"Setiap kata bukan cuma sebuah 'Pustaka' akan tetapi setiap kata juga bisa menjadi sebuah 'Pusaka/senjata'. Maka berhati-hatilah, jika salah dalam memaknainya bisa juga melukai pemiliknya"
Rabu, 06 Mei 2020
Minggu, 03 Mei 2020
seri Corona 70
Warahmatullahi Wa’adzabuh
(Corona, 70) Emha Ainun Nadjib
Sekitar dua dekade terakhir ini kita mengeluh semakin banyak rahmat Allah yang menjadi adzab dalam kehidupan kita, meskipun memang demikian salah satu kemungkinan yang muncul dari malpraktik peradaban ummat manusia.
Gula dan rasa manis adalah konsumsi sehari-hari sejak berabad-abad silam, yang membuat minuman jadi enak dan membangun energi fisik. Bahkan Yogya semua makanan serba manis, termasuk gudeg. Tapi sudah cukup lama bertahun-tahun belakangan ini gula menjadi ancaman. Bahkan menjadi nama jenis sakit: sakit gula. Bersamaan dengan itu kita adalah bangsa pemakan nasi. Dulu waktu kanak-kanak saya tantang-tantangan untuk “gelut” atau berantem, kalimatnya “Ayo, podo-podo mangan segone, anggitmu gak wani ta aku…”
Sekarang makan nasi juga sampai batas ukuran tertentu menyebabkan sakit gula. Untung ada tradisi budaya penangkalnya secara tradisional: “poso”, “poso mutih”, atau berbagai jenis “tirakat”. Garam juga bikin darah tinggi. Konsumsi-konsumsi pokok manusia yang merupakan pengawal peradaban berabad-abad, sekarang menjadi ancaman.
Rokok kretek ditemukan untuk keperluan pengobatan, sekarang menjadi barang yang paling dikutuk dan dilarang. Akhirnya tak hanya gula, nasi, garam, rokok, sekarang yang baik-baik menjadi buruk, bahkan yang wajib-wajib menjadi haram. Belajar di kelas, jual-beli di warung, pengajian, kebaktian di Gereja, Jumatan,Taraweh bersama, Shalat Ied, bahkan silaturahmi, bersalaman tangan menjadi syubhat dan bahaya sehingga berposisi haram.
Sampai entah berapa lama, semua yang dulu merupakan rahmat dan kenikmatan, sekarang menjadi bala`, “tahdid” (ancaman) atau mushibah atau bahkan juga bisa dimaknai sebagai adzab. “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (An-Nahl). Manusia mendhalimi dirinya sendiri. Dan kalau Allah membiarkan semua atau sebagian manusia atau tidak melindunginya dari peradaban pendhaliman atas diri sendiri, apakah logikanya itu bukan adzab.
Mestinya sistem sosial, ideologi, negara, kebudayaan dan peradaban adalah proses transformasi mengubah “warahmatullah” menjadi “wabarakatuh.” Mengaplikasikan rahmat menjadi wujud berkah. Sekarang dunia memasuki situasi darurat di mana rahmat Allah menjadi “wa’adzabuh.” Semua karena ulah manusia sendiri.
“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud).
Oleh karena itu salah satu tema pembelajaran terpenting Sinau Bareng Jamaah Maiyah adalah kehati-hatian dan kewaspadaan yang sangat ketat terhadap ilmu atau kepandaian, kekuasaan atau kehebatan, kesaktian atau keampuhan diri — agar jangan sampai menjadi “sesembahan” hidup kita, sebagaimana para ilmuwan akademisi meyakini parameter ilmiah akademis adalah satu-satunya kebenaran, sebagaimana para penguasa yang percaya bahwa mereka benar-benar berkuasa. Jamaah Maiyah selalu memperbaharui kesadaran tentang ilmu paling mendasar dalam kehidupan: “la haula wa la quwwata illa billah”, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Dunia modern dan pelaku peradaban paling mutakhir sudah sangat terang-benderang terpeleset oleh pengetahuan yang licin itu dengan tradisi mungguh dan takabburnya.
Sekarang seluruh ilmuwan dunia didera situasi kelabakan oleh Covid-19. Dan yakinlah bahwa hampir tak ada satu pun di antara mereka yang kembali ke kesadaran dasar “la haula wa la quwwata illa billah”, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” itu. Di Lab-lab canggih dan mahal para ilmuwan sibuk ber-ijtihad dan ber-tajribah untuk mencari vaksin Corona. Ada ikhitiar mRNA-1273 dari Moderna, Ad5-nCoV dari CanSino Biologics, ChAdOx1 dari University of Oxford, BNT162 dari Pfizer dan BioNTech, INO-4800 dari Inovio Pharmaceuicals, Vaksin dari Novavax, Vaksin dari CureVac, Ii-Key peptide COVID-19 dari Generex Biotechnology, Oral recombinant COVID-19 vaccine dari Vaxart, Self-amplifying RNA vaccine dari Imperial College London, Plant-based COVID-19 vaccine dari Medicago, DNA-based vaccine for COVID-19 dari Takis Biotech, Vaksin dari Johnson & Johnson dan BARDA, Intranasal COVID-19 vaccine dari Altimmune. Para ilmuwan di mana saja, Amerika Serikat, China sendiri, Rusia, Australia, Inggris, bahkan di Kotegede.
Itu pun masih harus dibingkai oleh administrasi kekuasaan untuk menetapkan legal tidaknya sebuah hasil penelitian, masih “benere dewe”. Seorang Dokter mengatakan kepada saya, “dalam keadaan darurat seperti ini segala jenis penelitian yang berniat baik dan apalagi menghasilkan efektivitas penyembuhan bagi pasien Covid-19 mestinya diizinkan dan dibuka lebar”. Sebagaimana orang melakukan shalat, yang mengesahkan shalatnya biar Allah dan realitas hidupnya, bukan administrasi ulama, madzhab dan aliran kekuasaan atas suatu ilmu dan perilaku.
Tetapi batas akal sehat peradaban manusia belum sanggup membuka pintu itu. Mereka harus pegang ketat dan penuh disiplin batas yang mereka temukan, ketahui dan pahami. Sama dengan dokter atau rumah sakit tidak boleh membeli PCR sendiri, kecuali siap ditangkap karena melakukan sesuatu yang ilegal inkonstitusional. Besok-besok Malaikat Izrail harus punya SPN (Serfitikat Pencabutan Nyawa) warganegara dari Pemerintah Pusat. Tidak kebetulan Wakil Presiden kita diambilkan dari tokoh Ulama bahkan mantan Ketua MUI, sebenarnya itu diperlukan untuk menyusun teks sertifikasi untuk Malaikat Izrail. Kalau tidak, Izrail ditangkap POLSEK, POLRES atau POLDA bahkan MABES POLRI sekalian kalau diperlukan. Jadi siapa saja yang sewaktu-waktu didatangi oleh Malaikat Izrail, jangan mau dulu diambil nyawamu sebelum kau minta dari Malaikat Izrail lembar SPN-nya dari Pemerintah Pusat.
Memang kecenderungan manusia sangat tinggi untuk menjadikan dirinya sendiri, termasuk ilmu, pengetahuan dan kekuasaannya sebagai sesembahan yang dituhankan. Kita pikir dulu Fir’aun menuhankan dirinya sendiri memberi pelajaran bahwa kekuasaan itu berbahaya bagi manusia, “tend to corrupt”, berkuasa bisa menyebabkan ia melakukan korupsi. Tidak terbatas hanya pada maling uang dan anggaran. Tapi ternyata juga bisa korupsi ilmu, pengetahuan dengan legacy-nya. Kekuasaan dikorupsi menjadi penuhanan. Ternyata faktanya sekarang tidak hanya kekuasan, tapi juga kepandaian, kehebatan, bahkan kemasyhuran. Makanya Sinau Bareng Jamaah Maiyah selalu mengasah ingatan bahwa semua itu — kekuasaan, kepandaian, kehebatan, keterkenalan dll — tidak laku di hadapan Allah Swt. Balik ke “la haula wa la quwwata illa billah”.
Kembali ke “bahtsul ‘ilmi”, pencarian ilmu, “taharrul ‘irfan”, penelitian, pelacakan pengetahuan, “tajribah”, percobaan, atau secara keseluruhan kita sebut “ijtihad”, perjuangan akal pikiran, menurut Dokter yang saya sebut di atas, NKRI hanya punya tiga (3) Laboratorium yang memenuhi syarat untuk mekanisme penelitian Vaksin Corona. Tidak mungkin seorang dokter ilmuwan melakukan penelitian sendiri tanpa ada Lab yang memenuhi syarat. Meskipun ada etos kerja dan semangat meneliti yang mencukupi dari para Ulul Abshar kita, tetapi tidak ada “habitat” untuk melakukannya. Kalau para penderita trauma Corona, baik yang terjangkit atau belum atau tidak, memerlukan pengetahuan agak pasti tentang vaksin itu, paling cepat menunggu sampai September 2020.
Untuk Jamaah Maiyah, sambil menunggu para pejuang ilmu menghasilkannya, sementara saya sarankan memperbanyak rengeng-rengeng tembang “Turi-turi Putih”. Memperlakukan informasi dari Sunan Giri itu tidak hanya secara estetik, tapi juga menelusurinya sebagai pengetahuan dan ilmu. Maupun juga sebagai “hidayah” pada posisi “min haitsu la yahtasib”. Atau minimal memperbanyak makan pecel yang ada kembang Turinya, atau menjadikannya lalapan sehari-hari.
Tolong jangan terpengaruh oleh tafsir baku selama berabad-abad bahwa “putih” adalah kain kafan. Itu hak tafsir. Puncak kesadaran kehidupan adalah kematian. Tetapi kematian adalah kehidupan. *****
[Baca selengkapnya — https://bit.ly/3eD3bJC]
seri Corona 71
AMANAT PENDERITAAN CORONA
(Corona71) Oleh: Emha Ainun Nadjib
Mungkinkah ada orang (manusia) yang bukan dokter atau iImuwan modern yang bisa menyembuhkan orang dari sakit Covid-19? Mungkinkah, entah tabib, entah dukun, entah tukang pijat, entah ahli herbal, entah “wong pinter” atau “wong tuwa”, tapi bukan dokter atau profesional modern yang bisa menyembuhkan pasien Corona? Andaikan mungkin, bagaimana prosedur untuk mengakui bahwa seseorang yang bukan dokter atau ilmuwan modern bisa menyembuhkan orang yang terjangkit SARS-Cov-2 atau virus dan penyakit apapun?
Siapa yang berhak mengakui, mengatakan dan menyatakan bahwa seseorang itu bisa mengantarkan orang sakit menjadi orang sembuh? Siapa pula yang berhak mengesahkan bahwa seseorang itu sudah sembuh atau masih sakit? Apakah engkau sudah sembuh kalau dokter mengatakan engkau belum sembuh? Siapakah di muka bumi, di abad 20-21 ini yang berkuasa atas sehat, sakit dan sembuh? Siapa atau institusi kekuasaan apa yang berhak menerbitkan Surat Keterangan Sakit atau Sembuh?
Dulu di zaman Kalingga, Ratu Saba, Kediri, Majapahit bahkan Mataram Islam, kalau ada penduduk sakit, ke mana dia berobat? Bangsa Jawa dan bangsa-bangsa lain di Nusantara tidak punya sejarah tentang penanganan kesehatan dan pengobatan orang sakit. Arya Penangsang yang ususnya ambrol oleh kerisnya sendiri karena Gagak Rimang kudanya yang tak terkendali karena bernafsu kepada kuda yang dinaiki oleh Raden Sutawijaya, tidak tertolong karena belum ada dokter bedah di Jipang atau Pajang ketika itu.
Baru ketika ada dokter orang Jawa dr. Mas Asmaoen di dekade akhir kolonialisme Belanda di Indonesia, orang sakit punya kemungkinan untuk dirawat dan diobati. Itu pun dr. Asmaoen praktiknya di Belanda, sesudah di Jerman, sehingga orang sakit di Pulau Jawa tidak bisa menemukan tempat praktiknya. dr. Marie Thomas, Dokter pertama bangsa Indonesia juga pernah ke Jakarta hanya mampir. Jadi penduduk Nusantara relatif baru mengenal pengalaman pengobatan pada tahun-tahun menjelang Kemerdekaan 1945.
Sungguh menderita suatu bangsa yang berabad-abad hidup dengan ratusan Raja berganti-ganti, tidak pernah mengalami pengobatan. Karena yang sekarang kita sebut pengobatan haruslah dokter pelakunya.
Atau tatkala Rasulullah Muhammad Saw mengalami demam panas luar biasa yang orang lain insyaAllah tak akan bertahan hidup gara-gara oleh seorang Ibu-ibu Yahudi disuguhi makanan kaki kambing depan kiri yang sudah dibubuhi racun – ke dokter siapa Kanjeng Nabi berobat? Meskipun Ibnu Sina atau Avicena dikenal sebagai cikal bakal Ilmu Kedokteran, tetapi kalau memakai mindset sakit-sehat sekarang ini, Ummat Islam juga selama berabad-abad tidak pernah mengalami pengobatan, meskipun mungkin mengalami kesembuhan.
Profesi “Dukun” atau “Tabib” saat-saat ini adalah pelaku sosial yang sangat direndahkan martabatnya. “Dukun” adalah kosakata kutukan dan ejekan yang luar biasa merendahkan. Kasusnya bukan hanya kompetisi antar pekerja pengobatan yang secara mutlak dimenangkan oleh Dokter dan Ilmu Kedokteran. Kalau diteliti dan digali, ini juga kasus kekuasaan, politik ilmu, politik perekonomian, salah satu sisi kapitalisme modern, bahkan ini juga kasus teologi atau kasus Tauhid.
Kalau dalam sejarah Islam ada persaingan atau percaturan antar madzhab atau aliran penafsiran atas khasanah akar Islam yakni Al-Qur`an dan Hadits, maka dengan kasus terminologis yang sama sesungguhnya ilmu kedokteran modern adalah sebuah fiqih madzhab yang berkuasa mutlak di zaman modern. Tidak semua masyarakat dikuasai oleh fiqih madzhab modern ini, tetapi secara resmi masyarakat tidak akan pernah mengakui fiqih madzhab yang lain.
Saya selama berinteraksi dengan masyarakat, khususnya Jamaah Maiyah, sering diperlakukan sebagai semacam “Dukun”. Tetapi itu peristiwa budaya dan personal. Kalau diminta menandatangani Surat Resmi untuk mengakui saya sebagai “Pengobat”, insyaAllah tak akan ada seorang pun yang akan bersedia. Meskipun setiap malam di Maiyahan saya harus meniup (“Dukun Suwuk”) ratusan botol air, memeluk tubuhnya supaya ada transfer energi dan hidayah, menempeleng pipinya, mengethak (memukul dengan buku jari) kepalanya, atau meludahi mulutnya.
Dan saya juga tidak anti-dokter. Di Maiyah kita punya dokter-dokter mumpuni, bahkan tingkat internasional. Saya juga tidak pernah menolak diagnosis dan terapi mereka, demi silaturahmi dan penghormatan kepada niat baik dan hasil ijtihad ilmu mereka. Tahun 2003 saya diklaim hanya akan hidup paling lama 3,5 bulan lagi. Kemudian Allah mendadak menyembuhkan saya, dan teman-teman Dokter tidak mengingkari kesembuhan saya itu meskipun tidak ada penjelasan medis dari ilmu kedokteran mereka sampai hari ini.
Di luar itu, saya juga melihat bahwa teman-teman Dokter Modern itu sebenarnya di dalam diri mereka terdapat dimensi bahwa mereka juga “orang Indonesia” atau “Orang Jawa” atau “Orang Islam” serta dimensi-dimensi lain yang sebenarnya tidak kompatibel dengan dimensi “Dokter” mereka. Di dalam acara “Ijazah Maiyah I” yang diselenggarakan oleh Bangbang Wetan, seorang Dokter Maiyah yang menyerahkan kepada “Dukun” Delanggu berpidato: “Sesungguhnya beliau inilah pelaku mainstream pengobatan dan penyembuhan, sedangkan saya sebagai Dokter berposisi alternatif”.
Di Maiyah terdapat pola keluasan berpikir yang bisa “mendamaikan” potensi sentimen antara Ilmu Kesehatan Modern dengan yang tradisional. dr. Ade Hasman Bontang Kalimantan, aktivis IDI, pun menulis tantang hal-hal yang menyangkut “cara hidup sehat” saya, dengan sangat hati-hati dan bijaksana — karena harus melandasi isi bukunya itu dengan keluasan yang lembut dan kelembutan yang luas.
Tulisan ini juga tidak mengarahkan apapun untuk berpihak kepada yang mana. Kalau kita kembali ke deraan Covid-19 sekarang ini, yang justru sebaiknya dipaparkan adalah fiqih madzhab kedokteran itu pun cenderung diabaikan oleh langkah-langkah kekuasaan Pemerintah RI dalam menangani Covid-19. Jadi gampangannya, kekuasaan ilmu kedokteran modern di Indonesia kalah dari kekuasaan politik dan pamrih-pamrih ajaib para pejabat puncak NKRI. Sudah berkali-kali para dokter, secara personal maupun institusional mengeluhkan kenyataan bahwa Pemerintah RI kurang mempercayai para ahli di bidang yang mereka sedang tangani. Di tulisan sebelumnya sudah juga saya teruskan keluhan Dokter mengenai “politik PCR” dll.
Terakhir kita membaca uraian teman-teman Dokter:
“Lambannya proses pengujian sampel pasien oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan, masih menjadi persoalan serius yang dialami para dokter dan ahli biologi. Padahal proses itu bisa dipersingkat andai Kemenkes tidak mengeluarkan aturan berbelit pengujian sampel yang harusnya bisa keluar dalam waktu 1×24 jam.
Kelambanan ini juga diperparah dengan kapasitas pengujian dan uji sampel yang masih sangat terbatas. Imbasnya, para dokter di lapangan menanggung risiko karena mereka berada di garda terdepan penanganan wabah Covid-19. Kami mewawancarai para dokter dan ahli biologi untuk membedah problem penanganan Covid-19 di lapangan. Mereka mengeluhkan hal yang sama, yakni kurang efisiennya uji laboratorium yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Problem lain yang masih terjadi ialah minimnya transparansi data oleh pemerintah. Padahal, keterbukaan itu menjadi kunci para Dokter dan peneliti untuk bertindak mencegah penyebaran wabah.
Benarkah pemerintah benar-benar terbuka membuka data untuk mencegah penyebaran wabah virus Corona?”
Ini semacam bagian dari teks “Amanat Penderitaan Rakyat” karena Corona. Kita sebut gampangnya “Amanat Penderitaan Corona” saja, meskipun harus berpikir lipat, karena justru Corona sumber deritanya.
Sungguh malang nasib rakyat Indonesia. Mau bersikap seperti Shalawat Asyghil “Sibukkan orang dhalim dengan orang dhalim, ya Allah, keluarkan kami dari lingkungan mereka dengan selamat” — tidak bisa juga. Rakyat kena virus, kena dampak ekonomi, kena dampak kebosanan budaya, kena dampak disinformasi dari pihak yang berposisi bertanggung jawab kepada mereka.
Rakyat Indonesia mengalami bertubi-tubi tekanan, kebingungan, musibah, ketertindihan, keterjepitan, dan tetap saja tidak mau mendengarkan nasihat “hati-hati memilih pemimpin”. *****
[Baca selengkapnya — https://bit.ly/2VKbs5N]
seri Corona 72
NABI KOK NEMBANG JAWA
(Corona 72) Oleh: Emha Ainun Nadjib
Tembang Tolak Bala? Apakah ada dalam Islam Tembang Tolak Bala? Apakah Rasulullah Saw pernah mengajarkan Tembang Tolak Bala?
Tidak. Rasulullah tidak pernah mengajarkan dan mencontohkan racikan makanan pecel, rawon atau soto Betawi. Yang diajarkan oleh Rasulullah dari Allah adalah makan “halalan thayyiban”. Makan yang aman di dalam hukum Allah dan memproduksi kemashlahatan. “Kulu wasyrabu wala tusrifu”. Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
Rekomendasi “halalan thayyiban” itu kawin dengan “afala tatafakkarun”: tidakkah engkau menggunakan pikiranmu? Penggunaan pikiran berarti langkah pengolahan, pencarian dan kreativitas. Kreativitas kulinernya manusia Indonesia sudah sampai ke tempe dipenyet, es krim dibakar, ceker ayam dinikmati, jeroan ayam tidak dibuang sebagaimana di Amerika, Eropa dan Arab. Ijtihad “Afala ta’qilun” sudah sampai pada 26 jenis sambal, dari uleg sampai gandaria.
Soal “badogan” (konsumsi lidah dan perut) saja digulirkan oleh manusia sampai sejauh itu. Apalagi yang menyangkut kesehatan hidup mereka. Maka kaum Muslimin mengais-ngais apa saja yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya segala sesuatu yang kondusif dan produktif terhadap kesehatan hidupnya.
Hari-hari ini seluruh ummat Islam dan manusia di seluruh permukaan bumi sedang sangat membutuhkan kesehatan tubuhnya. Sedang njepiping amping-amping ngeri tersengggol oleh Covid-19. Kedokteran dan seluruh jajaran penguasa kehidupan di dunia mandeg pada adegan “Nabi Musa makan daun” dan habis-habisan meneliti “daun” apa yang bisa bikin Coronavirus kemleke`en, pingsan terus mati.
Untuk berlindung kepada Allah dari segala macam memala dan pageblug, kita cari, baca, dan wiridkan firman-firman-Nya yang berkaitan dengan ancaman yang mengepung kita. Jamaah Maiyah sudah punya sangu banyak soal itu.
Jamaah Maiyah sudah mengerti semua bahwa ketika Nabi Musa beserta rombongannya dikejar-kejar oleh pasukan Fir’aun, di tengah jalan beliau sakit perut. Tidak ada penjelasan detail di Bahasa Arab atau Inggris tentang yang diderita oleh Kanjeng Nabi Musa itu “mules” ataukah “sebah”, “suduken”, “mlilit”, dll. Bahkan antara “sakit”, “panas” dan “perih” saja cuma dibilang “hurt”, atau disebut sebabnya, “injured”, “ill”. Singkat kata Nabi Musa mengeluh kepada Allah dan Allah suruh Musa naik bukit, ada pohon ambil dan makan daunnya. Nabi Musa patuh. Baru mengunyah separuh daun, sakit perutnya sembuh. Nabi Musa turun gabung kembali ke gerombolannya.
Kemudian setelah jalan beberapa puluh langkah beliau sakit perut lagi, beliau langsung naik lagi ke bukit dan ambil daun. Tapi sampai sekian lembar daun beliau makan, perut tak sembuh-sembuh juga. Nabi Musa protes kepada Allah dan Allah menjawab: “Yang pertama tadi kamu mengeluh kepada-Ku, yang kedua kamu langsung naik bukit ambil daun dan kamu makan. Siapa yang bilang daun bisa menyembuhkan penyakit?”
Ini perempatan jalan peradaban modern yang sedang kita jalani. Siapa bilang vaksin apapun bisa menetralisir Coronavirus? Mungkin akan ada yang sembuh, dan itu artinya adalah peran “sunnatullah” yang diberlakukan sejak Allah Kun Fayakun bikin alam. Tetapi momentum kesembuhan tetap di tangan Allah, sehingga mengeluhnya Nabi Musa kepada Allah lebih mujarab dibanding peranan daun. Sekarang ini cari kata atau kalimat dari WHO atau semua pemerintah negara-negara di seluruh dunia yang mengeluhkan hal Covid-19 kepada Allah. Semua wacana mengenai Tuhan dan peranan-Nya bukan hanya tidak menjadi bagian dari agenda peperangan ummat manusia melawan virus Corona, bahkan mungkin diam-diam diperolok-olokkan, diejek, diremehkan, dianggap kuno, direndahkan. “Maka mereka ditimpa oleh akibat dari kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh azab yang selalu mereka perolok-olokan.” (An-Nahl).
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am). Mungkin ini penjelasannya kenapa Jamaah Maiyah itu ghuraba`, kaum yang terasing. Atau memang mengasingkan diri sebagaimana Allah menyuruh.
Masalahnya Jamaah Maiyah bisa terdampak, terkena, keserempet oleh kedhaliman di area di mana mereka bertempat tinggal. Sayang seribu kali sayang Allah hobi banget menunda adzab atau memberi tangguh waktu kepada manusia yang menyakiti hati-Nya. “Dan sesungguhnya telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu kemudian Aku binasakan mereka. Alangkah hebatnya siksaan-Ku itu!” (Ar-Ra’d).
Maka jamaah Maiyah ndridil mewiridkan firman-firman baku dari Allah Swt, contoh-contoh dari Rasulullah Saw, atau mengembara ke sabana-sabana ijtihad perkawinan antara “halalan thayyiban” dengan “afala tatafakkarun” itu. Sampai akhirnya di sebuah petak savanna zaman, berjumpa Kenjang Sunan Kalijaga sedang ura-ura nembang syair Tolak Bala:
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman
Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal
Jamaah Maiyah menghayati itu dengan konsentrasi melotot batinnya ke Coronavirus, sambil menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ada ustadz-ustadz modern yang akan memarahinya, mengecamnya, mengkritiknya, bahkan mungkin mengutuknya: bid’ah, musyrik, kafir…. Karena jelas-jelas Kanjeng Nabi Muhammad Saw tidak pernah mengajarkan kalimat-kalimat itu, apalagi lagu-lagu tembangnya. Mana mungkin Nabi Muhammad nembang Jawa. ****
[Baca selengkapnya — https://bit.ly/3czYfmP]
seri Corona 73
CUMLÈRÈT TIBA NYEMPLUNG
(Corona 73) Oleh: Emha Ainun Nadjib
Semua manusia di dunia saat-saat ini sangat bersatu, sangat kompak menderita mengurusi ikhtiar yang sama: bagaimana bisa secepatnya lolos dari derita Corona.
Seluruh penduduk dunia memfokuskan hatinya, pikiran dan tindakan perilakunya untuk menjawab pertanyaan yang sama: Covid-19.
Ibarat shalat berjamaah, ketika Iqamah atau tanda shalat segera didirikan, Imamnya belum datang. Pak Imam belum merasa bahwa “as-shalatu ‘ala waqtiha”, momentum untuk shalat sudah tiba. Sebaiknya segera berbaris dan memulai “takbiratul ihram”. Tetapi Pak Imam santai. Tatkala kemudian seharusnya shalat sudah memasuki raka’at kedua, baru Pak Imam nongol.
Maka kemudian shalat dilaksanakan dengan agak gugup-gugup. Sajadah untuk Pak Imam di tempat Imaman agak kurang mengakurasi ke 24,5 derajat condong dari barat ke utara. Banyak makmum di shaf-shaf depan juga sama santainya dengan Pak Imam. Sebagian yang lain sarungnya melorot. Bahkan ada yang kelupaan mengambil air wudlu.
Sekarang Jamaah sedang menjalani raka’at kedua, dan tak seorang pun tahu kapan tahiyat akhir di raka’at keempat akan terjadi. Jamaah Corona itu semua pelakunya, termasuk Imamnya, tidak punya pengetahuan tentang berapa lama shalat berjamaah mereka akan berlangsung.
Dan yang paling dahsyat dari Jamaah itu, juga jamaah-jamaah penderitaan di seluruh dunia, adalah bahwa tak seorang pun yang bertanya kepada Allah kapan kira-kira raka’at keempat nanti tiba pada “Assalamu’alaikum” menoleh ke kanan dan kiri. Semoga tidak ada perkara yang didesakkan di tengah shalat, misalnya nanti sehabis salam akhir jamaah boleh atau tidak bersalaman dengan saudara-saudara kiri kanannya.
Cara bersaudara, bentuk implementasi persaudaraan, budaya dan tata cara memelihara ukhuwah, tidak merupakan wilayah kreatif yang setiap orang bisa mengarang-ngarang sendiri. Semua secara detail harus meniru persis apa yang dulu dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau Rasulullah Saw tidak pernah bersalaman dengan jamaahnya sehabis shalat, ya para pengikut beliau tidak perlu mengarang-ngarang dan sok suci, sok akrab, sok arif dengan menginisiatifi budaya salaman sehabis salam terkahir shalatnya.
Alhamdulillah tema “kreativitas mu’amalah” seperti itu tidak muncul selama Corona mendera. Sekarang bahkan setiap orang hendaknya menghindari bersalaman dengan siapa saja, dan ini landasan empuk kenyal bagi Pak Ustadz untuk berfatwa “makanya jangan ngarang-ngarang salaman bakda shalat, sekarang Allah membuat kalian tidak berani salaman satu sama lain”.
Di raka’at kedua ini, jumlah penduduk Negeri kita yang terpapar Corona sebanyak 7.135, dari 260-an juta orang. Dibandingkan tetangga kita Kabupaten Singapura yang penduduknya hanya 6 juta lebih sedikit, kasus Coronanya mencapai 9.125. Aneh bin ajaib. Bayangkan prosentase keterpaparan Covid-19 di Singapura sekitar 0,15% sedangkan Indonesia hanya 0,00269%. Rakyat Indonesia pasti sakti mandraguna, sejak lama sudah punya herd immunity atau communal immunity. Mungkin ada yang pakai Aji Lembu Sekilan. Atau Covid-19 ngerti ketika akan menyantuh darah daging jenis manusia Nusantara yang aneh. Ataukah Pemerintah belum tahu persis berapa sebenarnya jumlah kasus Corona yang menimpa rakyatnya? Karena belum tuntas melakukan sesuatu yang seharusnya sudah dilakukan untuk mengetahui korban Corona rakyatnya sepersis mungkin?
Kalimat-kalimat di atas, tolong diamati: adalah pertanyaan. Bukan kritik. Bukan kecaman. Apalagi hoax. Hoax haruslah pernyataan, bukan pertanyaan.
Di Yogya sudah ditabuh berdengung-dengung Gong Tolak Bala. Para pelaku kebatinan sudah melakukan berbagai upacara untuk maksud serupa. Para ulama, kiai dan santri sudah shalat malam, wiridan dan apa pun saja yang menurut kepercayaan rohaniyah mereka bisa membuat pageblug tidak menimpa mereka. Jamaah Maiyah sudah minta “sangu” dan “disangoni” jauh sebelum Corona datang. Bahkan sebelum Corona berakhir raka’atnya, mungkin sudah terbit dua buku saya yang meresponnya.
Kemarin saya titip “Turi-Turi Putih”, tembang tradisional popular di kalangan bangsa Jawa tradisional. Turi Putih secara klasik ditafsirkan dengan mengasosiasikan “pocongan”. Turi Putih adalah kain kafan. “Cumlorot tiba nyemplung” diinterpretasikan sebagai momentum ketika jenazah atau mayat manusia masuk kuburan. Kemudian ada pertanyaan peradaban: “Mbok Ira, Mbok Ira, kembange opo?”. Ada yang menganggap Mbok Ira adalah panggilan untuk orang yang sudah meninggal. Yang lain mamparalelkan “mbok Ira” dengan “wama adraka ma” di Al-Qur`an. Apa gerangan, wahai apa gerangan? Kamu asumsikan apa itu? Kamu kira akan bagaimana?
Ada pandangan lain yang mengawali persepsinya dengan “Ditandur ning Kebon Agung”. Kebon atau kebun di Al-Qur`an disebut “Jannah” atau lazim diartikan sebagai Sorga. Kebon Agung, di mana turi itu ditanam, adalah Al-Jannah An-Na’im. Begitulah dulu asal-muasal manusia. Mbah Adam ‘alaihissalam diciptakan dan diberi tempat tinggal indah yang namanya Sorga. Tapi karena suatu kesalahan aqidah dan akhlaq, karena kurang serius memperhatikan larangan Tuhan sehingga menjadi tidak patuh, maka “cumlèrèt tiba nyemplung” di Bumi. Jarak waktu dihijrahkannya Mbah Adam dari Sorga ke Bumi digambarkan dengan “cumlèrèt”. Mungkin kalau di Al-Qur`an bahasanya “kalamhin bil-bashar”. Sekejapan mata. Cumlèrèt.
Kelak semua anak turun Adam akan kembali ke tempat semula itu. Sebab Bumi di dunia ini hanya tempat hijrah atau melancong sementara, sedangkan kampung halaman kita adalah sorga, ya Kebon Agung itu. Kan rumusnya “Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un”.
Maka tahap yang ditawarkan dan harus ditempuh oleh manusia setelah terpuruk di Bumi adalah harapan dan perjuangan: “Mbok Ira kembange apa”. Kembang adalah harapan menuju buah. Hasil perjuangan proses menanam. Jadi harapan untuk membuahkan apa yang kalian perjuangkan selama dapat jatah hidup di Bumi? Itulah yang didalami dan diperluas oleh Sinau Bareng di Maiyahan. Yang primer itu “kembang” yang mana? Sukses di dunia (menjadi pejabat, berkuasa, terkenal, pakar, kompeten, kaya) ataukah “tidak dimurkai oleh Allah di Akhirat?” Bahkan Jamaah Maiyah takut bernafsu kepada Sorga, karena ada penghuni Sorga yang Allah tidak menyapanya. Maka fokus Sinau Bareng adalah pembelajaran menuju penerimaan Allah, bukan primarily masuk Sorga. Maka Jamaah Maiyah berjuang untuk selalu “sumeleh” hidupnya, “ikhlas dan tawakkal”. “In lam takun alayya Ghodlobun fala ubali” wiridan mereka.
Tetapi ada yang menawar: “Kalau boleh ya Allah, ya kalau bisa saya jangan ditakdirkan meninggal karena masuk rombongan korban Corona”. Itu adalah muatan hati polos setiap orang. Itu adalah aspirasi wajar ketidakberdayaan manusia di hadapan ketentuan Allah. Saya tidak akan bersikap seolah saya ahli Syariat dan Fiqih sehingga saya memakruhkan, mengharamkan atau memfasiqkan aspirasi itu. Atau andaikan ada kemungkinan kita bareng-bareng sowan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, ya kita tanya bersama-sama kepada Beliau. Tapi mau bagaimana, kita ini ngelihat virus Corona saja nggak becus, agak kurang masuk akal kalau kita berhak atau pantas berjumpa bertatapan wajah dengan Kanjeng Nabi.
Kalau punya bekal rohani untuk memilih, yang kita pilih bukan tafsir bahwa Turi Putih adalah kain kafan kematian kita, melainkan Kembang Turi mengandung zat-zat yang membuat pemakannya tidak “tedas” digerus oleh virus Corona. “Ya zamzamallah, ya zamzamallah”, kita memakan kembang itu, kita meminum air seduhannya, Engkau ya Allah berkenan menjadikannya syifa’ bagi sakit kami, atau penolak datangnya penyakit. Sebagaimana para Ulama mengatakan air zam zam membuat peminumnya diampuni dosanya, disembuhkan penyakit, dan dikabulkan keinginan baiknya.
Di masa kanak-kanak selama menggembalakan kambing, saya dan para penggembala lain menghindarkan kambing-kambing kami dari memakan Kembang Turi. Sebab bisa menyebabkan kambing-kambing itu mandul. Mudah-mudahan zarrah Corona juga mandul untuk mengembangkan diri di badan kita, mandul untuk bermutasi dan berkembang biak.
Kalaupun Turi Putih pocongan atau kain kafan yang membungkus tubuh kami ini “cemlorot”, ya lahannya bukan kuburan, melainkan Jannatun-Na’im. Kebon Agung. Tetapi harus tetap dilewati, ditempuh dan diperjuangkan seluruh tahapan-tahapan hidup di dunia. Termasuk Pageblug sekarang ini, yang akan diteruskan oleh Paceklik. *****
[Baca selengkapnya — https://bit.ly/3am6bGU]
seri Corona 74
(BELUM) Habis PAGEBLUG, Terbitlah Paceklik
(Corona 74) Emha Ainun Nadjib
Kemarin kita masih “Bisa jual bisa beli”. Kebanyakan orang bisa beli atau relatif punya uang dan bisa jualan. Sekarang mulai “Sukar jual sulit beli”. Akan datang hari “Alot jual belum tentu ada yang beli”, kemudian “Pas bisa beli belum tentu ada yang jual”. Kemudian sempurna keadaan di mana kebanyakan atau semua orang “Tak bisa beli tak bisa jual”. Bisa beli tak ada yang jual. Puncaknya tentu tidak ada yang bisa dijual dan tidak ada yang dipakai untuk beli.
Belum habis Pageblug, terbitlah Peceklik. Sebagian orang hari ini berpikir apa yang mungkin dijual segera dijual supaya bertahan lebih lama, juga apa yang bisa dibeli segera dibeli, juga supaya bisa bertahan lebih lama. Panic selling and panic buying.
Kebanyakan orang tidak siap tiba-tiba harus kembali ke peradaban ladang: makan tidak makan berdasarkan menanam atau tidak menanam. Arek-arek etanan misuh: menanam ndasmu. Tempat tinggal saja masih kost. Rumah ngontrak hampir habis. Mau menanam di mana, depan rumah jalan raya, kiri kanan dan belakang rumah-rumah lain berjejal-jejal. Nandur ndik bathukmu ta.
Hari ini kita belum sampai ke sana. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan bahwa kita akan tidak sampai ke sana. Kalau ternyata benar akan sampai ke sana, situasi itu terserah apa sebutannya. Khaos mungkin, khaos oblong. Diawali meningkatnya maling, copet, jambret, mbobol, ngrampok. Kemudian berebut apa saja seperti kapal mau tenggelam.
Ramadlan pun akan kita jalani dengan kondisi dan mekanisme yang aneh dan belum pernah kita alami sebelumnya. Kita tunggu romantisme spanduk di jalan-jalan atau ucapan online “Taqabbalallahu minna wa minkum, selamat datang Bulan Suci Ramadlan”. “Lama kami merindukanmu, akhirnya Ramadlan datang juga”. Tapi mau tidak mau semua harus menyiapkan diri, mental, hati dan apa saja yang diminta oleh situasi yang disebut terakhir itu. Mudik disuruh balik. Kendaraan distop disuruh balik atau dihukum kurungan 100 hari.
Tapi dalam keadaan seperti itu kekuasaan tidak bisa menguasai. Tentara dan polisi silakan bawa bedil, bom dan rudal, tapi tidak sedikit pun akan efektif untuk menyelesaikan masalah. Covid-19 tak bisa ditembak pakai pistol, apalagi bedhil manuk. Bahkan pun M-16, granat, mitraliyur, rudal.
Kalau hari ini masih ada Pemerintah, tolong umumkan apa rencana mereka untuk menghadapi hari-hari seperti itu besok atau lusa atau minggu berikutnya atau bulan depan. Tetapi apakah memang masih ada Pemerintahan di Negeri ini? Apakah pernah ada Pemerintahan yang perhatian utamanya adalah keadaan rakyat banyak? Apakah pernah ada Pemerintahan yang mengutamakan amanah dan tanggung jawab?
Tetapi ini Rikiblik Indonesia. Ada Pemerintah atau tidak ada Pemerintah tidak pernah menjadi masalah primer rakyatnya. Ada Pemerintah ya welèh. Tidak ada Pemerintah ya malahané. Mau Presidennya Layang Seto atau Layang Kumitir, Petruk atau Bagong, leg-legen dhewe kono. Tingkat keacuhan dan apatisme bangsa ini akan sangat mengagetkanmu kalau engkau menembus sedikit saja di bawah permukaan air zaman. Bukan air zam zam.
Sejumlah teman konco lawas mempertanyakan tulisan-tulisan saya yang membeberkan banyak hal-hal dan fakta-fakta ketidakberesan pengelolaan Negeri ini. “Untuk apa?”, kata mereka. Kemudian mengutip ayat: “Sama saja bagi mereka engkau peringatkan atau tidak engkau beri peringatan. Telah ditutup hati mereka (dari merasakan apa yang mereka wajib merasakan), pendengaran (untuk mendengar segala sesuatu yang mereka bertanggung jawab untuk mendengarkan) mereka, penglihatan (untuk melihat apa yang diamanatkan kepada mereka untuk melihat) mereka”.
Terusannya ayat itu adalah “walahum ‘adzabun ‘adhim”. Dan adzab yang pedih untuk mereka. Mereka siapa? Kita-kita yang tidak ikut membutakan mata, telinga dan hati, juga disiksa hari-hari ini. Mereka yang dhalim itu tetap leha-leha saja, sehat-sehat saja, tetap naik mobil empuk joknya, dikawal tim keamanan, makan minum enak dan keluarga sehat sejahtera. Bahkan anaknya mencalonkan diri jadi Walikota.
Rakyat kecil ini salahnya apa? Para pekerja harian. Para Ojol. Kuli. Karyawan rendahan. Penjual Angkringan. Warung-warung kecil. Apakah kepada para pemulung kau sarankan “Di Rumah Saja”? Di rumah saja ndasmu. Mestinya semua rakyat yang tidak makan keluarganya kalau dia tidak berjuang keluar rumah tiap hari, dijamin kebal Corona. Kenapa semua orang, semua manusia, semua penduduk, semua warga, kelas apa pun, level mana pun, kerja apa pun, memperoleh ancaman dan akibat yang sama oleh Corona? Emangnya ini Jagat Raya Komunisme: sama rata sama rasa?
Almarhum sahabat saya, Rendra pernah menulis puisi. Tiap habis bait tolong tambahkan kata Tetap saja terancam Corona atau terserah engkau bikin sendiri:
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Februari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
Orang-orang miskin itu mungkin tetangga kita, mungkin sedulur kita, mungkin kita sendiri. Tapi kita dilarang menciptakan orang miskin. Maksudnya, jangan biarkan orang mengemis kepada kita karena miskin. Kita harus memuliakan setiap saudara, kerabat, famili, dan tetangga kita dengan aktif mencari tahu bahwa mereka memerlukan pertolongan. Siapkan dan berikan pertolongan tanpa menunggu mereka menjadi orang miskin yang mengemis kepada kita. “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal).
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu sampai bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur).
Apalagi Jamaah Maiyah adalah Al-Mutahabbina Fillah. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Maka mereka pasti sudah menyiapkan pikiran, niat, sikap dan cara-cara di antara mereka untuk membuktikan cinta di antara mereka, dengan siap saling tolong-menolong.
“Dan tolong-menolong engkau semua atas kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Maidah). “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah).
Sesungguhnya, bagi dan pada setiap dan semua manusia, tolong-menolong adalah perilaku yang tidak memerlukan hukum, akhlaq maupun ayat-ayat Allah — kalau memang mereka benar-benar manusia. Sudah sangat lengkap bekal di dalam dirinya yang bersumber dari “Sunnatullah” atau sumber alamiah kemakhlukannya, untuk dengan sendirinya akan berlaku tolong-menolong satu sama lain. Meskipun seandainya tidak ada Nabi, tidak ada Agama, tidak ada Masjid dan Sekolahan. Bedanya hanya ada yang bersegera mencari saudara-saudaranya yang wajib ditolong, ada yang menantikan munculnya orang yang meminta pertolongan. *****
[Baca selengkapnya — Oleh: Emha Ainun Nadjib — https://bit.ly/3eFGwfC]
seri Corona 75
SANG PENYEMPURNA KEHANCURAN
(Corona 75) Oleh: Emha Ainun Nadjib
Tulisan kali ini sangat panjang dan harus saya mulai dengan pernyataan Allah: “Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu semua ummat manusia ini secara atau untuk main-main saja? Dan apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu`minun).
Awalnya saya hanya ingin menggembirakan siapapun yang membaca tulisan ini. Saya selalu menanyakan dan meminta pusat penggiat Maiyah dan semua Simpul untuk mengidentifikasi dan memastikan seberapa Covid-19 menjangkiti atau memapari Jamaah Maiyah. Beberapa waktu yang lalu salah seorang anak Maiyah saya di Negeri jauh yang bertugas sebagai perawat kesehatan atau tenaga medis melaporkan diri positif Corona. Ia masih muda dan berita terakhir kemarin terkonfirmasi bahwa ia sudah pulih dan sembuh seperti semula. Seorang Pilot internasional yang juga aktivis Maiyah melaporkan temannya terpapar juga di Spanyol, tapi dengan isolasi diri akhirnya pulih sehat walafiat kembali.
Secara keseluruhan sampai kemarin sore Jamaah Maiyah Zero-Corona. Sebenarnya tidak mudah menuliskan ini, sebab informasi seperti itu berposisi syubhat. Ia bisa merupakan tahadduts binni’mah, memperbincangkan kenikmatan Allah, tapi bisa juga terpeleset menjadi riya` atau takabbur. Harus kita teguhkan bahwa ini adalah ungkapan syukur atas nikmat Allah. Juga harus disadari bahwa ini “permainan” sedang berlangsung, itu pun tanpa mengerti seberapa lama akan berlangsung. Padahal kebenaran informasi baru akan utuh dan final tentang keterpaparan Covid-19 adalah kelak sesudah seluruhnya reda di seluruh dunia.
Kegembiraan lain coba dihembuskan oleh banyak berita offline maupun online bahwa jumlah pasien Corona yang sembuh semakin banyak, dan itu dilogikakan sebagai gejala akan semakin dekatnya akhir dari penderitaan oleh Corona. Aslinya hal ini tidak mengagetkan karena sejak awal hadirnya Corona, angka kematian yang diakibatkan hanya sekitar 2-3% sd 8-9%. Berarti angka kesembuhan di atas 90%. Wajar kalau jumlah yang sembuh semakin banyak. Yang mungkin lebih logis untuk diasumsikan sebagai gejala semakin menyurutnya derita Corona adalah kalau jumlah kasus keterpaparannya menurun, syukur sampai prosentase Nol seperti di Wuhan sendiri – meskipun bisa tetap akan ada gelombang kedua.
Sedangkan di Indonesia urusan Corona ini kenaikannya permanen dan setia. Sore ini ada tambahan 283 kasus keterpaparan sehingga jumlah keseluruhan menginjak angka 7.418.
Sesungguhnya sejak sebulan yang lalu, 20 Maret 2020, kegembiraan nasional sudah digelar oleh berita: “Presiden bilang bahwa obat untuk pasien Corona sudah disiapkan oleh Pemerintah. Obat Corona sudah ada dan beliau sudah pesan sebanyak 2 juta, sementara yang terpapar virus mengerikan ini sampai hari ini baru tujuh ribuan lebih sedikit, jadi mesti bereslah semua ini. Beliau menyebut obat virus Corona itu namanya Avigan dan Cloroquine. Bahkan disempurnakan juga kabar gembira itu bahwa beliau sudah bagi-bagi obat Corona, sampai ada yang dari pintu ke pintu diantarkan.”
Tetapi kabar gembira itu dihapus sendiri oleh penyebarnya sebulan kemudian pada 18 April 2020. “Presiden menyatakan bahwa obat Corona belum ada, maka kita harus mengandalkan kedisiplinan dan semangat saling bantu-membantu melawan Corona. Tetapi saya berhasil menggagalkan rasa kecewa saya, karena peribahasa Jawa “esuk dele sore tempe” sudah lazim berlaku secara menyolok selama pemerintahan Negara kali ini. Apakah kalau pagi bilang kedelai tapi faktanya di sore hari ternyata tempe, itu pelanggaran konstitusi? Tidak. Ini NKRI. Pemimpin can do no wrong. Pokoknya Presiden pasti benar, tidak mungkin salah. Kalau kamu membantah, kamu akan saya hajar dan dihajar orang banyak di medsos, ngapsos maupun lètsos.
Akan tetapi berikutnya saya semakin gagal mewujudkan niat untuk membikin para pembaca bergembira. Saya didatangi tamu tanpa masker dan membombardir saya dengan informasi bertubu-tubi, yang saya singkat menjadi tiga poin.
Pertama, jangan bermimpi menunggu redanya Corona ini seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan, setahun-dua tahun, 2022 atau 2025. Semua rakyat Indonesia bahkan seluruh penduduk Bumi harus mulai belajar untuk menerima virus Corona, sebagaimana virus flu yang lebih ringan, sebagai anggota keluarganya yang permanen dan sah. Harus siap bahwa Covid-19 ini tidak akan pernah sirna sampai selamanya, terutama karena kreativitasnya sangat tinggi untuk bermutasi dan melakukan penyesuaian diri, mengubah wujud dan perannya terus menerus sedemikian rupa.
Tamu yang pertama ini kemudian menyerbu kekurangajaran manusia di Bumi. “Mereka semua sudah tahu bahwa global climate, perusakan lingkungan hidup, keserakahan mengeruk kekayaan bumi, pasti akan membawa kehancuran pada peradaban manusia. Tetapi mereka tidak mau berubah sedikit pun dari kerakusannya. Mereka tetap melakukan ketidak-seimbangan kehidupan antara manusia dengan alam maupun antar kelas-kelas manusia sendiri. Tuhan mengingatkan “Kalian pikir Aku main-main menciptakan kalian, alam dan bumi ini? Terus kalian akan lari ke mana kecuali kembali kepada-Ku”, sebagaimana yang saya kutip di awal tulisan ini. Kalian seharusnya melakukan restarting peradaban, rebooting kehidupan cara mencapai penghidupan. Karena yang sudah terlanjur berkuasa dan kaya selalu menolak perubahan, maka sekarang ada kiriman Corona agar restart peradaban itu diwujudkan. Terserah manusia mau atau tidak. Atau barangkali manusia maunya hanya restart dari kerakusan lama menuju kerakusan baru. Reboot keserakahan lama untuk membangun sistem keserakahan baru.
Kemudian belum bangun saya dari terbanting-banting, datang tamu lain tanpa masker juga menambah penderitaan hati saya. Ia ngebom juga: “Manusia di dunia sedang harus mengalami perubahan peradaban yang mendasar. Untuk itu jer basuki mawa bea-nya adalah kemusnahan separuh penduduk dunia. Yang 15% dibunuh oleh wabah. Yang 10% mati karena khaos, bunuh-membunuh. Yang 25% bencana alam dari gempa bumi, tanah longsor, badai es hingga super-tsunami. Kamu tahu cacing-cacing yang keluar dari tanah itu. Pusatnya bukan di Pasar Gede, melainkan di sekitar bangun di pojoknya yang sejak sekian abad silam berfungsi Jaga Negara. Itu informasi bahwa akan terjadi bencana alam tidak kecil, dan pusatnya adalah kota tempat kelahiran Sang Penyempurna Kehancuran. Yang wajar dipilih oleh rakyatnya yang memang tidak waspada dan main-main dalam ber-Negara”.
“Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara manusia agar mereka mendapat pelajaran; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir supaya sebagian kamu dijadikan-Nya gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim.” (Ali Imran)
Siapakah Kepala Negara, ilmuwan atau tokoh apa pun yang selama perkara Corona itu mengeluh dan minta tolong kepada Tuhan? Paling jauh para ahli menegaskan: Corona ini bukan hasil rekayasa Lab Negara tertentu. Ini peristiwa alam biasa. Dan alam yang dimaksud di situ adalah alam yang sanggup menciptakan dirinya sendiri. Tidak ada faktor Tuhan.
Tetapi semua itu simpang siur bagi penduduk awam dunia seperti kita. Pemimpin spiritual bangsa Iran Ayatollah Khomeini dalam pidato Nisfu Sya’ban memberi sejumlah uraian yang kontroversial dari satu sisi, memantapkan dari sisi lain, tetapi jelas menggetarkan bagi semuanya:
“Seluruh ummat manusia tentang kehadiran seorang imam atau pemimpin dunia yang mampu menjadi juru selamat. Juru selamat yang datang atas kehendak Allah. Yakni Imam Mahdi. Pemimpin yang dapat menyatukan semua manusia, membebaskan dari ketersiksaan duniawi, juru selamat bagi semua agama.”
“Saat ini, ummat manusia menderita kemiskinan, penyakit, ketidakadilan, dan perpecahan kelas yang luas. Dan, manusia menyaksikan penyalahgunaan sains, penemuan, dan alam oleh kekuatan dunia. Ini telah menyebabkan keletihan dan frustrasi ummat manusia dan keinginan mereka untuk penyelamat, tangan yang menebus.”
“Ada kebutuhan akan kekuatan spiritual dan ilahi; tangan yang kuat dari Imam yang sempurna (semoga Tuhan mempercepat kedatangannya). Kebijaksanaan manusia adalah berkah luar biasa yang dapat memecahkan beberapa masalah tetapi tidak semuanya. Sebagai contoh, hari ini ilmu pengetahuan melayani ketidakadilan dan penghasut perang di dunia. Semua agama telah berjanji akan datangnya seorang Juru Selamat. Dalam Islam, orang-orang diminta untuk menunggu Juru Selamat. Menunggu bukan berarti duduk santai; menunggu berarti memiliki harapan dan persiapan. Itu berarti mengambil tindakan.”
“Untuk sekadar diketahui, dunia saat ini memang sedang gonjang-ganjing. Saat ini dunia sedang dilanda wabah Virus Corona atau COVID-19, virus ini telah menjangkiti 1,5 juta manusia dan membunuh 88 ribu orang. Belum lagi peperangan juga masih terjadi di sejumlah negara, seperti Suriah, Libya, Afghanistan dan lainnya.”
“Sejak Virus Corona meledak di Wuhan selalu ada dua pendapat pemikiran yang berkembang. Banyak akhli terutama para ahli lingkungan yang selana ini tidak pernah didengar oleh aparatus globalisasi yang melontarkan bahwa Virus Corona adalah virus yang lahir dari tabiat manusia yang suka merusak alam.”
“Sedangkan pikiran lain virus ini adalah merupakan hasil rekayasa manusia. Biasanya pikiran ini sejalan dengan analisis konspirasi yang digunakan. Kalau aku lebih percaya bahwa Covid-19 lahir karena tabiat manusia. Sedangkan herd immunity kalau ahli kesehatan pasti akan menjawab itu tak mungkin, tetap butuh teknologi. Kecuali kalau sistem kehidupan kita sehari-hari masih berlangsung secara komunal seperti minum jamu, mengkonsumsi rempah-rempah, empon-empon itu bisa menjadi ketahanan komunitas dari serangan virus.”
“Sudah didiskusikan pada tahun 2015, ini tidak boleh dilakukan. Ada dua ilmuwan utama yang mengatakan ini tidak boleh dilakukan. Virus ini bukanlah fenomena yang terjadi secara natural. Ini sangatlah penting dan saya akan memberi buktinya.”
“Kamu harus bersikap cermat, sadari ada agenda di balik ini semua. Jangan dikalahkan oleh ketakutan, karena ini merupakan satu paket dari agenda mereka.”
“Virus ini dilabeli sebagai senjata biologis oleh beberapa orang. Dan tentu saja media mainstream menyatakan itu adalah teori konspirasi. Tapi mari kita lihat sama-sama konfigurasi dari virus covid 19 ini.”
“Yang mau saya jelaskan adalah ini bukan karena seseorang memakan sup kelelawar atau berpindah dari ular, kungkang atau hewan lainnya. Virus ini bukanlah sesuatu yang terbentuk dari alam. Ini sangat penting dan saya akan menunjukkan pada kalian buktinya.”
“Virus ini sebenarnya diciptakan di universitas North Carolina Chapel Hill dan mereka menerbitkan hasil hasil penting penelitiannya pada november 2015. Daftar dari para peneliti yang diasosiasikan sebagai virus “frankenstein”. Kamu bisa lihat nama Zheng Li Shi yang mewakili laboratorium spesialis patogen dan biosafety, institut teknologi Wuhan China. Dr Shi adalah sosok sangat penting di sini. Dari tahun 2014 dr. Shi menerima berbagai pendanaan dari Pemerintah USA. Juga dari program Nasional Basic research China. Akademi science China, badan nasional natural science China program penelitian prioritas, akademi ilmiah China. Untuk membantu mendanai penelitian Corona Virus.”
“Ingat ini pada tahun 2015. Pemerintah Amerika mendanai dr. Shi serta pemerintahan China untuk mendanai penelitian berbagai macam Coronavirus. Ini diterbitkan pada tanggal 12 November 2015 dan ini adalah dokumen artikel penuhnya. Tapi yang ingin saya kemukakan di sini, pada bulan maret 2020 ini ditambahkan catatan di artikel ini oleh editor nya. Saya akan membacanya dan kemudian saya membandingkannya dengan penelitiannya dan tentukan sendiri maksudnya.”
“Catatan dari editor ini mengatakan kami menyadari bahwa cerita ini digunakan sebagai dasar dari teori yang belum diverifikasi. Dimana novel Coronavirus yang menyebabkan Covid-19 adalah buatan manusia. Tidak ada bukti bahwa ini benar. Para peneliti percaya bahwa binatang adalah yang paling mungkin menjadi sumber dari Coronavirus.”
“Jelas sekali siapapun yang menulis catatan editor ini adalah antara seorang yang idiot atau orang yang tidak memahami bahasa inggris. Tapi sudah pasti bukan seorang peneliti. Saya akan menunjukkan kepada Anda apa yang sesungguhya dinyatakan di penelitian ini. Perlu diingat ini adalah peringatan agar orang mengabaikan penelitian ini. Untuk mencegah orang agar tidak melihat lebih jauh tentang penelitian ini untuk mengatakan padamu; lihat, langit itu tidak biru. Ya itu memang terlihat biru tapi sebenarnya tidak biru.”
“Pada November 2015 sebuah penelitian yang menciptakan versi hibrida dari Coronavirus dari kelelawar. Jenis yang berhubungan dengan Virus SARS. Seperti yang kita bahas sebelumnya memancing perdebatan tentang apakah laboratorium rekayasa virus yang mungkin dapat menyebabkan pandemik memiliki risiko yang sepadan.”
“Ini adalah bagian terpenting: disebutkan di parqgaraf pertama dari penelitian ini dipublikasi di “nature”, yang mana adalah salah satu jurnal publikasi paling dihormati di dunia. Walaupun hampir semua Coronavirus yang diisolasi dari kelelawar tidak dapat mengikat pada reseptor di tubuh manusia, yaitu SHC014, yang merupakan jenis spesifik Coronavirus yang sedang kita bicarakan. Tidak dapat berkembang di tubuh manusia. Sekali lagi ini adalah hasil penelitiannya. Kamu membaca sesuatu dan mereka mengatakan apapun yang kamu baca bukanlah hal itu. Eksperimen di penelitian ini, menunjukkan bahwa virus dalam kelelawar liar ini harus berevolusi dahulu baru bisa membahayakan manusia.”
“Virus ini perlu berevolusi dulu, perlu berubah, dan akan membutuhkan waktu. Perubahan yang mungkin tidak akan pernah terjadi walaupun tidak dapat diabaikan. Baric dan tim nya merekontruksikan ulang virus liar ini dari rangkaian genomnya, dan menemukan bahwa virus ini sulit sekali bertumbuh pada kultur sel manusia. Dan tidak menyebabkan penyakit serius pada tikus.”
“Oke kita melihat virus yang ditemukan dari kelelawar dan sulit sekali untuk berpindah ke manusia. Dan kalau pun sudah beradq di manusia kultur sel manusia virus ini sangat buruk pertumbuhannya. Dan pada tikus lab, tidak menyebabkan penyakit serius apa pun. Dampak satu-satunya penelitian ini adalah terciptanya di lab sebuah risiko baru yang tidak natural. Menurut Richard Ebright, pakar biologi molekul dan pertahanan biologis Univ Rutgers, Piscatawhy, New Jersey. Tapi untuk apa kamu merekayasa suatu virus demi membuatnya berbahaya. Apa tujuan nya , mereka mengatakan ini untuk tujuan penelitian. Kita harus melawan pemerintahan yang melakukan kegilaan dengan mengambil keuntungan sebuah krisis. Ini adalah bagaimana kebebasanmu akan mati. Bangkitlah Amerika dan lawanlah.”
“Departemen kehakiman mencari otoritas baru di tengah pandemi Coronavirus. Ini permasalahannya, inilah yang harus kita takutkan. Di mana pemerintahan akan menggunakan kejadian bohongan ini, membesar-besarkannya dan mengambil lebih banyak lagi hak-hak orang, kebebasan, dan membuat suatu tindakan mandatori yang harus ditaati setiap orang dari karantina. Sampai pada hal yang mengerikan lagi. Jadi kamu harus sangat berhati-hati. Hati-hati terhadap agenda dibaliknya!”
“Jangan dikalahkan oleh ketakutan, karena ini merupakan satu paket agenda mereka. Virus ini adalah virus yang lemah mereka akan langsung mati oleh sistem imunmu. Tidak akan menginfeksimu dan jika memang iya, efeknya akan sangat sangat singkat. 24 sampai 48 jam mayoritas orang akan merasa lebih baik.”
“Dalam kehidupan pribadi, politik dan sosial masyarakat, lembaga atau organisasi dan bahkan revolusi, biasanya menghadapi dua jalan berbahaya; jalan transenden atau kemunduran.”
“Satu jalan adalah jalan transenden, sementara jalan yang lain adalah kemerosotan. Penggerak akal, hikmah, hidayah dan spiritual membawa mereka ke puncak atau daya tarik materi menurunkan mereka ke arah keinginan hina materi. Dua jalan ini biasanya dalam satu periode tertentu berada di hadapan orang dan pribadi manusia, juga organisasi, sebagaimana yang saya jelaskan, juga di hadapan revolusi, di mana sebagian revolusi dan perubahan besar politik dunia dimulai dengan baik dan tumbuh juga dengan baik, tapi dalam satu periode sensitif berada dalam kemerosotan dan kejatuhan. Dua jalan ini bagi masyarakat dan Negara kita sudah pasti terjadi dalam periode pasca Pertahanan Suci… Tapi Sepah Pasdaran dalam periode ini berhasil tampil sebagai pemenang, Sepah tidak terkena keletihan dan kemunduran, berhasil mempertahankan elemen politik identitasnya dan bergerak menujuk transenden.”
Mungkin kita masih berkutat di kekerdilan sikap seperti ini: “Itu kan pemimpin Syi’ah. Syi’ah kan bukan Islam”. *****
[Baca selengkapnya — https://bit.ly/2zol0Mm]
Langganan:
Postingan (Atom)