memperdulikan kondisi sosio-kultural di masyarakat. Dalam Revolusi Hijau benih padi unggulan diimpor dari Filipina dan pengucuran kredit untuk petani diserahkan kepada perusahaan asing. Mereka perusahaan asing menciptakan benih, pupuk, traktor, sampai virus demi keuntungan kapital.
Revolusi Hijau sebagai praktik pembangunan sepenuhnya menganut ideologi maskulinitas. Program yang berawal dari Amerika Serikat ini diperkenalkan ke Dunia Ketiga sebagai salah satu pelaksanaan teknis modernisasi. Revolusi hijau tidaklah sekedar model pertanian, melainkan strategi perubahan melawan paradigma tradisionalisme yang selaras dengan alam. Akibatnya, petani yang sudah beribu-ribu tahun memproduksi, menseleksi, menyimpan dan menanam kembali bibit mereka tergusur. Bibit menjadi barang dagangan dan hak milik swasta. Revolusi Hijau telah memindahkan kendali atas sumber daya tanaman dari tangan petani ke tangan perusahaan bibit multinasional dan badan penelitian raksasa seperti CIMMYT dan IRRI (Morgan dalam Faqih, 1997). Sehingga bukan soal kepemilikan tanah saja petani akan kehilangan kedaulatannya, namun agroindustri akibat Revolusi Hijau juga membuat petani kehilangan kedaulatannya atas bibit, pupuk, luku, dll.
Pada tahun 1973-1974 terjadi sengketa di Jawa dan Sumatera. Sengketa tersebut berawal dari penduduk desa yang tidak mempunyai pekerjaan dan tanah di desa, karena Revolusi Hijau dengan teknologi baru membuat mereka menganggur. Mereka mencari nafkah di hutan dan pada saat yang sama masuk perusahaan umum Perhutani Unit III Jawa Barat Banten yang mengelola kawasan. Pihak perhutani memungut berbagai macam pajak kepada penduduk yang memasuki wilayah hutan. Kasus ini cukup membuktikan bahwa petani yang seharusnya memiliki hak atas tanah sesuai dengan amanat UUPA 1960 telah dikhianati.
Berdirinya Orde Baru disesuaikan dengan dekte modal multinasional, akibatnya model pembangunannya penuh dengan saran dari lembaga multinasional tersebut. Seperti dalam kasus proyek Kedung Ombo, Bank Dunia memiliki peranan penting. Akibatnya pembangunan itu banyak menggusur ribuan petani dan puluhan desa. Padahal setelah Orde Baru tumbang waduk itu tidak lagi terurus dan lambat laun mengering. Ini meperlihatkan tanah tidak hanya menjadi komoditas, tetapi menjadi wilayah yang asing bagi penggarap dan petani. Pengetahuan lokal petani dicampakan, diganti dengan pengetahuan reproduksi kapital yang memperlakukan tanah dan air sebagai komoditas.
Bahkan sampai masa Reformasi sekalipun sebaran kasus agraria yang melibatkan jutaan petani di Indonesia tetaplah ada. Rincianya sebagai berikut: Pulau Sumatera terdapat 552 kasus; Jawa ada 991 kasus; Kalimantan 102 kasus; Sulawesi 149 kasus; Bali dan Nusa Tenggara 90 kasus; Maluku 6 kasus; dan Papua 28 kasus. Sedangkan kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian, TNI, maupun perusahaan terhadap petani yang terjadi dalam kurun 2005-2007 terdapat 9 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian ada 13 kasus kriminalisasi yang menimpa petani dari kurun waktu 2004-2010 (Sajogyo Institute, 2010). Belum lagi kasus-kasus yang belum tercatat seperti yang terjadi di Blora konflik antara petani dan Pihak Perhutani yang mengakibatkan puluhan petani meninggal dunia.
Ada juga kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani lantaran petani tidak menggunakan bibit yang sudah disediakan oleh perusahaan. Petani mencoba mengembangkan bibit yang mereka ciptakan sendiri sehingga membuat perusahaan naik pitam dengan alasan hak cipta. Seperti yang terjadi di Magetan pada tahun 2004-2007 terjadi kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. BISI terhadap petani di sana dan di Pekalongan dilakukan oleh PTPN IX. Inilah bentuk kedaulatan petani semakin terdegradasi dari tahun ke tahun meskipun bangsa Indonesia telah merdeka namun cengkraman modal yang mencekik petani belumlah lepas bahkan semakin kuat.
Ada juga kriminalisasi yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Di Kendal akibat konflik lahan tukar guling yang dilakukan oleh PT.Semen Indonesia kepada perhutani ternyata memakan tanah negara yang sudah sejak lama digarap oleh warga di Desa Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab. Kendal. Padahal tanah negara tidak boleh dijadikan tukar guling ataupun diperjualbelikan. Petani melawannya. Akibatnya Nur Aziz yang memimpin perlawanan petani terhadap perhutani dipanggil pihak kepolisian dan dikriminalisasi. Rumahnya sering didatangi intel dan warga sekitar mulai resah. Puncaknya ketika ratusan Brimob yang diterjunkan langsung untuk mengamankan prosesi penanaman pohon simbolik yang dilakukan oleh Perhutani, Pemerintah, Kab. Kendal dan PT. Semen Indonesia. Dalam pidatonya, Bupati Kendal memberikan analogi yang intinya rakyat Surokonto Wetan telah menyerobot tanah haram. Meskipun demikian warga tetap solid untuk bersolidaritas demi tanah yang sejak ratusan tahun digarap oleh nenek moyangnya dulu.
Belum lagi akhir-akhir ini banyak petani menyatakan berperang terhadap perusahaan semen yang akan mendirikan pabrik di wilayah pertanian aktif. Di Rembang ada PT. Semen Indonesia, di Pati ada PT. Sahabat Mulia Sakti (anak perusahaan Indocement), di Gombong ada PT. Semen Gombong, dan masih banyak lagi. Padahal pasokan semen di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami surplus, itu artinya mereka ingin menjangkau pangsa ekspor. Padahal rakyat membutuhkan pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Ini mengingatkan kita pada kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial yang membiarkan rakyat miskin kelaparan sedangkan pejabat kolonial mendapatkan untung dari ekspor produk-produk pertanian. Pemerintah yang seharusnya melindungi tanah produktif petani malah menjualnya kepada pemilik modal. Pemerintah lebih memilih pertambangan yang bersifat sementara dibandingkan dengan pertanian yang mampu menghidupi seluruh orang di dunia sejak jaman purba sampai sekarang.
Kematian Salim Kancil pada pertengahan 2015, pembangunan PLTU Batang, konflik penyerobotan lahan oleh TNI di Urutsewu, konflik Pabrik Semen, pembangunan bandara di Kulon Progo, Tembang pasir besi di Lumajang dan Banyuwangi, nasib ribuan petani Jambi yang long march ke Jakarta menuntut keadilan dan ratusan kasus-kasus agraria lainnya yang melibatkan petani sebagai korban telah menjadi bukti nyata bahwa nasib petani di Indonesia telah terdegradasi. Sudah saatnya revolusi agraria diberlakukan di Indonesia, tinggal menunggu kapan waktunya, yang pasti rakyat telah lelah dengan janji manis obralan para calon pemimpi(n) yang tak kunjung terealisasi. Seperti kata Tan Malaka “Indonesia adalah tanah emas” memiliki iklim, air, dan tekstur tanah yang sangat bagus untuk pertanian, namun mengapa nasib petani Indonesia sungguh merana?
Untuk Siapa Mereka Bertani?
Produksi tiga komoditi pangan menngisyaratkan adanya perbedaan pola produksi masing-masing komoditi, yakni: padi, jagung dan kedelai. Pada komoditi padi tampak kenaikan produksi diiringi kecenderungan luas panen yang sama. Dengan kata lain, perkembangan produksi padi relatif tak mengalami perubahan teknologi yang berarti.
Kebun Jagung Baityra.com
Berbeda dengan padi, pada perkembangan produksi jagung terlihat perubahan teknik yang sangat signifikan. Tahap pertama terjadi setelah tahun 2007 dimana kenaikan produksi diikuti kecenderungan luas panen yang lebih rendah dengan periode sebelumnya. Perubahan tahap kedua terjadi setelah tahun 2010. Kenaikan produksi relatif tidak diikuti dengan kecenderungan pertambahan luas panen. Begitu juga dengan komoditi kedelai, perubahan teknik yang berarti terjadi setelah tahun 2010.
Sepintas perubahan tersebut menunjukkan lonjakan produktifitas yang fantastis. Apakah hal ini berita gembira untuk swasembada pangan? Dari sisi produksi lonjakan produktifitas ini mencerminkan keberhasilan intensifikasi pertanian. Proses produksi menjadi tidak lapar lahan. Bagaimana fenomena produktifitas fantastis ini bisa terjadi pada komoditi jagung dan kedelai?
Pada tahun 2007 Undang-Undang Penanaman Modal baru disahkan, dan asing diperbolehkan melakukan investasi hingga 95 persen di sektor pertanian. Perusahaan multi nasional, seperti Monsanto, Cargill, BASF dan lainnya semakin mendapatkan peluang untuk menguasai pasar Indonesia. Menghadapi situasi tersebut Undang-Undang No. 13 tahun 2010 tentang Holtikultura kemudian disahkan dan investasi asing di sektor benih dibatasi maksimum 30%.
Tak puas dengan regulasi tersebut, uji materi oleh asosiasi perusahaan benih diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah menolak permohonan mereka dan berpendapat bahwa benih sebagai salah satu cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Ironisnya, sebelum mengakhiri masa Jabatan, Presiden SBY menerbitkan Perpres No. 39/2014 yang memperluas peluang dominasi investasi asing di sektor benih. Perpres ini mengatur bahwa kepemilikan modal asing maksimal 95 persen, untuk usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha dengan perizinan khusus.
Meski produktifitas meningkat, petani mulai bergantung pada benih tersebut. Para petani Indonesia yang umumnya berlahan terbatas dan tak terorganisir tetap menjadi korban di jaringan distribusi yang telah dikuasai oleh para tengkulak dan Industri pemanfaat hasil pertanian mereka dan kartel benih hybrida dan benih hasil rekayasa genetik. Kenaikan produktifitas tak bertahan lama menguntungkan petani, karena harga benih secara pasti merambat naik.
Kembalinya Rezim Tanam Paksa
Dominasi perusahaan multinasional dalam pasar benih telah menjadi sorotan dunia. Keuntungan mereka berlipat ganda meski di berbagai wilayah terjadi krisis pangan. Tak cukup sampai di situ, perilaku mereka juga kerap menuai kecaman. Monsanto misalnya, terkena sanksi oleh Pemerintah Amerika Serikat karena terbukti melakukan praktik suap terhadap pejabat pemerintah Indonesia dalam penanaman kapas transgenik pada tahun 1997-2003.
Di Indonesia, Monsanto dan Cargill telah bekerja sama dengan BRI untuk mempromosikan penggunaan bibit rekayasa genetik mereka ke para petani Indonesia. Kegiatan ini patut dipantau oleh publik, karena jika diperluas kekuatan mereka semakin tak terpatahkan. BRI sebagai bank milik negara yang telah memiliki sejarah panjang untuk melayani masyarakat akar rumput akan menjadi sumber pembiayaan yang sangat menguntungkan mereka.
Pada tahun 2010 beberapa Petani di Kediri terpaksa harus ditahan oleh Polisi atas dugaan melanggar perlindungan hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ini. Mereka berhasil memuliakan benih jagung yang mereka beli. Petani ditahan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Sistem Budaya Tanam (UU SBT) yang mensyarakatkan penjualan benih bersertifikat. Tak ada perlindungan dari Pemerintah terhadap para petani polos ini. Melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi, akhirnya pasal 5, 6, 9 dan 12 pada UU SBT dibatalkan karena dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.
Pengalaman yang mirip pada tahun 1999 pernah dialami oleh Vernon Hugh Bowman, petani kedelai berusia 78 tahun di Indiana Amerika Serikat. Bowman dituntut membayar ganti rugi USD 85.000 kepada Monsanto karena menggunakan benih generasi kedua dari benih milik Monsanto yang dimodifikasi secara genetik. Monsanto mengembangkan benih terminator, yakni benih yang hanya bisa ditanam satu kali agar petani tak dapat menyimpan dan menggunakan untuk penanaman berikutnya.
Kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional yang dilindungi oleh rezim hak cipta dan terkadang didukung oleh institusi pembiayaan lokal telah memerangkap petani ke dalam rezim tanam paksa baru. Tulisan ini hanya bermaksud untuk mengingatkan kembali mengenai kritik yang juga sudah diungkapkan oleh banyak pihak. Jika kita tak melakukan perubahan kebijakan secara fundamental, rezim pengusung kedaulatan pangan sesungguhnya tengah memelihara kelangsungan transformasi politik imperatif tanam paksa era pemerintahan kolonial melalui kekuatan modal dan penguasa pasar. Swasembada pangan boleh jadi tercapai, tapi tanpa kedaulatan petani.
Pak Tukirin
Kisah ini ini mengingatkan peristiwa pada tahun sekitar 2000-an, betapapun peristiwa ini sudah dianggap selesai—namun peristiwa ini cukup penting—dapat menjadi pelajaran kita semua. Betapapun urusan mengkoyak-koyak kedaulatan petani masih terus berlanjut bahkan hingga detik ini. Peristiwa Pak Tukirin merupaklan contoh nyata—catatan peringatan worning bahwa nasib petani masih terancam dari zaman ke zaman, dari rezim ke rezim.
Persoalan Pak Tukirin Karena Jagung
etika ia sedang sholat Jumat, tiba-tiba istrinya ibu Aminah datang menjemputnya ke masjid mengatakan ada polisi dan dua orang dari PT BISI sedang mencarinya. Padahal Pak Tukirin seumur hidupnya tak pernah berurusan dengan aparat hukum. Maka rasa khawatir semakin menambah ketakutannya
Saat ia masuk rumah ia mendapati orang-orang tersebut, bersama dua batang tanaman jagung jantan dan betina yang telah diambil dari ladangnya sebagai barang bukti.
Segera tahu masalahnya, bahwa Pak Tukirin dituduh mencuri induk benih yang berasal dari PT BISI. Pak Tukirin jelas membela diri, karena memang sama sekali tidak merasa mencuri apapun dari PT BISI. Bahkan, ia tidak tahu di mana sebenarnya pabrik PT BISI berada. Namun sangkalannya sia-sia.
Pak Tukirin mulai bercerita; antara tahun 1994-1998 berawal dari kerja sama PT BISI dengan Pemda Nganjuk dalam bidang pembenihan yang melibatkan para petani.
Pak Tukirin merupakan salah satu anggota pembenih yang dibimbing oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) namanya Pak Suryadi. Bahkan Pak Tukirin meraih prestasi nomor dua terbaik dalam pembuatan benih.
PPL mengajarkan kepada para petani bagaimana cara membuat benih. Seluruh benih hasil panen kemudian diserahkan kepada PT BISI, untuk kemudian dijual.
Setelah empat tahun proyek berakhir. Disebutkan oleh para petani, PT BISI sama sekali tidak ada perjanjian hitam di atas putih.
Setiap penyetoran benih, PT BISI tidak mau menerima hasil yang jelek, maka jagung yang tidak diterima tersebut kemudian disimpan oleh pak Tukirin.
Pak Tukirin memiliki lahan setengah hektar. Setahun mengalami tiga kali musim tanam. Memerlukan 10 kg benih, harga benih produksi PT BISI per kg antara Rp 26.000,00 – Rp 30.000,
Harga jual jagung kering yang terbaik maksimal Rp 1.200,- bahkan cukup sulit untuk mencapai harga itu. Di musim kemarau menghasilkan tiga ton, Di musim penghujan hasil kurang dari tiga ton.
Berapa keuntungan pak Tukirin jika setiap kali masa tanam harus membeli benih. Belum termasuk biaya pembelian pupuk + dll, bahkan tenaga tak pernah dihitung.
Keberhasilan pak Tukirin membuat benih sendiri itu disambut gembira oleh rekan-rekanya.
Bersama rekan-rekannya sesama petani di dusunnya bisa menghemat sampai Rp 20.000,00 per kg benih.
Entah bagaimana, PT BISI tiba-tiba tahu tentang hal ini dan kemudian mengadukan pak Tukirin ke pengadilan.
Tuduhan yang diajukan adalah sertifikasi benih secara illegal. Dikenakan Pasal 61 (1) “b” junto pasal 14 (1) UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Pak Tuikirin juga tidak pernah paham dengan Undang-undang yang dikenakan untuk menghukumnya, Pak Tukirin sangat tak paham, sesungguhnya pemerintah ini memihak pada apa dan pada siapa …..
Belajar dari kasus Pak Tukirin, dimanakah letak kedaulatan petani pada era sekarang ini? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar